Berbakti Kepada Mereka Melebihi Keutamaan Shalat Sunnah



Coba kita ingat-ingat kembali peristiwa (yang terjadi) di masa lampau, tatkala kita masih kanak-kanak, atau ketika kita mulai beranjak dewasa. Berapa banyak seruan atau nasihat dari kedua orang tua, terutama ibu, yang dahulu (atau bahkan hingga hari ini, red) kita bantah dan abaikan?. Sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Apakah perbuatan tersebut salah dan tercela?, -InsyaAllah- hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim –raheemahullaahu Ta’ala- berikut bisa menjawab pertanyaan tersebut;

حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ هِلَالٍ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ قَالَ: كَانَ جُرَيْجٌ يَتَعَبَّدُ فِي صَوْمَعَةٍ، فَجَاءَتْ أُمُّهُ. قَالَ حُمَيْدٌ: فَوَصَفَ لَنَا أَبُو رَافِعٍ صِفَةَ أَبِي هُرَيْرَةَ لِصِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّهُ حِينَ دَعَتْهُ، كَيْفَ جَعَلَتْ كَفَّهَا فَوْقَ حَاجِبِهَا، ثُمَّ رَفَعَتْ رَأْسَهَا إِلَيْهِ تَدْعُوهُ، فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ أَنَا أُمُّكَ كَلِّمْنِي فَصَادَفَتْهُ يُصَلِّي، فَقَالَ: اللهُمَّ أُمِّي وَصَلَاتِي، فَاخْتَارَ صَلَاتَهُ، فَرَجَعَتْ، ثُمَّ عَادَتْ فِي الثَّانِيَةِ، فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ أَنَا أُمُّكَ فَكَلِّمْنِي، قَالَ: اللهُمَّ أُمِّي وَصَلَاتِي، فَاخْتَارَ صَلَاتَهُ، فَقَالَتْ: اللهُمَّ إِنَّ هَذَا جُرَيْجٌ وَهُوَ ابْنِي وَإِنِّي كَلَّمْتُهُ، فَأَبَى أَنْ يُكَلِّمَنِي، اللهُمَّ فَلَا تُمِتْهُ حَتَّى تُرِيَهُ الْمُومِسَاتِ. قَالَ: وَلَوْ دَعَتْ عَلَيْهِ أَنْ يُفْتَنَ لَفُتِنَ. قَالَ: وَكَانَ رَاعِي ضَأْنٍ يَأْوِي إِلَى دَيْرِهِ، قَالَ: فَخَرَجَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الْقَرْيَةِ فَوَقَعَ عَلَيْهَا الرَّاعِي، فَحَمَلَتْ فَوَلَدَتْ غُلَامًا، فَقِيلَ لَهَا: مَا هَذَا؟ قَالَتْ: مِنْ صَاحِبِ هَذَا الدَّيْرِ، قَالَ فَجَاءُوا بِفُئُوسِهِمْ وَمَسَاحِيهِمْ، فَنَادَوْهُ فَصَادَفُوهُ يُصَلِّي، فَلَمْ يُكَلِّمْهُمْ، قَالَ: فَأَخَذُوا يَهْدِمُونَ دَيْرَهُ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ نَزَلَ إِلَيْهِمْ، فَقَالُوا لَهُ: سَلْ هَذِهِ، قَالَ فَتَبَسَّمَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَ الصَّبِيِّ فَقَالَ: مَنْ أَبُوكَ؟ قَالَ: أَبِي رَاعِي الضَّأْنِ، فَلَمَّا سَمِعُوا ذَلِكَ مِنْهُ قَالُوا: نَبْنِي مَا هَدَمْنَا مِنْ دَيْرِكَ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، قَالَ: لَا، وَلَكِنْ أَعِيدُوهُ تُرَابًا كَمَا كَانَ، ثُمَّ عَلَاهُ

Syaiban bin Farukh memberitahukan kepada kami, Sulaiman bin al-Mughirah memberitahukan kepada kami, Humaid bin Hilal telah memberitahukan kepada kami, dari Abu Rafi’, dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, “Juraij sedang shalat di sebuah tempat peribadatan, lalu datanglah ibunya memanggil.” Humaid berkata, “Abu Rafi’ menjelaskan kepadaku bagaimana Abu Hurairah menirukan gaya Ibu Juraij ketika memanggil anaknya itu, sebagaimana yang dia lihat dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, yaitu dengan meletakkan telapak tangan di atas alis matanya dan mengangkat kepala ke arah Juraij untuk memanggil. Lalu ibunya berkata, ‘Hai Juraij, aku ibumu, bicaralah denganku!.’ Saat itu Juraij berkata kepada dirinya sendiri dengan penuh kebimbangan, Ya Allah, ibuku atau shalatku. Kemudian Juraij memilih meneruskan shalatnya. Maka pulanglah perempuan tersebut. Tidak beberapa lama (kemudian) perempuan itu kembali lagi untuk yang kedua kali. Ia memanggil, ‘Hai Juaraij, aku ibumu, bicaralah denganku!’, kembali Juraij berkata kepada dirinya sendiri, Ya Allah, ibuku atau shalatku. Lagi-lagi dia lebih memilih meneruskan shalatnya. Karena kecewa, akhirnya perempuan itu berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya Juraij ini adalah anakku, aku sudah memanggilnya berulang kali, namun ternyata dia enggan menjawabku. Ya Allah, janganlah Engkau matikan dia sebelum Engkau perlihatkan kepadanya perempuan-perempuan pelacur.’ Perawi berkata, ‘Seandainya sang ibu itu berdoa agar Juraij tertimpa fitnah, niscaya ia akan mendapatkan fitnah yang besar.’ Perawi berkata, ‘Suatu hari seorang penggembala kambing berteduh di tempat peribadatan Juraij. Lalu muncullah seorang perempuan dari sebuah desa kemudian berzinalah penggembala kambing itu dengannya, sehingga hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika ditanyakan kepadanya (i.e perempuan pezina), ‘Anak dari siapakah ini?’, perempuan itu menjawab, ‘Anak dari penghuni tempat peribadatan ini.’ Maka orang-orang berbondong-bondong mendatangi Juraij. Mereka membawa kapak dan linggis. Mereka berteriak-teriak memanggil Juraij dan mereka menemukan Juraij sedang melakukan shalat. Tentu saja Juraij tidak menjawab panggilan mereka. Akhirnya mulailah mereka merobohkan tempat peribadatannya. Mereka bertanya kepada Juraij, ‘Tanyakan kepada perempuan ini!’, Juraij pun tersenyum, lalu mengusap kepala anak tersebut dan bertanya, ‘Siapakah ayahmu?’, anak itu tiba-tiba menjawab, ‘Ayahku adalah si penggembala kambing. Mendengar jawaban dari bayi tersebut, mereka semua berkata, ‘Kami akan membangun tempat ibadahmu yang telah kami robohkan ini dengan emas dan perak. Juraij menanggapi, ‘Tidak usah. Buatlah seperti semula dari tanah. Kemudian Juraij meninggalkannya.’” (HR. Muslim no. 6455)


al-Imam al-Hafizh Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawaawi asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 676 H) memberikan judul bab untuk hadits di atas: (باب تقديم الوالدين على التطوع بالصلاة وغيرها) “Bab Mengutamakan kebaktian kepada kedua orang tua daripada shalat sunnah dan perkara sunnah lainnya.” Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan;

فِيهِ قِصَّةُ جُرَيْجٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنَّهُ آثَرَ الصَّلَاةَ عَلَى إِجَابَتِهَا فَدَعَتْ عَلَيْهِ فَاسْتَجَابَ اللَّهُ لَهَا قَالَ الْعُلَمَاءُ هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ كَانَ الصَّوَابُ فِي حَقِّهِ إِجَابَتَهَا لِأَنَّهُ كَانَ فِي صَلَاةِ نَفْلٍ وَالِاسْتِمْرَارُ فِيهَا تَطَوُّعٌ لَا وَاجِبٌ وَإِجَابَةُ الْأُمِّ وَبِرُّهَا وَاجِبٌ وَعُقُوقُهَا حَرَامٌ وَكَانَ يُمْكِنُهُ أَنْ يُخَفِّفَ الصَّلَاةَ وَيُجِيبَهَا ثُمَّ يَعُودَ لِصَلَاتِهِ فَلَعَلَّهُ خَشِيَ أَنَّهَا تَدْعُوهُ إِلَى مُفَارَقَةِ صَوْمَعَتِهِ وَالْعَوْدِ إِلَى الدُّنْيَا وَمُتَعَلِّقَاتِهَا وَحُظُوظِهَا وَتُضْعِفُ عَزْمَهُ فِيمَا نَوَاهُ وَعَاهَدَ عَلَيْهِ

“Hadits di atas berisi tentang kisah Juraij –semoga Allah meridhainya- yang lebih mementingkan shalat sunnah daripada memenuhi panggilan ibunya. Sehingga sang ibu marah dan Allah pun mengabulkan doa buruknya itu.

Ulama berkata, ‘Kisah dalam hadits ini menunjukkan bahwa semestinya dan yang benar bagi Juraij adalah memenuhi panggilan ibunya, karena apa yang ia kerjakan hanyalah shalat sunnah; meneruskan shalat sunnah hukumnya tetaplah sunnah, tidak dapat beralih status menjadi wajib, sementara memenuhi panggilan ibu hukumnya wajib dan mendurhakainya adalah perbuatan haram. Semestinya ia bisa mempercepat shalatnya, lalau memenuhi panggilan ibunya, kemudian kembali lagi melaksanakan shalatnya.

Besar kemungkinan Juraij meneruskan shalatnya dan mengabaikan panggilan ibunya karena ia merasa takut jika ibunya berusaha memisahkannya dari tempat ibadahnya dan menyeretnya ke dalam urusan dunia, sehingga merontokkan keyakinannya dan merobohkan apa yang telah ia jalani selama ini.” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 16/105, cet. Daar Ihya at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut, 1392 H]


Mengabaikan panggilan orang tua ketika kita sedang melaksanakan shalat sunnah atau amalan-amalan sunnah lainnya saja dianggap tidak tepat secara syar’i, apalagi sengaja mengabaikan panggilan mereka dalam kondisi sedang tidak melaksanakan amal shalih. Lalu bagaimana kiranya jika penolakan itu sampai pada tingkatan; mendebat mereka, atau menolak perintah mereka dengan mengucapkan kata-kata yang kotor?. Hal semacam ini tentunya akan lebih menyakitkan hati mereka. Adalah Ibu -dalam hal ini-, orang yang paling banyak terdzalimi oleh tingkah laku serta ucapan-ucapan kita yang tidak santun karena beliau-lah orang yang paling banyak bertatap muka, paling sering berinteraksi, dan paling banyak melayani dan membantu urusan kita selama ini. Maka berbakti kepadanya merupakan prioritas utama dibandingkan kepada yang lainnya.

al-Imam an-Nawaawi –raheemahullaahu Ta’ala- mengatakan dalam bab; (بَاب بِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِهِ) “Berbakti kepada kedua orang tua dan keduanya paling berhak menerima bakti anaknya”

وَأَنَّ الْأُمَّ أَحَقُّهَمْ بِذَلِكَ ثُمَّ بَعْدَهَا الْأَبَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ قَالَ الْعُلَمَاءُ وَسَبَبُ تَقْدِيمِ الْأُمِّ كَثْرَةُ تَعَبِهَا عَلَيْهِ وَشَفَقَتُهَا وَخِدْمَتُهَا وَمُعَانَاةُ الْمَشَاقِّ فِي حَمْلِهِ ثُمَّ وَضْعِهِ ثُمَّ إِرْضَاعِهِ ثُمَّ تَرْبِيَتِهِ وَخِدْمَتِهِ وَتَمْرِيضِهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

“Dan ibu-lah yang paling berhak mendapatkan bakti dari seorang anak, kemudian ayah, kemudian sanak saudara yang paling dekat, lalu yang dekat. Para ulama mengatakan, ‘Faktor utama yang mengharuskan ibu diberi bakti lebih adalah karena banyaknya pengorbanan seorang ibu demi anaknya, kasih sayang yang tercurah untuknya, pelayanannya terhadap anak, beban berat yang tak tertanggungkan saat mengandungnya, melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, merawatnya tatkala sakit, dan lain-lain.’” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 16/102, cet. Daar Ihya at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut, 1392 H]


Jangan sampai kita termasuk orang yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam hadits berikut karena kelalaian kita dalam melayani keduanya;

حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ» ، قِيلَ: مَنْ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ»

Syaiban bin Farukh telah memberitahukan kepada kami, Abu Awanah telah memberitahukan kepada kami, dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama beliau bersabda, “Celaka, celaka, celaka.” Dikatakan, “Siapa wahai Rasulullah?”, Beliau menjawab, “Yaitu seseorang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya saat tua renta tapi tidak dapat memasukannya ke surga.” (HR. Muslim no. 6457)

al-Imam an-Nawaawi –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan; “Hadits di atas menganjurkan untuk berbakti kepada orang tua dan pahalanya sangat besar. Artinya adalah, berbakti kepada kedua orang tua saat keduanya sudah tua renta dan tidak berdaya dengan cara melayani, merawat, memberi nafkah, atau yang lainnya merupakan faktor utama penyebab masuk surga. Barang siapa yang tidak melakukan kebaikan ini maka luput darinya penyebab masuk surga, dan dia telah merugi.” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 16/109, cet. Daar Ihya at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut, 1392 H]


Faidah yang bisa kita petik dari hadits Juraij adalah;


عِظَمُ بِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَتَأَكُّدُ حَقِّ الْأُمِّ

(1). Keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, dan ibu-lah yang harus diutamakan.

دُعَاءَهَا مُجَابٌ

(2). Doa ibu pasti terkabul.

وَأَنَّهُ إذا تعارضت الامور بدئ بأهما

(3). Jika ada hal yang saling mendesak untuk dilakukan, maka yang didahulukan adalah yang terpenting

وَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَجْعَلُ لِأَوْلِيَائِهِ مَخَارِجَ عِنْدَ ابْتِلَائِهِمْ بِالشَّدَائِدِ غَالِبًا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ يتق الله يجعل له مخرجا وَقَدْ يُجْرِي عَلَيْهِمُ الشَّدَائِدَ بَعْضَ الْأَوْقَاتِ زِيَادَةً فِي أَحْوَالِهِمْ وَتَهْذِيبًا لَهُمْ فَيَكُونُ لُطْفًا

(4). Allah Ta’ala senantiasa memberi jalan keluar bagi para wali-Nya untuk bisa terhindar dari cobaan dan rintangan. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya.” (QS. ath-Thalaq: 2). Dan satu waktu cobaan pun menerpa mereka, akan tetapi itu hanyalah satu tahapan untuk peningkatan derajat mereka dan pembersih dari hal-al yang memalingkan mereka dari Allah, sehingga cobaan itu bagi mereka adalah rahmat. [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 16/108, cet. Daar Ihya at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut, 1392 H]


Wallaahu Ta’ala a’lamu.

[Baca Selengkapnya...]


JIL Bilang Memeluk Islam bukan Garansi Keselamatan



Usaha para misionaris JIL dalam “mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak” sepertinya mulai berhasil, minimalnya di ruang lingkup kampus. Salah seorang korban kaderisasi “sekte” ini -sebut saja MZH-, seorang mahasiswa jurusan tafsir hadits IAIN Walisongo, Semarang menulis sebuah artikel yang “berbobot” berjudul, “Memeluk Islam bukan Garansi Keselamatan” di web resmi milik JIL. Tentu pernyataannya tersebut mengundang tanya, “Koq bisa demikian?”, lantas -secara emosional- dia menjelaskan alasannya;

“Allah milik semua umat manusia. Setiap umat manusia, apapun agama mereka, berhak memasuki surga yang telah Allah janjikan bagi setiap manusia yang melakukan kebaikan. Apabila Allah hanya milik orang Islam sehingga hanya mereka yang akan mendapat kenikmatan surga di akhirat kelak, lalu dimana letak keadilan-Nya sebagai Tuhan? Apakah bisa dikatakan adil kalau ada orang yang beragama Islam yang selalu membuat kerusuhan dan kejahatan di dunia bisa masuk Surga, sementara ada orang yang tak pernah melakukan sesuatu, kecuali hal tersebut adalah suatu kebajikan, dalam setiap nafas kehidupannya kelak akan mendapat siksa-Nya di akhirat, hanya karena Islam tidak menjadi agama pilihannya ketika hidup di dunia?. Kalau kita mempercayai hal tersebut, berarti secara tidak langsung kita telah melanggar agama kita sendiri dengan tidak percaya pada keadilan Allah.” [MZH, Mahasiswa jurusan tafsir hadits IAIN Walisongo]

Intisari dari ucapan orang ini adalah; pertama, Allah adalah milik semua umat i.e Islam, Yahudi, Nashrani, Majusi dll, kedua, umat selain Islam yang melakukan amal kebajikan berhak memasuki surga Allah, ketiga, jika orang Islam yang semasa hidupnya kerap membuat kerusuhan dan kejahatan di dunia dimasukkan ke dalam surga-Nya sementara orang selain Islam yang selalu berbuat kebajikan di dunia dimasukkan ke dalam neraka-Nya, itu berarti Allah tidak adil, keempat, jika kita percaya bahwa orang Islam (yang bertauhid) itu tetap akan masuk ke dalam surga-Nya meskipun ia telah melakukan dosa-dosa besar, maka secara tidak langsung kita telah melanggar prinsip agama kita sendiri (i.e Islam) dengan tidak percaya pada keadilan Allah.


Poin yang pertama, Orang-orang musyrik jaman dahulu ketika ditanya, siapa yang menciptakan mereka?, siapa yang memberi rizki mereka?, siapa yang mengatur segala urusan? dan seterusnya, mereka akan menjawab, “Allah”. Tapi hanya sebatas itu (i.e rububiyyah-Nya) saja pengakuan mereka, adapun dalam urusan uluhiyyah (peribadatan), mereka menyekutukan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman;

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka akan menjawab: ‘Allah’, maka bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?.” (QS. az-Zukhruf: 87)

Allah Ta’ala berfirman;

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَاءِ وَٱلْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَمَن يُخْرِجُ ٱلْحَىَّ مِنَ ٱلْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ ٱلْمَيِّتَ مِنَ ٱلْحَىِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah’. Maka katakanlah ‘Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’.” (QS. Yunus: 31)

al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) menjelaskan;

(الإله) هو الذى يطاع فلا يعصى ، هيبة له وإجلالاً ، ومحبة وخوفاً ورجاء ، وتوكلاً عليه ، وسؤالاً منه ودعاء له ، ولا يصلح هذا كله إلا الله عز وجل ، فمن أشرك مخلوقاً فى شئ من هذه الأمور التي هي من خصائص الإلهية كان ذلك قدحاً في إخلاصه فى قول (لا إله إلا الله) وكان فيه من عبودية المخلوق بحسب مافيه من ذلك

‘al-Ilaahu’ (Rabb) adalah yang ditaati sehingga dia tidak didurhakai karena rasa penghormatan, pengagungan, kecintaan (mahabbah), ketakutan (khauf), harapan (raja’), tawakkal, permintaan dan doa kepadanya. Semua itu hanya patut diberikan kepada Allah ‘Azza wa Jall. Siapa yang menyekutukan seorang makhluk dengan Allah dalam salah satu perkara-perkara ini yang merupakan keistimewaan ilahiyyah, maka hal itu merupakan penodaan terhadap keikhlasannya dalam mengucapkan laa ilaaha illallaah, dan sikap itu mengandung penghambaan kepada makhluk sebagaimana kadar apa yang ada padanya dari hal itu.” [Fathul Majeed Syarh Kitab at-Tauheed, hal. 61, cet. Muassasah Qurthubah]

Mereka mengakui kerububiyyahan ‘Allah Azza wa Jall, namun pada waktu bersamaan mereka juga berpaling dari menyembah Allah Ta’ala semata dengan menjadikan makhluk-Nya (seperti para Nabi, Malaikat, Matahari, Bintang, hamba-hamba Allah yang shalih) sebagai sekutu bagi-Nya dalam peribadatan. Bukankah pengakuan “Allah sebagai Rabb mereka” (pada akhirnya) menjadi tidak berarti?.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;
فلا تجعلوا لله أنداداً وأنتم تعلمون

“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 22)

al-Imad Ibnu Katsir –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 774 H) berkata dalam tafsirnya, “Abu al-Aliyah (w. 90 H) berkata, ‘Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah’, yakni tandingan-tandingan dan padanan-padanan.’ Hal yang sama dikatakan oleh ar-Rabi’ bin Anas (w. 139 H), Qatadah (w. 117 H), as-Suddy (w. 205 H), Abu Malik, dan Ismail bin Abu Khalid.

Ibnu ‘Abbas –radhiyallaahu ‘anhu- berkata, “‘Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.’ Yakni, jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, berupa sekutu-sekutu yang tidak dapat mendatangkan manfaat dan tidak pula menolak mudharat, sementara kalian mengetahui bahwa Dia adalah Rabb kalian yang tidak ada Rabb selain-Nya, yang memberi rizki kepada kalian, kalian juga mengetahui bahwa apa yang diserukan oleh utusan-Nya agar kalian mentauhidkan-Nya, adalah kebenaran yang tidak ada keraguan padanya.”

Ucapan serupa dikatakan oleh Qatadah (w. 117 H). Dari Qatadah dan Mujahid (w. 104 H), ‘Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah’ yakni, “Tandingan-tandingan dari kalangan manusia yang kalian taati dalam kemaksiatan kepada Allah.”

Ibnu Zaid berkata, “Sekutu-sekutu adalah tuhan-tuhan yang mereka jadikan sama dengan Allah, mereka mempersembahkan kepadanya apa yang mereka persembahkan kepada Allah.”

Mujahid (murid Ibnu ‘Abbas –radhiyallaahu ‘anhu-, red) berkata, ‘Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.’ “Kalian mengetahui bahwa Dia adalah Rabb yang satu sebagaimana disebutkan di dalam Taurat dan Injil.” Dia menyebutkan hadits tentang makna ayat yang mulia ini, yaitu hadits dalam Musnad Imam Ahmad (Shahih, 4/130, 202, 344), dari al-Harits al-Asy’ari, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;

إن الله أمر يحيى بن زكريا عليه السلام بخمس كلمات أن يعمل بهن وأن يأمر بني إسرائيل أن يعملوا بهن ، وأنه كاد أن يبطيء بها . فقال له عيسى عليه السلام :  إن الله أمرك بخمس كلمات أن تعمل بهن وتأمر بني إسرائيل أن يعملوا بهن فإما أن تبلغهن وإما أن أبلغهن ، فقال : يا أخي ، إني أخشى إن سبقتني أن أعذب أو يخسف بي . قال : فجمع يحيى بن زكريا بني إسرائيل في بيت المقدس ، حتى امتلأ المسجد وقعد على الشرف . فحمد الله وأثنى عليه ثم قال : إن الله أمرني بخمس كلمات أن أعمل بهن وآمركم أن تعملوا بهن : أولاهن أن تعبدوا الله ولا تشركوا به شيئاً : فإن مثل ذلك مثل رجل اشترى عبداً من خالص ماله بذهب أو ورق ، فجعل يعمل ويؤدي غلته إلى غير سيده ، فأيكم يسره أن يكون عبده كذلك ؟ وإن الله خلقكم ورزقكم فاعبدوه ولا تشركوا به شيئاً

“Sesungguhnya Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya ‘alaihis salam dengan lima kalimat agar dia mengamalkannya dan memerintahkan Bani Isra’il agar mengamalkannya. Akan tetapi, hampir saja dia tidak segera melaksanakannya. Maka Isa ‘alaihis salam berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkanmu dengan lima kalimat agar kamu mengamalkannya dan memerintahkan Bani Isra’il agar mengamalkannya. Kalau kamu tidak menyampaikan kepada mereka maka aku yang akan menyampaikan kepada mereka’. Yahya menjawab, ‘Wahai saudaraku, jika kamu mendahuluiku maka aku takut akan diazab atau dibenamkan di bumi’. Lalu Yahya mengumpulkan Bani Isra’il di Baitul Maqdis sampai penuh dan ia didudukkan di tempat yang tinggi. Dia memuji Allah dan menyanjung-Nya kemudian dia berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkanku dengan lima kalimat agar aku mengamalkannya. Yang pertama, hendaklah kalian menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan sesungguhnya perumpamaan orang yang menyekutukan Allah adalah seperti seseorang yang membeli hamba sahaya dari hartanya yang murni: emas atau perak, lalu hamba sahaya itu bekerja dan menyerahkan penghasilannya kepada (orang) yang bukan majikannya. Siapa di antara kalian yang ingin memiliki hamba sahaya seperti itu?, sesungguhnya Allah menciptakan kalian dan memberi rizki kepada kalian, maka sembahlah Dia dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun....” [lihat selengkapnya dalam kitab: Fathul Majeed Syarh Kitab at-Tauheed, hal. 595-596, cet. Muassasah Qurthubah]

Pertanyaannya, “Siapakah orang-orang yang menjadikan makhluk Allah e.g Nabi Isa ‘alaihis salam, al-Latta, al-‘Uzza, ‘Uzair, para Malaikat, Matahari dan sebagainya sebagai sekutu bagi Allah ‘Azza wa Jall dalam peribadatan?”, apakah kaum Muslimin?. Apakah dengan mengklaim bahwa Allah adalah Rabb seluruh umat (tidak hanya Rabb-nya umat Islam, red) lantas menjadikan mereka (kaum musyrikin dari kalangan ahli kitab dan selainnya) di atas kebenaran?


Poin yang kedua, orang-orang yang berpemahaman seperti dirinya (i.e penulis artikel) dari kalangan misionaris JIL kerap menggunakan ayat-ayat mutasyabihat sebagai sandaran pembenaran ide-ide pluralis mereka. Tujuannya tidak lain –wallaahu a’lam- agar “penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan –sebagaimana klaim mereka-” itu bisa terwujud [lihat http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil, poin. d]. Sebagai contoh adalah ayat berikut;

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan orang-orang Sabi’in  siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. al-Baqarah: 62)

Dengan ayat inilah sang “ahli tafsir hadits” muda dari IAIN itu menyimpulkan, “Setiap umat manusia, apapun agama mereka, berhak memasuki surga yang telah Allah janjikan bagi setiap manusia yang melakukan kebaikan.” Konteks “umat” yang dimaksud sepertinya tidak hanya terbatas pada masa atau era tertentu saja, artinya hak tersebut berlaku untuk umat-umat terdahulu maupun umat-umat belakangan (dari kalangan ahli kitab dan selainnya, red).

Jika demikian kesimpulannya, lantas dikemanakan firman Allah Ta’ala yang lain yang lebih muhkam semisal;

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata, ‘Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nashrani.’ Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’ (QS. al-Baqarah: 111)

Atau Firman-Nya;
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

“Sesungguhnya agama yang ada di sisi Allah hanyalah Islam...” (QS. Ali Imran: 19)

Atau firman-Nya;
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ

“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya...” (QS. Ali Imran: 85)

Mengapa tidak dikompromikan?. al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H) menjelaskan QS. al-Baqarah: 62 di atas; “Allah mengabarkan bahwasannya kaum mukminin dari umat ini, Yahudi, Nashrani, dan orang-orang shabi’in adalah orang yang beriman kepada Allah di antara mereka, kepada Hari Akhir, dan mempercayai rasul-rasul mereka; maka bagi mereka ganjaran yang besar, rasa aman dan tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Adapun orang-orang yang kafir di antara mereka kepada Allah, rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, tentu berbeda dengan kondisi yang pertama, maka dia ditimpa rasa kekhawatiran dan kesedihan.” Beliau juga mengatakan, “... Ini adalah kabar tentang mereka sebelum diutusnya Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.” [Taiseer al-Karim ar-Rahman, 1/62, cet. Daar Ibn al-Jawzee]

Jadi yang dimaksud dengan orang-orang yang “menerima pahala dari Rabb mereka” dari Kalangan Yahudi, Nashrani dan Sabi’in adalah mereka yang benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala (meninggalkan kesyirikan dan hanya menyembah Allah Ta’ala semata, red), kepada Rasul-Nya dan Hari Akhir. Jika mereka hidup di jaman rasul-rasul terdahulu, maka mereka akan mengimani dan membenarkan syariat agama yang dibawa oleh para rasul tersebut, dan mengerjakan amal shalih. Adapun jika mereka hidup di zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama atau di zaman setelahnya, maka mereka akan mengimani risalah yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berupa syariat Islam dan menjalankannya dengan baik dan benar. Jika hanya sekedar mengaku-ngaku (beriman kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada Hari Akhir) tanpa disertai dengan amal (e.g mengerjakan Shalat, Puasa, Zakat, dll), maka pengakuan tersebut tidaklah diterima.

al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad bin Husain bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 510 H) berkata dalam “Kitab al-Iman” berkaitan dengan syarh hadits Jibril yang panjang, “Beliau (i.e Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallama) mengabarkan bahwa agama yang diridhai-Nya dan yang Dia terima dari para hamba hanyalah Islam. Agama tidak akan diterima kecuali jika pembenaran dalam hati itu dibarengi dengan amal.[Syarhus Sunnah al-Baghawi, 1/11, cet. al-Maktab al-Islamiy]

Penjelasan al-‘Allamah as-Sa’dy dalam tafsir sebelumnya juga sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berikut; “Tiga golongan yang pahalanya diberikan dua kali, seorang dari ahli kitab yang beriman dengan nabinya dan dia mendapatkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama lalu dia beriman kepadanya, mengikuti dan membenarkannya,.. dst.” (HR. al-Bukhari no. 97, 2547, Muslim no. 385, at-Tirmidzi no. 1116, an-Nasaa’i no. 3344 dan Ibnu Majah no. 1956)

al-Imam al-Hafizh Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawaawi asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 676 H) menjelaskan makna hadits di atas, “Terdapat keutamaan orang-orang ahlul kitab (i.e Yahudi dan Nashrani) yang mengimani nabi kita, Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bahwa baginya mendapat dua pahala; pertama, karena keimanan dia kepada nabinya belum dihapus. Kedua, karena keimanan dia kepada nabi kita, Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 2/248, cet. Muassasah al-Qurthubah]

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bahwasannya beliau bersabda; “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya!, tidaklah seseorang mendengar dariku dari umat ini baik dia orang Yahudi atau Nashrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku telah diutus dengannya, melainkan dia termasuk penghuni Neraka.(HR. Muslim no. 384)

al-Imam an-Nawaawi –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan hadits di atas dalam bab: باب وُجُوبِ الْإِيمَانِ بِرِسَالَةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جَمِيعِ النَّاسِ وَنَسْخِ الْمِلَلِ بِمِلَّتِهِ (Wajib mengimani risalah Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi sallam oleh seluruh manusia dan penghapusan seluruh bentuk agama oleh agama yang beliau bawa); “‘Tidaklah seseorang mendengar dariku dari umat ini,’ maksudnya adalah orang-orang yang mendengar risalah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama pada masa hidup beliau dan sesudahnya sampai hari Kiamat. Oleh karena itu, semua wajib mentaatinya (i.e syariat yang dibawa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, red). Sedangkan disebutkannya orang-orang Yahudi dan Nashrani adalah sebagai peringatan bagi umat selain keduanya. Selain itu, juga bahwa keduanya memiliki kitab suci. Jadi, bagi mereka yang memiliki kitab suci saja harus mentaati Nabi Muhammad –Shallallaahu ‘alaihi wa sallama- apalagi yang tidak memilikinya, wallaahu a’lam.” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 2/248, cet. Muassasah al-Qurthubah]

Pertanyaannya, “Benarkah orang-orang Yahudi, Nashrani, dan selain mereka dari kalangan kaum musyrikin di zaman ini beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya?”. Jika mereka benar-benar beriman, tentunya sudah dari dulu mereka mengikuti syariat yang dibawa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, dan memeluk agama Islam.


Poin ketiga dan keempat, telah berlalu penjelasannya bahwa satu-satunya agama yang Allah ridhai hanyalah Islam (terserah mereka i.e orang Yahudi dan Nashrani, mau percaya atau tidak), dan risalah yang beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bawa berimplikasi pada terhapusnya segala bentuk agama sebelumnya (yang dianut ahli kitab dan selainnya) dan merupakan kewajiban bagi seluruh manusia untuk tunduk dan taat terhadap syariat yang beliau bawa. Maka pertanyaan, “Apakah bisa dikatakan adil kalau ada orang yang beragama Islam yang selalu membuat kerusuhan dan kejahatan di dunia bisa masuk Surga, sementara ada orang yang tak pernah melakukan sesuatu, kecuali hal tersebut adalah suatu kebajikan, dalam setiap nafas kehidupannya kelak akan mendapat siksa-Nya di akhirat, hanya karena Islam tidak menjadi agama pilihannya ketika hidup di dunia?.” Bisa dijawab dengan singkat sebagai berikut;

Apalah artinya amal kebajikan jika ia dilandasi oleh kekufuran dan pendustaan. Lihatlah Abu Thalib, paman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, bantuannya yang begitu besar terhadap perkembangan dakwah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama tidak mampu membantunya masuk surga. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;

مَّثَلُ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لاَّ يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُواْ عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلاَلُ الْبَعِيدُ

“Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim: 18)

Dari al-Ma’rur bin Suwaid, ia berkata, ‘saya mendengar Abu Dzar memberitahukan hadits dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bahwasannya beliau bersabda, “Jibril ‘Alaihissalam telah mendatangiku, lalu ia memberikan kabar gembira bahwasannya barang siapa yang mati dari umatmu dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, maka dia masuk surga.” Saya bertanya, “Meskipun dia berzina dan mencuri?.” Ia berkata, “Meskipun ia berzina dan mencuri.” (HR. al-Bukhari no. 1180, Muslim no. 268)

al-Imam al-Hafizh Muhyiddin an-Nawaawi –raheemahullaahu Ta’ala- membuat judul bab: “Barangsiapa meninggal dalam keadaan tidak meyekutukan Allah, maka akan masuk surga, dan barangsiapa yang meninggal dalam keadaan menyekutukan-Nya, maka masuk neraka”. Beliau berkata; “Adapun mengenai sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang mengatakan bahwa orang yang mati dalam keadaan musyrik akan masuk neraka, sedangkan yang mati dalam keadaan bertauhid akan masuk surga, maka kaum muslimin telah menyepakati makna dari hadits tersebut. Berdasarkan keumuman hadits, maka orang musyrik akan masuk neraka dan kekal di dalamnya baik dia orang ahli kitab; Yahudi, Nashrani atau para penyembah berhala serta seluruh orang-orang kafir. Menurut ahlul haq bahwa tidak ada bedanya antara kafir yang menentang dengan selainnya, tidak juga antara orang yang menyelisihi ajaran Islam dengan orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam tapi dihukumi sebagai seorang yang kafir karena sebab pengingkaran dan lainnya.

Adapun orang yang mati dalam keadaan mentauhidkan Allah, maka ia akan masuk surga. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama selama dia tidak mengerjakan dosa-dosa besar selain syirik. Akan tetapi, jika dia pelaku dosa besar lalu mati dalam keadaan terus menerus melakukan perbuatannya itu, maka dia berada di bawah kehendak Allah; jika Dia berkehendak, maka Allah akan mengampuninya lalu memasukannya ke dalam surga (secara) langsung, jika tidak maka dia disiksa terlebih dahulu kemudian dikeluarkan dari neraka lalu (Dia) memasukannya ke dalam surga secara kekal. Wallaahu a’lam.” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 2/128-129, cet. Muassasah al-Qurthubah]

Dari keterangan di atas, masihkah engkau mempertanyakan keadilan Allah Ta’ala?. Dia berbuat sesuai kehendak-Nya dan tidaklah hal ini menunjukkan bahwa Dia adalah Dzat yang dzalim. Masihkah engkau menyangsikan bahwa memeluk Islam merupakan garansi keselamatan?. Saya pikir, hanya orang bodoh saja yang berpendapat demikian, wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.
[Baca Selengkapnya...]


Dampak Negatif Dari Pekerjaan Haram



Sebagaimana halnya racun yang merusak organ tubuh peminumnya, pekerjaan haram juga punya efek serupa (hanya saja yang rusak adalah amal ibadahnya, red). Hal tersebut sudah menjadi aksioma di sisi ahlul ‘ilmi (dari zaman dahulu hingga sekarang). Namun terkadang, nada pesimistis masih sering kita dengar dari sebagian saudara-saudara kita yang mengatakan, “La wong nyari pekerjaan yang haram saja sulit je, apalagi yang halal rek!”, atau pernyataan, “Boro-boro nyari duit halal, la wong nyari yang haram saja susah!” atau pernyataan sejenis lainnya. Ada dua kemungkinan (yang menimpa orang-orang seperti ini, red), pertama; ia benar-benar belum mengetahui, atau kedua; ia sudah mengetahui namun tidak mengimani firman Allah Azza wa Jall –yang sering kita dengar di ceramah-ceramaah keagamaan- berikut;

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkannya (i.e keperluannya).” (QS. ath-Thalaq: 2-3)


Atau sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu dari beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;

(( لَو أَنَّكُم تَوكَّلُون على اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَما يَرزُقُ الطَّيرَ ، تَغدُو خِماصاً ، وتَروحُ بِطاناً ))

“Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang hakiki, niscaya Dia memberikan kalian rizki seperti Dia memberi rizki kepada burung-burung yang keluar (pada) pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian pulang (pada) sore hari dalam keadaan kenyang.” (Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad 1/20, 52, at-Tirmidzi no. 2344, an-Nasaa’i 8/79, Ibnu Majah no. 4164, Ibn al-Mubarak dalam az-Zuhdu no. 559, al-Baghaawi dalam Syarh as-Sunnah hadits no. 4108. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban hadits no. 730 dan al-Hakim 4/318)


al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) menjelaskan;

وحقيقة التوكّل : هو صدقُ اعتماد القلب على الله U في استجلاب المصالح ، ودفعِ المضارِّ من أمور الدنيا والآخرة كُلِّها ، وكِلَةُ الأمور كلّها إليه ، وتحقيق الإيمان بأنه لا يُعطي ولا يمنعُ ولا يَضرُّ ولا ينفع سواه

“Hakikat tawakkal adalah ketergantungan hati dengan jujur kepada Allah Azza wa Jall dalam mendatangkan kemashlahatan dan menolak mudzarat dari seluruh urusan dunia dan akhirat. Tawakkal juga berarti menyerahkan seluruh persoalan kepada Allah. Tawakkal juga berarti merealisir iman bahwa tidak ada yang bisa memberi, menahan pemberian, membuat mudzarat, dan mendatangkan kemashlahatan kecuali Allah.”


Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- juga mengatakan;

واعلم أنَّ تحقيق التوكل لا يُنافي السَّعي في الأسباب التي قدَّر الله سبحانه المقدورات بها ، وجرت سُنَّته في خلقه بذلك ، فإنَّ الله تعالى أمر بتعاطي الأسباب مع أمره بالتوكُّل ، فالسَّعيُ في الأسباب بالجوارح طاعةٌ له ، والتوكُّلُ بالقلب عليه إيمانٌ به  ، كما قال الله تعالى

“Ketahuilah bahwa realisasi tawakkal tidak bertentangan dengan upaya mencari sebab-sebab yang ditakdirkan Allah dan merupakan ketentuan-Nya di makhluk, karena Allah Ta’ala memerintahkan mengambil sebab-sebab sekaligus memerintahkan tawakkal. Jadi, upaya mencari sebab-sebab dengan organ tubuh adalah bentuk ketaatan kepada-Nya, sedangkan tawakkal dengan hati ialah iman kepada-Nya, seperti yang difirmankan oleh Allah Ta’ala;

} يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ {

“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kalian.” (QS. an-Nisa’: 71)

Allah Ta’ala berfirman;

وقال : } وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ {

“Dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat.” (QS. al-Anfal: 60)

Allah Ta’ala berfirman;

وقال : } فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ {

“Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10)

وقال سهل التُّستَرِي : من طعن في الحركة - يعني : في السعي والكسب - فقد طعن في السُّنة ، ومن طعن في التوكل ، فقد طعن في الإيمان ، فالتوكل حالُ النَّبيِّ r ، والكسب سنَّتُه ، فمن  عمل على حاله ، فلا يتركنّ سنته

Shahl at-Tusturi berkata, ‘Barangsiapa mencela kerja, sungguh ia mencela sunnah. Barangsiapa mencela tawakkal, sungguh ia mencela iman.’ Karena tawakkal adalah kondisi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan kerja adalah sunnah beliau. Oleh sebab itu, barangsiapa beramal seperti kondisi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, ia jangan sekali-kali meninggalkan sunnah beliau.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/496-497, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]


Kerja yang dimaksud di atas tentunya pekerjaan yang halal. Maka dari itu sangatlah aneh jika ada di antara kita yang khusyu’ bertawakkal kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala (khususnya ketika membutuhkan sesuatu), namun secara bersamaan memilih sebab-sebab yang bertentangan dengan syariat-Nya dalam mencari rizki. Baiklah, mari kita fokus kembali kepada topic utama artikel ini, i.e mengenai bahayanya harta yang diperoleh dari pekerjaan haram (atau harta yang diperoleh dengan cara yang haram) terhadap dunia dan akhirat seseorang. Dalam sebuah hadits shahih dijelaskan; Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;

(( إنَّ الله طَيِّبٌ لا يَقْبَلُ إلاَّ طيِّباً ، وإنَّ الله تعالى أمرَ المُؤْمِنينَ بما أمرَ به المُرسَلين ، فقال : } يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحا { ، وقال تعالى : } يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُم { ، ثمَّ ذكَرَ الرَّجُلَ يُطيلُ السَّفرَ : أَشْعَثَ أَغْبَرَ ، يمُدُّ يدَيهِ إلى السَّماءِ : يا رَب يا رب ، وَمَطْعَمُهُ حَرامٌ ، ومَشْرَبُهُ حَرامٌ ، وَمَلْبَسُهُ حرامٌ ، وَغُذِّيَ بالحَرَامِ ، فأنَّى يُستَجَابُ لِذلكَ ؟))

“Sesungguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul, ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.’ (al-Mukminun: 51). Allah Ta’ala berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian.’ (al-Baqarah: 172).” Kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangan ke langit seraya berkata, “Ya Rabbku, Ya Rabbku,” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kebutuhannya dipenuhi dengan sesuatu yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?.” (HR. Muslim no. 1015, at-Tirmidzi no. 2989, Imam Ahmad 2/328, dan ad-Darimi 2/300)


al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) menjelaskan hadits di atas; “Maksudnya, Allah Ta’ala tidak menerima sedekah kecuali sedekah yang berasal dari pendapatan yang baik dan halal. Ada yang mengatakan, maksud hadits yang sedang kita bahas, yaitu hadits, ‘Allah tidak menerima kecuali yang baik,’ itu lebih luas, maksudnya yaitu Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang merusaknya seperti riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang baik dan halal. Jadi kata, ‘baik/ suci’ itu disifatkan pada amal perbuatan, perkataan dan keyakinan. Ketiga hal tersebut terbagi ke dalam dua bagian; baik dan buruk.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/259, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]


Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan; “Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi orang Mukmin adalah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal. Dengan makanan yang baik, amalnya menjadi berkembang. Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan makanan yang halal dan bahwa makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik,’ beliau bersabda bahwa Allah memerintahkan kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah Ta’ala berfirman;

} يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً {

‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.’ (al-Mukminun: 51)

Allah Ta’ala berfirman;

} يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ {

‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian.’ (al-Baqarah: 172).

Maksudnya bahwa para rasul dan umat mereka masing-masing diperintahkan (untuk) makan makanan yang baik yang merupakan makanan yang halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanannya tidak halal, bagaimana amal bisa diterima?.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/260, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]


Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan;

وقال أبو عبد الله الناجي الزاهد رحمه الله : خمسُ خصال بها تمامُ العمل : الإيمان بمعرفة الله U ، ومعرفةُ الحقِّ ، وإخلاصُ العمل للهِ ، والعمل على السُّنَّةِ ، وأكلُ الحلالِ، فإن فُقدَتْ واحدةٌ، لم يرتفع العملُ ، وذلك أنَّك إذا عرَفت الله U ، ولم تَعرف الحقَّ ، لم تنتفع ، وإذا عرفتَ الحقَّ ، ولم تَعْرِفِ الله ، لم تنتفع ، وإنْ عرفتَ الله ، وعرفت الحقَّ ، ولم تُخْلِصِ العمل ، لم تنتفع ، وإنْ عرفت الله ، وعرفت الحقَّ، وأخلصت العمل ، ولم يكن على السُّنة ، لم تنتفع ، وإنْ تمَّتِ الأربع ، ولم يكن الأكلُ من حلال لم تنتفع

“Abu Abdullah an-Naji –raheemahullahu- berkata, ‘Ada lima hal dimana dengannya amal menjadi sempurna; Pertama, Beriman dengan mengenal Allah Azza wa Jall. Kedua, mengenal kebenaran. Ketiga, mengikhlaskan amal karena Allah. Keempat beramal sesuai sunnah. Kelima, memakan (makanan) halal. Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal menjadi tidak naik. Jika engkau mengenal Allah Azza wa Jall namun tidak mengenal kebenaran, engkau menjadi tak berguna. Jika engkau mengenal Allah dan mengenal kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah, mengenal kebenaran dan mengikhlaskan amal namun tidak sesuai dengan sunnah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi empat syarat tersebut, namun makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak berguna.’” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/262-263, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]


Dari keterangan yang panjang di atas anda bisa menarik benang merahnya sendiri, bagaimanakah kiranya nilai sedekah seseorang (termasuk juga amal shalih yang lain e.g memerdekakakan budak, membangun masjid, memperbaiki jalan dll yang manfaatnya dirasakan oleh manusia, red) di sisi Allah ‘Azza wa Jall jika uang yang ia gunakan itu berasal dari hasil pencurian, korupsi, mengambil harta orang lain dengan cara bathil (e.g maks/ pajak/ bea cukai atau praktek ribawi), atau hasil perjudian, atau hasil jual beli barang-barang haram (e.g daging babi, minuman keras, narkoba, rokok dll)?. Akan-kah ia mendapatkan pahala?.


Dalam sebuah hadits berderajat hasan yang diriwayatkan dari Diraj dari Ibnu Hujairah dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;

(( من كسب مالاً حراماً ، فتصدق به ، لم يكن له فيه أجرٌ ، وكان إصرُه عليه ))

“Barangsiapa mendapatkan harta haram kemudian bersedekah dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di dalamnya dan dosa menjadi miliknya.” (HR. Ibnu Hibban no. 3368)


Hadits ini sekaligus merupakan jawaban yang gamblang terhadap pertanyaan di atas. Itu baru mengenai amal shalih yang terkait langsung dengan harta (e.g sedekah dll), lantas bagaimanakah kiranya dengan doa-doa yang ternyata juga tidak dikabulkan oleh Allah ‘Azza wa Jall sekalipun sebab-sebab terkabulnya doa melekat pada dirinya semisal safar dalam keadaan lusuh, mengangkat tangan ketika berdoa, bertawassul dengan nama Allah dll (sebagaimana redaksi akhir hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu di atas)?. Jika demikian pahitnya akibat yang bakal dirasakan (oleh seseorang) karena pekerjaan haram yang digelutinya, tentu orang yang berakal akan berpikir dua kali, kemudian berkata, “Apalah artinya kedudukan yang tinggi, status sosial yang membanggakan, kekayaan yang melimpah, popularitas yang memabukkan, namun harta yang kami peroleh berasal dari perkerjaan yang haram atau dari jalan-jalan yang haram. Lalu harta itu kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok diri-diri kami dan keluarga kami (i.e anak dan istri kami) seperti makan, minum, pakaian, kendaraan, rumah, sedekah dll yang ternyata dengannya amal ibadah menjadi tidak bernilai dan doa-doa tidak terkabulkan.” Duhai ruginya orang-orang seperti ini,.. Bersyukurlah mereka yang meskipun pendapatannya kecil, masih bisa hidup dari pekerjaan yang halal dan baik.


Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.

[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula