Mencoba Bijak Menyikapi Pajak



Sudah mafhum bahwa pembebanan pajak terhadap kaum muslimin oleh Pemerintah merupakan salah satu bentuk kedzaliman. Banyak sekali para ulama yang sudah menjelaskan dan mengupas permasalahan ini (silahkan di searching, red) berdasarkan kacamata Al-Qur’an wa Sunnah An-Nabawiyyah. Mereka juga sudah meluruskan syubhat yang dihembuskan oleh beberapa pihak yang menyebutkan bahwa “Pajak sama dengan Zakat”. Disini saya tidak akan menukilkan pendapat para ulama yang menjelaskan detail hukum Pajak itu sendiri, namun hanya akan menghadirkan sebuah nasihat dari seorang ulama yang faqih lagi shalih, Asy-Syaikh Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin At-Tamimi رحمه الله mengenai bagaimana seharusnya kita menyikapi penguasa yang membebani kaum muslimin dengan Pajak. Berikut nasihat beliau رحمه الله. Semoga bermanfaat..

وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :

"كل شيء يؤخذ بلا حق فهو من الضرائب ، وهو محرم ، ولا يحل للإنسان أن يأخذ مال أخيه بغير حق ، كما قال النبي عليه الصلاة والسلام: (إذا بعت من أخيك ثمراً فأصابته جائحة ، فلا يحل لك أن تأخذ منه شيئاً ، بم تأكل مال أخيك بغير حق ؟)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله mengatakan, “Segala harta yang diambil tanpa alasan yang bisa dibenarkan adalah bagian dari pajak yang hukumnya haram. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengambil harta saudaranya sesama muslim tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Sebagaimana sabda Nabi ‘Alaihi shallaatu wa sallam tentang jual beli dengan sistem ijon, “Jika anda menjual buah-buahan dengan sistem ijon dengan saudaramu lalu buah-buahan tersebut terkena penyakit sehingga gagal panen maka anda tidak boleh mengambil uang yang telah diserahkan sedikit pun. Dengan alasan apa anda memakan harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan?”.

ولكن على المسلم السمع والطاعة ، وأن يسمع لولاة الأمور ويطيع ولاة الأمور ، وإذا طلبوا مالاً على هذه الأشياء سلمه لهم ، ثم إن كان له حق فسيجده أمامه [يعني يوم القيامة] ، وإن لم يكن له حق بأن كان الذي أخذ منه على وجه العدل فليس له حق ،

Namun seorang muslim berkewajiban untuk mendengar dan mematuhi aturan pemerintah. Jika pemerintah meminta sejumlah uang (baca:pajak) atas benda-benda ini maka seorang muslim akan membayarkannya. Jika uang tersebut adalah hak rakyat maka rakyat akan mendapati gantinya pada hari Kiamat. Jika rakyat tidak memiliki hak atas harta tersebut karena pajak telah ditetapkan secara adil maka rakyat tersebut tentu tidak memiliki hak (baca: ganti pahala pada hari Kiamat) atas harta tadi.

والمهم أن الواجب علينا السمع والطاعة من ولاة الأمور ، قال النبي عليه الصلاة والسلام : (اسمع وأطع وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك) ولا يجوز أن نتخذ من مثل هذه الأمور وسيلة إلى القدح في ولاة الأمور وسبهم في المجالس وما أشبه ذلك ، ولنصبر ، وما لا ندركه من الدنيا ندركه في الآخرة" انتهى .

"لقاء الباب المفتوح" (65/12) .

Ringkasnya menjadi kewajiban kita untuk mendengar dan patuh dengan aturan pemerintah. Nabi ‘Alaihi shallaatu wa sallam bersabda, “Dengarkan dan patuhilah aturan penguasa, meski penguasa tersebut memukuli punggungmu dan merampas hartamu”[1]. Tidak boleh menjadikan permasalah pajak atau masalah lain yang semisal sebagai sarana untuk mencela pemerintah dan mencaci maki pemerintah di berbagai forum dan semisalnya. Hendaknya kita bersabar. Harta dunia yang tidak kita dapatkan di dunia pasti akan kita dapatkan pada hari Kiamat nanti.” (Liqa’ al Bab al Maftuh 12/65)

Sumber Nukilan: http://ustadzaris.com/

__________________________________

[1]. Hadits lengkapnya adalah sebagai berikut:

Al-Imaam Muslim rahimahullah berkata :

وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ التَّمِيمِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ. ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ، أَخْبَرَنَا يَحْيَي وَهُوَ ابْنُ حَسَّانَ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ سَلَّامٍ، عَنْ أَبِي سَلَّامٍ، قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ: " قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: كَيْفَ؟، قَالَ: يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ "

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sahl bin ‘Askariy At-Tamiimiy : Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Hassaan. Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Ad-Daarimiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Hassaan : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah bin Sallaam : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Sallaam, dari Abu Sallaam, ia berkata : Telah berkata Hudzaifah bin Al-Yamaan : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan, lalu kami berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Bagaimana itu ?”. Beliau bersabda : “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [Shahih Muslim no. 1847 (52)]

Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata :

أَخْبَرَنَا الصُّوفِيُّ بِبَغْدَادَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُدْرِكُ بْنُ سَعْدٍ الْفَزَارِيُّ أَبُو سَعِيدٍ، عَنْ حَيَّانَ أَبِي النَّضْرِ، سَمِعَ جُنَادَةَ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ، سَمِعَ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَا عُبَادَةَ ". قُلْتُ: لَبَّيْكَ، قَالَ: " اسْمَعْ وَأَطِعْ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ، وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ، وَإِِنْ أَكَلُوا مَالَكَ وَضَرَبُوا ظَهْرَكَ، إِِلا أَنْ تَكُونَ مَعْصِيَةً لِلَّهِ بَوَاحًا "

Telah mengkhabarkan kepada kami Ash-Shuufiy di Baghdaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Khaarijah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mudrik bin Sa’d Al-Fazaariy Abu Sa’d, dari Hayyaan Abun-Nadlr, ia mendengar Junaadah bin Abi Umayyah, ia mendengar ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai ‘Ubaadah”. Aku (‘Ubaadah) berkata : “Aku penuhi panggilanmu”. Beliau bersabda : “Mendengar dan taatlah dalam keadaan engkau susah, mudah, dan terpaksa. Meskipun ia berlaku sewenang-wenang terhadapmu. Dan meskipun mereka memakan/mengambil hartamu dan memukul punggungmu. (Tetap harus mendengar dan taat), kecuali jika nampak kemaksiatan kepada Allah yang nyata” [Shahih Ibni Hibbaan 10/428-429 no. 4566].

[Baca Selengkapnya...]


Menghormati Orang Tua Bagian Dari Akhlaq ( أخلاق‎) Mulia



Menghormati orang yang tua bukan hanya budaya, namun bagian dari akhlak mulia dan terpuji yang diserukan oleh Islam. Hal ini dilakukan dengan cara memuliakannya dan memperhatikan hak-haknya. Terlebih, bila disamping tua umurnya, juga lemah fisik, mental, dan status sosialnya. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak mengenal hak orang tua kami maka bukan termasuk golongan kami.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab, lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 271)

Hadits ini merupakan ancaman bagi orang yang menyia-nyiakan dan meremehkan hak orang yang sudah tua, di mana orang tersebut tidak di atas petunjuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan tidak menepati jalannya. Menghormati mereka juga termasuk mengagungkan Allah Azza wa Jall sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama:

إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرَ الْغَالِي فِيْهِ وَالْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ

“Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati seorang muslim yang beruban (sudah tua), pembawa Al-Qur’an yang tidak berlebih-lebihan padanya (dengan melampaui batas) dan tidak menjauh (dari mengamalkan) Al-Qur’an tersebut, serta memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tarhib no. 92)

Orang tua tentunya telah melewati berbagai macam tahapan hidup di dunia ini sehingga setumpuk pengalaman dimilikinya. Orang yang telah mencapai kondisi ini biasanya memikirkan matang-matang sesuatu yang hendak ia lakukan. Terlebih lagi, disamping banyak pengalamannya, juga mendalam ilmu dan ibadahnya. Ini berbeda dengan kebanyakan anak muda yang umumnya masih minim ilmunya, dangkal pengalamannya, dan sering memperturutkan hawa nafsunya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Barakah itu bersama orang-orang tua dari kalian.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 2884)

Mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari fitnah Khawarij (kelompok sesat) di masa sahabat Ali radhiyallaahu ‘anhu. Semangat mereka dalam mengamalkan agama tidak diimbangi dengan mengikuti pemahaman para sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Para Khawarij yang umumnya dari kalangan muda terkadang berdalilkan dengan dalil-dalil syariat, sesuatu yang sebenarnya bukan dalil bagi mereka. Para sahabat yang mengetahui sebab turunnya ayat dan sebab periwayatan hadits tentunya lebih tahu maksudnya dari mereka. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menjelaskan di antara ciri-ciri Khawarij yang akan muncul adalah:

سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آَخِرِ الزَّمَانِ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ

“Akan muncul di akhir zaman suatu kaum yang muda umurnya (para pemuda) yang bodoh akalnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6930)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullaahu menerangkan: “Diambil faedah dari hadits ini bahwa kekokohan dan kuatnya pandangan hati adalah ketika seorang telah sempurna umurnya, banyak pengalamannya, dan kuat pemahamannya.” (Fathul Bari 12/287)

Termasuk tanda-tanda orang yang telah menginjak usia lanjut adalah uban yang menghiasi kepalanya, kekuatan fisik yang mengendur, pandangan dan penglihatan yang mulai berkurang ketajamannya. Seorang muslim yang telah mencapai kondisi seperti ini tentunya telah melewati masa-masa yang panjang dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Berbagai manis dan getirnya kehidupan telah dilakoninya. Dia pun merasa ajal telah dekat sehingga pendekatan diri kepada Allah Tabaaraka wa Ta’ala semakin bertambah. Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya adalah sebaik-baik orang, sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama:

خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Sebaik-baik orang ialah yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR. At-Tirmidzi dan dia menghasankannya)

Orang yang beruban rambutnya karena menjalankan ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dia memiliki keutamaan. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa beruban dengan suatu uban di dalam Islam maka uban itu akan menjadi cahaya baginya di hari kiamat.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’ no. 6307)

Maksudnya, uban tersebut akan menjadi cahaya, sehingga pemiliknya menjadikannya sebagai penunjuk jalan. Cahaya itu akan berjalan di hadapannya di kegelapan padang mahsyar, sampai Allah Ta’ala memasukkannya ke dalam jannah (surga). Uban, meski bukan rekayasa hamba, namun bila muncul karena suatu sebab, seperti jihad atau takut kepada Allah Ta’ala, maka ditempatkan pada usaha (amalan) hamba. Oleh karena itu, dimakruhkan mencabut uban yang ada di jenggot atau semisalnya. (Faidhul Qadir karya Al-Munawi, 6/202)

Demikianlah keutamaan orang tua yang tidak/jarang dimiliki/terdapat pada orang-orang muda..Wallaahu a’lam.


Sumber: www.asysyariah.com

[Baca Selengkapnya...]


Vacancy @PT. Weatherford Indonesia



As one of the largest global providers, Weatherford helps build innovative mechanical solutions, technology applications, and services for all phases of oil and gas developments. Weatherford operates in over 100 countries and employs more than 40,000 people worldwide.

We are seeking to find highly qualified candidates for the following position:

IT SUPPORT (JAKARTA BASE)

Requirements:

* Diploma/Bachelor Degree

* Minimum 2 years previous IT Network / Communications experience supporting large numbers of users.

* Proficient in standard applications software (Ms Office, Outlook, Anti-Virus software, IE, etc)

* Must be able to identify and use the right information and/or systems and/or technology, and be able to identify and implement improvements as appropriate.

* Strong working knowledge and experience in installation and troubleshooting common computer hardware and software problems

* Ability to communicate with people at all levels

* Ability to work to tight deadlines

* Ability to work unsupervised

* Flexible and adaptable to a changing environment

* Excellent written and verbal English and Bahasa communication skills


We offer career growth in an exciting, challenging and rewarding professional environment both in the position advertised and beyond.

To apply, please send your application and CV with IT Support as subject before 15th May 2011 to Jakarta.Recruitment@ap.weatherford.com

Source: lowonganmigas@yahoogroups.com

[Baca Selengkapnya...]


Kemasyhuran Bagaikan Lantai Yang Licin



Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang berjalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan Abdullah bin Rowtsah”. (Al-Mustadrok 3/357 no. 5382).

Berkata Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh –hafizhahullaahu-, “Untaian kalimat ini adalah madrasah (pelajaran), dan hal ini tidak diragukan lagi karena tersohornya seseorang mungkin terjadi jika orang tersebut memiliki kelebihan diantara manusia, bahkan bisa jadi orang-orang mengagungkannya, bisa jadi orang-orang memujinya, bisa jadi mereka mengikutinya berjalan di belakangnya. Seseorang jika semakin bertambah ma’rifatnya kepada Allah maka ia akan sadar dan mengetahui bahwa dosa-dosanya banyak, dan banyak, dan sangat banyak. Oleh karena tidaklah suatu hal yang mengherankan jika Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Abu Bakar –padahal ia adalah orang yang terbaik dari umat ini dari para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang selalu membenarkan (apa yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam-pen), yang Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentangnya, “Jika ditimbang iman Abu Bakar dibanding dengan iman umat maka akan lebih berat iman Abu Bakar”, namun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkannya untuk berdo’a di akhir sholatnya-, “Robku, sesungguhnya aku telah banyak mendzolimi diriku dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali engkau maka ampunilah aku dengan pengampunanMu”. Yang mewasiatkan adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan yang diwasiatkan adalah Abu Bakar As-Shiddiq. Semakin bertambah ma’rifat seorang hamba kepada Rabbnya maka semakin takut ia kepada Allah, takut kalau ada yang mengikutinya dari belakang, khawatir ia diagungkan diantara manusia, khawatir diangkat-angkat diantara manusia, karena ia mengetahui hak-hak Allah sehingga dia mengetahui bahwa ia tidak akan mungkin menunaikan hak Allah, ia selalu kurang dalam bersyukur kepada Allah, dan ini merupakan salah satu bentuk dosa.

Diantara manusia ada yang merupakan qori’ Al-Qur’an dan tersohor karena keindahan suaranya, keindahan bacaannya, maka orang-orangpun berkumpul di sekitarnya. Diantara manusia ada yang alim, tersohor dengan ilmunya, dengan fatwa-fatwanya, dengan keshalihannya, kewaro’annya, maka orang-orangpun berkumpul di sekelilingnya. Diantara mereka ada yang menjadi da’i yang terkenal dengan pengorbanannya dan perjuangannya dalam berdakwah maka orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya karena Allah telah memberi petunjuk kepada mereka dengan perantaranya. Demikian juga ada yang terkenal dengan sikapnya yang selalu menunaikan amanah, ada yang tersohor dengan sikapnya yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan demikianlah… Posisi terkenalnya seseorang merupakan posisi yang sangat mudah menggelincirkan seseorang, oleh karena itu Ibnu Mas’ud mewasiatkan kepada dirinya sendiri dengan menjelaskan keadaan dirinya (yang penuh dengan dosa), dan menjelaskan apa yang wajib bagi setiap orang yang memiliki pengikut…

Hendaknya setiap orang yang tersohor (dengan kebaikan) atau termasuk orang yang terpandang untuk selalu merendahkan dirinya (tawadhu’) diantara manusia dan menampakkan hal itu, bukan malah untuk menaikkan derajatnya di hadapan manusia namun agar semakin terangkat derajatnya di hadapan Allah, dan ini semua kembali kepada keikhlasan, karena diantara manusia ada yang merendahkan dirinya di hadapan manusia namun agar tersohor dan ini adalah termasuk (tipuan) syaitan. Dan diantara manusia ada yang merendahkan dirinya di hadapan manusia dan Allah mengetahui hatinya bahwasanya ia benar dengan sikapnya itu, ia takut pertemuan dengan Allah, ia takut hari di mana dibalas apa-apa yang terdapat dalam dada-dada, hari di mana nampak apa yang ada disimpan di hati-hati, tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah dan mereka tidak bisa menyembunyikan pembicaraan mereka di hadapan Allah.

Ini adalah pelajaran yang berharga bagi setiap yang dipanuti dan yang mengikuti. Adapun pengikut maka hendaknya ia tahu bahwa orang yang diikutinya itu tidak boleh diagungkan, namun hanyalah diambil faedah darinya berupa syari’at Allah atau faedah yang diambil oleh masyarakat, karena yang diagungkan hanyalah Allah kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun manusia yang lain maka jika mereka baik maka bagi mereka rasa cinta pada diri kita. Dan hendaknya orang yang tersohor untuk selalu takut, rendah, dan mengingat dosa-dosanya, mengingat bahwa ia akan berdiri di hadapan Allah, ingat bahwasanya ia bukanlah orang yang berhak diikuti oleh dua orang di belakangnya.

Oleh karena itu tatkala Abu Bakar dipuji di hadapan manusia maka ia berkutbah setelah itu dan riwayat ini shahih sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad dan yang lainnya ia berkata: “Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka persangkakan dan ampunkanlah apa-apa yang mereka tidak ketahui”, ia mengucapkan doa ini dengan keras untuk mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa sehingga mereka tidak berlebih-lebihan kepadanya. Apakah hal ini sebagaimana yang kita lihat pada kenyataan dimana orang yang diagungkan semakin menjadi-jadi agar dirinya semakin diagungkan??, (apakah) orang yang mengagungkan juga semakin mengagungkan orang yang diikutinya?? Ini bukanlah jalan para sahabat radhiallahu ‘anhum, Umar terkadang ujub dengan dirinya -dan dia adalah seorang khalifah, orang kedua yang dikabarkan masuk surga setelah Abu Bakar-, maka ia pun memikul suatu barang di tengah pasar untuk merendahkan dirinya hingga ia tidak merasa dirinya besar.

Diantara kesalahan-kesalahan adalah sifat ‘ujub (takjub dengan diri sendiri, besar kepala, sombong), yaitu seseorang memandang dirinya hebat. Ada diantara salafus shalih yang jika hendak menyampaikan suatu (mau’idzoh) dan jika ia melihat orang-orang berkumpul maka iapun meninggalkan majelis tersebut, kenapa?, karena keselamatan jiwanya lebih utama dibandingkan keselamatan jiwa orang lain, karena ia melihat ramainya orang yang telah berkumpul dan ia menyadari bahwa dirinya mulai merasakan bahwa dirinya senang karena kehadiran mereka [1], yang diam (takjub karena) memperhatikannya, maka iapun mengobati dirinya dengan meninggalkan mereka maka merekapun membicarakannya akibat hal tersebut, Namun yang paling penting adalah keselamatan jiwa dan hatinya dihadapan Allah. Dan keselamatan hatinya lebih utama dibandingkan keselamatan hati orang lain…”. [Dari ceramah Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh yang berjudul Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud, diterjemahkan oleh Abdul Muhsin Firanda, Lc].

Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15). Mudah-mudahan kita dijauhkan oleh Allah Ta’ala dari sifat riya’, ‘ujub dan sifat buruk lainnya….


Sumber: https://ibnuabbaskendari.wordpress.com (dengan sedikit editan dan tambahan)

______________

Footnote:

[1]. Persis seperti yang diceritakan oleh seorang da’i (terkenal) mengenai dirinya sendiri tatkala ditanya mengapa ia tidak lagi bersedia mengisi kajian di televisi. Ia mengatakan bahwa kemasyhuran telah menggelincirkan hatinya, ada rasa ‘ujub tatkala berbicara di depan orang banyak, ada keinginan untuk dipuji dan diagungkan. Wallahu a’lam…

[Baca Selengkapnya...]


Keteladanan Rasulullah Dalam Kesederhanaan Hidup



Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling zuhud di dunia ini dan paling cinta dengan kehidupan akhirat. Allah Ta’ala pernah memberikan pilihan padanya antara menjadi ‘seorang raja dan nabi’ atau ‘seorang hamba Allah dan utusan Allah’, maka beliau pun memilih untuk menjadi ‘seorang hamba Allah dan utusan Allah’.

Allah Ta’ala juga pernah memberinya pilihan antara hidup di dunia ini dengan hidup sesukanya atau memilih yang ada di sisi Allah, beliau pun memilih apa yang berada di sisi-Nya.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku pernah masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pada saat beliau berada di atas tempat tidurnya berselimutkan sebuah kain tenunan yang sempit, dan di bawah kepalanya terdapat bantal dari kulit yang berisi serabut. Kemudian sekelompok orang datang menemui beliau, dan Umar juga masuk menemuinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun membalikkan badannya, sehingga Umar tidak melihat kain yang berada di antara sisi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan kain selimut. Dan kain selimut tersebut telah membuat bekas di pinggang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Umar pun menangis. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:

((مَا يُبْكِيكَ يَا عُمَرُ؟)) قَالَ: وَاللهِ إِلاَّ أَنْ أَكُوْنَ أَعْلَمُ أَنَّكَ أَكْرَمُ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ كِسْرَى وَقَيْصَرَ، وَهُمَا يَعْبَثَانِ فِي الدُّنْيَا فِيْمَا يَعْبَثَانِ فِيْهِ، وَأَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ بِالْمَكَانِ الَّذِي أَرَى! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟)) قَالَ عُمَرُ: بَلَى، قَالَ: ((فَإِنَّهُ كَذَلِكَ))

“Apa yang telah membuatmu menangis, wahai Umar?” Umar menjawab: “Demi Allah, tidak ada wahai Rasulullah, hanya saja aku mengetahui bahwa engkau adalah orang yang paling mulia di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dari Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Keduanya selalu bermain-main di dunia ini, sedangkan engkau wahai Rasulullah, berada di tempat yang aku lihat (seperti ini).” Nabi pun berkata: “Apakah engkau tidak rela, kalau dunia ini bagi mereka dan akhirat bagi kita?” Umar menjawab: “Tentu saja, (wahai Rasulullah).” Beliau berkata: “Sesungguhnya itu memang demikian.”[1]

Inilah untaian mutiara akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka jadikanlah akhlak tersebut sebagai lentera penerangan yang dengannya kalian akan meneladaninya dan mengambil petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan berjalanlah di atas manhajnya, sehingga kalian akan mendapat petunjuk. Karena Allah telah mentabiatkan beliau pada akhlak yang mulia dan Dia menyuruh kita untuk meneladaninya. Allah Ta’ala berfirman:

{فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتََدُون}

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (Al-A’raf: 158)

Semoga Allah memberikan kami dan kalian semua kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Dan semoga Dia memberi kita taufik untuk mengikuti sunnah dan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sampai kematian menjemput kita semua. Dan semoga keselamatan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullaahu- dalam Makarimul Akhlaq

(www. bimbinganislami.wordpress.com)

_________________________

[1] HR. Ahmad 3/139, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 6362.

[Baca Selengkapnya...]


Trik Menghapus Duplicates Record Menggunakan VBA



Hari pertama masuk kantor (di “tempat yang baru”) terasa asing juga. Ibarat seekor ikan yang habis dimutasi dari aquarium lama ke aquarium yang baru, saya pun membutuhkan waktu untuk beradaptasi (baca: menyesuaikan diri) dengan lingkungan kerja yang baru. Jadilah agenda hari ini hanya sekedar bersih-bersih meja, merakit kembali personal computer, menata rapi dokumen-dokumen kerja, membuka email (outlook) kantor, dan berinteraksi dengan rekan-rekan kerja. Belum sampai 10 menit duduk di kursi merah, hand phone tua saya berdering. Saya cek di display, ternyata Pak Boss. Ada dua hal yang beliau tanyakan hari ini, pertama mengenai ada tidaknya revisi terhadap konten report weekly VP Area yang dibuat Jum’at minggu lalu, yang kedua mengenai aktif tidaknya jaringan LAN eksisting di kantor yang baru. Lalu apa hubungannya dengan pertanyaan terakhir mas bro?, ternyata beliau meminta tolong kepada saya untuk mengisikan form cuti pribadi di account HRiS-nya. Minggu lalu beliau memang pernah rasan-rasan kepingin cuti. Ketika ditanya mengapa, beliau hanya menjawab, “Lelah, jenuh, boring. Pingin istirahat”. Dan ternyata Ambon manise menjadi destinasi cuti beliau berikutnya. Ya sudah, selamat berlibur saja kalau begitu Pak,…

Kebetulan LAN kantor masih belum normal. Di depan meja saya masih terlihat beberapa orang engineer outsource yang sedang melakukan konfigurasi router, PABX dan teman-temannya. Yo wes, daripada berdiam diri, mendingan saya otak-atik VBA saja. Kemaren saya dikomplen sama temen kantor pusat, katanya data LAC-CI Jabar banyak yang double (redundan). Gak tanggung-tanggung, ribuan jumlahnya. Karena keterbatasan waktu, akhirnya saya pakai cara yang paling sederhana saja i.e menggunakan Pivot Table. Sebenarnya ada alternatif lain, i.e menggunakan tools “Remove Duplicates”, atau menggunakan Visual Basic Application (VBA). Namun cara yang terakhir ini belum sempat saya eksplor. Untuk itu pada pembahasan kali ini saya ingin menshare sebuah trik mengenai bagaimana cara menghapus duplicated record (rows) menggunakan VBA. Mohon koreksinya kalau salah menjelaskan ya (CMIIW). Here we are,….



Worksheet di atas merupakan (salah satu) contoh data redundant. Bagaimana menghapusnya? Berikut langkah-langkahnya:

[1]. Buka MS Excel anda. Kebetulan saya pakai versi 2007.

[2]. Buka Visual Basic Editor (VBE) dengan menekan tombol “Alt” dan “F11” bersama-sama pada keyboard.

[3]. Klik menu Insert > Module. Kemudian copy-kan syntax berikut pada module.

Public Sub DeleteDuplicateRows()

‘Variable declaration

‘Variable mutlak dideklarasikan agar variable-variable tersebut bisa dibaca dan dirunning (dijalankan oleh system)

Dim R As Long

Dim N As Long

Dim V As Variant

Dim Rng As Range

‘Set error handling

‘Tujuannya adalah untuk mendeteksi error yang terjadi dan selanjutnya memberikan penanganan error sesuai dengan kemauan kita. That’s why I state “EndMacro” after “GoTo”. Artinya jika error benar-benar terjadi, maka system (seharusnya) akan menjalankan syntax EndMacro dibawah –CMIIW-.

On Error GoTo EndMacro

‘Turn off screen updating

‘Setiap program dijalankan, screen MS Excel akan terupdate (begitu kata MVP VBA Excel dalam forumnya, red). Nah untuk mempercepat akselerasi program, maka ScreenUpdating (sebaiknya) di set “False”. Tapi sebenarnya syntax dibawah ini tidaklah terlalu berpengaruh pada hasil program. Kalaupun di delete, tidak akan merubah hasil akhir..Sok lah dicoba…

Application.ScreenUpdating = False

Application.Calculation = xlCalculationManual

‘Set the range variable according to whatever the user has selected.

‘Syntax dibawah ini cukup penting dalam menentukan record-record redundan mana yang akan dihapus. Sebelum system mendeteksi dan menyeleksi record-record yang double secara otomatis di database, kita harus menentukan terlebih dahulu range mana yang akan kita treatment. Kalau kita memblock sebuah kolom yang berisi record secara penuh (kolom “A:A” misalnya, red), maka syntax berikut akan secara otomatis menentukan sendiri range/array data yang system butuhkan. Intersect (pada dasarnya) merupakan irisan antara kolom (columns) dan baris (rows). Formulasinya adalah sebagai berikut: expression.Intersect(Arg1, Arg2, ...). Untuk mempermudah pemahaman, berikut ilustrasi sederhananya; Himpunan A terdiri dari {1,2,3,4,5}, himpunan B terdiri dari {2,3,4,6,7}, maka irisan A dan B adalah {2,3,4}. Itulah intersect..

Set Rng = Application.Intersect(ActiveSheet.UsedRange, _ ActiveSheet.Columns(ActiveCell.Column))

‘Begin the process of removing duplicates

‘Sebagaimana judulnya, syntax berikut bertugas memilah data-data yang redundan/double kemudian menghapusnya. Termasuk record yang teridentifikasi “NullString” atau kosong.

‘Syntax menghapus record kosong

‘System akan melooping data sejumlah “Rng.Rows.Count” record secara mundur hingga record ke satu. Jika data terbaca “VBNullString” dan lebih dari satu, maka entire row akan dihapus, demikian seterusnya hingga selesai..

N = 0

For R = Rng.Rows.Count To 1 Step -1

V = Rng.Cells(R, 1).Value

If V = vbNullString Then

If Application.WorksheetFunction.CountIf(Rng.Columns(1), vbNullString) > 1 Then

Rng.Rows(R).EntireRow.Delete

N = N + 1

End If

Else

‘Syntax menghapus record redundan

‘System akan melooping data sejumlah “Rng.Rows.Count” record secara mundur hingga record ke satu. Jika data pada row terdeteksi dan (jumlah dalam satu range-nya) lebih dari satu (redundan), maka entire row akan dihapus, demikian seterusnya hingga selesai..

If Application.WorksheetFunction.CountIf(Rng.Columns(1), V) > 1 Then

Rng.Rows(R).EntireRow.Delete

N = N + 1

End If

End If

Next R

'*************'

‘ERROR HANDLER’

'*************'

‘Message Box berikut akan muncul jika error terdeteksi atau proses penghapusan data selesai... “CStr” pada CStr(N) berfungsi mengubah sebuah variant data menjadi String... “N” yang terdisplay pada MsgBox sendiri disesuaikan dengan jumlah data/record yang dihapus...

EndMacro:

Application.StatusBar = False

Application.ScreenUpdating = True

Application.Calculation = xlCalculationAutomatic

MsgBox "Duplicate Rows Deleted: " & CStr(N)

End Sub

[4]. Block kolom yang berisi data redundan dan jalankan program diatas dengan menekan tombol “run” (yang terletak dibawah menu Debug).

Nah itu saja kawan yang bisa saya bagi hari ini,..mudah-mudahan bermanfaat yo,..amieen…

[Baca Selengkapnya...]


Belajar Dari Figur Ulama Rabbani



Beliau adalah Al-Mufaqqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin ‘Utsaimin al-Wahib At-Tamimi –semoga Allah Subhanaahu wa Ta’ala merahmatinya- (wafat: 15 Syawal 1421 H) dilahirkan di kota Unaizah, pada tanggal 27 Ramadhan 1347 H, dalam lingkungan keluarga yang dikenal akan ilmu dan ke-istiqamahannya. Kakek beliau dari pihak ibu bernama Asy-Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman al-Damigh. Kepadanyalah beliau belajar, menghafalkan al-Qur-an, dan sebelum menginjak usia 15 tahun beliau telah hafal kitab tentang ushul al-fiqh yaitu “Zaad al-Mustaqniq” dan kitab tentang ilmu nahwu/bahasa i.e “Alfiyah ibn Malik”.

Belajar Dari Kesederhanaan Dan Ketawadhu’an Beliau –Rahimahulaahu-

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin termasuk ulama yang bersikap zuhud di dunia, beliau habiskan sebagian besar kehidupannya dalam rumahnya yang terbuat dari tanah. Beliau diberi hadiah dua rumah, namun beliau lebih mengutamakan keduanya untuk asrama murid-muridnya. Beliau tidak pernah meminta upah dari hasil karya-karya beliau yang dicetak atau (dari) kaset rekaman ceramah (beliau), karena beliau berpandangan bahwa hal tersebut merupakan (salah satu) sebab yang (dapat) menghambat (penyebaran) ilmu.

Pernah suatu waktu, Samahatu Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullaahu- (mufti KSA dan Rektor Universitas Islam Madinah sebelum Samahatu Syaikh bin Bazz) menawarkan bahkan meminta berulang kali kepada Asy-Syaikh al-‘Utsaimin untuk menduduki jabatan Qadhi (hakim), bahkan telah mengeluarkan surat pengangkatan sebagai ketua pengadilan agama di Al Ihsa, namun beliau menolak secara halus. Setelah dilakukan pendekatan pribadi, Asy-Syaikh Muhammad Bin Ibrahim pun mengabulkan permintaan beliau agar menarik dirinya dari jabatan tersebut[1]. Beliau berpaling dari gemerlapnya dunia, dalam seminggu beliau mengenakan satu (jenis) pakaian. Beliau berjalan kaki jika pergi ke masjid dan menolak ajakan salah seorang muridnya untuk pergi ke masjid dengan mobil, dan sepanjang perjalanannya ke masjid tiada henti-hentinya masyarakat baik yang tua maupan yang muda bertanya untuk meminta fatwa tentang permasalahan agama, hingga murid-murid sekolah dasar yang terletak di jalan menuju masjid berkeliling di sekitar beliau mengucapkan salam, dan beliau tidak menolak jabat tangan mereka. Dan jika berkenalan, beliau menyebut namanya langsung tanpa menambahkan embel-embel gelar (dibelakang nama) beliau.

Suatu ketika, beliau shalat di Masjidil Haram, setelah itu beliau ingin pergi ke suatu tempat, lalu beliau menyetop mobil taxi. Di dalam mobil terjadilah dialog antara beliau dengan sopirnya, seorang Arab dalam masalah agama. Lalu bertanyalah sopir itu : “Siapa nama anda ya Syaikh?” beliau menjawab: “Muhammad bin ‘Utsaimin”. Mendengar hal ini, sopir itu terkejut tidak percaya dan memastikan lagi: “Anda Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin?” lalu beliau membalas : “Ya, Syaikh ‘Utsaimin”. Lalu sopir taxi itu menggelengkan kepalanya sambil meragukan ucapan beliau, dan menganggap ucapan beliau sebagai sikap terlalu berani mengaku sebagai Syaikh al-‘Utsaimin. Lalu Syaikh bertanya kepadanya: “Kalau anda, siapa nama anda?”, sopir itu menjawab: “Asy-Syaikh Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Bazz (i.e Mufti KSA dan Rektor Universitas Islam Madinah pada zamannya, red)”. (ia menjawab sekenanya, lantaran tidak percaya dengan jawaban Syaikh al-‘Utsaimin). Syaikh al-‘Utsaimin pun tertawa, lalu bertanya lagi : “Kamu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Bazz?” sopir itu membalas: “Ya, sebagaimana anda (mengaku sebagai) Syaikh al-‘Utsaimin”. Demikianlah keadaan Syaikh, jika beliau diantara para ulama, beliau adalah seorang ulama terkemuka yang tidak dapat diingkari (kefaqihannya) oleh seorangpun, dan jika (beliau) diantara masyarakat biasa beliau (hidup) seperti mereka.

Asy-Syaikh Khalid bin ‘Ali al-Mushlih hafidzahullaah pernah bertutur, “Diantara bukti yang menunjukkan kezuhudan Syaikh –rahimahullaahu- adalah beliau berkata kepada salah seorang yang datang berkunjung kepada beliau di Unaizah untuk yang terakhir kalinya. Dia berbincang-bincang dengan Syaikh berbagai hal –dia telah menceritakan ini pada saya dan dia tsiqah- kemudian dia bercerita, ‘Tatkala Syaikh Utsaimin sakit yang menyebabkan wafatnya, beliau berkata, “Demi Allah tidaklah dadaku terasa sempit atas hilangnya dunia- yaitu tidaklah aku merasa sedih apabila kehilangan sesuatu di dunia ini- akan tetapi yang aku khawatirkan adalah apabila aku bertemu dengan Allah ta’ala sedang aku tidak punya amalan kebaikan sama sekali.” Syaikh Khalid melanjutkan, “Syaikh –rahimahullaahu- telah menghabiskan umurnya, bekerja keras dengan jasmaninya dan mendermakan waktunya hanya untuk melayani umat. Sementara itu, beliau –rahimahullaahu- mengatakan, “Akan tetapi yang aku khawatirkan adalah apabila aku bertemu dengan Allah ta’ala sedang aku tidak punya amalan kebaikan sama sekali.” Lantas apa yang dapat kita katakan tentang diri kita? Kita berdoa kepada Allah semoga senantiasa memberi kita ampunanNya. Semoga Allah mengampuni dan merahmati Syaikh, menempatkan amalan beliau ditimbangan kebaikan, mengangkat derajat beliau keatas golongan orang-orang yang mendapat petunjuk dan orang-orang shalih, mempertemukan beliau dengan para Nabi, shiddiqin dan syuhada’ serta orang-orang shalih. Sesunggunya Allahlah penolong itu semua dan Dia Maha Kuasa untuk melakukannya.”

[1]. Itulah salah satu sikap wara’ dari Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullaahu. Padahal bukanlah aib bagi beliau seandainya saja (beliau) bersedia menerima tawaran tersebut (Coba bandingkan dengan orang-orang di zaman ini yang begitu semangat, bahkan rakus meminta jabatan dan meminta orang lain memilihnya demi kedudukan yang tinggi, red). Perhatikan ucapan beliau rahimahullaahu tatkala mensyarh hadits;

Abu Musa radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah. Maka salah seorang dari keduanya berkata: ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)

Syaikh berkata: “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut, dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” [Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470]

Sumber: (Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 27, hal. 45-50)

Artikel: www.majalahislami.com

[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula