Kembalikanlah Hak Saudaramu (Baca: Piutang)



Sebagai bahan renungan saja bagi mereka yang gemar berhutang namun enggan menunaikan kewajibannya (i.e melunasi hutang-hutangnya) atau yang gemar menunda-nunda pengembalian hutang tanpa alasan yang jelas dalam kondisi ia (sebenarnya) sangat mampu menyelesaikan kewajibannya tepat waktu (i.e sesuai kesepakatan) baik dengan cara tunai (cash) maupun kredit (mengangsur, tergantung kebaikan dan kelapangan hati orang yang meminjaminya, red).

al-Imam al-Hafizh Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H) membawakan firman Allah ‘Azza wa Jalla dan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam kitab haditsnya yang masyhur, Riyadhus Shalihin hal. 437-438, Daar ar-Rayyan Lit-Turats;

Allah Ta’ala berfirman;

قَالَ الله تَعَالَى: {إنَّ اللهَ يَأمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أهْلِهَا} [النساء: 58]

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. an-Nisaa’: 58)

Allah Ta’ala berfirman;

وقال تَعَالَى: {فَإن أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أمَانَتَهُ} [البقرة: 283]

“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS. al-Baqarah: 283)

وعن أَبي هريرة - رضي الله عنه: أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: «مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَع» . متفق عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Penangguhan pembayaran hutang oleh orang kaya termasuk kezhaliman. Jika ada seseorang di antara kalian yang disuruh untuk menagih hutangnya kepada orang lain (dialihkan pembayarannya), maka terimalah.” (HR. al-Bukhari no. 2287, Muslim no. 1563)

al-‘Allamah al-Mufassir asy-Syaikh Abd ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H) menjelaskan makna QS. al-Baqarah: 283 di atas;

ومنها: أنه يجوز التعامل بغير وثيقة، ولا شهود، لقوله: {فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ} ولكن في هذه الحال يحتاج إلى التقوى والخوف من الله، وإلا فصاحب الحق مخاطر في حقه، ولهذا أمر الله في هذه الحال، من عليه الحق، أن يتقي الله ويؤدي أمانته.

“Bahwasannya boleh bermuamalah tanpa ada pencatatan (dokumentasi) maupun saksi-saksi atas dasar firman Allah Ta’ala, ‘Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).’ Namun dalam kondisi yang seperti ini dibutuhkan sifat ketakwaan dan takut kepada Allah. Karena jika tidak demikian, maka pemilik hak (i.e orang yang meminjami) dalam posisi dapat dirugikan karena haknya. Oleh karena itu dalam kondisi seperti ini Allah memerintahkan orang yang menanggung hak orang lain untuk bertakwa kepada Allah dan menunaikan amanat yang ditanggungnya.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman, 1/204-205, Daar Ibn al-Jawzee, Riyadh]

Fenomena inilah yang sering terjadi di tengah-tengah kita pada hari ini. Itikad baik dari orang-orang yang meminjami (i.e merelakan sebagian harta yang dimilikinya untuk dipinjamkan kepada saudaranya yang membutuhkan demi meringankan bebannya, menjaga perasaan saudaranya dengan tidak mendokumentasikan hutang-hutangnya, sebagaimana yang terdapat dalam kisah sebatang kayu, red) kerap disalahartikan, disalahgunakan, dan dijadikan celah (oleh peminjam) untuk berbuat dzalim!. Tidak berarti jika orang yang meminjaminya itu adalah saudaranya, sahabatnya, atau partnernya lantas ia bisa seenaknya sendiri melanggar perjanjian (kesepakatan) yang sudah disepakati bersama. Amanah tetaplah amanah, tidak berubah statusnya meskipun orang yang meminjaminya itu tergolong orang yang mampu. Ada baiknya ia merenungkan; Bagaimana kiranya jika ia (berada) di posisi orang yang meminjami? Bagaimana pula perasaannya jika ia diperlakukan sedemikian rupa oleh orang yang berhutang?.

al-Imam al-Hafizh Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H) menjelaskan;

قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ) قَالَ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ الْمَطْلُ مَنْعُ قَضَاءِ مَا اسْتُحِقَّ أَدَاؤُهُ فَمَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَحَرَامٌ

“Sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, ‘Penangguhan pembayaran hutang oleh orang kaya termasuk kezhaliman.’ al-Qadhi [i.e al-Imam al-Fudhail bin Iyadh –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 187 H), red] dan lainnya mengatakan, ‘Kata مطل (menunda pembayaran hutang) maksudnya enggan melunasi apa yang harus ditunaikan. Dengan demikian, menunda pembayaran hutang oleh orang yang kaya adalah kedzaliman dan dilarang.” [Syarh Shahih Muslim, 10/227, Daar Ihya at-Turats al-‘Araby, Beirut]

al-Mufaqihul ‘Ashr al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin ‘Utsaimin al-Wuhaiby at-Tamimi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1421 H) menjelaskan dalam syarhnya terhadap hadits yang terdapat dalam kitab Riyadhus Shalihin di atas;

Penulis (i.e al-Imam an-Nawaawi –raheemahullaahu Ta’ala-) telah mencantumkan dalam kitabnya Riyadhus Shalihin, ‘Bab Larangan Menunda-nunda Pembayaran Hutang.’ Maksudnya dalam hal (membayarkan kewajibannya) terhadap orang lain. Menunda-nunda artinya mengakhirkannya. Perbuatan ini merupakan kedzaliman. Apabila engkau meminjamkan uang kepada seseorang, tetapi setiap kali engkau menagihnya, ia selalu mengulur-ulur dan menunda-nundanya. Maka perbuatannya ini adalah salah satu bentuk kedzaliman, hukumnya haram dan bisa menimbulkan permusuhan. Contohnya seperti yang dilakukan oleh seorang atasan terhadap bawahannya, seperti dengan menunda-nunda (pembayaran gaji bawahannya), melakukan intimidasi dan hak-hak karyawan tidak diberikan. Seorang bawahan yang miskin, meninggalkan keluarga dan kampungnya hanya demi sesuap nasi, ia harus menunggu empat, lima bulan atau lebih, sedangkan sang atasan terus menunda-nunda (pembayaran gajinya) dan mengancamnya, jika ia membuka mulut (maksudnya menceritakan kepada orang lain, red), maka ia akan dipulangkan ke kampung halamannya.

Tidakkah orang-orang yang berbuat demikian mengetahui bahwa Allah Mahakuasa, Mahatinggi dibandingkan mereka?, sungguh mungkin bagi Allah menyuruh seseorang untuk menyakitinya sebelum ajal menjemput (semoga kita diselamatkan) karena mereka itu adalah orang-orang miskin. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama telah bersabda di dalam hadits qudsinya, ‘Ada tiga golongan yang akan menjadi musuh-Ku di hari Kiamat kelak. Orang yang berjanji atas nama-Ku lalu ia tidak menepati janjinya.’ Maksudnya ia telah berjanji atas nama Allah, lalu ia mengingkarinya. ‘Dan seorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan seseorang yang mempekerjakan seorang buruh, lalu setelah ia menyelesaikan tugasnya, sang majikan tidak mau memberikan upahnya.’ (HR. al-Bukhari no. 2227 dan 227 dari Abu Hurairah radhiyallaahu Ta’ala ‘anhu), maka mereka-mereka itulah yang akan menjadi musuh Allah di hari Kiamat kelak.

Perbuatan mereka ini adalah kedzaliman. Hari-harinya hanya diisi dengan kedzhaliman sehingga jaraknya dengan Allah semakin jauh. Sedangkan kezhaliman adalah kegelapan di hari Kiamat kelak.

Betapa banyaknya orang-orang yang didatangi untuk segera melunasi pembayaran hutang atau gaji, ia hanya berkata, ‘besok atau lusa’. Padahal uangnya sangat banyak tersimpan di brankasnya, ia telah dipermainkan setan. Seolah-olah uangnya tersebut akan beranak pinak jika terus berada di rumahnya. Ia tidak mau uangnya berkurang karena diambil oleh orang-orang yang memang berhak untuk menerimanya. Orang-orang bodoh dan sesat seperti mereka ini sangat mengherankan. Apa mereka mengira bahwa jika mereka menunda-nunda pembayarannya, maka kewajibannya akan gugur atau berkurang?, kewajibannya tetap ada pada dirinya, dibayarkan hari ini, sepuluh hari atau sepuluh tahun kemudian. Mereka adalah orang-orang yang dipermainkan oleh setan. Padahal Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Penangguhan pembayaran hutang oleh orang kaya termasuk kezhaliman.’ Hadits ini menunjukkan bahwa jika seorang yang miskin menunda-nunda (pembayaran hutang) tidak dikatakan dzalim (karena ketiadaan atau minimnya harta yang ada pada dirinya, red), sebaliknya orang yang menagih hutangnyalah yang telah berbuat dzalim. Oleh karena itu apabila temanmu serba kekurangan, maka engkau harus menangguhkan penagihan utangnya dan tidak menagihnya. Allah Ta’ala berfirman;

لقول الله تعالى {وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة}

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tanguh sampai dia berkelapangan.” (QS. al-Baqarah: 280)

Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk menangguhkannya sampai datang kemudahan.” [Syarh Riyadhus Shalihin, 6/302-304, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]

al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Shalih ‘alu Bassam –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1424 H) menjelaskan dalam kitab al-Buyu’, di dalam syarhnya terhadap kitab ‘Umdatul Ahkam karya al-Imam al-Hafizh ‘Abdul Ghani al-Maqdisy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 600 H);

مطل الغنى: أصل " المطل " المد. تقول: مطلت الحديدة أمطلها، إذا مددتها لتطول. و المراد تأخير ما استحق أداؤه بغير عذر. و" مطل " مصدر مضاف. إلى فاعله، والتقدير: مطل الغنى غريمه، ظلم.
في هذا الحديث الشريف أدب من آداب المعاملة الحسنة. فهو صلى الله عليه وسلم  يأمر المدين بحسن القضاء، كما يرشد الغريم إلى حسن الاقتضاء. فبين صلى الله عليه وسلم  أن الغريم إذا طلب حقه، أو فهم منه الطلب بإشارة أو قرينة، فإن تأخير حقه عند الغنى القادر على الوفاء، ظلم له، للحيلولة دون حقه بلا عذر.

مطل الغنى Lafazh المطل (al-Mathlu) berarti memanjangkan. Jika dikatakan; مطلت الحديدة أمطلها berarti aku mengulurnya hingga menjadi panjang. Yang dimaksudkan disini adalah menunda-nunda kewajibannya untuk memenuhi hak tanpa ada alasan.

Di dalam hadits yang mulia ini terkandung adab muamalah yang baik. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menyuruh orang yang berhutang untuk segera melunasi hutangnya, sebagaimana beliau memberi petunjuk kepada orang yang memberi hutang untuk menagih hutangnya dengan baik. Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menjelaskan bahwa jika orang yang memberi hutang meminta haknya, maka ia bisa menagih hutangnya dengan isyarat atau penyerta. Penundaan pelunasan hutang oleh orang yang kaya yang mampu melunasinya, merupakan kedzaliman tanpa alasan.” [Taisirul ‘Alaam Syarh ‘Umdatul Ahkam, 2/107, Daar al-Maiman, Riyadh]

Kami ambil penjelasan asy-Syaikh ‘alu Bassam –rahemahullaahu Ta’ala- di dalam kitab syarhnya di atas sebagai penutup;

a). Pengharaman penundaan pembayaran hutang oleh orang kaya dan keharusan melunasi hutangnya terhadap orang yang memberi hutang.

b). Pengharaman (tersebut) dikhususkan bagi orang kaya yang memungkinkan melunasi hutang. Adapun orang miskin atau orang yang lemah karena alasan-alasan tertentu, maka dia dimaafkan.

Terakhir, mari kita renungkan sejenak nasihat asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –raheemahullaahu Ta’ala- berikut (i.e terkait hutang);

وأنه لا ينبغي للإنسان أن يتساهل به، ومع الأسف أننا في عصرنا الآن يتساهل الكثير منا في الدين، فتجد البعض يشترى الشيء وهو ليس في حاجة إليه، بل هو من الأمور الكمالية، يشتريه في ذمته بالتقسيط أو ما أشبه ذلك، ولا يهمه هذا الأمر. وقد تجد إنساناً فقيراً يشترى سيارة بثمانين ألفاً أو يزيد، وهو يمكنه أن يشتري سيارة بعشرين ألفاً، كل هذا من قلة الفقه في الدين، وضعف اليقين، احرص على ألا تأخذ شيئاً بالتقسيط، وإن دعتك الضرورة إلى ذلك فاقتصر على أقل ما يمكن لك، الاقتصار عليه بعيداً عن الدين. نسأل الله أن يحمينا وإياكم مما يغضبه، وأن يقضي عنا وعنكم دينه ودين عباده.

“Tidak sepantasnya seseorang menganggap remeh al ini (i.e hutang). Namun sangat disayangkan, di zaman sekarang ini kita begitu meremehkan masalah hutang. Banyak kita temukan sebagian orang membeli sesuatu yang sebenarnya ia tidak begitu membutuhkannya, bahkan hanya sebagai barang pelengkap saja, ia membelinya dengan tanggungan kredit (plus dengan bunganya, red) atau lain sebagainya, dan ia tidaklah memperhatikan hal ini. Terkadang kita menemukan seseorang yang fakir membeli mobil dengan harga delapan ribu riyal atau lebih (sepertinya yang dimaksud oleh Syaikh di sini adalah secara kredit, wallaahu a’lam, red), padahal bisa saja ia membeli mobil dengan harga dua puluh ribu riyal (secara cash, wallaahu a’lam, red). Semua ini terjadi karena rendahnya pemahaman dalam agama dan lemahnya keyakinan (iman, red). Jagalah, jangan sampai membeli sesuatu dengan jalan kredit, walaupun kita sangat memerlukannya. Hematlah sehemat mungkin agar terjauh dari hutang. Kita meminta kepada Allah agar menjaga kita dari hal-hal yang di murkai-Nya dan melepaskan kita dari hutang kepada-Nya dan kepada hamba-Nya.” [Syarh Riyadhus Shalihin, 2/527, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]

Wallaahu Subhaahu wa Ta’ala a’lamu.
[Baca Selengkapnya...]


Koruptor Itu Kafir. Benarkah?



Jujur, kami baru mendengar kalau ternyata ada sebuah buku yang berjudul “Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama” (diterbitkan oleh penerbit syi’ah, Mizan, red). Di beberapa forum, buku ini banyak diperbincangkan, terlebih-lebih ketika ada seorang penulis sekaligus “intelektual muda NU” (demikian menurut penuturan wikipedia, red) bernama Zuhairi Misrawi (yang belakangan kami ketahui sebagai aktivis JIL lulusan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir jurusan Filsafat, red) berkicau di twitternya (tanggal 3 Februari 2013 yang lalu);




Maksud orang ini adalah merujuk kepada fatwa kedua organisasi Islam yang tercantum pada buku tersebut. Lantas kami bertanya dalam hati, “Apakah benar koruptor itu kafir, How come?”. Kemudian apakah benar buku tersebut merupakan hasil pengkajian resmi oleh dewan riset ilmiah kedua organisasi Islam terbesar di negeri ini atau hanya hasil telaah beberapa individu yang kemudian menisbatkan hasil kajian mereka kepada dua induk organisasi tersebut?, wallaahu a’lam. Sebelum mencari tahu status hukum para koruptor (apakah dia kafir atau tidak) dari kacamata syar’i, ada baiknya jika kita memahami definisi Korupsi terlebih dahulu. Berdasarkan keterangan dari wikipedia, istilah Korupsi berasal dari bahasa latin, i.e; corruptio, dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, menyogok. Adapun definisi korupsi secara lebih luas adalah tindakan pejabat publik, baik politisi atau pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal (ilegal) menyalahgunakan wewenang, jabatan atau kepercayaan publk yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak (baik untuk kepentingan pribadi maupun golongan, red). Dari sisi syar’i, tindak kejahatan ini termasuk dosa besar –kategori: mengkhianati amanah- [1] (sebagaimana riba, zina, durhaka kepada orang tua, mencuri, membunuh dll, red) yang pelakunya harus dihukum dengan hukuman ta’ziir. Apa itu ta’ziir?

al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Shalih ‘alu Bassam –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1424 H) menjelaskan dalam syarh-nya (kitab al-Huduud);

التعزير- لغة- هو مصدر (عزَّر) وأصل العز ر: المنع، فأخذ منه، لأنه يمنع من الوقوع في المعصية. وشرعاً: - التأديب على ذنب لا حد فيه ولا كفارة، كالاستمتاع من المرأة بما دون الفرج، أو السرقة من غيرِ حرز، والقذف بغير الزنا، والمعاصي التي لم يقدر لها حدود، هي الكثرة الغالبة.

“at-Ta’ziir menurut bahasa merupakan mashdar dari ‘azzara. Asal makna al-‘Azru ialah pencegahan. Dari makna inilah diambil kata ini (i.e ta’ziir), karena ia mencegah terjadinya kemaksiatan. Menurut syariat berarti pemberian pengajaran atau dosa yang tidak ada ketetapan hukumannya dan tidak ada pula penyebutan kafaratnya, seperti mencumbui wanita selain kemaluannya atau mencuri barang yang tidak disimpan dan dijaga, menuduh selain zina dan berbagai kemaksiatan yang tidak ada ketetapan hukumnya, yang jenisnya amat banyak sekali.” [Taisirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatul Ahkam, 2/379. Daar al-Maiman, Riyadh]

Bentuk hukuman ta’ziir sendiri diserahkan kepada hakim, imam atau penguasa suatu negeri dan merekalah yang menetapkannya sebagaimana penjelasan asy-Syaikh berikut ini;

فينبغي للحاكم ملاحظة الأحوال، والظروف، والملابسات، ليكون على بصيرة من أمره، ولتكون تعزيرا ته وتأديباته واقعة مواقعها، وافية بمقصودها، وهو راجع إ إلى رأي الحاكم، فقد يكون بالتوبيخ، وقد يكون بالهجر، وقد يكون بالجلد، وقد يكون بالحبس، وقد يكون بأخذ المال، وقد يكون بالقتل.

“Hakim atau imam harus mempertimbangkan kondisi, situasi dan berbagai faktor secara cermat tentang masalah yang dihadapi, agar ta’ziir yang ditetapkannya benar-benar efektif dan sesuai dengan sasarannya, karena ta’ziir ini dikembalikan kepada keputusannya. Adapun ta’zir itu bisa berupa teguran, pengucilan, dera, penjara, menahan harta dan bisa juga berupa hukuman mati.” [Taisirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatul Ahkam, 2/381. Daar al-Maiman, Riyadh]

Nah sekarang, bagaimana status hukum dari sang pelaku itu sendiri?. Jujur saja, kami pribadi belum pernah mendengar atau mengetahui ada fatwa ulama ahlus sunnah yang mengafirkan seorang koruptor, padahal kejahatan seperti ini sudah ada sejak zaman dahulu. Mencoba berhusnuzhan, mungkin penulis buku tersebut tidak bermaksud mengkafirkan para koruptor dari sisi aqidahnya –wallaahu a’lam- sebagaimana keterangan Sekjen Khatib ‘Am Nahdlatul Ulama, Malik Madani yang menyatakan bahwa seorang muslim yang melakukan korupsi belum kehilangan imannya atau menjadi kafir. Ia berkata, “Perbuatannya (i.e korupsi) kita kutuk keras, tapi ia tidak menyebabkan (pelakunya) kafir dari segi akidah”. Ia juga berkata, “(Status pelakunya masih) Islam, tapi imannya tidak beres.” Namun di lapangan tidak sedikit manusia yang memahami kata kafir (yang terdapat pada buku tersebut pasca membacanya tentunya, red) sebagai kafir i’tiqadi (yang mengeluarkan pelakunya dari dienul Islam). Berikut adalah salah satu contoh kongkretnya;

Salah seorang penulis resensi mengatakan; “Korupsi menjelma fakta dan realitas kejahatan yang multikompleks dan ironis. Dampak negatifnya, korupsi lebih dari segala bentuk kejahatan yang ada. Buku ini menjelaskan banyak unsur kejahatan kriminal yang menyatu dalam korupsi. Dari aspek kepemimpinan, korupsi dekat dengan suap (risywah). Dari praktek, korupsi dekat dengan pencurian (sariqah). Sementara dari segi penggelapan, ia lebih dekat  kepada ghulul (merampas harta rampasan perang atau baitul mal). Kerusakan yang ditimbulkan lebih luas daripada kerusakan para pelaku kejahatan perampokan (hirabah). (hlm. 127-133). Korupsi juga mengandung unsur merampas harta dengan jalan memaksa (mukabarah atau ghasab), menjambret (intikhab), mencopet atau mengutil (ikhtilas) dan merupakan tindakan mengambil sesuatu secara tidak sah dalam berbagai aspeknya (ahlu suht). (hlm. 29). Segenap unsur kandungan korupsi itulah yang membuat NU dan Muhammadiyah dengan tegas menyatakan para koruptor adalah kafir. Dosa besar korupsi tidak bisa diampuni, sama dengan dosa syirik (menyekutukan Tuhan).[2]

Penulis resensi di atas menyimpulkan bahwa dosa pelaku korupsi itu tak terampuni, sama besarnya dengan dengan dosa syirik. Bukankah ini merupakan takfir terhadap pelaku korupsi?. Judul buku yang menurut kami –CMIIW- tidak pas (karena terlalu umum. Jika diganti dengan fasiq barangkali lebih pas, red) yang bisa menggiring opini masyarakat terhadap pemahaman atau kesimpulan yang salah, yang -bisa jadi- tidak sejalan dengan pemahaman penulisnya (jika memang penulisnya tidak bermaksud mengkafirkan koruptor dari sisi i’tiqad-nya, red). Korupsi adalah perbuatan fasiq kecil yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari dienul Islam. Para ulama ahlul sunnah dari dulu hingga sekarang –faktanya- sepakat bahwa dosa besar selain syirik (fasiq kecil) itu tidak mengeluarkan seseorang dari agama ini. Pelaku tetap dianggap sebagai seorang muslim, hanya saja keimanannya tidak sempurna (akibat perbuatan maksiat/ dosa besar tersebut, red). Berikut kami nukilkan pernyataan para ulama ahlus sunnah sekaligus kritikan terhadap kesimpulan aneh sang penulis resensi –yang tergesa-gesa dalam menghukumi- di atas di antaranya;

al-Imam al-Hafizh Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawaawi asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H) menjelaskan dalam syarh-nya ketika menafsirkan hadits riwayat al-Imam Muslim berikut;

(لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ الْحَدِيثَ) وَفِي رِوَايَةٍ وَلَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ حِينَ يَغُلُّ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَفِي رِوَايَةٍ وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ

“Tidaklah seseorang melakukan perbuatan zina dan pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang mencuri pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman, dan tidaklah seseorang meminum khamr pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman.” Dalam riwayat lain, “Dan tidaklah salah seorang dari kamu berkhianat pada saat berkhianat dia dalam keadaan mukmin.” Dalam riwayat yang lain, “Dan (kesempatan) bertaubat dibentangkan setelah itu.”

Para ulama memperselisihkan makna hadits-hadits ini dan pendapat yang benar menurut para pentahqiq adalah janganlah seseorang melakukan perbuatan maksiat ini sedangkan ia beriman secara sempurna. Redaksi inilah yang dijadikan sandaran dalam peniadaan iman pada seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan peniadaan iman adalah peniadaan tentang kesempurnaannya sebagaimana seseorang yang mengatakan, “Tidak ada ilmu kecuali yang bermanfaat, tidak ada harta kecuali unta, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.”

Kami menafsirkannya seperti (keterangan) di atas karena berdasarkan hadits Abu Dzar –radhiyallaahu ‘anhu- bahwa, “Barang siapa yang mengucapkan Laa ilaha illallaah, maka ia masuk surga meskipun ia berzina dan mencuri.” Selain itu, hadits ‘Ubaidah bin ash-Shamit –radhiyallaahu ‘anhu- menjelaskan bahwa mereka berbai’at kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak bermaksiat dan seterusnya. Kemudian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berkata kepada mereka, “Maka barangsiapa di antara kamu yang memenuhinya maka ia mendapatkan pahala dari Allah, dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari perbuatan tersebut lalu ia dihukum di dunia, maka itu adalah penebusnya, dan barangsiapa yang melakukannya dan dia tidak dihukum maka urusannya kepada Allah, jika Dia menghendaki (untuk mengampuni) maka Dia akan mengampuninya dan jika Dia menghendaki (untuk mengadzab), maka Dia akan mengadzabnya.” Dua hadits shahih ini semakna dengan firman Allah ‘Azza wa Jall;

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لمن يشاء

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik) dan Dia mengampuni dosa yang selain itu (syirik) bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisaa: 48)

Kami juga berpedoman pada ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa pezina, pencuri, pembunuh dan selain mereka yang termasuk dosa besar selain syirik bahwa mereka tidak menjadi kafir karena melakukan perbuatan tersebut, tetapi mereka adalah orang yang tidak sempurna keimanannya. Jika mereka bertaubat, maka akan gugur hukumannya, jika mereka meninggal dalam keadaan terus melakukan dosa besar, maka (mereka) berada dalam kehendak Allah Ta’ala, jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuni mereka dan langsung memasukannya ke dalam surga, dan jika Allah Ta’ala mengendaki, maka Dia akan mengadzab mereka terlebih dahulu (di dalam neraka, red) kemudian memasukannya ke dalam surga.” [Syarh Shahih Muslim, 2/41-42. Daar Ihyaa at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut]

al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad bin Husain bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawiy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 516 H) menjelaskan dalam bab: “Barangsiapa mati dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun”;

قَالَ الإِمَامُ الْحُسَيْنُ بْنُ مَسْعُودٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: اتَّفَقَ أَهْلُ السُّنَّةِ عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَخْرُجُ عَنِ الإِيمَانِ بِارْتِكَابِ شَيْءٍ مِنَ الْكَبَائِرِ إِذَا لَمْ يَعْتَقِدْ إِبَاحَتَهَا، وَإِذَا عَمِلَ شَيْئًا مِنْهَا، فَمَاتَ قَبْلَ التَّوْبَةِ، لَا يُخَلَّدُ فِي النَّارِ، كَمَا جَاءَ بِهِ الْحَدِيثُ، بَلْ هُوَ إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ، وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ بِقَدْرِ ذُنُوبِهِ، ثُمَّ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ، كَمَا وَرَدَ فِي حَدِيثِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فِي الْبَيْعَةِ.

“al-Imam al-Husain bin Mas’ud –raheemahullaahu- berkata: Ahlus sunnah sepakat bahwa orang mukmin tidak akan keluar dari keimanan (baca: kafir) lantaran melakukan dosa besar bila dia tidak meyakini kehalalannya. Jika dia melakukan dosa besar tersebut lalu mati dan belum sempat bertaubat maka dia tidak akan kekal di dalam neraka sebagaimana yang diterangkan dalam hadits. Urusannya diserahkan kepada Allah, Jika Dia berkehendak, Dia bisa mengampuninya, namun jika tidak Dia bisa menghukumnya sesuai kada dosanya itu, kemudian dia akan dimasukkan ke dalam surga berdasarkan rahmat-Nya sebagaimana yang diterangkan oleh hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit tentang bai’at.” [Syarhus Sunnah Lil Baghawi, 1/103. al-Maktab al-Islamiy, Dimasyq]

Keponakan sekaligus murid dari al-Imam Isma’il bin Yahya bin Isma’il al-Muzani asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 264 H), al-Imam Hujjatul Islam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salimah bin ‘Abdul Malik ath-Thahawiy al-Hanafiy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 321 H) berkata;

وأهل الكبائر من أمة محمد صلى الله عليه وعلى آله وسلم في النار لا يخلدون، إذا ماتوا وهم موحدون وإن لم يكونوا تائبين، بعد أن لقوا الله عارفين "مؤمنين" وهم في مشيئته وحكمه، إن شاء غفر لهم وعفا عنهم بفضله، كما ذكر عز وجل في كتابه: (ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء) وإن شاء عذبهم في النار بعدله: ثم يخرجهم منها برحمته وشفاعة الشافعين من أهل طاعته: ثم يبعثهم إلى جنته

Para pelaku dosa-dosa besar dari ummat Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama masuk neraka, akan tetapi mereka tidak kekal (sebagaimana orang kafir, red), apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid. Jika mereka tidak bertaubat setelah (nanti) mereka bertemu Allah sebagai orang-orang yang mengetahui lagi beriman, dimana mereka berada di bawah kehendak (masy’iah) dan ketentuan hukum-Nya, maka jika Allah menghendaki, Dia (bisa) mengampuni mereka dengan karunia-Nya, sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jall sebutkan di dalam kitab-Nya, “Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu (syirik) bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa: 48). Dan jika Dia menghendaki, Dia (bisa) mengadzab mereka di dalam neraka dengan keadilan-Nya, kemudian Allah mengeluarkan mereka darinya (neraka, red) dengan rahmat-Nya dan syafa’at para pemberi syafa’at dari orang-orang yang ta’at kepada-Nya, lalu Allah akan mengirimkan mereka ke surga-Nya.”

asy-Syaikh DR. Shalih bin Fauzaan bin ‘Abdullah al-Fauzaan –hafizhahullaahu Ta’ala- menjelaskan dalam syarh-nya terhadap ucapan al-Imam ath-Thahawiy di atas; “Dosa-dosa besar adalah dosa-dosa selain syirik akan tetapi di atas dosa-dosa kecil. Prinsip dasar suatu dosa dikatakan dosa besar adalah: setiap dosa yang harus ditegakkan hukuman (had) atasnya, atau yang mendapatkan ancaman murka atau laknat Allah, atau neraka, atau Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama antipati terhadap orang-orang yang melakukannya. Inilah dosa besar, seperti misalnya sabda beliau;

غشنا فليس منا. أخرجه مسلم (رقم101)

“Barangsiapa yang menipu kami maka dia bukan dari kami.” (HR. Muslim, no. 101)

Juga sabda beliau;

من حمل علينا السلاح فليس منا أخرجه البخاري (رقم 6874) ومسلم (رقم 98، 100، 101).

“Barangsiapa yang membawa senjata untuk melawan kami, maka dia bukan dari kami.” (HR. al-Bukhari, no. 6874 dan Muslim, no. 98, 100, dan 101)

Semua poin prinsip dasar ini menunjukkan bahwa dosa bersangkutan adalah dosa besar, akan tetapi di bawah dosa syirik. Pelaku dosa-dosa besar tersebut tidak keluar dari iman (baca: kafir), akan tetapi dia tetap seorang mukmin yang kurang imannya, atau bisa juga dinamakan orang fasiq. Inilah pandangan ahlus sunnah wal jama’ah; mereka tidak mengkafirkan (seorang muslim) karena dosa-dosa besar selama dia bukan syirik, akan tetapi mereka juga tidak memberikan kepadanya iman secara mutlak. Mereka memberikannya iman kepadanya yang diberi batasan, sehingga dikatakan; ‘Dia mukmin dengan imannya, akan tetapi fasiq dengan dosa besarnya (i.e yang dilakukannya). Maka tidak dikatakan bahwa orang semacam ini adalah seorang mukmin dengan keimanan sempurna sebagaimana yang dikatakan golongan murji’ah. Tetapi juga tidak dikatakan bahwa dia keluar dari Islam (kafir) sebagaimana yang dikatakan oleh Khawarij dan Mu’tazilah.” [at-Ta’liqaatu al-Mukhtasharatu ‘ala Matni al-‘Aqidah ath-Thahaawiyyah hal. 154-155. Daar al-‘Ashimah Li an-Nashr wa at-Tawzi’, Riyadh]

Al-Imam Muwafaqquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisy ad-Dimasyqi ash-Shaalihi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 629 H) berkata dalam kitab aqidahnya;

ولا نكفر أحدا من أهل القبلة بذنب، ولا نخرجه عن الإسلام بعمل

Kita tidak (boleh) mengkafirkan seseorang pun dari ahli kiblat karena suatu dosa dan kita tidak mengeluarkannya dari Islam karena suatu perbuatan (dosa).” [Lum’atul I’tiqad, hal. 38]

al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin at-Tamimi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1421 H) menjelaskan ucapan al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy di atas di dalam syarh-nya;

أهل القبلة هم المسلمون المصلون إليها لا يكفرون بفعل الكبائر ولا يخرجون من الإسلام بذلك ولا يخلدون في النار

“Ahli kiblat adalah kaum muslimin yang shalat menghadap ke (arah) sana. Mereka tidak boleh dikafirkan karena melakukan dosa-dosa besar dan tidak boleh dikeluarkan dari Islam karena itu, dan tidak dinyatakan kekal di dalam neraka.” [Syarh Lum’atul I’tiqad al-Haadi ila Sabiil ar-Rasyad, hal. 149. Maktabah Adhwaa’ as-Salaf, Riyadh]

al-Hafizh Syaikhul Islam Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin ‘Abdullah bin al-Khidr bin Muhammad bin Taimiyyah an-Numairy al-Harani ad-Dimasyqi al-Hambaliy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 728 H) berkata ketika menjelaskan tentang Iman di dalam kitabnya, yakni;

قَوْلٌ، وَعَمَلٌ. قَوْلُ: الْقَلْبِ، وَاللِّسَانِ. وَعَمَلُ: الْقَلْبِ، وَاللِّسَانِ، وَالْجَوَارِحِ. وَأَنَّ الْإِيمَانَ: يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ، وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ. وَهُمْ مَعَ ذَلِكَ، لَا يُكَفِّرُونَ أَهْلَ الْقِبْلَةِ بِمُطْلَقِ الْمَعَاصِي وَالْكَبَائِرِ، كَمَا تَفْعَلُهُ «الْخَوَارِجُ» ، بَلْ الْأُخُوَّةُ الْإِيمَانِيَّةُ ثَابِتَةٌ مَعَ الْمَعَاصِي. كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي آيَةِ الْقِصَاصِ: {فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوف} [البقرة: 178] .

“Perkataan dan amal perbuatan, perkataan: hati dan lisan, amal perbuatan: hati dan lisan, serta anggota badan. Dan bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Namun demikian, mereka (ahlus sunnah wal jama’ah, red) tidak mengkafirkan ahlul kiblat dengan berbagai kemaksiatan dan dosa besar secara mutlak yang jelas-jelas ia lakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok khawarij; akan tetapi ukhwah imaniyyah tetap ada, sekalipun dengan adanya berbagai kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala di dalam ayat qishash, ‘Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang ma’ruf.’ (QS. al-Baqarah: 178).. dst.” [al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 113. Maktabah Adhwaa’ as-Salaf, Riyadh]

Dan masih banyak lagi ucapan para ulama ahlus sunnah yang lain yang senada dengan ucapan para ulama salaf di atas (meskipun mereka berbeda mahzab fiqh). Jika ada orang yang beropini bahwa orang fasiq (kecil) atau pelaku dosa besar selain syirik itu telah kafir atau keluar dari Islam (sebagaimana yang dikatakan oleh sekte khawarij, red), maka pendapat tersebut bertentangan dengan ijma’ as-salaf ash-shalih. Akhirnya, jangan sampai kebencian kita terhadap seseorang e.g para pelaku dosa besar (semisal koruptor) menimbulkan musibah lain yang justru menimpa diri kita sendiri (i.e fitnah takfir) akibat kejahilan kita terhadap ‘ilmu ad-dien. Tidak ada manusia yang sempurna dan maksum dari dosa kecuali Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, dan adalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.

__________
[1]. Klik sumbernya di sini
[2]. Klik sumbernya di sini
[Baca Selengkapnya...]


Pidato Yang Menggugah Jiwa Dari Sang Pemimpin



Yang pasti pidato ini bukan berasal dari kalam para pemimpin masa kini, bukan pula dari pemimpin kelompok hizbiyyah. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;

فعليكم بسنَّتي وسنَّة الخلفاء الراشدين المهديِّين، عضُّوا عليها بالنَّواجذ

“Maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham..” [HR. Abu Dawud no. 4607, Ahmad 4/126-127, dan at-Tirmidzi no. 2676]

al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) berkata dalam syarh-nya;

والسنَّة هي الطريقة المسلوكة، فيشمل ذلك التمسُّك بما كان عليه هو وخلفاؤه الراشدون منالاعتقادات والأعمال والأقوال، وهذه هي السنَّة الكاملة، ولهذا كان السلف قديماً لا يطلقون اسم السنَّة إلاَّ على ما يشمل ذلك كلَّه

“Sunnah adalah jalan yang dilalui. Sehingga sunnah mencakup apa-apa yang beliau –Shallallaahu ‘alahi wa sallama- jalani dan apa-apa yang dijalani oleh para Khulafa ar-Rasyidin berupa akidah, perbuatan dan ucapan. Inilah sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi salaf dahulu tidak menamakan sunnah kecuali apa saja yang mencakup semuanya (i.e ketiga aspek tersebut).” [Jaami’ul ‘Ulum wa al-Hikam, 2/120. Mu’assasah ar-Risalah, Beirut]

Guru besar ilmu Hadits (Emeritus) Universitas Islam Madinah al-Munawwaroh dan pengajar tetap di Masjid Nabawi KSA, asy-Syaikh al-‘Allamah Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr –hafizhahullaahu Ta’ala- menjelaskan;

وقد حثَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم على التمسُّك بسنَّته وسنَّة خلفائه الراشدين بقوله: "فعليكم"، وهي اسم فعل أمر، ثم أرشد إلى شدَّة التمسُّك بها بقوله: "عضُّوا عليها بالنَّواجذ"، والنواجذ هي الأضراس، وذلك مبالغة في شدَّة التمسُّك بها.

“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama telah memotivasi untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin dengan sabda beliau: ‘Fa’alaykum’ yang berbentuk fi’il ‘amr (kata perintah). Kemudian beliau menuntun untuk berpegang teguh dengan keras dalam sabda beliau, ‘Gigitlah dengan gigi geraham.’ An-Nawaajidz adalah geraham. Ini adalah ungkapan untuk berpegang teguh dengan keras.” [Fathul Qawiy al-Matiin, hal. 98. Daar Ibnu al-Qayyim, Damaam]

Dan beliau radhiyallaahu ‘anhu (yang berpidato pasca ia terpilih sebagai pemimpin umat menggantikan pemimpin sebelumnya yang wafat) ini adalah salah satu di antara para al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas, yang dibersihkan hatinya dari sifat munafik (hati, ucapan dan perbuatannya sama, red), ditazkiyah oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dijamin Surga oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Dan beliau –sebagaimana para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in yang lain- adalah manusia pilihan yang tidak akan ada manusia sepertinya di zaman-zaman setelahnya. al-Hafizh Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah al-Harrani –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 728 H) menjelaskan;

لا كان ولا يكون مثلهم وأنهم هم الصفوة من قرون هذه الأمة التي هي خير الأمم وأكرمها على الله تعالى

“Tiada dan tidak akan ada orang seperti mereka. Dan bahwasanya mereka adalah manusia pilihan daripada/ dibandingkan manusia-manusia dalam abad-abad umat ini yang merupakan umat terbaik dan termulia menurut Allah Ta’ala.” [Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, 2/293. Daar Ibnu al-Jawzee, Riyadh]

Pidato amirul mukminin yang mulia ini kami nukil dari kitab al-Bidayah wan Nihaayah karya al-Hafizh ‘Imaddudin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi –raheemahullaahu Ta’ala-. Sebelum masuk lebih dalam kepada inti artikel, ada baiknya jika kita mendengar pemaparan asy-Syaikh DR. ‘Utsman bin Muhammad al-Khamis –hafizhahullaahu- mengenai “Buku sejarah Islam (terpercaya) apa saja yang sebaiknya kita baca atau kita jadikan referensi/ rujukan, khususnya bagi para pemula seperti kita”, beliau –hafizhahullaahu- berkata;

“Jika anda mampu menganalisis sanad (mata rantai perawi) dan menelitinya, maka bacalah kitab al-Imam ath-Thabari (Tarikh ath-Thabari). Kitab beliau ini adalah pegangan bagi para ulama yang menulis kitab sejarah. Adapun jika anda tidak mampu menganalisis dan meneliti sanad, maka bacalah; 1). Kitab al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Bidayah wan Nihaayah; 2). Kitab al-Hafizh adz-Dzahabi, Taarikhul Islam; 3). Kitab al-‘Allamah al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi, al-‘Awashim minal Qawashim, yakni kitab terbaik di antara kitab-kitab lainnya yang membahas periode sejarah pasca wafatnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama hingga terbunuhnya al-Hushain radhiyallaahu ‘anhu.” [Hiqbah Min at-Tariikh, hal. 25. Maktabah al-Imam al-Bukhariy]

Ok lanjut; al-Imam al-Hafizh ‘Imaduddin Ibnu Katsir ad-Dimasyqi as-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 774 H) mengatakan mengenai shahabat yang mulia ini dalam kitabnya;

هُوَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قُصَيِّ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ إِلْيَاسَ بْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعَدِّ بْنِ عَدْنَانَ، أَبُو عَمْرٍو، وَأَبُو عَبْدِ اللَّهِ، الْقُرَشِيُّ، الْأُمَوِيُّ، أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ، ذُو النُّورَيْنِ، وَصَاحِبُ الْهِجْرَتَيْنِ، وَالْمُصَلِّي إِلَى الْقِبْلَتَيْنِ، وَزَوْجُ الِابْنَتَيْنِ.

“Dia adalah ‘Ustman bin ‘Affan bin Abu al-Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizhar bin Ma’ad bin Adnan, Abu ‘Amr dan Abu ‘Abdillah, al-Qurasyi, al-Umawi, salah seorang Amirul Mukminin yang berjuluk Dzun Nurain (orang yang memiliki dua cahaya karena menikahi dua putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama), Shahibul Hijratain (pernah ikut hijrah ke Habasyah dan Hijrah ke Madinah), mengalami shalat di dua arah kiblat (pertama ke Masjidil Aqsha, kedua ke Masjidil Haram), dan suami dari dua putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.

وَهُوَ أَحَدُ الْعَشْرَةِ الْمَشْهُودِ لَهُمْ بِالْجَنَّةِ، وَأَحَدُ السِّتَّةِ أَصْحَابِ الشُّورَى، وَأَحَدُ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خَلَصَتْ لَهُمُ الْخِلَافَةُ مِنَ السِّتَّةِ، ثُمَّ تَعَيَّنَتْ فِيهِ بِإِجْمَاعِ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ،

‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallaahu ‘anhu- adalah salah seorang shahabat yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, salah satu dari enam anggota tim syura (yang terlibat dalam pemilihan khalifah pasca wafatnya amirul mukminin Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu), satu dari tiga orang yang menjabat sebagai khalifah dari enam kandidat yang ada, selanjutnya secara aklamasi kaum Muhajirin dan Anshar radhiyallaahu ‘anhum memilih beliau.

 فَكَانَ ثَالِثَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ، وَالْأَئِمَّةِ الْمَهْدِيِّينَ، الْمَأْمُورِ بِاتِّبَاعِهِمْ وَالِاقْتِدَاءِ بِهِمْ.

‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallaahu ‘anhu- adalah khalifah ketiga dan pemimpin yang mendapat petunjuk, dimana seluruh umat diperintahkan untuk mengikuti dan meneladani beliau.” [al-Bidayah wan-Nihaayah, 10/347. Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَدْ جَعَلَ الْأَمْرَ بَعْدَهُ شُورَى بَيْنَ سِتَّةِ نَفَرٍ، وَهُمْ: عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ، وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَطَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ، وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ. وَتَحَرَّجَ أَنْ يَجْعَلَهَا إِلَى وَاحِدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ عَلَى التَّعْيِينِ، وَقَالَ: لَا أَتَحَمَّلُ أَمْرَكُمْ حَيًّا وَمَيِّتًا، وَإِنْ يُرِدِ اللَّهُ بِكُمْ خَيْرًا يَجْمَعْكُمْ عَلَى خَيْرِ هَؤُلَاءِ، كَمَا جَمَعَكُمْ عَلَى خَيْرِكُمْ بَعْدَ نَبِيِّكُمْ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Sebelum meninggal, Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu telah memutuskan bahwa persoalan suksesi kepemimpinan sesudahnya diselesaikan melalui jalur musyawarah di antara enam orang, mereka adalah ‘Ustman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu Ta’ala ‘anhum. Dia berusaha menghindari untuk menyerahkan pemerintahan kepada satu orang dari mereka dengan menunjuk nama secara langsung, dia berkata (Tarikh ath-Thabari, 4/228), “Aku tidak bisa menanggung persoalan kalian baik hidup maupun mati, namun jika Allah menghendaki baik pada kalian, pasti Dia akan mempersatukan kalian dengan memilih yang terbaik di antara mereka, seperti Allah mempersatukan kalian dengan memilih yang terbaik di antara kalian sepeninggal Nabi kalian Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.” [Silahkan lihat al-Bidayah wan-Nihaayah, 10/208. Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

Dan akhirnya Allah Subhaanahu wa Ta’ala menghendaki shahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallaahu ‘anhu-, Dzun Nurain sebagai khalifah yang terbimbing, meneruskan estafet kepemimpinan amirul mukminin sebelumnya, Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu. Setelah beliau terpilih secara aklamasi dan dibaiat oleh seluruh shahabat yang mulia dari kalangan Muhajirin dan Anshar, beliau berpidato yang isinya sangat menggetarkan jiwa. Tidak ada ajakan untuk ta’ashub kepada hizbiyyah. Yang ada hanyalah ajakan untuk mengisi sisa hidup dengan amal shalih, bersungguh-sungguh dalam kebaikan dan tidak lalai terhadap tipu daya dunia yang menggiurkan mata dan hati, serta mendahulukan kehidupan akhirat atas dunia yang fana. Saif bin ‘Umar telah meriwayatkan dari Badr bin ‘Utsman, dari pamannya, dia menuturkan; Tatkala anggota musyawarah telah menyatakan janji setia (baiat) kepada ‘Utsman, dia keluar dan dia tampak orang yang sangat bersedih di antara mereka, lalu dia menyampaikan pidatonya di hadapan sejumlah kaum muslimin; dia pertama-tama memuji Allah dan mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Dia berkata;

إِنَّكُمْ فِي دَارِ قَلْعَةٍ، وَفِي بَقِيَّةِ أَعْمَارٍ، فَبَادِرُوا آجَالَكُمْ بِخَيْرِ مَا تَقْدِرُونَ عَلَيْهِ، فَلَقَدْ أُتِيتُمْ؛ صُبِّحْتُمْ أَوْ مُسِّيتُمْ، أَلَا وَإِنَّ الدُّنْيَا طُوِيَتْ عَلَى الْغُرُورِ

“Sesungguhnya kalian berada di dunia tempat yang akan tercerabut (berubah dan ditinggal pergi) dan sedang menjalani sisa-sisa hidup kalian, maka segeralah kalian sambut akhir masa hidup kalian dengan kebaikan yang mampu kalian lakukan, sungguh kalian diberikan karunia hidup, sepanjang pagi dan sore. Ingatlah sesungguhnya kehidupan dunia itu diapit dengan tipu daya syaithan.

{فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ} [لقمان: 33]

“Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaithan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (QS. Luqman: 33)

وَاعْتَبِرُوا بِمَنْ مَضَى ثُمَّ جِدُّوا وَلَا تَغْفُلُوا؛ أَيْنَ أَبْنَاءُ الدُّنْيَا وَإِخْوَانُهَا الَّذِينَ أَثَارُوهَا وَعَمَرُوهَا وَمُتِّعُوا بِهَا طَوِيلًا؛ أَلَمْ تَلْفِظْهُمْ! ارْمُوا بِالدُّنْيَا حَيْثُ رَمَى اللَّهُ بِهَا، وَاطْلُبُوا الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ ضَرَبَ لَهَا مَثَلًا، وَالَّذِي هُوَ خَيْرٌ، فَقَالَ تَعَالَى

Ambillah pelajaran melalui orang-orang yang terdahulu, kemudian bersungguh-sungguhlah kalian dan jangan kalian lalai; dimanakah orang yang menyanjung-nyanjung kehidupan dunia dan kawan-kawannya, yang lebih memilih mendahulukan kesenangan dunia, meramaikannya, dan dibalut dengan kesenangan dunia yang sangat lama, bukankah dia telah mengatakan kepadanya: Buanglah dunia sekiranya Allah memerintahkan membuangnya, dan carilah kehidupan akhirat, karena sesungguhnya Allah telah membuat perumpamaan mengenai kehidupan dunia, dan sesuatu yang terbaik, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;

{وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا} [سُورَةُ الْكَهْفِ: 45، 46]

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 45-46)

قَالَ: وَأَقْبَلَ النَّاسُ يُبَايِعُونَهُ. قُلْتُ: وَهَذِهِ الْخُطْبَةُ إِمَّا بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ يَوْمَئِذٍ، أَوْ قَبْلَ الزَّوَالِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ جَالِسٌ فِي رَأْسِ الْمِنْبَرِ، وَهُوَ الْأَشْبَهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Pamannya Badr bin ‘Utsman berkata: Dan orang-orang pun berdatangan hendak menyatakan janji setia kepadanya. Menurutku (i.e al-Hafizh Ibnu Katsir), pidato ini ada kemungkinan disampaikan sesudah shalat ‘Ashr pada hari itu juga, atau sebelum matahari tergelincir, sedangkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf duduk di ujung mimbar, keterangan ini lebih mendekati kebenaran. Wallaahu a’lam.” [Silahkan lihat al-Bidayah wan-Nihaayah, 10/215-216. Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

Inilah pidato pertama (nan singkat namun padat) yang disampaikan oleh amirul mukminin di hadapan kaum muslimin pasca beliau terpilih menggantikan khalifah terbimbing sebelumnya yang telah wafat, i.e berisi nasihat agar kaum muslimin berhati-hati dari tipu daya dunia (insyaAllah jika ada waktu luang akan kami kutipkan pidato-pidato beliau radhiyallaahu ‘anhu yang lain, red). Jadi teringat hadist shahih berikut;

فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُلْهِيَكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ. أخرجه البخاري

“Demi Allah!, bukanlah kefakiran (kemiskinan) yang aku takutkan atas kalian, akan tetapi yang aku takutkan adalah jika dunia dibentangkan (lebar-lebar) atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian, lalu kalian (saling) berlomba-lomba padanya sebagaimana orang-orang sebelum kalian (saling) berlomba-lomba dan (akhirnya dunia) menghancurkan kalian sebagaimana ia telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Al-Bukhariy no. 3158)

Dan sepertinya -wallaahu a’lam- nasihat amirul mukminin pada pidatonya diatas, i.e “Ambillah pelajaran melalui orang-orang yang terdahulu.” ada kaitannya dengan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhariy tersebut, i.e orang-orang sebelum kalian. Yakni bahwa ketika dunia (harta, kekuasaan dll) terbuka lebar di depan mata, dan ada kesempatan besar untuk meraihnya, maka orang-orang akan saling berlomba-lomba memperebutkannya dengan berbagai cara (halal haram menjadi samar, red), hingga mereka lalai, menganggap biasa dan lumrah sesuatu yang tak biasa seperti bermewah-mewahan, pemborosan, mengambil harta dengan cara bathil dll, hingga akhirnya mereka berpecah belah, saling mendengki satu sama lain, saling menjatuhkan satu sama lain, sunnah-sunnah ditinggalkan, tidak berdiri dengan sungguh-sungguh di atas al-Kitab wa sunnah yang para generasi terbaik ummat ini (para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) berdiri diatasnya, akan tetapi di atas kepentingan dan keta’ashuban terhadap kelompoknya masing-masing (hizbiyyah). Kalau pun nasihat para Khulafa ar-Rasyidin dan para salaf ash-Shalih itu diambil, umumnya hanya sebagian saja yang hanya mencocoki kepentingan kelompoknya, memuaskan dahaga ambisinya atau hanya sekedar menjadikannya slogan-slogan belaka tanpa benar-benar diamalkan. Dahulu, dunia telah menghancurkan dan membinasakan orang-orang sebelum kita yang begitu tamak (terhadapnya), dan kini kita diminta untuk waspada dan tidak lalai, agar peristiwa serupa tidak terulang kembali di zaman ini. Mudah-mudahan Allah Azza wa Jall memberikan kita semua petunjuk kepada jalan yang lurus dan meneguhkan hati para pemimpin kita di atas kebaikan dan kebenaran. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.
[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula