Mengapa Harus Mencintai Para Shahabat Nabi?



“Mencintai para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in merupakan sunnah”, demikianlah kesimpulan yang bisa kami ambil dari penjelasan al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 620 H) dalam kitab aqidah beliau, Lum’atul I’tiqad. Hal senada juga dijelaskan oleh pendahulu beliau yang shalih, salah satu imam dari empat imam mahzab terkemuka yang beliau ikuti, al-Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 241 H) pada awal kitab aqidah beliau Ushool as-Sunnah;

قال الإمام أحمد - رضي الله عنه -: أصول السنة عندنا: التمسك بما كان عليه أصحاب الرسول - صلى الله عليه وسلم -

Berkata al-Imam Ahmad –semoga Allah meridhainya-; “Pondasi ahlus sunnah menurut kami adalah: berpegang teguh pada jalan shahabat ar-Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.” (Ushool as-Sunnah, al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 2)

Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- juga mengatakan;

ومن انتقص أحدا من أصحاب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - أو أبغضه بحدث كان منه أو ذكر مساوئه كان مبتدعا حتى يترحم عليهم جميعا، ويكون قلبه لهم سليما

“Barangsiapa yang mencela salah seorang shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama atau membencinya karena suatu kesalahan darinya, atau menyebutkan kejelekan-kejelekannya, maka dia adalah seorang ahli bid’ah, hingga dia menyayangi mereka semua dan hatinya bersih dari (sikap membenci, mencela atau mengkafirkan, red) mereka.” (Ushool as-Sunnah, al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 6)

Lantas mengapa kita harus mencintai mereka?. Jika pertanyaan ini kita ajukan kepada kaum zindiq Syiah Rafidhah al-Majusi, maka jangan pernah berharap kita akan mendapatkan jawaban yang memuaskan. Mengapa?. Perhatikan riwayat Syiah berikut;

عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ ( صلى الله عليه وآله ) إِلَّا ثَلَاثَةً فَقُلْتُ وَ مَنِ الثَّلَاثَةُ فَقَالَ الْمِقْدَادُ بْنُ الْأَسْوَدِ وَ أَبُو ذَرٍّ الْغِفَارِيُّ وَ سَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ رَحْمَةُ اللَّهِ وَ بَرَكَاتُهُ عَلَيْهِمْ

Dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam, ia berkata: “Orang-orang (yaitu para shahabat) menjadi murtad sepeninggal Nabi (shallallaahu ‘alaihi wa aalihi) kecuali tiga orang”. Aku (perawi) berkata: “Siapakah tiga orang tersebut ?”. Abu Ja’far menjawab: “al-Miqdaad Ibnu al-Aswad, Abu Dzarr al-Ghiffaariy, dan Salmaan al-Faarisiy rahimahullaahi wa barakaatuhu ‘alaihim…” (al-Kaafiy, 8/245; al-Majlisiy berkata: “Hasan atau muwatstsaq”)

Kalau mayoritas para shahabat radhiyallaahu ‘anhum saja sudah dianggap murtad (kafir) oleh kaum zindiq sedemikian rupa, lantas bagaimana mungkin kita mengharapkan jawaban yang objektif dari mereka. Sama halnya dengan kita bertanya apa itu Islam kepada Yahudi!. Berangkat dari penjelasan al-Imam Ahmad bin Hanbal –raheemahullaahu Ta’ala- di atas (mengenai status yang disandang oleh pencela para shahabat), maka pertanyaan tersebut hanya layak diajukan kepada para ulama rabbani kaum muslimin yang benar-benar takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Salah seorang ulama genius dari negeri Pakistan, pemilik 7 gelar master akademik yang sangat fasih berbicara dalam 4 bahasa (Arab, Urdu, Persia dan Inggris) semasa hidupnya, salah satu lulusan terbaik dari Jami’ah Islamiyyah Madinah (i.e Universitas Islam Madinah) di masanya (tahun 1967) dengan predikat Summa Cumlaude, al-‘Allamah asy-Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhaheer –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1407 H) menjelaskan pribadi para shahabat radhiyallaahu ‘anhum dalam kitabnya;

ثم ربّى أصحابه وتلامذته في ظلهما وضوئهما تربية نموذجية لكي يكونوا قدوة لمن يأتي بعدهم إلى يوم القيامة , ومثلا عليا لمن أراد أن يهتدي بهدي الله جل وعلا وهدى رسوله صلى الله عليه وسلم . فكانوا صورة حية لتعاليم الرب تبارك وتعالى وإرشادات رسوله صلى الله عليه وسلم متبعين مقتدين , غير مبتدعين محدثين , متقدمين بين يدي الله ورسوله , مبتغين مرضات الله , ومقتفين آثار رسول الله صلى الله عليه وسلم مهتدين بهديه , سالكين بمسلكه , منتهجين منهجه , غير باغين ولا عادين , ولا مفرطين ولا مفرّطين في أمور دينهم ودنياهم :

“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama mentarbiyah (membina) para shahabat di bawah naungan al-Qur’an dan as-Sunnah serta keduanya dengan tarbiyah yang ideal, agar mereka menjadi panutan bagi orang-orang sepeninggal mereka hingga hari Kiamat dan menjadi contoh tertinggi bagi orang yang ingin berpetunjuk dengan petunjuk Allah dan RasulNya. Mereka benar-benar menjadi gambar hidup ajaran-ajaran Allah Ta’ala dan petunjuk-petunjuk Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, diikuti, diteladani, tidak membuat bid’ah, mendahulukan Allah dan RasulNya, mencari keridhaan Allah Ta’ala, menelusuri jejak-jekak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, berpetunjuk dengan petunjuk beliau, menempuh jalan beliau, bermanhaj dengan manhaj beliau, tidak berlebih-lebihan (ghuluw), dan tidak lalai dalam urusan agama dan dunia mereka. Allah Ta’ala berfirman;

{ أولئك الذين هدى الله فبهداهم اقتده }

“Merekalah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (al-An’am: 90)

وكان خيار هؤلاء كلهم - وكلهم خيار الخلق أجمعين – أصحاب بيعة الرضوان الذين بايعوا رسول الله صلى الله عليه وسلم  على الموت وهم في الحديبية , فأنزل الله لهم البشرى برضوانه وجعل يده فوق أيديهم :

Orang-orang terbaik dari mereka –semua manusia terbaik- adalah para shahabat pelaku Baiat ar-Ridhwan yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama untuk mati ketika mereka berada di al-Hudaibiyah kemudian Allah menurunkan kabar gembira untuk mereka bahwa Dia meridhai mereka dan meletakkan tanganNya di atas mereka. Allah Ta’ala berfirman;

{ لقد رضي الله عن المؤمنين إذ يبايعونك تحت الشجرة }

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” (al-Fath: 18)

Allah Ta’ala berfirman;

و { إن الذين يبايعونك إنما يبايعون الله يد الله فوق أيديهم }

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (al-Fath: 10)

وفاقهم في المنزلة والشأن أهل بدر , الذين اطلع الله عليهم فقال : ( اعملوا ما شئتم فقد وجبت لكم الجنة )

Para shahabat yang lebih tinggi kedudukannya dari pelaku Baiat ar-Ridhwan ialah para shahabat peserta Perang Badar, yang dilihat Allah kemudian berfirman, “Kerjakan apa saja yang kalian inginkan, karena Aku telah mewajibkan surga bagi kalian.” (متفق عليه)

وزاد على هؤلاء فضلا ومنقبة ومكانة من رفعهم الله بتبشيره إياهم بالجنة واحدا واحدا بالاسم والمسمى على لسان نبيهم الناطق بالوحي , الذي لا ينطق عن الهوى إن هو ألا وحي يوحى , الصادق المصدوق صلوات الله وسلامه عليه , العشرة المبشرة

Para shahabat yang lebih tinggi kedudukannya dari shahabat peserta Perang Badar ialah para shahabat yang diberi kabar gembira oleh Allah akan masuk surga yang nama mereka satu demi satu disebutkan Nabi -Shallallaahu ‘alaihi wa sallama- yang berbicara dengan wahyu dan tidak berbicara dengan hawa nafsu karena apa yang beliau bicarakan adalah wahyu yang diwahyukan, beliau adalah orang yang benar lagi dipercaya, semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada beliau. Mereka adalah sepuluh shahabat. Allah Ta’ala berfirman;

{ لهم البشرى في الحياة الدنيا وفي الآخرة لا تبديل لكلمات الله , وذلك هو الفوز العظيم }

“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (Yunus: 64)

ولو أنه زادهم رفعة وعظمة من قال في حقهما سيدنا علي بن أبي طالب رضي الله عنه : ( خير الخلائق بعد نبي الله أبو بكر ثم عمر )

Shahabat yang lebih tinggi lagi kedudukannya ialah shahabat yang di katakan Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu, “Manusia terbaik  sesudah Nabi Allah adalah Abu Bakar –as-Shiddiq- dan Umar -bin Khaththab-.” (رواه البخاري)

فمن أراد أن يرى الإسلام المتجسد في شخصهم , وذواتهم , وخلقهم , وعاداتهم , وأقوالهم , وأفعالهم , فلينظر إلى هؤلاء , فإنهم كانوا ممثلي الإسلام الصحيح , الكامل , غير المشوب بشوائب البدع والمحدثات , والخرافات والضلالاات  التي لحقت الإسلام بعد أدوار وأطوار , فإنهم كانوا تلامذة المدرسة الإسلامية الأولى التي كان أستاذها والمعلم فيها سيد ولد آدم , المحفوظ بحفظ الله , والمعصوم بعصمة الله , والمؤيد بوحي الله , والهادي إلى الصراط المستقيم صلى الله عليه وسلم   .
ولأجل ذلك حصر الله رضاه والدخول في الجنة لمتبعيهم بإحسان لكل من يأتي بعدهم

Jadi barangsiapa ingin melihat Islam menjelma ke dalam kepribadian, jati diri, akhlak, kebiasaan, perkataan dan perbuatan mereka, hendaklah ia melihat para shahabat tersebut, karena merekalah penjelmaan Islam yang benar, sempurna, tidak tercampur bid’ah, bersih dari khurafat dan kesesatan-kesesatan yang terjadi pada Islam setelah beberapa periode. Juga karena mereka adalah murid-murid sekolah Islam pertama yang guru dan pengajarnya adalah manusia terbaik, yang dijaga Allah dengan penjagaanNya, maksum dengan perlindunganNya, didukung wahyu Allah, dan penunjuk ke jalan yang lurus, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala membatasi keridhaanNya dan masuk surga kepada orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sesudah mereka. Allah Ta’ala berfirman;

{ والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه }

“Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (at-Taubah: 100)

فهم أولياء الله الذين لا خوف عليهم ولا هم يحزنون لأنهم هم الذين حبب إليهم الإيمان وكرَه إليهم الكفر والفسوق والعصيان وأولئك هم الراشدون وهم القدوة الحسنة والمحك والمعيار لمعرفة الحق من الباطل , والهدى من الزيغ والضلال فكل عمل يخالف عملهم وكل قول يعارض قولهم , وكل طريق في الحياة يناهض طريقهم مردود مرفوض مطرود , لأنهم شاهدوا من رسول الله ما لم يشاهده غيرهم , وسمعوا من نبي الله ما لم يسمعه الآخرون , ورباهم من لم يرب هؤلاء , وتتلمذوا على من لم يتتلمذ عليه أولئك , فهم أشبه الناس في أقوالهم وأفعالهم , وأخلاقهم وعاداتهم , وعباداتهم ومعاملاتهم , ومعاشرتهم ومعاشهم برسول الله صلوات الله وسلامه عليه من غيرهم , فلذلك أُمر المؤمنون باتباعهم , وإلى ذلك أشار نبي الرحمة  صلى الله عليه وسلم في قوله

Para shahabat adalah wali-wali Allah Ta’ala yang tidak takut dan sedih, karena mereka dibuat cinta kepada keimanan dan benci kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Mereka orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Mereka panutan yang baik, standar untuk membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, petunjuk dari penyimpangan dan kesesatan. Jadi, seluruh perbuatan dan perkataan yang bertentangan dengan perbuatan dan perkataan para shahabat, serta jalan hidup yang berseberangan dengan jalan hidup mereka adalah tertolak, karena mereka melihat dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama apa yang tidak dilihat oleh selain mereka, mendengar dari beliau apa yang tidak didengar oleh selain mereka, ditarbiyah oleh orang yang tidak mentarbiyah selain mereka, dan belajar kepada guru yang orang-orang selain mereka tidak belajar kepadanya. Para shahabat adalah orang-orang yang seluruh perkataan, perbuatan, akhlak, kebiasaan, ibadah, muamalah, dan hidup mereka, paling mirip dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama daripada selain mereka. Oleh karena itu, kaum mukminin diperintahkan mengikuti mereka dan itulah yang diisyaratkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama di sabda beliau;

( ما أنا عليه وأصحابي )

“Yang aku dan shahabat-shahabatku berada di atasnya.”

حيث جعلهم معه على طريقة واحدة ومنهج واحد , ولم يُدخل في هذا الاختصاص أحد غيرهم ولم يخصهم بهذه المزية والفضيلة إلا بأمر من الله وإيعازه حيث أنزل عليه في محكم كتابه أن يقول :

Di hadits tersebut Rasulullah -Shallallaahu ‘alaihi wa sallama- menempatkan para shahabat bersama beliau di jalan yang sama, tidak memasukkan sorang pun selain mereka ke dalam kekhususan ini, dan tidak mengkhususkan mereka dengan keistimewaan tersebut, kecuali dengan perintah Allah, karena Allah menurunkan firman-Nya di kitabNya, agar beliau bersabda;

{ قل هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرة أنا ومن اتبعني }

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)

ولم يرد من قوله ( ومن اتبعني ) آنذاك إلا صحابه ورفاقه , تلامذته الراشدين و أوفيائه  الصادقين , الهادين المهديين رضي الله عنهم أجمعين

Yang dimaksud dengan perkataan, “orang-orang yang mengikutiku.” Pada ayat di atas ketika itu adalah para shahabat, murid-murid beliau yang mendapatkan petunjuk, orang-orang pilihan beliau yang jujur, orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk, semoga Allah meridhai mereka semua.” (at-Tashawuf al-Mansya wal Mashadir, hal. 8-10)

Mereka adalah manusia-manusia terbaik, murid-murid Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallama yang mendapatkan petunjuk, orang-orang pilihan beliau yang jujur, orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk, panutan yang baik yang menjadi standar dalam membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, petunjuk dari penyimpangan dan kesesatan. Mereka adalah penjelmaan Islam yang benar, sempurna, tidak tercampur bid’ah, bersih dari khurafat dan kesesatan-kesesatan yang terjadi pada Islam setelah beberapa periode. Mereka adalah orang-orang yang seluruh perkataan, perbuatan, akhlak, kebiasaan, ibadah, muamalah, dan hidup mereka, paling mirip dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama daripada selain mereka dan beliau pun mencintai mereka. That’s why we have to love them all –radhiyallaahu ‘anhum ajma’een- as well.


Wallaahu Ta’ala a’lamu.
[Baca Selengkapnya...]


Mencintai Shahabat Nabi Adalah Sunnah



Mungkin sebagian besar dari kita belum mengetahui kalau di belahan dunia  yang luas ini ada sebuah kelompok ekstreem yang menisbatkan dirinya kepada dienul Islam namun begitu membenci para shahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang mulia, bahkan mengkafirkan sebagian besar dari mereka radhiyallaahu ‘anhum. Siapakah mereka?, Mereka adalah Syiah Rafidhah atau Syiah Imamiyah atau Syiah Itsna Asyariah. Bahkan para imam besar kaum muslimin seperti al-Imam Malik bin Anas, al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad bin Hambal, al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukharee –semoga Allah Ta’ala merahmati mereka semua- menyatakan (baik secara tersirat maupun tersurat, red.) bahwa mereka bukanlah bagian dari kaum muslimin. Mungkin orang Syiah Rafidhah akan menyangkal, “Kami tidak pernah mengkafirkan para shahabat.” Tapi ucapan para imam-imam besar mereka, kitab-kitab hadits mereka, kitab tafsir mereka atau kitab aqidah mereka mengatakan demikian. Kelompok ini juga terkenal dengan kegemarannya berdusta atau bersikap munafik, khususnya di depan kaum muslimin. Mereka menamakannya dengan “taqiyah” (silahkan anda lihat contohnya pada LINK berikut). Tahukan anda kalau hukum taqiyah adalah wajib bagi penganut agama Syiah Rafidhah?. Jika anda tidak percaya, berikut kami nukilkan ucapan seorang ahlul hadits besar mutaqaddimin Rafidhah, Ibnu Babawaih al-Qummi (w. 381 H) yang mereka gelari dengan “Syaikh ash-Shooduq”. Dia berkata;

( اعتقادنا في التقية أنها واجبة , لا يجوز رفعها إلى أن يقوم القائم , ومن تركها قبل خروجه فقد خرج عن دين الإمامية , وخالف الله ورسوله والأئمة )

“Keyakinan kami tentang taqiyah ialah bahwa taqiyah itu wajib dan tidak boleh dihapus hingga datangnya al-Qaim (semacam al-Mahdi versi rafidhah). Barangsiapa meninggalkannya sebelum kedatangan al-Qaim, sungguh ia keluar dari agama Imamiyah, bertentangan dengan Allah, Rasul-Nya dan para imam.” (al-I’tiqadaat, Ibnu Babawaih al-Qummi, hal. 44. Dinukil dari at-Tashawuf al-Mansya wal-Mashadir hal. 179, asy-Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir –semoga Allah Ta’ala merahmatinya dan memberinya pahala syahid. Semasa hidup, kepala beliau –raheemahullaahu- dihargai USD 200.000 oleh Ayatussyaithan Khomaini ar-Rafidhi. Dan beliau wafat tanggal 1 Sya’ban 1407 H akibat ledakan Bom di pertemuan ilmiah ulama ahlul hadits di Jum’iyyah Ahl al-Hadits di Lahore, Pakistan pada saat beliau berceramah. Jasad beliau dimakamkan di pekuburan Baqi’, kota Nabi, Madinah al-Munawwarah, -wallaahu a’lam-)

Jadi kalau ada penganut sekte Syiah Rafidhah yang mengingkari wajibnya hukum taqiyah, maka secara tidak langsung ia sudah dianggap murtad dari agama Syiahnya (berdasarkan keterangan pendahulu-pendahulunya). Kesimpulannya, berdusta atau bersikap munafik itu hukumnya wajib di sisi agama Syiah Rafidhah. Wah, ngeri bener ya. Bagaimanakah kiranya jika aqidah seorang muslim dibangun diatas pondasi kedustaan seperti ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 728 H) (Imam ahlus sunnah yang sangat dibenci oleh sekte Syiah Rafidhah) berkata;


( النفاق والزندقة في الرافضة أكثر منه في سائر الطوائف , بل لا بد لكل منهم من شعبة نفاق , فإن أساس النفاق الذي بني عليه الكذب , وأن يقول الرجل بلسانه ما ليس في قلبه كما أخبر الله تعالى عن المنافقين : أنهم يقولون بألسنتهم ما ليس في قلوبهم . والرافضة تجعل هذا من أصول دينها وتسميه التقية , وتحكي هذا عن أئمة أهل البيت الذين برأهم الله عن ذلك حتى يحكوا ذلك عن جعفر الصادق أنه قال :  التقية ديني ودين آبائي , وقد نزّه الله المؤمنين من أهل البيت وغيرهم عن ذلك , بل كانوا من أعظم الناس صدقا وتحقيقا للإيمان , وكان دينهم التقوى , لا التقية )


“Kemunafikan dan kekafiran (zindiq) lebih banyak di temui di ar-Rafidhah daripada aliran-aliran lain, karena setiap orang dari mereka wajib mempunyai kemunafikan, sebab kemunafikan adalah prinsip bangunan kebohongan mereka dan setiap orang dari mereka harus mengatakan dengan lidahnya apa yang tidak ada di hatinya. Ini persis seperti (apa yang) difirmankan Allah Ta’ala tentang orang-orang munafik;

“Sesungguhnya mereka berkata dengan lidah-lidah mereka apa yang tidak ada di hati mereka”. (QS. Ali Imran: 167)

Sekte ar-Rafidhah menjadikan prinsip ini sebagai salah satu prinsip agamanya dan menamakannya taqiyah. Ini diriwayatkan oleh imam-imam ahlul bait, padahal Allah membebaskan mereka (i. para imam ahlul bait, red) darinya (i.e kemunafikan, red). Bahkan mereka meriwayatkannya dari Ja’far ash-Shadiq yang katanya berkata, “Taqiyah agamaku dan agama bapak-bapakku.” Padahal, Allah membersihkan kaum mukminin dari kalangan ahlul bait dan selain ahlul bait darinya. Justru, ahlul bait adalah orang yang paling jujur, merealisir iman, dan agama mereka adalah takwa, bukan taqiyah.” (Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, I/159, diterbitkan di Pakistan. Dinukil dari at-Tashawuf al-Mansya wal-Mashadir hal. 178, asy-Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir)

Demikian pembelaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –raheemahullaahu Ta’ala- terhadap ahlul bait Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dari kedustaan Syiah, mensucikan mereka dari penisbatan palsu dengan mengatakan; “ahlul bait adalah orang yang paling jujur, merealisir iman, dan agama mereka adalah takwa, bukan taqiyah”. Tapi anehnya, sekte Syiah Rafidhah ini malah menuduh balik Syaikhul Islam sebagai nashibi (pembenci ahlul bait). Lebih aneh lagi, sikap ini ditaqlidi oleh para pengekor hawa nafsu dari kalangan Sufi ekstreem yang tak kalah semangatnya menuduh beliau sebagai seorang nashibi, -wallaahu a’lam-.

Sering pula kita mendapati pernyataan sebagai berikut; “Ga usahlah saling mengkritik, ga usah pula saling memojokkan (Syiah). Mereka masih saudara kita, masih kaum muslimin juga. Lagi pula tidak ada satu pun ulama/kyai di Indonesia yang mengatakan mereka sesat menyesatkan. Apakah kita lebih ‘alim dari mereka?. Pikirkan hal-hal lain yang lebih besar, mari kita fokus terhadap agresivitas orang-orang kafir di luar sana, mereka adalah musuh kita bersama.”

Tidak atau belum adanya statement pengingkaran dari para ulama atau kyai di Indonesia bukanlah hujjah atau dasar bagi kita (meskipun sebenarnya sudah ada, red) untuk memberikan kelonggaran atau toleransi kepada sekte Syiah Rafidhah untuk menghujat, mencela dan mengkafirkan para shahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama radhiyallaahu ‘anhum. Takfir terhadap mereka berimplikasi terhadap diragukannya orisinalitas Kitabullah wa sunnatu ar-Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang kita pegang dan yakini serta syariat Islam secara keseluruhan yang kita anut, sebab dari merekalah kita mengetahui al-Islam. Tidakkah kita cemburu ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dituduh oleh kaum zindiq telah bersahabat dengan orang-orang kafir?. Kritikan tersebut dirasa perlu sebagai bentuk pembelaan terhadap kedudukan dan kehormatan para shahabat dan kaum muslimin, dan agar akidah yang kita imani selama ini tetap terjaga kemurniannya dari virus dan doktrin menyesatkan kaum Syiah Rafidhah. Apakah kita lebih ‘alim dari ulama di Indonesia?, pastinya tidak. Sebaliknya, apakah mereka lebih ‘alim dari para imamul muhaddistin semisal al-Imam Malik bin Anas, al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad bin Hambal, al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukharee dll –raheemahumullaahu Ta’ala- yang lebih dahulu menyatakan Rafidhah sesat dan bukan bagian dari Islam?. Jawabannya pasti juga tidak. Bagi mereka yang tidak memahami hakikat ahlus sunnah dan syiah atau yang memahami keduanya namun hanya sebatas kulitnya saja, atau yang mempunyai kepentingan politik dibalik kelunakannya, atau yang berambisi dan tamak terhadap kekuasaan meskipun sebenarnya mengetahui tentangnya, mungkin menganggap bahwa permasalahan sunni dan syiah hanyalah masalah furu’, tapi bagi mereka yang bersemangat dan tidak malas mengkaji agama ini dengan baik, yang memahami syariat ini dengan hati yang jernih tentu akan melihat bahwa permasalahan sunni dan syiah itu tidak sekedar masalah furu’ saja, tapi lebih jauh ke masalah ushul, dimana perbedaannya bagaikan langit dan bumi dan tidak mungkin bisa disatukan. Apakah Syiah Rafidhah berbahaya?, Bagi kaum muslimin di Palestina (mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan kesabaran, pertolongan, kekuatan dan pahala yang melimpah kepada mereka dan semoga Allah menghancurkan kaum Yahudi yang terlaknat), Yahudi adalah makhluq terkejam dan paling berbahaya yang hidup di muka bumi, tapi bagi kaum muslimin ahlus sunnah di negara majusi Iran, Syiah Rafidhah adalah makhluq terkejam dan paling berbahaya bagi mereka di muka bumi. Sudah tak terhitung lagi banyaknya ulama ahlus sunnah yang terbunuh dan diteror oleh mereka (silahkan anda dengarkan kesaksian salah seorang ulama sunni yang hidup di Iran kemudian hijrah dari negara Majusi tersebut pada LINK berikut, red.). Puluhan Sinagog Yahudi berdiri tegak tanpa gangguan di Teheran, tapi tahukah anda, tak ada satu pun masjid ahlus sunnah yang berdiri tegak di sana!, Sungguh Ironis...

Kembali ke konteks pembahasan inti, apakah benar mencintai para shahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama termasuk Sunnah?. Imam ahlus sunnah yang ‘alim, Syaikhul Islam Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah bin Miqdam bin Nashr bin Abdullah al-Maqdisi ad-Dimasyqi ash-Shalihi atau yang terkenal dengan nama al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 620 H) menjelaskan dalam kitab aqidah beliau yang masyhur, Lum’atul I’tiqad bab: محمد خاتم النبيين sebagai berikut;

ومن السنة تولي أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ومحبتهم وذكر محاسنهم ، والترحم عليهم ، والاستغفار لهم والكف عن ذكر مساوئهم وما شجر بينهم . واعتقاد فضلهم ومعرفة سابقتهم قال الله تعالى :

“Termasuk sunnah adalah bersikap loyal dan mencintai para shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, menyebut kebaikan-kebaikan mereka, memohon kepada Allah agar merahmati mereka, memohon kepada Allah agar mengampuni mereka, menahan diri dengan tidak mengungkit-ungkit keburukan dan perselisihan yang terjadi diantara mereka, meyakini keutamaan mereka dan mengakui kepeloporan mereka (dalam masuk Islam). Allah Ta’ala berfirman;

وَ الَّذينَ جاؤُ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنا وَ لِإِخْوانِنَا الَّذينَ سَبَقُونا بِالْإيمانِ وَ لا تَجْعَلْ في‏ قُلُوبِنا غِلاًّ لِلَّذينَ آمَنُوا رَبَّنا إِنَّكَ رَؤُفٌ رَحيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian (berada) dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (al-Hasyr: 10)

وقال تعالى : مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّا ءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَا ءُ بَيْنَهُمْ

Dan Allah Ta’ala berfirman, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (al-Fath: 29)

وقال النبي صلى الله عليه وسلم : لا تسبوا أصحابي فإن أحدكم لو أنفق مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Janganlah kalian mencaci para shahabatku, demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud niscaya ia tidak bisa menandingi infak satu mud atau bahkan setengah mud mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 2532)

ومن السنة : الترضي عن أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين المطهرات المبرآت من كل سوء ، أفضلهن خديجة بنت خويلد ، وعائشة الصديقة بنت الصديق ، التي برأها الله في كتابه ، زوج النبي صلى الله عليه وسلم في الدنيا والآخرة ، فمن قذفها بما برأها الله منه فقد كفر بالله العظيم

Termasuk sunnah adalah memohonkan keridhaan kepada Allah Ta’ala untuk istri-istri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, Ummahatul mukminin yang suci lagi disucikan dari segala keburukan, dimana yang paling utama dari mereka adalah Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah ash-Shiddiqah putri Abu Bakar ash-Shiddiq yang Allah bebaskan dari tuduhan keji dalam kitabNya, yang merupakan istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama di dunia dan di akhirat, maka barangsiapa menuduhnya dari apa yang Allah telah membebaskannya (seperti tuduhan sekte sesat Syiah Rafidhah yang menyatakan bahwa beliau adalah wanita pezina, wanita penghulu neraka, red.), maka dia telah kafir kepada Allah Yang Maha Agung.

ومعاوية خال المؤمنين ، وكاتب وحي الله ، أحد خلفاء المسلمين رضي الله عنهم

Mu’awiyah adalah paman orang-orang mukmin, penulis wahyu Allah dan salah seorang khalifah kaum muslimin, -semoga Allah meridhai mereka semua-.” (Lum’atul I’tiqad, Ibnu Qudamah, hal. 21-22)

Hukum mencaci para Shahabat terbagi menjadi 3 bagian sebagaimana yang dijelaskan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –raheemahullaahu Ta’ala – (w. 1421 H);

الأول: أن يسبهم بما يقتضي كفر أكثرهم، أو أن عامتهم فسقوا، فهذا كفر، لأنه تكذيب لله ورسوله بالثناء عليهم والترضي عنهم، بل من شك في كفر مثل هذا فإن كفره متعين، لأن مضمون هذه المقالة أن نقلة الكتاب أو السنة كفار، أو فساق

Pertama: Mencaci mereka dengan cacian yang mengandung konsekuensi bahwa kebanyakan (mayoritas) dari mereka adalah kafir atau mayoritas dari mereka adalah orang-orang fasik, maka cacian ini sendiri merupakan kekufuran; karena hal ini mendustakan Allah dan RasulNya yang telah menyanjung mereka dan meridhai mereka, bahkan barangsiapa yang meragukan kekufuran orang semacam ini, maka dia sendiri kafir, karena kandungan cacian mereka adalah bahwa para shahabat yang telah membawa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah orang-orang kafir atau fasik.

الثاني: أن يسبهم باللعن والتقبيح، ففي كفره قولان لأهل العلم وعلى القول بأنه لا يكفر يجب أن يجلد ويحبس حتى يموت أو يرجع عما قال

Kedua: Mencaci mereka dengan melaknat atau menjelek-jelekkan mereka. Apakah pelaku cacian yang kedua ini kafir?, Ada dua pendapat di kalangan para ulama, dan menurut pendapat yang berkata tidak kafir, maka dia harus dicambuk dan ditahan sampai dia mati atau bertaubat dari perkataannya.

الثالث: أن يسبهم بما لا يقدح في دينهم كالجبن والبخل فلا يكفر ولكن يعزر بما يردعه عن ذلك، ذكر معنى ذلك شيخ الإسلام ابن تيمية في كتاب "الصارم المسلول" ونقل عن أحمد قوله: (لا يجوز لأحد أن يذكر شيئاً من مساوئهم، ولا يطعن على أحد منهم بعيب أو نقص، فمن فعل ذلك أدب، فإن تاب وإلا جلد في الحبس حتى يموت أو يرجع)

Ketiga: Mencaci mereka dengan cacian yang tidak mencederai agama mereka, seperti mengatakan mereka bakhil atau penakut, maka pelakunya tidak dikafirkan, tetapi dihukum dengan hukuman yang membuatnya jera. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya ash-Sharim al-Maslul dan beliau menukil dari al-Imam Ahmad yang berkata, “Tidak boleh bagi siapa pun menyinggung sebagian dari keburukan mereka, menuduh salah seorang dari mereka dengan sesuatu kekurangan atau aib, siapa yang melakukan itu, maka dia harus diberikan pelajaran, jika dia bertaubat (maka itulah yang diharapkan), jika tidak, maka dia dicambuk dan ditahan sampai mati.” (Syarh Lum’atul I’tiqad al-Hadi Ila Sabil ar-Rasyad, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 152)

نسأل الله أن يعصمنا من البدع والفتنة ، ويحيينا على الإسلام والسنة ، ويجعلنا ممن يتبع رسول الله صلى الله عليه وسلم في الحياة ، ويحشرنا في زمرته بعد الممات برحمته وفضله آمين

“Kita memohon kepada Allah agar melindungi kami dari bid’ah-bid’ah dan fitnah, menghidupkan kita diatas Islam dan as-Sunnah, menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengikuti Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam kehidupan ini, membangkitkan kita dalam rombongan beliau setelah kematian dengan rahmat dan karuniaNya. Amieen.” (Lum’atul I’tiqad, Ibnu Qudamah, hal. 23)

Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.

Tambahan: Berikut contoh kelancangan penganut Syiah Imamiyah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ’anhu-, just open your eyes, your ear and your heart, LINK or this LINK
[Baca Selengkapnya...]


Musibah Dan Takdir, What Should We Do?



Rabu malam yang lalu sekitar pukul 21.30 WIB, setelah hampir seharian berkutat dengan data dan angka, kami diajak makan malam oleh atasan kami yang baik ke sebuah warung yang terletak tidak jauh dari kantor kami. Iktikad baik itu tidak kuasa kami tolak dan pilihan yang paling masuk akal adalah menerima dengan lapang dada.. :D. Seperti biasanya, ada saja topik pembicaraan menarik yang kami diskusikan. Nah, kalau sudah berada dalam suasana seperti ini, posisi struktural (di kantor) selalu kami abaikan, yang ada hanya partner diskusi regardless what he is at the office yesterday, today or tommorow. Jika beberapa minggu lalu ia bercerita mengenai hidayah, kali ini ia berbicara mengenai ujian, musibah dan takdir (yang masih ada kaitannya dengan artikel sebelumnya, red). Obrolan berlangsung cukup lama hingga akhirnya benar-benar terhenti setelah sang pemilik warung mengajukan interupsi... “Punten pisan Pak, warungnya mau kami tutup”.. :D. Wah ngusir secara halus iki, yo wes lah ga popo,...

Berbicara mengenai ujian, musibah dan takdir, ada sebuah hadits yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang bisa kita ambil pelajarannya sebagai berikut;

وعن أنس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا أراد الله بعبده الخير عجل له العقوبة في الدنيا ، وإذا أراد بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافى به يوم القيامة

Dari Anas radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hambaNya, maka Ia akan menyegerakan hukuman di dunia. Jika Allah menghendaki keburukan bagi hambaNya, maka Dia menahan darinya karena dosanya sehingga Dia membalasnya dengan sempurna pada Hari Kiamat.”[1]

Al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Hasan alu asy-Syaikh –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1285 H) mengatakan dalam syarhnya terkait hadits diatas;

هذا الحديث رواه الترمذي والحاكم وحسنه الترمذي . وأخرجه الطبراني والحاكم عن عبد الله بن مغفل ابن عدي عن أبي هريرة ، والطبراني عن عمار بن ياسر

“Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim. At-Tirmidzi menyatakannya hasan. Hadits ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Hakim dari ‘Abdullah bin Mughaffal –radhiyallaahu ‘anhu-. Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Adi dari Abu Hurairah –radhiyallaahu ‘anhu-. Serta diriwayatkan oleh at-Thabrani dari Ammar bin Yasir –radhiyallaahu ‘anhu.”

إذا أراد الله بعبده الخير عجل له العقوبة في الدنيا ‹Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hambaNya, maka Ia akan menyegerakan hukuman di dunia.›
­

Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan;

أي يصب عليه البلاء والمصائب لما فرط من الذنوب منه ، فيخرج منها وليس عليه ذنب يوافى به يوم القيامة .
قال شيخ الإسلام رحمه الله تعالى : المصائب نعمة ، لأنها مكفرات للذنوب ، وتدعو إلى الصبر فيثاب عليها . وتقتضي الإنابة إلى الله والذل له ، والإعراض عن الخلق ، إلى غير ذلك من المصالح العظيمة . فنفس البلاء يكفر الله به الذنوب والخطايا . وهذا من أعظم النعم . فالمصائب رحمة ونعمة في حق عموم الخلق إلا أن يدخل صاحبها بسببها في معاصي أعظم مما كان قبل ذلك فيكون شراً عليه من جهة ما أصابه في دينه ، فإن من الناس من إذا ابتلى بفقر أو مرض أو وجع حصل له من النفاق والجزع ومرض القلب والكفر الظاهر وترك بعض الواجبات وفعل بعض المحرمات ما يوجب له الضرر في دينه ، فهذا كانت العافية خيراً له من جهة ما أورثته المصيبة لا من جهة نفس المصيبة ، كما أن من أوجبت له المصيبة صبراً وطاعة ، كانت في حقه نعمة دينية ، فهي بعينها فعل الرب عز وجل ورحمة للخلق والله تعالى محمود عليها ، فمن ابتلى فرزق الصبر كان الصبر عليه نعمة في دينه ، وحصل له بعد ما كفر من خطاياه رحمة ، وحصل له بثنائه على ربه صلاة ربه عليه ، قال تعالى : " أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة " وحصل له غفران السيئات ورفع الدرجات . فمن قام بالصبر الواجب حصل له ذلك انتهى ملخصاً

“Yakni, dengan menimpakan bala dan musibah kepadanya karena dosa-dosa yang telah ia lakukan, sehingga dia meninggalkan dunia tanpa harus mempertanggungjawabkan pada Hari Kiamat.

Syaikhul Islam –raheemahullaahu Ta’ala- berkata, “Musibah adalah kenikmatan sebab ia meleburkan dosa-dosa, mengajak kepada kesabaran yang berbuah pahala, mengajak kepada seseorang untuk kembali dan tunduk kepada Allah serta berpaling dari makhluk, dan maslahat-maslahat agung lainnya. Dengan musibah itu sendiri Allah akan menghapus dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan. Ini merupakan nikmat yang paling agung. Musibah adalah rahmat dan nikmat pada seluruh makhluk. Kecuali jika karenanya orang yang ditimpa musibah akan masuk ke dalam dosa yang lebih besar dari sebelumnya sehingga ia menjadi keburukan baginya dari sisi apa yang menimpanya dalam agamanya. Karena di antara manusia ada yang jika dia diuji dengan kemiskinan atau penyakit atau rasa sakit, maka dia menjadi munafik, berkeluh kesah, hatinya sakit, terjerumus kepada kekufuran yang nyata, meninggalkan sebagian kewajiban dan menjalankan sebagian larangan, dimana hal itu mengakibatkan kerusakan di dalam agamanya. Keselamatan dan musibah bagi orang seperti ini adalah lebih baik dari sisi akibat yang ditimbulkan oleh musibah bukan dari sisi musibah itu sendiri.  Sebagaimana orang yang jika ditimpa musibah, dia akan bersandar dan malah semakin taat, maka musibah ini merupakan nikmat agama baginya. Musibah itu sendiri merupakan perbuatan Rabb ‘Azza wa Jall, sekaligus rahmat bagi makhluk, dan dalam perkara ini Allah Ta’ala tetap terpuji karenanya. Barangsiapa diuji dengan musibah lalu dia dikaruniai kesabaran, maka kesabaran ini merupakan nikmat dalam agamanya, dia akan mendapat rahmat Allah, selain dosa-dosanya juga dihapus, dan dia juga meraih shalawat (keberkahan) dari Rabbnya karena pujiannya kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman;

أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة

“Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka.” (QS. al-Baqarah: 157)

Dosa-dosa diampuni dan diangkat derajatnya. Barangsiapa yang mampu bersabar, maka ia akan mendapatkan itu semua.” Selesai dengan diringkas.”

وإذا أراد بعبده الشر أمسك عنه › ‹ Jika Allah menghendaki keburukan bagi hambaNya, maka Dia menahan darinya ›

Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- melanjutkan penjelasannya;

 أي أخر عنه العقوبة بذنبه حتى يوافى به يوم القيامة
قال العزيزي : أي لا يخازيه بذنبه في الدنيا حتى يجيء في الآخرة مستوفر الذنوب وافيها ، فيستوفى ما يستحقه من العقاب
وفيه التنبيه على حسن الرجاء وحسن الظن بالله فيما يقضيه لك ، كما قال تعالى : " وعسى أن تكرهوا شيئاً وهو خير لكم وعسى أن تحبوا شيئاً وهو شر لكم والله يعلم وأنتم لا تعلمون "

“Yakni, Allah menunda hukuman dosanya. ‘sehingga Dia membalasnya dengan sempurna pada Hari Kiamat.’

Al-‘Azizi berkata, “Yakni, Allah tidak membalasnya di dunia sehingga dia datang di akhirat dengan membawa dosa-dosanya yang berjumlah banyak, lalu Allah membalasnya dengan hukuman sesuai dengan haknya.”

Di dalam hadits ini terkandung anjuran berharap baik dan menduga baik kepada Allah dalam apa yang Dia tetapkan untukmu, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman;

وعسى أن تكرهوا شيئاً وهو خير لكم وعسى أن تحبوا شيئاً وهو شر لكم والله يعلم وأنتم لا تعلمون

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 216).”[2] [Fathul Majeed Syarh Kitabut Tauheed hal. 523-524, Bab: Termasuk iman kepada Allah Bersabar atas takdir Allah ‹ باب من الإيمان بالله الصبر على أقدار الله › secara ringkas]

Subhaanallah, memang ucapan para ulama rabbani itu selalu mencerahkan, Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.


_________
[1]. HR. at-Tirmidzi No. 2396 dan al-Hakim 1/344, 4/276, 377
[2]. Al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H) menjelaskan ayat diatas dalam tafsirnya;

وهذه الآيات عامة مطردة, في أن أفعال الخير التي تكرهها النفوس لما فيها من المشقة أنها خير بلا شك، وأن أفعال الشر التي تحب النفوس لما تتوهمه فيها من الراحة واللذة فهي شر بلا شك
وأما أحوال الدنيا, فليس الأمر مطردا, ولكن الغالب على العبد المؤمن, أنه إذا أحب أمرا من الأمور, فقيض الله [له] من الأسباب ما يصرفه عنه أنه خير له, فالأوفق له في ذلك, أن يشكر الله, ويجعل الخير في الواقع, لأنه يعلم أن الله تعالى أرحم بالعبد من نفسه, وأقدر على مصلحة عبده منه, وأعلم بمصلحته منه كما قال [تعالى:] ( وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ ) فاللائق بكم أن تتمشوا مع أقداره, سواء سرتكم أو ساءتكم

“Ayat ini adalah umum lagi luas, bahwa perbuatan-perbuatan baik yang dibenci oleh jiwa manusia karena ada kesulitan padanya itu adalah baik tanpa diragukan lagi, dan bahwa perbuatan-perbuatan buruk yang disenangi oleh jiwa manusia karena apa yang diperkirakan olehnya bahwa padanya ada keenakan dan kenikmatan ternyata buruk tanpa diragukan lagi. Perkara dunia tidaklah bersifat umum, akan tetapi kebanyakan orang bahwa apabila ia senang terhadap suatu perkara, lalu Allah memberikan baginya sebab-sebab yang membuatnya berpaling darinya bahwa hal itu adalah suatu yang baik baginya, maka yang paling tepat baginya dalam hal itu adalah ia bersyukur kepada Allah, dan meyakini kebaikan itu ada pada apa yang terjadi, karena ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala lebih sayang kepada hambaNya daripada dirinya sendiri, lebih kuasa memberikan kemaslahatan buat hambaNya daripada dirinya sendiri, dan lebih mengetahui kemaslahatannya daripada dirinya sendiri, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman;

وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.”

Maka yang pantas bagi kalian adalah kalian sejalan dengan segala takdir-takdirNya, baik yang menyenangkan ataupun yang menyusahkan.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan vol. 1, juz. 2]
[Baca Selengkapnya...]


Be Patient Or We’ll Be A Patient



al-Imam al-‘Allamah Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 656 H) berkata dalam kitabnya, عدة الصابرين ‘Uddatush Shaabirin, i.e “Bekal untuk orang-orang yang sabar”, Bab ke-6 terkait pembagian kesabaran berdasarkan kuat dan lemahnya (jiwa) dalam melawan hawa nafsu sebagai berikut;


وباعث الدين بالإضافة إلى باعث الهوى له ثلاثة أحوال:

إحداها: أن يكون القهر والغلبة لداعي الدين فيرد جيش الهوى مغلولا وهذا إنما يصل إليه بدوام الصبر والواصلون إلى هذه الرتبة هم المنصورون في الدنيا والآخرة وهم الذين قالوا {رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا} وهم الذين تقول لهم الملائكة عند الموت {أَلاَّ تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ} وهم الذين نالوا معية الله مع الصابرين وهم الذين جاهدوا في الله حق جهاده وخصهم بهدايته دون من عداهم

“Dorongan agama, sebagaimana halnya dorongan hawa nafsu, memiliki 3 kondisi:

Kondisi Pertama; Dorongan agama begitu mendominasi, sehingga tentara hawa nafsu terbelenggu. Kondisi ini hanya dialami dengan cara senantiasa bersabar. Orang-orang yang sampai ke tingkatan ini adalah mereka yang mendapatkan pertolongan dari Allah di dunia dan akhirat. Merekalah orang-orang yang mengatakan, “.. ‘Rabb kami adalah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka.” (QS. Fushshilat: 30)

Merekalah orang-orang yang ketika meninggalkan dunia, para Malaikat berkata kepada mereka, “’Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,’ Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (QS. Fushshilat: 30-31)

Merekalah orang-orang yang senantiasa disertai oleh Allah bersama orang-orang yang sabar lainnya. Merekalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya. Secara khusus Allah memberi petunjukNya kepada mereka, bukan kepada orang lain.

________________

Tambahan: al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu- (w. 1376 H) menjelaskan (QS. Fushshilat: 30-31) diatas sebagai berikut;

يخبر تعالى عن أوليائه، وفي ضمن ذلك، تنشيطهم، والحث على الاقتداء بهم، فقال: ( إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا ) أي: اعترفوا ونطقوا ورضوا بربوبية الله تعالى، واستسلموا لأمره، ثم استقاموا على الصراط المستقيم، علمًا وعملا فلهم البشرى في الحياة الدنيا وفي الآخرة

“Allah Ta’ala mengabarkan tentang para kekasihNya, dan di dalamnya terkandung pemberian semangat kepada mereka dan himbuan meneladani mereka, seraya berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka.” Maksudnya; mengakui, mengucapkan dan ridha dengan rububiyah Allah Ta’ala serta beserah diri kepadaNya, lalu mereka istiqamah di atas jalan yang lurus itu, baik secara teori maupun praktek, maka mereka memperoleh berita gembira di dalam kehidupan ini dan di akhirat nanti.”

Beliau –raheemahullaahu- juga menjelaskan;

يحثونهم في الدنيا على الخير، ويزينونه لهم، ويرهبونهم عن الشر، ويقبحونه في قلوبهم، ويدعون الله لهم، ويثبتونهم عند المصائب والمخاوف، وخصوصًا عند الموت وشدته، والقبر وظلمته، وفي القيامة وأهوالها، وعلى الصراط، وفي الجنة يهنئونهم بكرامة ربهم، ويدخلون عليهم من كل باب سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ 

“Para malaikat menghimbau mereka untuk melakukan kebaikan di dunia dan memperindahkannya bagi mereka, serta menakut-nakuti mereka dari kejahatan dan menjadikannya buruk dalam jiwa mereka, dan mereka juga berdoa kepada Allah untuk mereka, meneguhkan pendirian mereka dalam berbagai musibah dan kesulitan, terutama saat menjelang sakaratul maut, saat di liang lahat dan di dalam kegelapannya, saat Hari Kiamat dan praharanya, saat di atas jembatan menuju surga dan saat di dalam surga. Mereka memberikan ucapan selamat atas kehormatan dari Allah yang mereka raih. Para malaikat itu masuk menjumpai mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan: )

سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“Kesejahteraan bagi kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. ar-Ra’d: 24).” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 6, juz. 24]

________________

الحالة الثانية ان تكون القوة والغلبة لداعي الهوى فيسقط منازعه باعث الدين بالكلية فيستسلم البائس للشيطان وجنده فيقودونه حيث شاءوا وله معهم حالتان إحداهما ان يكون من جندهم وأتباعهم وهذه حال العاجز الضعيف الثانية ان يصير الشيطان من جنده وهذه حال الفاجر القوي المتسلط والمبتدع الداعية المتبوع

Kondisi Kedua; Dorongan hawa nafsu begitu mendominasi sehingga dorongan agama tercabut dari akarnya secara keseluruhan. Akibatnya, orang yang malang itu menyerah kalah kepada setan dan bala tentaranya, sehingga mereka menggiringnya kemanapun mereka mau. Dan keadaan orang ini bersama setan-setan bisa seperti salah satu dari dua keadaan ini; a). Dia menjadi tentara dan pengikut mereka, Ini adalah keadaan orang yang lemah. b). Justru setan yang menjadi bala tentaranya. Ini adalah keadaan pendosa yang kuat, dominan, suka membuat bid’ah, piawai mengajak orang dan ditaati.

وهؤلاء هم الذين غلبت عليهم شقوتهم واشتروا الحياة الدنيا بالآخرة وإنما صاروا إلى هذه الحال لما أفلسوا من الصبر وهذه الحالة هي حالة جهد البلاء ودرك الشقاء وسوء القضاء وشماتة الأعداء وجند أصحابها المكر والخداع والأماني الباطلة والغرور والتسويف بالعمل وطول الأمل وإيثار العاجل على الآجل وهي التي قال في صاحبها النبي:"العاجز من أتبع نفسه هواها وتمنى على الله الأماني"

Orang-orang yang berada di kondisi kedua itulah yang dikalahkan oleh kesengsaraan mereka, dan rela membeli kehidupan dunia dengan bayaran akhirat. Mereka bisa terpuruk seperti itu tidak lain hanya setelah mengalami kebangkrutan kesabaran. Keadaan seperti inilah yang disebut musibah bertubi-tubi, dasar jurang kemalangan, ketentuan yang buruk dan kegembiraan musuh-musuh atas kesusahan diri. Bala tentara orang-orang yang keadaannya seperti itu adalah makar tipu daya, ambisi buruk, ketertipuan, menunda-nunda pekerjaan, panjang angan-angan, dan hanya berpikiran jangka pendek. Orang seperti inilah yang disebut orang lemah, seperti apa yang disabdakan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, “Orang yang lemah adalah orang yang menuruti hawa nafsunya, lalu banyak berharap kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi no. 2459, Ibn Majah no. 4260 dan Ahmad vol. 4 hal. 124)

الحالة الثالثة أن يكون الحرب سجالا ودولا بين الجندين فتارة له وتارة عليه وتكثر نوبات الانتصار وتقل وهذه حال أكثر المؤمنين الذين خلطوا عملا صالحا وآخر سيئا وتكون الحال يوم القيامة موازنة لهذه الأحوال الثلاث سواء بسواء فمن الناس من يدخل الجنة ولا يدخل النار ومنهم من يدخل النار ولا يدخل الجنة ومنهم من يدخل النار ثم يدخل الجنة وهذه الأحوال الثلاث هى أحوال الناس في الصحة والمرض فمن الناس من تقاوم قوته داءه فتقهره ويكون السلطان للقوة ومنهم من يقهر داؤه قوته ويكون السلطان للداء ومنهم من الحرب بين دائه وقوته نوبا فهو متردد بين الصحة والمرض


Kondisi Ketiga; Terjadi peperangan sengit antara dua kubu pasukan. Kadangkala ia menang, dan ada kalanya dia kalah. Terkadang peluang untuk menang besar dan kadang-kadang kecil. Inilah keadaan kebanyakan orang beriman yang melakukan amal shalih, dan juga melakukan perbuatan buruk.

Kedaan manusia pada Hari Kiamat akan ditimbang berdasarkan tiga kondisi tersebut. Di antara manusia ada yang masuk surga tanpa pernah masuk neraka. Ada pula yang masuk neraka dan tidak akan masuk surga. Juga ada yang masuk neraka terlebih dahulu, baru kemudian masuk surga.

Ketiga kondisi ini laksana keadaan manusia ketika sehat dan sakit. Sebagian orang ada yang mampu menaklukkan penyakitnya dengan kekuatannya sendiri, sehingga kekuatannya berkuasa. Juga sebagian mereka ada yang penyakitnya menaklukan kekuatannya, sehingga kekuasan dipegang oleh penyakitnya. Sebagian mereka ada pula yang tak henti-hentinya berperang melawan penyakit dengan kekuatannya, dan inilah keadaan orang yang sehat dan sakitnya silih berganti.

Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- melanjutkan;

ومن الناس من يصبر بجهد ومشقة ومنهم من يصبر بأدنى حمل على النفس ومثال الاول كرجل صارع رجلا شديدا فلا يقهره إلا بتعب ومشقة والثانى كمن صارع رجلا ضعيفا فإنه يصرعه بغير مشقة فهكذا تكون المصارعة بين جنود الرحمن وجنود الشيطان ومن صرع جند الشيطان صرع الشيطان


قال عبد الله بن مسعود رضى الله عنه "لقى رجلا من الانس رجلا من الجن فصارعه فصرعه الانسى فقال مالى أراك ضئيلا فقال انى من بينهم لضليع فقالوا أهو عمر بن الخطاب" فقال "من ترونه غير عمر!"


“Ada orang yang sabar melakukan kerja keras dan menghadapi kesulitan. Ada pula yang hanya mampu bersabar menanggung beban kerja yang paling ringan. Perumpamaan orang yang pertama adalah seperti orang yang bertarung melawan musuh yang kuat, dan hanya mampu menaklukannya setelah bersusah payah dan mengalami kesulitan. Sedangkan perumpamaan orang kedua adalah seperti orang yang bertarung melawan musuh yang lemah dan menaklukannya tanpa mengalami kesulitan. Demikianlah halnya pertarungan antara bala tentara ar-Rahman dan bala tentara setan. Barangsiapa memerangi tentara setan, berarti dia memerangi setan.

Abdullah ibnu Mas’ud –radhiyallaahu ‘anhu- bercerita, “Seorang manusia bertemu dengan seorang jin. Lalu jin itu menantangnya bergulat dan sang manusia pun mengalahkannya. Si manusia bertanya, “Mengapa engkau begitu lemah?”, “Aku tidak habis pikir, padahal aku sangat kuat di kalangan para jin,” jawab jin itu. Para shahabat bertanya, “Apakah orang itu Umar Ibnul Khaththab?”, “Siapa lagi menurut kalian kalau bukan Umar?,” jawab Abdullah bin Mas’ud.” (HR. ad-Darimi no. 14 dalam Fadha’il al-Qur’an)

فمن اعتاد الصبر هابه عدوه ومن عز عليه الصبر طمع فيه عدوه وأوشك أن ينال منه غرضه

Jadi, barangsiapa membiasakan diri bersabar, niscaya musuhnya takut terhadapnya. Sedangkan orang yang sulit untuk bersabar, niscaya musuhnya sangat bernafsu menyerangnya, sampai-sampai dirinya nyaris tidak pernah mencapai tujuannya.


-Selesai kutipan secara ringkas, Wallaahu Ta’ala a’lamu-


_________
Referensi:

a). Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 6, juz. 24 by al-‘Allamah as-Sa’dee
b). ‘Uddatush Shaabirin pg. 39-47 by Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah

[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula