Al-Imam Al-‘Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i ad-Dimasyqi atau yang terkenal dengan nama Al-Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah –semoga Allah Azza wa Jalla merahmati beliau- berkata dalam kitab beliau yang sarat akan manfaat dan faidah: ‘Uddatush Shaabirin (Bekal untuk orang-orang yang sabar):
Abdullah Ibnul Mubarak berkata, Mutsanna Ibn Ash-Shabah memberitahukan kepada kami dari Amr ibn Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata:
Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wa sallama bersabda, “Dua sikap yang apabila seseorang berada di dalamnya maka Allah –Azza wa Jalla- mencatatnya sebagai orang yang sabar dan bersyukur, dan apabila dia tidak berada di dalamnya maka Allah Ta’ala tidak mencatatnya sebagai orang yang bersabar dan bersyukur:
Pertama, orang yang melihat urusan agamanya kepada orang yang berada diatasnya lalu dia mengikutinya, dan orang yang melihat urusan dunianya kepada orang yang berada dibawahnya lalu memuji Allah Azza wa Jalla atas karunia yang diberikan kepadanya, maka Allah Ta’ala akan mencatatnya sebagai orang yang sabar dan bersyukur.
Kedua, orang yang dalam urusan agamanya melihat kepada orang yang berada dibawahnya, dan dalam urusan dunianya melihat kepada orang yang berada diatasnya kemudian ia kecewa dengan ketertinggalannya, maka Allah Subhaanahu wa Ta’ala –yang Mahasuci lagi Mahatinggi- tidak mencatatnya sebagai orang yang bersabar dan bersyukur.” [HR. At-Tirmidzi No. 2512]
Perihal firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, “…..sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba yang banyak bersyukur.” (QS. Al-Isra: 3). Ibnul Mubarak berkata dari Syibil, dari Abu Najih, dari Mujahid, dia menafsirkan, “Konon, setiap kali Nabi Nuh Alaihissalam memakan suatu makanan pastilah dia memuji Allah Ta’ala atas hal itu, setiap meminum suatu minuman pastilah dia memuji Allah Ta’ala atas hal itu, dan setiap kali melakukan sesuatu dengan tangannya pastilah dia memuji Allah Ta’ala atas hal itu. Dia selalu menyanjung Allah Tabaaraka wa Ta’ala karena dia adalah hamba yang banyak bersyukur.”
Muhammad Ibnu Ka’ab menuturkan:
“Apabila makan Nabi Nuh Alaihissalam mengucapkan alhamdulillah (الحمد لله), apabila minum dia mengucapkan alhamdulillah (الحمد لله), apabila mengenakan pakaian dia mengucapkan Alhamdulillah (الحمد لله), dan apabila mengendarai hewan tunggangannya dia mengucapkan alhamdulillah (الحمد لله). Karena itulah Allah Azza wa Jalla menyebutnya hamba yang banyak bersyukur.”
Ibnu Abi Dunya berkata:
“Aku diberitahu oleh salah seorang ahli hikmah, dia berkata, ‘Seandainya Allah Azza wa Jalla tidak mengazab perbuatan maksiat (yang dilakukan) orang terhadap-Nya, tentulah orang itu seyogyanya tidak bermaksiat demi mensyukuri nikmat-Nya’.”
Beliau (Al-Imam Ibnul Qayyim) –rahimahullahu- melanjutkan:
Allah Subhaanahu wa Ta’ala memiliki dua hak yang harus ditunaikan oleh hamba-Nya:
Petama, Perintah dan larangan. Keduanya merupakan hak mutlak Allah Ta’ala yang harus ditunaikan oleh hamba-Nya. Kedua, Syukur atas nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang telah Dia berikan kepadanya.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala menuntut hamba-hambaNya untuk mensyukuri nikmat-nikmatNya dan melaksanakan perintahNya. Kewajiban hamba dalam memenuhi hak Allah selalu diwarnai oleh kekurangan dan penelantaran, sehingga sang hamba membutuhkan ampunan dan maaf dari-Nya. Apabila hamba tidak menyadari hal itu maka dia celaka.
Semakin dia memahami agama, maka pengetahuannya tentang pelaksanaan kewajiban ini lebih sempurna, dan kesadarannya akan ketidakmampuannya lebih besar.
Al-Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullaahu- berkata, Hajjaj menceritakan kepada kami, Jarir ibn Hazim menceritakan kepada kami dari Wahab, dia bercerita:
Aku diberitahu bahwa Musa Alaihissalam melewati seorang lelaki yang sedang berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Musa pun berdoa setelah melihatnya, “Wahai Rabb, kasihanilah dia, karena aku mengasihinya.”
Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Nabi Musa Alaihissalam, “Andaikan dia berdoa kepada-Ku hingga kekuatannya habis sekalipun, Aku tetap tidak akan mengabulkan doanya sebelum dia mengindahkan hak-Ku yang harus dia tunaikan.”
Kesaksian hamba akan nikmat dan kewajiban itu membuat dirinya tidak memandang amal shalihnya sedikitpun dan membuatnya senantiasa mencela dirinya sendiri. Alangkah dekatnya seorang hamba dengan rahmat Allah Subhaanahu wa Ta’ala apabila dia memberikan hak kesaksian tersebut. Hanya kepada Allah Ta’ala kita memohon pertolongan.
--- Selesai kutipan ---
Beberapa hal yang bisa kita petik dari penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah diatas adalah;
[1]. Ketika seorang hamba menginginkan dirinya dicatat oleh Allah Rabbul ‘alamin sebagai hamba yang bersabar lagi bersyukur, maka hendaknya dia selalu melihat urusan agamanya kepada orang yang berada diatasnya lalu dia mengikutinya, dan selalu melihat urusan dunianya kepada orang yang berada dibawahnya lalu memuji Allah Azza wa Jalla atas karunia yang diberikan kepadanya.
[2]. Bahwa para Nabi ‘Alaihimus salam adalah hamba-hamba pilihan yang ditinggikan dan dimuliakan derajatnya oleh Allah Azza wa Jall atas para makhluk-Nya yang lain di dunia. Merekalah hamba yang paling banyak bersyukur, dan merekalah hamba yang paling tinggi tingkat kesabarannya terhadap ujian dan cobaan Allah Azza wa Jalla.
[3]. Ketika seorang hamba semakin memahami agamanya (dienul Islam, red), maka pengetahuannya tentang pelaksanaan kewajiban (dalam agama ini) lebih sempurna, dan kesadarannya akan ketidakmampuannya lebih besar.
[4]. Apabila seorang hamba menunaikan hak-hak Allah Azza wa Jalla, maka Dia akan memenuhi hak-hak hamba tersebut dengan mengabulkan doa-doanya. Sebaliknya jika seorang hamba mengabaikan hak-hak Allah Azza wa Jalla, maka Dia tidak akan mengabulkan doanya hingga hamba tersebut mengindahkan hak-Nya.
Wallaahu Ta’ala a’lamu…..
Di nukil oleh al-Faqir yang selalu butuh akan pertolongan dan ampunan Rabbnya, dari ‘Uddatush Shaabirin karya Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, di TTC Soekarno-Hatta, Bandung.
0 Respones to "Oase Hidup: Bersabar dan Bersyukur"
Posting Komentar