0 Belajar Dari Peristiwa Ibnu al-Asy’ats



Kembali, mari kita baca dan renungi lembaran kisah-kisah (yang terjadi) di masa lampau sebagai bahan introspeksi diri dan ibrah bagi orang-orang yang berakal.

Allah Ta’ala berfirman;

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111)

Dahulu kala, di zaman pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, muncul satu pemberontakan yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 82 Hijriyah sebagaimana penuturan al-Waqidi raheemahullaahu; “(Pemberontakannya dimulai) pada tahun 82 Hijriyah.” Dan al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’I raheemahullaahu menambahkan; “Ibnu Jarir (ath-Thabariy) menuturkannya pada tahun ini (i.e 82 H) dan kami menyepakatinya.” [al-Bidayaah wan-Nihayah (12/304-305), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]

Penyebabnya adalah tindakan sewenang-wenang dari seorang gubernur Irak yang bernama Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi terhadap penduduk Irak (biografinya, kejahataannya yang masyhur diulas secara panjang lebar dalam kitab al-Bidaayah wan-Nihayah, peristiwa tahun 95 Hijriyah. Silahkan merujuk kesana, red). Dan Ibnu al-Asy’ats yang berada di bawah komando pasukan al-Hajjaj waktu itu berusaha menggulingkan kepemimpinan al-Hajjaj yang memang terkenal dzalim tersebut. Dia menyurati salah seorang tabi’in, al-Muhallab bin Abi Shufrah (al-Muhallab pernah menjabat sebagai gubernur al-Jazirah pada masa pemerintahan ‘Abdullah bin Zubair radhiyallaahu ‘anhu pada tahun 68 H, kemudian pada awal pemerintahan al-Hajjaj dia memerangi Khawarij, red), mengajaknya agar mau bergabung dengan pasukannya, namun dia menolak. Lalu dia menasihati Ibnu al-Asy’ats melalui surat yang isinya;

إنك يا ابن الأشعث قد وضعت رجلك في ركاب طويل، ابق على أمة محمد صلى الله عليه وسلم، انظر إلى نفسك فلا تهلكها، ودماء المسلمين فلا تسفكها، والجماعة فلا تفرقها، والبيعة فلا تنكثها، فإن قلت أخاف الناس على نفسي فالله أحق أن تخافه من الناس، فلا تعرضها لله في سفك الدماء، أو استحلال محرم والسلام عليك‏.‏

“Wahai Ibnu al-Asy’ats, kamu telah menginjakkan kakimu di sunggurdi yang panjang. Tetaplah sebagai umat Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama!, takutlah kepada Allah. Lihatlah dirimu dan jangan merusaknya. Jangan engkau tumpahkan darah kaum muslimin!, jangan pecah belah persatuan umat dan jangan rusak baiat!. Bila kamu mengatakan, ‘Aku takut kepada manusia atas diriku’, maka Allah lebih berhak engkau takuti daripada manusia. Janganlah engkau menentang Allah dengan menumpahkan darah atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan. Wassalamu ‘alaika.” [Tarikh ath-Thabariy (6/388), al-Bidaayah wan-Nihayah (12/308), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]

Namun Ibnu al-Asy’ats tetap kukuh pada pendiriannya untuk mengkudeta al-Hajjaj yang dzalim, sebagian para fuqaha yang mulia pun ikut membaiatnya. Akhirnya terjadilah peristiwa yang dikhawatirkan oleh al-Muhallab sebelumnya, pertumpahan darah antara kubu al-Hajjaj dan Ibnu al-Asy’ats. Keadaan ini (yakni pertumpahan darah antar kaum muslimin) terus berlangsung hingga para amir berunding bersama Abdul Malik bin Marwan, khalifah yang memerintah saat itu. Mereka (para amir, red) mengatakan kepadanya;

إن كان أهل العراق يرضيهم منك أن تعزل عنهم الحجاج فهو أيسر من قتالهم وسفك دمائهم

“Apabila warga Irak suka bila engkau memecat al-Hajjaj, ini lebih ringan daripada engkau memerangi mereka dan menumpahkan darah mereka.”

Lalu Abdul Malik bin Marwan mengirimkan surat kepada penduduk Irak yang isinya;

إن كان يرضيكم مني عزل الحجاج عنكم عزلته ، وأبقيت عليكم أعطياتكم مثل أهل الشام ، وليختر ابن الأشعث أي بلد شاء يكون عليه أميرا ما عاش وعشت ، وتكون إمرةالعراق لمحمد بن مروان      

“Apabila kalian suka apabila aku memecat al-Hajjaj dari jabatan gubernur Irak, aku akan memecatnya dan tunjangan bagi kalian akan tetap kuberikan seperti tunjangan kepada warga Syam. Adapun Ibnu al-Asy’ats, dia boleh memilih negeri mana saja yang dia sukai untuk menjadi gubernurnya selama dia masih hidup dan selama aku masih hidup, kemudian jabatan gubernur Irak akan dipegang oleh Muhammad bin Marwan.” Dia juga berpesan;

فإن لم يجب أهل العراق إلى ذلك فالحجاج على ما هو عليه ، وإليه إمرة الحرب ، ومحمد بن مروان وعبد الله بن عبد الملك في طاعته وتحت أمره ، لا يخرجون [ ص: 320 ] عن رأيه في الحرب وغيره

“Apabila warga Irak tidak mau dengan tawaran ini, maka al-Hajjaj tetap menjadi gubernur Irak dan tetap menjadi panglima perang. Muhammad bin Marwan dan ‘Abdullah bin Abdul Malik harus tetap ta’at kepadanya dan tidak boleh menentangnya baik dalam (keaadan) perang maupun selain perang.” [al-Bidaayah wan-Nihayah (12/319-320), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]

Namun mereka menolak islah tersebut dan mengatakan;

لا والله لا نقبل ذلك; نحن أكثر عددا وعددا ، وهم في ضيق من الحال ، وقد حكمنا عليهم وذلوا لنا ، والله لا نجيب إلى ذلك أبدا

“Tidak, demi Allah kami tidak mau menerimanya. Jumlah kita lebih banyak sementara mereka dalam kesulitan. Kami memutuskan untuk memerangi mereka dan mereka telah merendahkan diri pada kita. Demi Allah, kami tidak mau selamanya.” [al-Bidaayah wan-Nihayah (12/321), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]

Mereka kembali bersepakat untuk memerangi Abdul Malik bin Marwan. Namun qadarullah, Allah Ta’ala menakdirkan pasukan al-Hajjaj mampu mengalahkan pasukan Ibnu al-Asy’ats. Pada peristiwa (pemberontakan) ini, banyak para fuqaha yang gugur di tangan al-Hajjaj yang keji. Di antaranya adalah Kumail bin Ziyad bin Nahik bin al-Haitsam an-Nakha’I al-Kufiy, Sa’id bin Jubair, Imran bin Isham adh-Dhuba’I, ‘Abdurrahman bin Abi Laila, Abu ‘Inabah al-Khaulani, Abu Zur’ah al-Jaudzami al-Filisthini, ‘Abdullah bin al-Harits an-Naufal dll raheemahumullahu.

Dari kejadian mengerikan di atas dan dari peristiwa-peristiwa serupa lainnya, para ulama (pada akhirnya) berkonsensus (bersepakat) bahwa melawan kedzaliman para penguasa dengan jalan “pemberontakan” seperti itu (imma para penguasa tersebut memperoleh kekuasaannya dengan cara yang bathil seperti kudeta, demokrasi dll, red) merupakan kesalahan yang fatal dan terlarang dilakukan, meskipun dahulu sebagian para fuqaha salaf pernah terlibat di dalamnya.

al-Hafizh Ibnu Katsir raheemahullaahu mengatakan dalam kitabnya tatkala menjelaskan keadaan Ibnu al-Asy’ats;

جب كل العجب من هؤلاء الذين بايعوه بالامارة وليس من قريش، وإنما هو كندي من اليمن، وقد اجتمع الصحابة يوم السقيفة على أن الامارة لا تكون إلا في قريش، واحتج عليهم الصديق بالحديث في ذلك، حتى إن الانصار سألوا أن يكون منهم أمير مع أمير المهاجرين فأبى الصديق عليهم ذلك، ثم مع هذا كله ضرب سعد بن عبادة الذي دعا إلى ذلك أولا ثم رجع عنه، كما قررنا ذلك فيما تقدم .فكيف يعمدون إلى خليفة قد بويع له بالامارة على المسلمين من سنين فيعزلونه وهو من صلبية قريش ويبايعون لرجل كندي بيعة لم يتفق عليها أهل الحل والعقد ؟ ولهذا لما كانت هذه زلة وفلتة نشأ بسببها شر كبير هلك فيه خلق كثير فإنا لله وإنا إليه راجعون.

“Yang mengherankan adalah bahwa orang-orang (i.e para fuqaha Irak) membaiatnya (i.e Ibnu al-Asy’ats) meskipun dia bukan orang Quraisy, melainkan dari suku Kindah di Yaman. Pada hari as-Saqifah para shahabat sepakat bahwa kepemimpinan itu harus dipegang oleh orang Quraisy. Ash-Shiddiq (yakni Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu) berargumen dengan hadits yang menjelaskannya. Bahkan ketika orang-orang Anshar meminta salah seorang dari mereka dijadikan pemimpin bersama pemimpin Muhajirin, Abu Bakar menolaknya, sehingga Sa’ad bin ‘Ubadah yang semula mengusulkan agar orang-orang Anshar diangkat sebagai pemimpin menarik kembali usulannya, sebagaimana telah kami uraikan sebelumnya. Maka bagaimana bisa mereka melengserkan Khalifah dari Quraisy (i.e Abdul Malik bin Marwan) yang telah dibaiat bertahun-tahun oleh kaum muslimin? Lalu mereka membaiat seorang laki-laki Kindah (i.e Ibnu al-Asy’ats) yang tidak disepakati oleh Ahlul Halli wa al-Aqdi?. Oleh karena itulah ketika terjadi kesalahan fatal ini (i.e pemberontakan) maka muncul kekacauan yang besar dan huru-hara yang menewaskan banyak orang. Fainnalillaahi wa inna ilaihi raaji'un.” [al-Bidaayah wan Nihayah (12/355), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]

Hal lain yang perlu kita ketahui adalah bahwa pemberontakan itu tidak selamanya atau selalu identik dengan pedang atau senjata saja, ucapan yang bernada provokasi dalam rangka melawan (meskipun tidak disertai dengan senjata atau turut serta dalam peperangan, red) yang mengakibatkan tertumpahnya darah kaum muslimin yang tak berdosa karenanya juga termasuk dalam hal ini, sebagaimana kisah masyhur yang terdapat dalam hadits Dzul Khuwaisirah. Oleh karenanya al-Imam asy-Sya’bi raheemahullaahu, seorang ‘alim yang tsiqah yang pada peristiwa itu berada di pihak Ibnu al-Asy’ats mengakui dengan gentle kesalahannya (atas provokasi yang pernah ia lakukan, red). Dia berkata;

“Setelah aku masuk aku mengucapkan selamat atas keberhasilannya (i.e al-Hajjaj), lalu aku berkata, ‘Wahai sang gubernur, sesungguhnya orang-orang telah memerintahkan aku untuk meminta udzur -maaf- kepadamu dengan selain apa-apa yang telah diketahui oleh Allah bahwasanya itu benar. Dan demi Allah dalam kesempatan ini aku tidak mengatakan sesuatu kecuali kebenaran. Sungguh demi Allah kami telah menentangmu dan memprovokasi (menghasut massa) dan berusaha dengan penuh kesungguhan maka kami bukanlah orang-orang yang bertakwa lagi baik, namun bukan pula orang-orang yang keji lagi jahat. Allah telah memberikan pertolongan kepadamu terhadap kami dan mengaruniakan pertolongan kepadamu terhadap kami dan mengaruniakan keberuntungan dengan kami. Jika engkau mendera maka itu karena dosa-dosa kami. Tangan-tangan kami sekali-kali tidak pernah menyentuhmu. Dan jika engkau memaafkan kami maka itu karena kemurahan hatimu. Selanjutnya bagimulah bukti dan alasan terhadap kami.’” [al-Bidaayah wan-Nihaayah (12/341), cet. Daar Hijr Li al-Thabaa’ah wa al-Nasyr, Beirut, 1418 هـ]

Akhirnya, mari kita dengarkan dengan hati yang ikhlas, pikiran yang tenang (tanpa emosi) sembari memohon petunjuk kepada Allah ‘Azza wa Jall petuah dari al-Hafizh al-Mujahhid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah raheemahullaahu berikut;

أن الله تعالى بعث محمدا صلى الله عليه وسلم بصلاح العباد في المعاش والمعاد وأنه أمر بالصلاح ونهى عن الفساد فإذا كان الفعل فيه صلاح وفساد رجحوا الراجح منهما فإذا كان صلاحه أكثر من فساده رجحوا فعله وإن كان فساده أكثر من صلاحه رجحوا تركه فإن الله تعالى بعث رسوله صلى الله عليه وسلم بتحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد وتقليلها فإذا تولى خليفة من الخلفاء كيزيد وعبد الملك والمنصور وغيرهم فإما أن يقال يجب منعه من الولاية وقتاله حتى يولى غيره كما يفعله من يرى السيف فهذا رأى فاسد فإن مفسدة هذا أعظم من مصلحته وقل من خرج على إمام ذي سلطان إلا كان ما تولد على فعله من الشر أعظم مما تولد من الخير كالذين خرجوا على يزيد بالمدينة وكابن الأشعث الذي خرج على عبد الملك بالعراق وكابن المهلب الذي خرج على ابنه بخراسان وكأبي مسلم صاحب الدعوة الذي خرد عليهم بخراسان أيضا وكالذين خرجوا على المنصور بالمدينة والبصرة وأمثال هؤلاء وغاية هؤلاء إما أن يغلبوا وإما أن يغلبوا ثم يزول ملكهم فلا يكون لهم عاقبة فإن عبد الله بن علي وأبا مسلم هما اللذان قتلا خلقا كثيرا وكلاهما قتله أبو جعفر المنصور وأما أهل الحرة وابن الأشعث وابن المهلب وغيرهم فهزموا وهزم أصحابهم فلا أقاموا دينا ولا أبقوا دنيا والله تعالى لا يأمر بأمر لا يحصل به صلاح الدين ولا صلاح الدنيا وإن كان فاعل ذلك من أولياء الله المتقين ومن أهل الجنة

“Bahwa Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallama demi kemaslahatan para hamba di kehidupan dunia dan akhirat, dan bahwa beliau memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kerusakan, maka apabila dalam satu perbuatan terdapat kebaikan dan kerusakan, hendaklah kaum muslimin mengambil mana yang paling kuat dari keduanya; jika kebaikannya lebih banyak dari kerusakannya, hendaklah mereka melakukannya. Namun apabila kerusakannya lebih banyak dari kebaikannya, hendaklah mereka meninggalkannya, karena sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallama untuk menghasilkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta menghilangkan kemudaratan dan menguranginya.

Maka, jika yang berkuasa dari kalangan khalifah (yang tidak lebih pantas) seperti Yazid, Abdul Malik, Al-Manshur dan selain mereka; bisa jadi dikatakan bahwa wajib mencopotnya dan memeranginya sampai ia lengser dan digantikan oleh yang lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh mereka yang berpendapat bolehnya pemberontakan, maka ini adalah pendapat yang rusak, karena sungguh kerusakannya lebih besar dari kemaslahatannya.

Dan pada umumnya, tidaklah mereka memberontak kepada penguasa kecuali timbul kejelekan yang lebih besar dibanding kebaikan, seperti mereka yang memberontak kepada Yazid di Madinah, pemberontakan Ibnul ‘Asy’ats terhadap Abdul Malik di Iraq, pemberontakan Ibnul Mulhab terhadap anaknya Abdul Malik di Khurasan, pemberontakan Abu Muslim yang menyerukan pemberontakan terhadap penguasa di Khurasan, juga pemberontakan terhadap Al-Manshur di Madinah dan Bashroh dan yang semisalnya, pada akhirnya dua kemungkinan, mereka dikalahkan atau mereka menang lalu berakhir kekuasaan penguasa sebelumnya, namun yang terjadi adalah tidak ada hasil yang baik bagi para pemberontak tersebut.

Abdullah bin Ali dan Abu Muslim yang melakukan pemberontakan dengan membunuh banyak orang akhirnya keduanya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Manshur, adapun penduduk Al-Harah, Ibnul Asy’ats, Ibnul Mulhab dan selain mereka akhirnya menderita kekalahan, demikian pula pasukan-pasukannya, sehingga mereka tidaklah menegakkan agama dan tidak pula menyisakan dunia, padahal Allah Ta’ala tidak memerintahkan suatu perkara yang tidak menghasilkan kebaikan bagi agama ataupun dunia, meskipun yang memberontak itu dari kalangan wali Allah yang bertakwa dan termasuk penduduk surga (perbuatan mereka tidak dapat dibenarkan).” [Minhaajus Sunnah, 4/313-315, terjemah; al-Ustadz Sufyan Chalid]

Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu,..
[Baca Selengkapnya...]


1 Nasihat Amirul Mukminin Umar Bin Abdul Aziz –Raheemahullaahu Ta’ala-



Siapa yang tak kenal “al-Khulafa ar-Rasyidin al-Mahdiyyin”, i.e para pemimpin kaum muslimin yang terbimbing (di atas Kitabullah wa sunnatu ar-Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa sallama); Abu Bakar as-Shiddiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Ustman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib –radhiyallaahu Ta’ala ‘anhum-?. Adakah orang-orang sekaliber mereka di zaman ini?. Atau siapa yang tak pernah mendengar amirul mukminin Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –raheemahullaahu Ta’ala-?. Tidak ada seorang pun yang sepadan atau setara dengan mereka dalam keimanan, ketakwaan, ilmu, tawadhu’, wara’, zuhud, qana’ah, keadilan, jihad, dan seterusnya yang hidup di zaman ini atau setelahnya. Meskipun demikian, kita semua tetap berdoa dan berharap mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk dan kekuatan kepada para pemimpin (dari kalangan kaum muslimin yang sedang berkuasa di seluruh belahan negeri saat ini, red) agar mereka mampu mengikuti jejak-jejak para pendahulu mereka yang shalih tersebut dalam kebaikan dan takwa, amieen.

وعن عوف بن مالك رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم، وتصلون عليهم ويصلون عليكم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم!)) قال: قلنا: أي رسول الله، أفلا ننابذهم؟ قال: لا، ما أقاموا فيكم الصلاة، لا، ما أقاموا فيكم الصلاة)) رواه مسلم.

Dari ‘Auf bin Malik radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan sejahat-jahatnya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan yang membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka mengutuk kalian.’ ‘Auf berkata, ‘Kami bertanya wahai Rasulullah, Bolehkah kami melawan (baca: memerangi) mereka?’, Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.’” [HR. Muslim, no. 1855]

al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1421 H) menjelaskan; “Sabda beliau, ‘kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.’ Lafazh ash-Shalat (الصلاة) di sini maknanya adalah doa, yakni kalian mendoakan mereka agar Allah memberikan hidayah kepada mereka, memperbaiki orang-orang kepercayaan mereka, memberi taufik kepada mereka agar berlaku adil dan doa-doa lain yang mengandung kebaikan bagi pemimpin. Mereka juga mendoakan kalian dengan mengatakan, ‘Ya Allah, perbaikilah rakyat kami. Ya Allah, jadikanlah mereka sebagai orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah kami.’ Dan lain sebagainya.” [Syarh Riyadhus Shaalihin, 3/647-648, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]

Salah satu pemimpin teladan ummat yang akan kami nukilkan ucapan-ucapannya dalam artikel kali ini adalah Amirul Mukminin yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 101 H), terkhusus pidato-pidato beliau pasca ia terpilih sebagai khalifah yang menggantikan pemimpin kaum muslimin sebelumnya, Sulaiman bin ‘Abdul Malik –raheemahullaahu Ta’ala-. Siapakah beliau ini?

هُوَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ أَبِي الْعاصِ بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسِ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ أَبُو حَفْصٍ الْقُرَشِيُّ الْأُمَوِيُّ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ .كَانَ عُمَرُ تَابِعِيًّا جَلِيلًا، رَوَى عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، وَالسَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، وَيُوسُفَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ، وَيُوسُفُ صَحَابِيٌّ صَغِيرٌ. وَرَوَى عَنْ خَلْقٍ مِنَ التَّابِعِينَ. وَعَنْهُ جَمَاعَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ وَغَيْرِهِمْ. قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: لَا أَرَى قَوْلَ أَحَدٍ مِنَ التَّابِعِينَ حُجَّةً إِلَّا قَوْلَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ.

Ia adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abu al-Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syam bin ‘Abdu Manaf, Abu Hafsh al-Qurasyi al-Umawi, Amirul Mukminin. Umar adalah seorang tabi’in yang mulia, ia meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik, as-Saib bin Yazid, dan Yusuf bin Abdullah bin Salam –radhiyallaahu ‘anhum-, Yusuf ini adalah sahabat Yunior. Dan ia meriwayatkan dari banyak tabi’in, dan banyak juga yang meriwayatkan darinya dari tabi’in dan lainnya. al-Imam Ahmad bin Hambal berkata (Sirah Umar, al-Hafizh Ibn al-Jawzee, pg. 73), “Aku tidak melihat perkataan seorang tabi’in pun sebagai hujjah kecuali perkataan Umar bin Abdul Aziz.” [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/676-677, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]

Berkata al-Imam Ahmad (diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 13/287, red) mengatakan dari ‘Abdurrazzaq, dari ayahnya, dari Wahb bin Munabbih, bahwa ia berkata, “Jika di kalangan umat ini ada seorang mahdi (imam yang terbimbing/ diberikan petunjuk, red), maka dia adalah Umar bin Abdul Aziz.” Serupa dengan hal ini juga dikatakan oleh Qatadah, Sa’id bin al-Musayyab dan lebih dari satu orang lainnya.

Malik (diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 13/287, red) mengatakan, dari Abdurrahman bin Harmalah, dari Sa’id bin al-Musayyab, bahwa ia berkata, “Para khalifah adalah Abu Bakar dan dua Umar.” Lalu dikatakan kepadanya, “Abu Bakar dan Umar telah aku ketahui, lalu siapa Umar yang lainnya?”. Ia berkata, “Jika engkau masih hidup, engkau akan mengetahuinya.” Maksudnya adalah Umar bin Abdul Aziz.

Demikian juga yang diriwayatkan dari Abu Bakar bin Ayyasy, asy-Syafi’i dan lebih dari satu orang lainnya (diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 13/287, red). Para ulama bersepakat secara mutlak, bahwa ia (Umar bin Abdul Aziz) termasuk para imam yang adil, salah seorang al-Khulafa ar-Rasyidin dan salah seorang imam yang mendapatkan petunjuk (al-Mahdi). Disebutkan oleh lebih dari seorang bahwa ia termasuk kedua belas imam yang disebutkan di dalam hadits shahih. [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/695-696, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]

Berikut adalah kutipan pidato-pidato amirul mukminin Umar bin ‘Abdul Aziz –raheemahullaahu Ta’ala- yang kami ambil dari kitab al-Bidayah wan-Nihayah karya ulama ahlut tarikh, tafsir dan hadits, al-Imam al-Hafizh Abul Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 774 H)

[1]. Az-Zubair bin Bakkar (Tarikh Dimasyq, 13/277) berkata, “Muhammad bin Salam menceritakan kepadaku, dari Sallam bin Sulaim, ia berkata, ‘Ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah ia naik mimbar, dan pidato pertama yang disampaikannya, ia memanjatkan puja dan puji kepada Allah, kemudian berkata; “Saudara-saudara, barangsiapa menyertai kami maka silahkan menyertai kami dengan lima syarat, jika tidak maka silahkan meninggalkan kami; (yakni) Menyampaikan kepada kami keperluan orang-orang yang tidak dapat menyampaikannya, membantu kami atas kebaikan dengan upayanya, menunjuki kami dari kebaikan kepada apa yang kami tidak dapat menuju kepadanya, dan jangan menggunjingkan rakyat di hadapan kami serta jangan membuat-buat hal yang tidak berguna.” Maka para penyair dan para orator pun menghilang darinya, lalu tinggal bersamanya para ahli fikih dan para zuhud. Dan mereka berkata, “Kami tidak akan meninggalkan orang ini hingga perbuatannya menyelisihi ucapannya.”’ [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/691, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]

Kira-kira seperti apa ya orasi pertama yang disampaikan para pemimpin masa kini ketika ia terpilih menjadi seorang pemimpin yang membawahi suatu teritorry (wilayah)?, wallaahu a’lam. Apapun itu, tetap tidak bisa dibandingkan dengan amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz –raheemahullaahu Ta’ala-.

[2]. Yang lainnya (Tarikh Dimasyq, 13/279) berkata, “Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz menyampaikan pidato kepada masyarakat, ia berkata (yang mana ia telah menghimpun ibrah –pelajaran-), ‘Saudara-saudara, perbaikilah akhirat kalian niscaya dunia kalian akan baik bagi kalian, dan perbaikilah hal-hal yang tersembunyi dari kalian niscaya hal-hal yang terbuka dari kalian akan baik bagi kalian. Demi Allah, sesungguhnya seorang hamba itu, tidak ada lagi bapak di antara dirinya dan Adam kecuali telah mati, sesungguhnya ia benar-benar terkait dengan kematian.’”

Pada sebagian pidatonya (Tarikh Dimasyq, 13/279) ia mengatakan, “Berapa banyak pemakmur (dunia) yang takjub dengan sesuatu yang sedikit yang akan hancur, dan berapa banyak orang yang tinggal yang terpedaya oleh sesuatu yang sedikit yang akan sirna. Maka perbaikilah perjalanan, semoga Allah merahmati kalian, dari dunia dengan sebaik-baik apa yang dimiliki dengan kehadiran kalian yang berupa tunggangannya (i.e amal shalih). Karena ketika anak Adam di dunia bersaing di dunia dengan senang dan bahagia, tiba-tiba Allah memanggilnya (i.e mematikannya) dengan takdir-Nya, dan melemparnya dengan satu hari yang menghentikannya, lalu merampas jejak-jejaknya dan dunianya, lalu menjadikannya milik orang lain, semua hasil pekerjaannya dan penghasilannya. Sesungguhnya dunia itu tidak senang dengan takdir yang membahayakan, karena hanya bisa senang sebentar namun sedih berkepanjangan.” [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/692, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]

[3]. Isma’il bin Ayyasy (Tarikh Dimasyq, 13/279) mengatakan, dari ‘Amr bin Muhajir, Ia berkata, “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat khalifah, ia berdiri di depan khalayak, lalu ia memanjatkan puja dan puji kepada Allah kemudian berkata, ‘Saudara-saudara, sesungguhnya tidak ada Kitab setelah al-Qur’an dan tidak ada Nabi setelah Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Sesungguhnya aku bukanlah seorang penentu, akan tetapi seorang pelaksana, dan sesungguhnya aku bukan seorang yang mengada-ada akan tetapi seorang pengikut. Sesungguhnya orang yang melarikan diri dari seorang imam yang zhalim bukanlah seorang yang zhalim. Ingatlah, sesungguhnya imam yang zhalim adalah orang yang bermaksiat. Ingatlah, tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat terhadap Sang Pencipta Azza wa Jall.’”

Di dalam riwayat yang lainnya (Tarikh Dimasyq, 13/279), bahwa di dalam pidato ini ia mengatakan, “Dan sesungguhnya aku bukanlah seseorang yang lebih baik dari seseorang dari kalian, akan tetapi aku adalah orang yang paling berat menanggung beban. Ingatlah, tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat terhadap Allah. Ingatlah, bukankah aku telah memperdengarkan?”. [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/692-693, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]

Ucapan beliau –raheemahullaahu Ta’ala- sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berikut;

وعن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((على المرء المسلم السمعُ والطاعة فيما أحب وكره، إلا أن يؤمر بمعصيةٍ فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة)) متفقٌ عليه.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama beliau bersabda, “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat kepada pemimpin, baik dalam hal yang dia sukai atau tidak, kecuali dia diperintah untuk bermaksiat, maka apabila diperintah untuk bermaksiat tidak wajib mendengar dan tidak wajib taat.” [HR. al-Bukhari, no. 6955, 7144 dan Muslim, no. 1839]

[4]. Jika poin yang ke-1 berisi nukilan pidato Umar bin Abdul Aziz yang pertama (pasca terpilihnya beliau sebagai khalifah, red), maka poin yang ke-4 ini adalah pidato beliau yang terakhir. Ahmad bin Marwan (Tarikh Dimasyq, 13/279) berkata, “Ahmad bin Yahya al-Halwani meneritakan kepada kami, Muhammad bin Ubaid menceritakan kepada kami, Ishaq bin Sulaiman menceritakan kepada kami, dari Syu’aib bin Shafwan, seorang anak Sa’id bin al-Ash menceritakan kepadaku, ia berkata, ‘Khutbah terakhir yang disampaikan oleh Umar bin Abdul Aziz, ia memanjatkan puja dan puji kepada Allah, kemudian berkata;

Amma ba’du. Sesungguhnya kalian tidak diciptakan dengan sia-sia, dan tidak akan dibiarkan begitu saja. Dan sesungguhnya kalian mempunyai tempat kembali, dimana Allah menempatkan kalian di dalamnya untuk mengadili kalian dan memberi keputusan di antara kalian, maka sungguh telah gagal dan merugi orang yang keluar dari rahmat Allah dan diharamkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Tidaklah kalian tahu bahwa esok tidak ada yang aman kecuali sekarang waspada terhadap Hari Akhir dan merasa takut akan hal itu, menjual yang fana dengan yang abadi, yang sedikit dengan yang banyak dan rasa takut dengan rasa aman?, Tidakkah kalian lihat bahwa kalian berasal dari rangkaian orang-orang yang telah binasa, dan (orang-orang) setelah kalian, akan menjadi mereka yang masih tersisa, demikian seterusnya, hingga kita dikembalikan kepada sebaik-baik pewaris. Kemudian sesungguhnya kalian setiap hari melepas kepergian orang yang pergi di pagi dan sore hari kepada Allah, yaitu yang telah tiba ajalnya, hingga kalian menghilangkannya di lubang bumi, di dalam perut lubang tanpa (adanya) bantal maupun alas. Ia telah meninggalkan orang-orang yang disayangi, bersentuhan dengan tanah dan menghadapi hisab, maka ia tergadai dengan amalnya, tidak lagi membutuhkan apa yang ditinggalkannya, ia membutuhkan apa yang telah dipersembahkan (kepada Allah Ta’ala, red). Karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah sebelum berakhirnya pengawasan-Nya dan turunnya kematian kepada kalian. Sungguh aku mengatakan ini.’ Kemudian menutupkan ujung sorbannya ke wajahnya lalu menangis, maka menangis pula orang-orang di sekitarnya.”

Di dalam riwayat lain (Tarikh Dimasyq, 13/280) disebutkan, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengatakan perkataanku ini dalam keadaan aku tidak tahu bahwa seseorang dari kalian memiliki dosa-dosa yang lebih besar dari apa yang aku ketahui pada diriku, akan tetapi sesungguhnya itu adalah sunnah-sunnah yang adil dari Allah; di dalamnya Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan melarang bermaksiat terhadapnya.” Lalu ia beristighfar kepada Allah, kemudian menutupkan kain lengan bajunya pada wajahnya lalu menangis hingga membasahi jenggotnya. Ia tidak kembali ke tempat duduknya (tempat ia berkhutbah, red) hingga meninggal, semoga Allah merahmatinya. [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/693-694, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]

Terakhir, perkataan amirul mukminin yang mulia Umar bin Abdul Aziz berikut ini perlu kita resapi bersama, khususnya oleh mereka yang saat ini memegang amanah untuk memimpin atau memegang urusan umat (rakyat), terlebih-lebih lagi bagi mereka (para pemimpin, red) yang memiliki background pendidikan agama yang “mumpuni” (i.e kalangan agamawan, red). Please listen this carefully!.

Istri beliau –raheemahullaahu Ta’ala-, Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan (Tarikh Dimasyq, al-Hafizh Ibn Asakir, 13/2941) berkata, “Pada suatu hari aku masuk, saat itu ia sedang duduk di tempat shalatnya sambil menopangkan pipinya pada tangannya, sementara air matanya bercucuran di kedua pipinya, maka aku berkata, ‘Ada apa denganmu?’, ia berkata, ‘Kasihan engkau wahai Fathimah, aku ini telah memegang urusan umat ini, maka aku memikirkan orang fakir yang kelaparan, orang sakit yang tidak diurus, orang yang tidak memiliki pakaian yang kesulitan, anak yatim yang tidak dirawat, para janda yang sendirian (tidak ada yang membiayai), orang yang dizhalimi yang tidak dapat menuntut haknya, orang asing, tawanan, orang yang sudah tua renta, orang yang memiliki banyak keluarga namun hartanya sedikit, dan sebagainya di seluruh penjuru bumi dan di seluruh penjuru negeri. Maka aku tahu, bahwa Rabbku ‘Azza wa Jall akan meminta pertanggungjawabanku mengenai mereka pada hari kiamat nanti, dan bahwa lawanku dibalik mereka adalah Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Maka aku takut tidak memiliki hujjah (alasan) saat aku dituntut, maka aku kasihan terhadap diriku, maka aku pun menangis.” [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/697, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]

Adalah beliau –raheemahullaahu Ta’ala-, seorang amirul mukminin yang mengikuti jejak para pendahulunya yang shalih seperti Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, ‘Ustman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib –radhiyallaahu Ta’ala ‘anhum- dalam perkara zuhud terhadap dunia. Beliau benar-benar sangat sederhana dan qana’ah. Seandainya beliau hidup di zaman ini, barangkali beliau adalah seorang pemimpin kaum muslimin yang paling miskin sejagad, jauh lebih miskin dari seorang Gubernur, Camat, Lurah even ketua RW sekalipun (note: barangkali sebagian orang akan menganggap perbandingan ini sebagai sesuatu yang “lebay”, tapi simaklah fakta berikut!).

Malik bin Dinar (Tarikh Dimasyq, 13/297) berkata, “Mereka mengatakan bahwa ‘Malik (i.e dia sendiri, red) adalah seseorang yang zuhud’. Menurutku (Malik), zuhud apanya. Sesungguhnya orang zuhud adalah Umar bin Abdul Aziz. Datang keduniaan kepadanya dengan melimpah ruah, namun ia meninggalkannya.” Mereka berkata, “Ia hanya memiliki satu gamis, bila mereka mencucinya, ia tinggal di rumah hingga kering.”

Mereka berkata (Tarikh Dimasyq, 13/300), “Pada suatu hari ia masuk ke tempat isterinya, lalu ia memintanya untuk meminjami satu dirham, atau uang untuk membeli anggur, namun isterinya tidak menemukan apapun, maka ia (sang istri, red) berkata kepadanya, ‘Engkau adalah Amirul Mukminin, namun dalam pundimu tidak terdapat sesuatu yang mencukupi untuk membeli anggur?!, Umar berkata, ‘Ini lebih ringan daripada menguraikan belenggu-belenggu di neraka Jahannam esok.’” [al-Bidayah wan-Nihayah, 12/697, Daar Hijr Lit-Thaba’ah, tahqiq: DR. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy]

Semoga Allah Azza wa Jall menempatkan beliau –raheemahullaahu Ta’ala- ke dalam Jannah-Nya yang tertinggi (i.e Firdaus), amieen. Mudah-mudahan bermanfaat, Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.
[Baca Selengkapnya...]


0 Kembalikanlah Hak Saudaramu (Baca: Piutang)



Sebagai bahan renungan saja bagi mereka yang gemar berhutang namun enggan menunaikan kewajibannya (i.e melunasi hutang-hutangnya) atau yang gemar menunda-nunda pengembalian hutang tanpa alasan yang jelas dalam kondisi ia (sebenarnya) sangat mampu menyelesaikan kewajibannya tepat waktu (i.e sesuai kesepakatan) baik dengan cara tunai (cash) maupun kredit (mengangsur, tergantung kebaikan dan kelapangan hati orang yang meminjaminya, red).

al-Imam al-Hafizh Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H) membawakan firman Allah ‘Azza wa Jalla dan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam kitab haditsnya yang masyhur, Riyadhus Shalihin hal. 437-438, Daar ar-Rayyan Lit-Turats;

Allah Ta’ala berfirman;

قَالَ الله تَعَالَى: {إنَّ اللهَ يَأمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أهْلِهَا} [النساء: 58]

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. an-Nisaa’: 58)

Allah Ta’ala berfirman;

وقال تَعَالَى: {فَإن أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أمَانَتَهُ} [البقرة: 283]

“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS. al-Baqarah: 283)

وعن أَبي هريرة - رضي الله عنه: أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: «مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَع» . متفق عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Penangguhan pembayaran hutang oleh orang kaya termasuk kezhaliman. Jika ada seseorang di antara kalian yang disuruh untuk menagih hutangnya kepada orang lain (dialihkan pembayarannya), maka terimalah.” (HR. al-Bukhari no. 2287, Muslim no. 1563)

al-‘Allamah al-Mufassir asy-Syaikh Abd ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H) menjelaskan makna QS. al-Baqarah: 283 di atas;

ومنها: أنه يجوز التعامل بغير وثيقة، ولا شهود، لقوله: {فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ} ولكن في هذه الحال يحتاج إلى التقوى والخوف من الله، وإلا فصاحب الحق مخاطر في حقه، ولهذا أمر الله في هذه الحال، من عليه الحق، أن يتقي الله ويؤدي أمانته.

“Bahwasannya boleh bermuamalah tanpa ada pencatatan (dokumentasi) maupun saksi-saksi atas dasar firman Allah Ta’ala, ‘Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).’ Namun dalam kondisi yang seperti ini dibutuhkan sifat ketakwaan dan takut kepada Allah. Karena jika tidak demikian, maka pemilik hak (i.e orang yang meminjami) dalam posisi dapat dirugikan karena haknya. Oleh karena itu dalam kondisi seperti ini Allah memerintahkan orang yang menanggung hak orang lain untuk bertakwa kepada Allah dan menunaikan amanat yang ditanggungnya.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman, 1/204-205, Daar Ibn al-Jawzee, Riyadh]

Fenomena inilah yang sering terjadi di tengah-tengah kita pada hari ini. Itikad baik dari orang-orang yang meminjami (i.e merelakan sebagian harta yang dimilikinya untuk dipinjamkan kepada saudaranya yang membutuhkan demi meringankan bebannya, menjaga perasaan saudaranya dengan tidak mendokumentasikan hutang-hutangnya, sebagaimana yang terdapat dalam kisah sebatang kayu, red) kerap disalahartikan, disalahgunakan, dan dijadikan celah (oleh peminjam) untuk berbuat dzalim!. Tidak berarti jika orang yang meminjaminya itu adalah saudaranya, sahabatnya, atau partnernya lantas ia bisa seenaknya sendiri melanggar perjanjian (kesepakatan) yang sudah disepakati bersama. Amanah tetaplah amanah, tidak berubah statusnya meskipun orang yang meminjaminya itu tergolong orang yang mampu. Ada baiknya ia merenungkan; Bagaimana kiranya jika ia (berada) di posisi orang yang meminjami? Bagaimana pula perasaannya jika ia diperlakukan sedemikian rupa oleh orang yang berhutang?.

al-Imam al-Hafizh Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H) menjelaskan;

قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ) قَالَ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ الْمَطْلُ مَنْعُ قَضَاءِ مَا اسْتُحِقَّ أَدَاؤُهُ فَمَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَحَرَامٌ

“Sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, ‘Penangguhan pembayaran hutang oleh orang kaya termasuk kezhaliman.’ al-Qadhi [i.e al-Imam al-Fudhail bin Iyadh –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 187 H), red] dan lainnya mengatakan, ‘Kata مطل (menunda pembayaran hutang) maksudnya enggan melunasi apa yang harus ditunaikan. Dengan demikian, menunda pembayaran hutang oleh orang yang kaya adalah kedzaliman dan dilarang.” [Syarh Shahih Muslim, 10/227, Daar Ihya at-Turats al-‘Araby, Beirut]

al-Mufaqihul ‘Ashr al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin ‘Utsaimin al-Wuhaiby at-Tamimi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1421 H) menjelaskan dalam syarhnya terhadap hadits yang terdapat dalam kitab Riyadhus Shalihin di atas;

Penulis (i.e al-Imam an-Nawaawi –raheemahullaahu Ta’ala-) telah mencantumkan dalam kitabnya Riyadhus Shalihin, ‘Bab Larangan Menunda-nunda Pembayaran Hutang.’ Maksudnya dalam hal (membayarkan kewajibannya) terhadap orang lain. Menunda-nunda artinya mengakhirkannya. Perbuatan ini merupakan kedzaliman. Apabila engkau meminjamkan uang kepada seseorang, tetapi setiap kali engkau menagihnya, ia selalu mengulur-ulur dan menunda-nundanya. Maka perbuatannya ini adalah salah satu bentuk kedzaliman, hukumnya haram dan bisa menimbulkan permusuhan. Contohnya seperti yang dilakukan oleh seorang atasan terhadap bawahannya, seperti dengan menunda-nunda (pembayaran gaji bawahannya), melakukan intimidasi dan hak-hak karyawan tidak diberikan. Seorang bawahan yang miskin, meninggalkan keluarga dan kampungnya hanya demi sesuap nasi, ia harus menunggu empat, lima bulan atau lebih, sedangkan sang atasan terus menunda-nunda (pembayaran gajinya) dan mengancamnya, jika ia membuka mulut (maksudnya menceritakan kepada orang lain, red), maka ia akan dipulangkan ke kampung halamannya.

Tidakkah orang-orang yang berbuat demikian mengetahui bahwa Allah Mahakuasa, Mahatinggi dibandingkan mereka?, sungguh mungkin bagi Allah menyuruh seseorang untuk menyakitinya sebelum ajal menjemput (semoga kita diselamatkan) karena mereka itu adalah orang-orang miskin. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama telah bersabda di dalam hadits qudsinya, ‘Ada tiga golongan yang akan menjadi musuh-Ku di hari Kiamat kelak. Orang yang berjanji atas nama-Ku lalu ia tidak menepati janjinya.’ Maksudnya ia telah berjanji atas nama Allah, lalu ia mengingkarinya. ‘Dan seorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan seseorang yang mempekerjakan seorang buruh, lalu setelah ia menyelesaikan tugasnya, sang majikan tidak mau memberikan upahnya.’ (HR. al-Bukhari no. 2227 dan 227 dari Abu Hurairah radhiyallaahu Ta’ala ‘anhu), maka mereka-mereka itulah yang akan menjadi musuh Allah di hari Kiamat kelak.

Perbuatan mereka ini adalah kedzaliman. Hari-harinya hanya diisi dengan kedzhaliman sehingga jaraknya dengan Allah semakin jauh. Sedangkan kezhaliman adalah kegelapan di hari Kiamat kelak.

Betapa banyaknya orang-orang yang didatangi untuk segera melunasi pembayaran hutang atau gaji, ia hanya berkata, ‘besok atau lusa’. Padahal uangnya sangat banyak tersimpan di brankasnya, ia telah dipermainkan setan. Seolah-olah uangnya tersebut akan beranak pinak jika terus berada di rumahnya. Ia tidak mau uangnya berkurang karena diambil oleh orang-orang yang memang berhak untuk menerimanya. Orang-orang bodoh dan sesat seperti mereka ini sangat mengherankan. Apa mereka mengira bahwa jika mereka menunda-nunda pembayarannya, maka kewajibannya akan gugur atau berkurang?, kewajibannya tetap ada pada dirinya, dibayarkan hari ini, sepuluh hari atau sepuluh tahun kemudian. Mereka adalah orang-orang yang dipermainkan oleh setan. Padahal Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Penangguhan pembayaran hutang oleh orang kaya termasuk kezhaliman.’ Hadits ini menunjukkan bahwa jika seorang yang miskin menunda-nunda (pembayaran hutang) tidak dikatakan dzalim (karena ketiadaan atau minimnya harta yang ada pada dirinya, red), sebaliknya orang yang menagih hutangnyalah yang telah berbuat dzalim. Oleh karena itu apabila temanmu serba kekurangan, maka engkau harus menangguhkan penagihan utangnya dan tidak menagihnya. Allah Ta’ala berfirman;

لقول الله تعالى {وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة}

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tanguh sampai dia berkelapangan.” (QS. al-Baqarah: 280)

Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk menangguhkannya sampai datang kemudahan.” [Syarh Riyadhus Shalihin, 6/302-304, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]

al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Shalih ‘alu Bassam –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1424 H) menjelaskan dalam kitab al-Buyu’, di dalam syarhnya terhadap kitab ‘Umdatul Ahkam karya al-Imam al-Hafizh ‘Abdul Ghani al-Maqdisy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 600 H);

مطل الغنى: أصل " المطل " المد. تقول: مطلت الحديدة أمطلها، إذا مددتها لتطول. و المراد تأخير ما استحق أداؤه بغير عذر. و" مطل " مصدر مضاف. إلى فاعله، والتقدير: مطل الغنى غريمه، ظلم.
في هذا الحديث الشريف أدب من آداب المعاملة الحسنة. فهو صلى الله عليه وسلم  يأمر المدين بحسن القضاء، كما يرشد الغريم إلى حسن الاقتضاء. فبين صلى الله عليه وسلم  أن الغريم إذا طلب حقه، أو فهم منه الطلب بإشارة أو قرينة، فإن تأخير حقه عند الغنى القادر على الوفاء، ظلم له، للحيلولة دون حقه بلا عذر.

مطل الغنى Lafazh المطل (al-Mathlu) berarti memanjangkan. Jika dikatakan; مطلت الحديدة أمطلها berarti aku mengulurnya hingga menjadi panjang. Yang dimaksudkan disini adalah menunda-nunda kewajibannya untuk memenuhi hak tanpa ada alasan.

Di dalam hadits yang mulia ini terkandung adab muamalah yang baik. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menyuruh orang yang berhutang untuk segera melunasi hutangnya, sebagaimana beliau memberi petunjuk kepada orang yang memberi hutang untuk menagih hutangnya dengan baik. Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menjelaskan bahwa jika orang yang memberi hutang meminta haknya, maka ia bisa menagih hutangnya dengan isyarat atau penyerta. Penundaan pelunasan hutang oleh orang yang kaya yang mampu melunasinya, merupakan kedzaliman tanpa alasan.” [Taisirul ‘Alaam Syarh ‘Umdatul Ahkam, 2/107, Daar al-Maiman, Riyadh]

Kami ambil penjelasan asy-Syaikh ‘alu Bassam –rahemahullaahu Ta’ala- di dalam kitab syarhnya di atas sebagai penutup;

a). Pengharaman penundaan pembayaran hutang oleh orang kaya dan keharusan melunasi hutangnya terhadap orang yang memberi hutang.

b). Pengharaman (tersebut) dikhususkan bagi orang kaya yang memungkinkan melunasi hutang. Adapun orang miskin atau orang yang lemah karena alasan-alasan tertentu, maka dia dimaafkan.

Terakhir, mari kita renungkan sejenak nasihat asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –raheemahullaahu Ta’ala- berikut (i.e terkait hutang);

وأنه لا ينبغي للإنسان أن يتساهل به، ومع الأسف أننا في عصرنا الآن يتساهل الكثير منا في الدين، فتجد البعض يشترى الشيء وهو ليس في حاجة إليه، بل هو من الأمور الكمالية، يشتريه في ذمته بالتقسيط أو ما أشبه ذلك، ولا يهمه هذا الأمر. وقد تجد إنساناً فقيراً يشترى سيارة بثمانين ألفاً أو يزيد، وهو يمكنه أن يشتري سيارة بعشرين ألفاً، كل هذا من قلة الفقه في الدين، وضعف اليقين، احرص على ألا تأخذ شيئاً بالتقسيط، وإن دعتك الضرورة إلى ذلك فاقتصر على أقل ما يمكن لك، الاقتصار عليه بعيداً عن الدين. نسأل الله أن يحمينا وإياكم مما يغضبه، وأن يقضي عنا وعنكم دينه ودين عباده.

“Tidak sepantasnya seseorang menganggap remeh al ini (i.e hutang). Namun sangat disayangkan, di zaman sekarang ini kita begitu meremehkan masalah hutang. Banyak kita temukan sebagian orang membeli sesuatu yang sebenarnya ia tidak begitu membutuhkannya, bahkan hanya sebagai barang pelengkap saja, ia membelinya dengan tanggungan kredit (plus dengan bunganya, red) atau lain sebagainya, dan ia tidaklah memperhatikan hal ini. Terkadang kita menemukan seseorang yang fakir membeli mobil dengan harga delapan ribu riyal atau lebih (sepertinya yang dimaksud oleh Syaikh di sini adalah secara kredit, wallaahu a’lam, red), padahal bisa saja ia membeli mobil dengan harga dua puluh ribu riyal (secara cash, wallaahu a’lam, red). Semua ini terjadi karena rendahnya pemahaman dalam agama dan lemahnya keyakinan (iman, red). Jagalah, jangan sampai membeli sesuatu dengan jalan kredit, walaupun kita sangat memerlukannya. Hematlah sehemat mungkin agar terjauh dari hutang. Kita meminta kepada Allah agar menjaga kita dari hal-hal yang di murkai-Nya dan melepaskan kita dari hutang kepada-Nya dan kepada hamba-Nya.” [Syarh Riyadhus Shalihin, 2/527, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]

Wallaahu Subhaahu wa Ta’ala a’lamu.
[Baca Selengkapnya...]


0 Koruptor Itu Kafir. Benarkah?



Jujur, kami baru mendengar kalau ternyata ada sebuah buku yang berjudul “Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama” (diterbitkan oleh penerbit syi’ah, Mizan, red). Di beberapa forum, buku ini banyak diperbincangkan, terlebih-lebih ketika ada seorang penulis sekaligus “intelektual muda NU” (demikian menurut penuturan wikipedia, red) bernama Zuhairi Misrawi (yang belakangan kami ketahui sebagai aktivis JIL lulusan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir jurusan Filsafat, red) berkicau di twitternya (tanggal 3 Februari 2013 yang lalu);




Maksud orang ini adalah merujuk kepada fatwa kedua organisasi Islam yang tercantum pada buku tersebut. Lantas kami bertanya dalam hati, “Apakah benar koruptor itu kafir, How come?”. Kemudian apakah benar buku tersebut merupakan hasil pengkajian resmi oleh dewan riset ilmiah kedua organisasi Islam terbesar di negeri ini atau hanya hasil telaah beberapa individu yang kemudian menisbatkan hasil kajian mereka kepada dua induk organisasi tersebut?, wallaahu a’lam. Sebelum mencari tahu status hukum para koruptor (apakah dia kafir atau tidak) dari kacamata syar’i, ada baiknya jika kita memahami definisi Korupsi terlebih dahulu. Berdasarkan keterangan dari wikipedia, istilah Korupsi berasal dari bahasa latin, i.e; corruptio, dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, menyogok. Adapun definisi korupsi secara lebih luas adalah tindakan pejabat publik, baik politisi atau pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal (ilegal) menyalahgunakan wewenang, jabatan atau kepercayaan publk yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak (baik untuk kepentingan pribadi maupun golongan, red). Dari sisi syar’i, tindak kejahatan ini termasuk dosa besar –kategori: mengkhianati amanah- [1] (sebagaimana riba, zina, durhaka kepada orang tua, mencuri, membunuh dll, red) yang pelakunya harus dihukum dengan hukuman ta’ziir. Apa itu ta’ziir?

al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Shalih ‘alu Bassam –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1424 H) menjelaskan dalam syarh-nya (kitab al-Huduud);

التعزير- لغة- هو مصدر (عزَّر) وأصل العز ر: المنع، فأخذ منه، لأنه يمنع من الوقوع في المعصية. وشرعاً: - التأديب على ذنب لا حد فيه ولا كفارة، كالاستمتاع من المرأة بما دون الفرج، أو السرقة من غيرِ حرز، والقذف بغير الزنا، والمعاصي التي لم يقدر لها حدود، هي الكثرة الغالبة.

“at-Ta’ziir menurut bahasa merupakan mashdar dari ‘azzara. Asal makna al-‘Azru ialah pencegahan. Dari makna inilah diambil kata ini (i.e ta’ziir), karena ia mencegah terjadinya kemaksiatan. Menurut syariat berarti pemberian pengajaran atau dosa yang tidak ada ketetapan hukumannya dan tidak ada pula penyebutan kafaratnya, seperti mencumbui wanita selain kemaluannya atau mencuri barang yang tidak disimpan dan dijaga, menuduh selain zina dan berbagai kemaksiatan yang tidak ada ketetapan hukumnya, yang jenisnya amat banyak sekali.” [Taisirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatul Ahkam, 2/379. Daar al-Maiman, Riyadh]

Bentuk hukuman ta’ziir sendiri diserahkan kepada hakim, imam atau penguasa suatu negeri dan merekalah yang menetapkannya sebagaimana penjelasan asy-Syaikh berikut ini;

فينبغي للحاكم ملاحظة الأحوال، والظروف، والملابسات، ليكون على بصيرة من أمره، ولتكون تعزيرا ته وتأديباته واقعة مواقعها، وافية بمقصودها، وهو راجع إ إلى رأي الحاكم، فقد يكون بالتوبيخ، وقد يكون بالهجر، وقد يكون بالجلد، وقد يكون بالحبس، وقد يكون بأخذ المال، وقد يكون بالقتل.

“Hakim atau imam harus mempertimbangkan kondisi, situasi dan berbagai faktor secara cermat tentang masalah yang dihadapi, agar ta’ziir yang ditetapkannya benar-benar efektif dan sesuai dengan sasarannya, karena ta’ziir ini dikembalikan kepada keputusannya. Adapun ta’zir itu bisa berupa teguran, pengucilan, dera, penjara, menahan harta dan bisa juga berupa hukuman mati.” [Taisirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatul Ahkam, 2/381. Daar al-Maiman, Riyadh]

Nah sekarang, bagaimana status hukum dari sang pelaku itu sendiri?. Jujur saja, kami pribadi belum pernah mendengar atau mengetahui ada fatwa ulama ahlus sunnah yang mengafirkan seorang koruptor, padahal kejahatan seperti ini sudah ada sejak zaman dahulu. Mencoba berhusnuzhan, mungkin penulis buku tersebut tidak bermaksud mengkafirkan para koruptor dari sisi aqidahnya –wallaahu a’lam- sebagaimana keterangan Sekjen Khatib ‘Am Nahdlatul Ulama, Malik Madani yang menyatakan bahwa seorang muslim yang melakukan korupsi belum kehilangan imannya atau menjadi kafir. Ia berkata, “Perbuatannya (i.e korupsi) kita kutuk keras, tapi ia tidak menyebabkan (pelakunya) kafir dari segi akidah”. Ia juga berkata, “(Status pelakunya masih) Islam, tapi imannya tidak beres.” Namun di lapangan tidak sedikit manusia yang memahami kata kafir (yang terdapat pada buku tersebut pasca membacanya tentunya, red) sebagai kafir i’tiqadi (yang mengeluarkan pelakunya dari dienul Islam). Berikut adalah salah satu contoh kongkretnya;

Salah seorang penulis resensi mengatakan; “Korupsi menjelma fakta dan realitas kejahatan yang multikompleks dan ironis. Dampak negatifnya, korupsi lebih dari segala bentuk kejahatan yang ada. Buku ini menjelaskan banyak unsur kejahatan kriminal yang menyatu dalam korupsi. Dari aspek kepemimpinan, korupsi dekat dengan suap (risywah). Dari praktek, korupsi dekat dengan pencurian (sariqah). Sementara dari segi penggelapan, ia lebih dekat  kepada ghulul (merampas harta rampasan perang atau baitul mal). Kerusakan yang ditimbulkan lebih luas daripada kerusakan para pelaku kejahatan perampokan (hirabah). (hlm. 127-133). Korupsi juga mengandung unsur merampas harta dengan jalan memaksa (mukabarah atau ghasab), menjambret (intikhab), mencopet atau mengutil (ikhtilas) dan merupakan tindakan mengambil sesuatu secara tidak sah dalam berbagai aspeknya (ahlu suht). (hlm. 29). Segenap unsur kandungan korupsi itulah yang membuat NU dan Muhammadiyah dengan tegas menyatakan para koruptor adalah kafir. Dosa besar korupsi tidak bisa diampuni, sama dengan dosa syirik (menyekutukan Tuhan).[2]

Penulis resensi di atas menyimpulkan bahwa dosa pelaku korupsi itu tak terampuni, sama besarnya dengan dengan dosa syirik. Bukankah ini merupakan takfir terhadap pelaku korupsi?. Judul buku yang menurut kami –CMIIW- tidak pas (karena terlalu umum. Jika diganti dengan fasiq barangkali lebih pas, red) yang bisa menggiring opini masyarakat terhadap pemahaman atau kesimpulan yang salah, yang -bisa jadi- tidak sejalan dengan pemahaman penulisnya (jika memang penulisnya tidak bermaksud mengkafirkan koruptor dari sisi i’tiqad-nya, red). Korupsi adalah perbuatan fasiq kecil yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari dienul Islam. Para ulama ahlul sunnah dari dulu hingga sekarang –faktanya- sepakat bahwa dosa besar selain syirik (fasiq kecil) itu tidak mengeluarkan seseorang dari agama ini. Pelaku tetap dianggap sebagai seorang muslim, hanya saja keimanannya tidak sempurna (akibat perbuatan maksiat/ dosa besar tersebut, red). Berikut kami nukilkan pernyataan para ulama ahlus sunnah sekaligus kritikan terhadap kesimpulan aneh sang penulis resensi –yang tergesa-gesa dalam menghukumi- di atas di antaranya;

al-Imam al-Hafizh Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawaawi asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H) menjelaskan dalam syarh-nya ketika menafsirkan hadits riwayat al-Imam Muslim berikut;

(لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ الْحَدِيثَ) وَفِي رِوَايَةٍ وَلَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ حِينَ يَغُلُّ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَفِي رِوَايَةٍ وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ

“Tidaklah seseorang melakukan perbuatan zina dan pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang mencuri pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman, dan tidaklah seseorang meminum khamr pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman.” Dalam riwayat lain, “Dan tidaklah salah seorang dari kamu berkhianat pada saat berkhianat dia dalam keadaan mukmin.” Dalam riwayat yang lain, “Dan (kesempatan) bertaubat dibentangkan setelah itu.”

Para ulama memperselisihkan makna hadits-hadits ini dan pendapat yang benar menurut para pentahqiq adalah janganlah seseorang melakukan perbuatan maksiat ini sedangkan ia beriman secara sempurna. Redaksi inilah yang dijadikan sandaran dalam peniadaan iman pada seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan peniadaan iman adalah peniadaan tentang kesempurnaannya sebagaimana seseorang yang mengatakan, “Tidak ada ilmu kecuali yang bermanfaat, tidak ada harta kecuali unta, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.”

Kami menafsirkannya seperti (keterangan) di atas karena berdasarkan hadits Abu Dzar –radhiyallaahu ‘anhu- bahwa, “Barang siapa yang mengucapkan Laa ilaha illallaah, maka ia masuk surga meskipun ia berzina dan mencuri.” Selain itu, hadits ‘Ubaidah bin ash-Shamit –radhiyallaahu ‘anhu- menjelaskan bahwa mereka berbai’at kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak bermaksiat dan seterusnya. Kemudian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berkata kepada mereka, “Maka barangsiapa di antara kamu yang memenuhinya maka ia mendapatkan pahala dari Allah, dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari perbuatan tersebut lalu ia dihukum di dunia, maka itu adalah penebusnya, dan barangsiapa yang melakukannya dan dia tidak dihukum maka urusannya kepada Allah, jika Dia menghendaki (untuk mengampuni) maka Dia akan mengampuninya dan jika Dia menghendaki (untuk mengadzab), maka Dia akan mengadzabnya.” Dua hadits shahih ini semakna dengan firman Allah ‘Azza wa Jall;

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لمن يشاء

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik) dan Dia mengampuni dosa yang selain itu (syirik) bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisaa: 48)

Kami juga berpedoman pada ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa pezina, pencuri, pembunuh dan selain mereka yang termasuk dosa besar selain syirik bahwa mereka tidak menjadi kafir karena melakukan perbuatan tersebut, tetapi mereka adalah orang yang tidak sempurna keimanannya. Jika mereka bertaubat, maka akan gugur hukumannya, jika mereka meninggal dalam keadaan terus melakukan dosa besar, maka (mereka) berada dalam kehendak Allah Ta’ala, jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuni mereka dan langsung memasukannya ke dalam surga, dan jika Allah Ta’ala mengendaki, maka Dia akan mengadzab mereka terlebih dahulu (di dalam neraka, red) kemudian memasukannya ke dalam surga.” [Syarh Shahih Muslim, 2/41-42. Daar Ihyaa at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut]

al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad bin Husain bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawiy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 516 H) menjelaskan dalam bab: “Barangsiapa mati dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun”;

قَالَ الإِمَامُ الْحُسَيْنُ بْنُ مَسْعُودٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: اتَّفَقَ أَهْلُ السُّنَّةِ عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَخْرُجُ عَنِ الإِيمَانِ بِارْتِكَابِ شَيْءٍ مِنَ الْكَبَائِرِ إِذَا لَمْ يَعْتَقِدْ إِبَاحَتَهَا، وَإِذَا عَمِلَ شَيْئًا مِنْهَا، فَمَاتَ قَبْلَ التَّوْبَةِ، لَا يُخَلَّدُ فِي النَّارِ، كَمَا جَاءَ بِهِ الْحَدِيثُ، بَلْ هُوَ إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ، وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ بِقَدْرِ ذُنُوبِهِ، ثُمَّ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ، كَمَا وَرَدَ فِي حَدِيثِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فِي الْبَيْعَةِ.

“al-Imam al-Husain bin Mas’ud –raheemahullaahu- berkata: Ahlus sunnah sepakat bahwa orang mukmin tidak akan keluar dari keimanan (baca: kafir) lantaran melakukan dosa besar bila dia tidak meyakini kehalalannya. Jika dia melakukan dosa besar tersebut lalu mati dan belum sempat bertaubat maka dia tidak akan kekal di dalam neraka sebagaimana yang diterangkan dalam hadits. Urusannya diserahkan kepada Allah, Jika Dia berkehendak, Dia bisa mengampuninya, namun jika tidak Dia bisa menghukumnya sesuai kada dosanya itu, kemudian dia akan dimasukkan ke dalam surga berdasarkan rahmat-Nya sebagaimana yang diterangkan oleh hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit tentang bai’at.” [Syarhus Sunnah Lil Baghawi, 1/103. al-Maktab al-Islamiy, Dimasyq]

Keponakan sekaligus murid dari al-Imam Isma’il bin Yahya bin Isma’il al-Muzani asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 264 H), al-Imam Hujjatul Islam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salimah bin ‘Abdul Malik ath-Thahawiy al-Hanafiy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 321 H) berkata;

وأهل الكبائر من أمة محمد صلى الله عليه وعلى آله وسلم في النار لا يخلدون، إذا ماتوا وهم موحدون وإن لم يكونوا تائبين، بعد أن لقوا الله عارفين "مؤمنين" وهم في مشيئته وحكمه، إن شاء غفر لهم وعفا عنهم بفضله، كما ذكر عز وجل في كتابه: (ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء) وإن شاء عذبهم في النار بعدله: ثم يخرجهم منها برحمته وشفاعة الشافعين من أهل طاعته: ثم يبعثهم إلى جنته

Para pelaku dosa-dosa besar dari ummat Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama masuk neraka, akan tetapi mereka tidak kekal (sebagaimana orang kafir, red), apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid. Jika mereka tidak bertaubat setelah (nanti) mereka bertemu Allah sebagai orang-orang yang mengetahui lagi beriman, dimana mereka berada di bawah kehendak (masy’iah) dan ketentuan hukum-Nya, maka jika Allah menghendaki, Dia (bisa) mengampuni mereka dengan karunia-Nya, sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jall sebutkan di dalam kitab-Nya, “Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu (syirik) bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa: 48). Dan jika Dia menghendaki, Dia (bisa) mengadzab mereka di dalam neraka dengan keadilan-Nya, kemudian Allah mengeluarkan mereka darinya (neraka, red) dengan rahmat-Nya dan syafa’at para pemberi syafa’at dari orang-orang yang ta’at kepada-Nya, lalu Allah akan mengirimkan mereka ke surga-Nya.”

asy-Syaikh DR. Shalih bin Fauzaan bin ‘Abdullah al-Fauzaan –hafizhahullaahu Ta’ala- menjelaskan dalam syarh-nya terhadap ucapan al-Imam ath-Thahawiy di atas; “Dosa-dosa besar adalah dosa-dosa selain syirik akan tetapi di atas dosa-dosa kecil. Prinsip dasar suatu dosa dikatakan dosa besar adalah: setiap dosa yang harus ditegakkan hukuman (had) atasnya, atau yang mendapatkan ancaman murka atau laknat Allah, atau neraka, atau Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama antipati terhadap orang-orang yang melakukannya. Inilah dosa besar, seperti misalnya sabda beliau;

غشنا فليس منا. أخرجه مسلم (رقم101)

“Barangsiapa yang menipu kami maka dia bukan dari kami.” (HR. Muslim, no. 101)

Juga sabda beliau;

من حمل علينا السلاح فليس منا أخرجه البخاري (رقم 6874) ومسلم (رقم 98، 100، 101).

“Barangsiapa yang membawa senjata untuk melawan kami, maka dia bukan dari kami.” (HR. al-Bukhari, no. 6874 dan Muslim, no. 98, 100, dan 101)

Semua poin prinsip dasar ini menunjukkan bahwa dosa bersangkutan adalah dosa besar, akan tetapi di bawah dosa syirik. Pelaku dosa-dosa besar tersebut tidak keluar dari iman (baca: kafir), akan tetapi dia tetap seorang mukmin yang kurang imannya, atau bisa juga dinamakan orang fasiq. Inilah pandangan ahlus sunnah wal jama’ah; mereka tidak mengkafirkan (seorang muslim) karena dosa-dosa besar selama dia bukan syirik, akan tetapi mereka juga tidak memberikan kepadanya iman secara mutlak. Mereka memberikannya iman kepadanya yang diberi batasan, sehingga dikatakan; ‘Dia mukmin dengan imannya, akan tetapi fasiq dengan dosa besarnya (i.e yang dilakukannya). Maka tidak dikatakan bahwa orang semacam ini adalah seorang mukmin dengan keimanan sempurna sebagaimana yang dikatakan golongan murji’ah. Tetapi juga tidak dikatakan bahwa dia keluar dari Islam (kafir) sebagaimana yang dikatakan oleh Khawarij dan Mu’tazilah.” [at-Ta’liqaatu al-Mukhtasharatu ‘ala Matni al-‘Aqidah ath-Thahaawiyyah hal. 154-155. Daar al-‘Ashimah Li an-Nashr wa at-Tawzi’, Riyadh]

Al-Imam Muwafaqquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisy ad-Dimasyqi ash-Shaalihi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 629 H) berkata dalam kitab aqidahnya;

ولا نكفر أحدا من أهل القبلة بذنب، ولا نخرجه عن الإسلام بعمل

Kita tidak (boleh) mengkafirkan seseorang pun dari ahli kiblat karena suatu dosa dan kita tidak mengeluarkannya dari Islam karena suatu perbuatan (dosa).” [Lum’atul I’tiqad, hal. 38]

al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin at-Tamimi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1421 H) menjelaskan ucapan al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy di atas di dalam syarh-nya;

أهل القبلة هم المسلمون المصلون إليها لا يكفرون بفعل الكبائر ولا يخرجون من الإسلام بذلك ولا يخلدون في النار

“Ahli kiblat adalah kaum muslimin yang shalat menghadap ke (arah) sana. Mereka tidak boleh dikafirkan karena melakukan dosa-dosa besar dan tidak boleh dikeluarkan dari Islam karena itu, dan tidak dinyatakan kekal di dalam neraka.” [Syarh Lum’atul I’tiqad al-Haadi ila Sabiil ar-Rasyad, hal. 149. Maktabah Adhwaa’ as-Salaf, Riyadh]

al-Hafizh Syaikhul Islam Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin ‘Abdullah bin al-Khidr bin Muhammad bin Taimiyyah an-Numairy al-Harani ad-Dimasyqi al-Hambaliy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 728 H) berkata ketika menjelaskan tentang Iman di dalam kitabnya, yakni;

قَوْلٌ، وَعَمَلٌ. قَوْلُ: الْقَلْبِ، وَاللِّسَانِ. وَعَمَلُ: الْقَلْبِ، وَاللِّسَانِ، وَالْجَوَارِحِ. وَأَنَّ الْإِيمَانَ: يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ، وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ. وَهُمْ مَعَ ذَلِكَ، لَا يُكَفِّرُونَ أَهْلَ الْقِبْلَةِ بِمُطْلَقِ الْمَعَاصِي وَالْكَبَائِرِ، كَمَا تَفْعَلُهُ «الْخَوَارِجُ» ، بَلْ الْأُخُوَّةُ الْإِيمَانِيَّةُ ثَابِتَةٌ مَعَ الْمَعَاصِي. كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي آيَةِ الْقِصَاصِ: {فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوف} [البقرة: 178] .

“Perkataan dan amal perbuatan, perkataan: hati dan lisan, amal perbuatan: hati dan lisan, serta anggota badan. Dan bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Namun demikian, mereka (ahlus sunnah wal jama’ah, red) tidak mengkafirkan ahlul kiblat dengan berbagai kemaksiatan dan dosa besar secara mutlak yang jelas-jelas ia lakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok khawarij; akan tetapi ukhwah imaniyyah tetap ada, sekalipun dengan adanya berbagai kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala di dalam ayat qishash, ‘Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang ma’ruf.’ (QS. al-Baqarah: 178).. dst.” [al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 113. Maktabah Adhwaa’ as-Salaf, Riyadh]

Dan masih banyak lagi ucapan para ulama ahlus sunnah yang lain yang senada dengan ucapan para ulama salaf di atas (meskipun mereka berbeda mahzab fiqh). Jika ada orang yang beropini bahwa orang fasiq (kecil) atau pelaku dosa besar selain syirik itu telah kafir atau keluar dari Islam (sebagaimana yang dikatakan oleh sekte khawarij, red), maka pendapat tersebut bertentangan dengan ijma’ as-salaf ash-shalih. Akhirnya, jangan sampai kebencian kita terhadap seseorang e.g para pelaku dosa besar (semisal koruptor) menimbulkan musibah lain yang justru menimpa diri kita sendiri (i.e fitnah takfir) akibat kejahilan kita terhadap ‘ilmu ad-dien. Tidak ada manusia yang sempurna dan maksum dari dosa kecuali Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, dan adalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.

__________
[1]. Klik sumbernya di sini
[2]. Klik sumbernya di sini
[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula