“Where does the time go? This is it, all we can do is win!”



“Where does the time go? This is it, all we can do is...win!”, adalah sepenggal kalimat yang saya ambil dari narasi sebuah drama keluarga bergenre comedy yang berjudul “College Road Trip” yang ditayangkan semalam di salah satu stasiun TV swasta. Susunan kalimat tersebut sesungguhnya tidaklah seperti itu. Yang saya lakukan adalah mengambil beberapa potongan dialog (antar player) pada scene dan moment yang berbeda, kemudian saya susun kembali potongan kalimat yang terpisah tersebut menjadi sebuah kalimat baru seperti yang ditampilkan pada judul topik diatas. College Road Trip sendiri bercerita tentang seorang remaja bernama Melanie Porter, 17th yang akan segera menyelesaikan masa studinya di SMU. Kebiasaan remaja disana adalah saat menjelang kelulusan sekolah, mereka akan melakukan safari (road trip, red) ke beberapa perguruan tinggi favorit yang kelak akan mereka masuki. Kebetulan Melanie adalah anak yang pandai di sekolahnya sehingga salah satu gurunya merekomendasikan dirinya masuk ke Georgetown University. Namun ayahnya yang over-protective, Chief James Porter, seorang kepala kepolisian di salah satu district negara bagian USA memiliki rencana yang berbeda. Ia justru mengharapkan anaknya tersebut melanjutkan kuliah di Northwestern University yang lokasinya berdekatan dengan rumah tinggal mereka. Tujuannya adalah agar sang ayah bisa terus mengawasi dan melindungi putrinya sewaktu-waktu. Berbeda dengan suaminya, Michelle Porter sang istri bersikap lebih demokratis dengan membiarkan putrinya menentukan pilihan hidupnya sendiri. Ia menganggap bahwa Melanie sudah cukup dewasa dan mampu mengambil keputusan yang tepat untuk masa depannya.

Akhirnya Chief James Porter memutuskan cuti 3 hari dari kantornya agar bisa mengantar sendiri putrinya ke Georgetown University. Namun di dalam perjalanan ia mengajak Melanie berkunjung terlebih dahulu ke Northwestern University. Ia memang sengaja membuat scenario bersama teman-temannya agar Melanie terkesan dan tertarik masuk ke Northwestern dan membatalkan rencananya melanjutkan kuliah di Georgetown. Namun semua usaha yang dilakukan oleh Chief gagal. Tekad Melanie tetap bulat dan rencana awalnya pun tetap tidak berubah, yakni melanjutkan perjalanan ke Wasington DC, berkunjung ke universitas impiannya dan melakukan interview di Georgetown University. Singkat cerita, Melanie pun kecewa dengan sikap over-protective ayahnya yang masih menganggap dirinya terlalu kecil untuk membuat keputusannya sendiri. Hal ini tercermin dari perkataannya, “I already grown up dad. Please, let me make my own decision”. Setelah mendapatkan nasihat dari Ibunya, akhirnya Chief menyadari kesalahannya dan berkata, “Where does the time go?”, maksudnya ia tidak sadar bahwa waktu terus-menerus bergulir. Yang ia ingat adalah bahwa Melanie hanyalah seorang anak kecil periang yang masih perlu diawasi dan dilindungi terus-menerus seperti puluhan tahun yang lalu. Ia tidak sadar bahwa sekarang Melanie telah tumbuh dewasa menjadi seorang anak yang cerdas, rasional dan mampu berpikir jernih laiknya orang dewasa lainnya. Kemudian sampailah mereka ke universitas tepat pada waktunya. Ketika Melanie mendapatkan giliran untuk interview dengan Dean, ia ragu. Ayahnya berkata, “What’s wrong?” dan Melanie pun menjawab, “I am scare dad”. Kemudian ayahnya mengatakan, Jika ia ditanya dengan pertanyaan yang sama ‘Apakah ia takut?’ Ia akan menjawab, Ya ia merasa takut. Ia takut dan khawatir jika anaknya kuliah dan tinggal jauh darinya, yang artinya jauh pula dari pengawasan dan perlindungannya. Tapi kekhawatiran itu sudah tidak ada lagi. Mengapa? “Because I believe in you” kata Chief kepada Melanie. Melanie pun berkata kepada ayahnya, “What should I supposed to do dad?”. Chief berkata, “Be confident,…all you can do is win!”. Melanie pun akhirnya diterima di universitas favoritnya, Georgetown University bersama teman yang ia kenal pada saat safari di Northwestern University, Wendy Greenhut. Di saat-saat akhir menjelang tinggal di asrama, Melanie berkata kepada kedua orang tuanya, “This is it”. [Merujuk ke idioms.thefreedictionary.com, ‘This is it’ bermakna ‘This is the time’, red]


Apa yang bisa diambil?

Saya lebih suka mengartikan kalimat, “Where does the time go? This is it, all we can do is...win!” dengan filosofi lain yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari pesan narasi diatas. “Where does the time go?” adalah kalimat yang menyiratkan makna ‘bergulirnya waktu’, ‘berlalunya waktu’. Kita seringkali tidak menyadari bahwa waktu terus berjalan, siang malam terus berganti, musim berubah, umur kita terus bertambah, kondisi fisik kita semakin lemah, daya ingat kita semakin berkurang, dan sebagainya. Parahnya lagi, kita juga sering lupa atau pura-pura lupa, atau bahkan tidak tahu tujuan Allah Azza wa Jall menciptakan kita. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “Apakah kita sudah memanfaatkan waktu yang terus bergulir tersebut sebaik-baiknya untuk tujuan; ‘mengapa Allah Azza wa Jall menciptakan kita di dunia’?”. Jadi hakikat pertanyaan ‘Where does the time go?’ adalah untuk mengingatkan dan menyadarkan kita akan kewajiban seorang hamba kepada Rabbnya Azza wa Jall.

‘This is it’ bermakna ‘This is the time’ atau terjemahan bebasnya adalah ‘Inilah saatnya’. Kalimat ini merupakan tindak lanjut/penegasan dari kalimat sebelumnya yang bermakna penyadaran, yakni; ‘dan inilah saatnya bagi kita untuk…’. ‘All we can do is...win!’ bermakna ‘memenangkan sesuatu’, membangkitkan jiwa-jiwa kita yang lalai dan malas menuju kemenangan. Yakni tekad untuk mengalahkan hawa nafsu, menyingkirkan kebathilan, mengerjakan perkara yang ma’ruf dan mencegah perkara yang munkar. Mengerahkan jiwa untuk hijrah kepada perbuatan-perbuatan yang bermanfaat, baik untuk dunianya maupun akhiratnya. Kembali saya kutip ucapan seorang ‘alim di zamannya, Al-Imam Al-Hafidz Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullaahu sebagai penutup tulisan saya yang sederhana ini. Beliau berkata, ”Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan pertempuran, sedangkan waktu (itu) akan berlalu dengan cepat. Maka janganlah engkau kekal dalam kemalasan. Tidaklah sesuatu itu dapat terluput melainkan karena kemalasan, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa yg dicapainya melainkan karena kesungguhan dan tekadnya yg bulat.” [Awa’iquth Thalab hal. 51-52]. Wallaahu a’lam…

[Baca Selengkapnya...]


Menebar Keangkuhan Menuai Kehinaan



Luqman al-Hakim berkata kepada anaknya:

وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْرٍ

“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)

Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. [Taisirul Karimir Rahman hal. 649]

Pada ayat yang lain Allah Ta’ala melarang pula:

وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِباَلَ طُوْلاً

“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.” (Al-Isra`: 37)

Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah Ta’ala dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. [Taisirul Karimir Rahman, hal. 458]

Kehinaan, Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.

‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallaahu alaihi wa sallama:

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ أَمْثاَلَ الذَّرِّ فِيْ صُوْرَةِ الرِّجاَلِ، يَغْشاَهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكاَنٍ، يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ مِنْ جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُوْلَسَ، تَغْلُوْهُمْ ناَرٌ مِنَ اْلأَنْياَرِ، وَيُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِيْنَةِ الْخَباَلِ

“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal (1)” [HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434]

Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah Azza wa Jalla, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim no. 2588)

Note:

(1) Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.


Sumber: www.asysyariah.com

[Baca Selengkapnya...]


Bisa Jadi Kamu Membenci Sesuatu Namun Itu Baik Buatmu



وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Dalam ayat ini ada beberapa hikmah dan rahasia serta maslahat untuk seorang hamba. Karena sesungguhnya jika seorang hamba tahu bahwa sesuatu yang dibenci itu terkadang membawa sesuatu yang disukai, sebagaimana yang disukai terkadang membawa sesuatu yang dibenci, iapun tidak akan merasa aman untuk tertimpa sesuatu yang mencelakakan menyertai sesuatu yang menyenangkan. Dan iapun tidak akan putus asa untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan menyertai sesuatu yang mencelakakan. Ia tidak tahu akibat suatu perkara, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh hamba. Dan ini menumbuhkan pada diri hamba beberapa hal:

Bahwa tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba daripada melakukan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, walaupun di awalnya terasa berat. Karena seluruh akibatnya adalah kebaikan dan menyenangkan, serta kenikmatan-kenikmatan dan kebahagiaan. Walaupun jiwanya benci, akan tetapi hal itu akan lebih baik dan bermanfaat. Demikian pula, tidak ada yang lebih mencelakakan dia daripada melakukan larangan, walaupun jiwanya cenderung dan condong kepadanya. Karena semua akibatnya adalah penderitaan, kesedihan, kejelekan, dan berbagai musibah.

Ciri khas orang yang berakal sehat, ia akan bersabar dengan penderitaan sesaat, yang akan berbuah kenikmatan yang besar dan kebaikan yang banyak. Dan ia akan menahan diri dari kenikmatan sesaat yang mengakibatkan kepedihan yang besar dan penderitaan yang berlarut-larut.

Adapun pandangan orang yang bodoh itu (dangkal), sehingga ia tidak akan melampaui permukaan dan tidak akan sampai kepada ujung akibatnya. Sementara orang yang berakal lagi cerdas akan senantiasa melihat kepada puncak akibat sesuatu yang berada di balik tirai permukaannya. Iapun akan melihat apa yang di balik tirai tersebut berupa akibat-akibat yang baik ataupun yang jelek. Sehingga ia memandang suatu larangan itu bagai makanan lezat yang telah tercampur dengan racun yang mematikan. Setiap kali kelezatannya menggodanya untuk memakannya, maka racunnya menghalanginya (untuk memakannya). Ia juga memandang perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala bagai obat yang pahit rasanya, namun mengantarkan kepada kesembuhan dan kesehatan. Maka, setiap kali kebenciannya terhadap rasa (pahit)nya menghalanginya untuk mengonsumsinya, manfaatnyapun akan memerintahkannya untuk mengonsumsinya.

Akan tetapi, itu semua memerlukan ilmu yang lebih, yang dengannya ia akan mengetahui akibat dari sesuatu. Juga memerlukan kesabaran yang kuat, yang mengokohkan dirinya untuk memikul beban perjalanannya, demi mendapatkan apa yang dia harapkan di pengujung jalan. Kalau ia kehilangan ilmu yang yakin dan kesabaran maka ia akan terhambat dari memperolehnya. Tetapi bila ilmu yakinnya dan kesabarannya kuat, maka ringan baginya segala beban yang ia pikul dalam rangka memperoleh kebaikan yang langgeng dan kenikmatan yang abadi.

Di antara rahasia ayat ini bahwa ayat ini menghendaki seorang hamba untuk menyerahkan urusan kepada Dzat yang mengetahui akibat segala perkara serta ridha dengan apa yang Ia pilihkan dan takdirkan untuknya, karena dia mengharapkan dari-Nya akibat-akibat yang baik.

Bahwa seorang hamba tidak boleh memiliki suatu pandangan yang mendahului keputusan Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau memilih sesuatu yang tidak Allah Subhanahu wa Ta'ala pilih serta memohon-Nya sesuatu yang ia tidak mengetahuinya. Karena barangkali di situlah kecelakaan dan kebinasaannya, sementara ia tidak mengetahuinya. Sehingga janganlah ia memilih sesuatu mendahului pilihan-Nya. Bahkan semestinya ia memohon kepada-Nya pilihan-Nya yang baik untuk dirinya serta memohon-Nya agar menjadikan dirinya ridha dengan pilihan-Nya. Karena tidak ada yang lebih bermanfaat untuknya daripada hal ini.

Bahwa bila seorang hamba menyerahkan urusan kepada Rabbnya serta ridha dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala pilihkan untuk dirinya, Allah Subhanahu wa Ta'ala pun akan mengirimkan bantuan-Nya kepadanya untuk melakukan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala pilihkan, berupa kekuatan dan tekad serta kesabaran. Juga, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan palingkan darinya segala yang memalingkannya darinya, di mana hal itu menjadi penghalang pilihan hamba tersebut untuk dirinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala pun akan memperlihatkan kepadanya akibat-akibat baik pilihan-Nya untuk dirinya, yang ia tidak akan mampu mencapainya walaupun sebagian dari apa yang dia lihat pada pilihannya untuk dirinya.

Di antara hikmah ayat ini, bahwa ayat ini membuat lega hamba dari berbagai pikiran yang meletihkan pada berbagai macam pilihan. Juga melegakan kalbunya dari perhitungan-perhitungan dan rencana-rencananya, yang ia terus-menerus naik turun pada tebing-tebingnya. Namun demikian, iapun tidak mampu keluar atau lepas dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah taqdirkan. Seandainya ia ridha dengan pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala maka takdir akan menghampirinya dalam keadaan ia terpuji dan tersyukuri serta terkasihi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bila tidak, maka taqdir tetap akan berjalan padanya dalam keadaan ia tercela dan tidak mendapatkan kasih sayang-Nya karena ia bersama pilihannya sendiri. Dan ketika seorang hamba tepat dalam menyerahkan urusan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ridhanya kepada-Nya, ia akan diapit oleh kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya dalam menjalani taqdir ini. Sehingga ia berada di antara kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Kasih sayang-Nya melindunginya dari apa yang ia khawatirkan, dan kelembutan-Nya membuatnya merasa ringan dalam menjalani taqdir-Nya. Bila taqdir itu terlaksana pada seorang hamba, maka di antara sebab kuatnya tekanan taqdir itu pada dirinya adalah usahanya untuk menolaknya. Sehingga bila demikian, tiada yang lebih bermanfaat baginya daripada berserah diri dan melemparkan dirinya di hadapan taqdir dalam keadaan terkapar, seolah sebuah mayat. Dan sesungguhnya binatang buas itu tidak akan rela memakan mayat.

(Diterjemahkan oleh Al-Ustadz Qomar ZA, Lc. dari Kitab Al-Fawa`id hal. 153-155)

Source: Asysyariah.Com

[Baca Selengkapnya...]


Kekayaan dan Kemiskinan Hakiki



Harta benda merupakan bagian dari rizki yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas setiap hamba. Sebagian dilebihkan atas sebagian yang lain. Sehingga muncullah sebutan kaya dan miskin. Akan tetapi, siapakah sebenarnya orang yang disebut kaya atau miskin?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah rasa cukup yang ada di dalam hati.” (HR. Al-Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata dalam penjelasannya terhadap hadits ini:

“Alhasil, orang yang disifati dengan ghina an-nafs (kekayaan jiwa) adalah orang yang qana’ah terhadap apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rizkikan kepadanya. Dia tidak tamak untuk menumpuk-numpuk harta tanpa ada kebutuhan. Tidak pula dia meminta-minta kepada manusia dengan mendesak. Dia merasa ridha dengan apa yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, seakan-akan ia terus-menerus merasa cukup.

Sedangkan orang yang disifati dengan faqru an-nafs (kefakiran jiwa) adalah kebalikannya. Karena dia tidak qana’ah terhadap apa yang diberikan kepadanya. Dia selalu rakus untuk menimbun kekayaan, dari arah mana saja. Kemudian, bila dia tidak mendapatkan apa yang ia cari, ia akan merasa sedih dan menyesal. Seakan-akan dia adalah orang yang tidak memiliki harta. Karena dia tidak merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya, sehingga seakan-akan dia bukan orang yang kaya.” (Fathul Bari, 2/277)

Demikian pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan orang yang pada hakikatnya miskin, seperti dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الَّذِي لاَ يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلاَ يَقُوْمُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

“Bukanlah orang yang miskin itu orang yang meminta-minta kepada manusia untuk diberi satu atau dua suap makanan, dan satu atau dua butir kurma. Akan tetapi orang yang miskin itu adalah orang yang tidak memiliki (rasa cukup dalam hatinya yang membuat dirinya tidak meminta-minta kepada orang lain) dan orang yang tidak menyembunyikan keadaannya, sehingga orang bersedekah kepadanya tanpa dia meminta-minta.” (HR. Al-Bukhari no. 1479 dan Muslim no. 1472 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata:

“Kecukupan dalam hati akan tumbuh dengan keridhaan terhadap qadha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berserah diri terhadap ketetapan-Nya, meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan kekal, sehingga membawa dirinya berpaling dari tamak dan rakus serta meminta-minta kepada manusia.” (Fathul Bari, 2/277)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: www.asysyariah.com

[Baca Selengkapnya...]


Puasa Arafah dan Idul Adha, Ikut Pemerintah atau Arab Saudi?



Berikut saya kutipkan penjelasan (para ulama) mengenai pendalilan penetapan waktu Iedul Adha yang semenjak dulu menjadi bahan pengkajian dan ikhtilaf kaum muslimin. Artikel ini cukup berbobot dan insyaAllah menambah ilmu dan wawasan agama kita..


Tahun ini, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan bahwa hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 17 November 2010 Masehi, berbeda dengan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa hari raya yang juga disebut hari haji akbar itu jatuh pada sehari sebelumnya, bertepatan 16 November 2010. Ini berarti bahwa jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah pada tanggal 15 November 2010.

Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan, kapan kita yang berada di Indonesia ini berpuasa Arafah dan berhari raya kurban? Apakah tetap mengikuti pemerintah kita atau mengikuti Arab Saudi? Dan apakah memungkinkan kalau puasa Arafahnya mengikuti waktu wukufnya jama’ah haji, sementara idul adhanya mengikuti pemerintah?

Kami akan menyebutkan dua pendapat yang pernah dijelaskan oleh para ulama, yaitu:

Pendapat pertama: puasa Arafah dan idul adha tetap mengikuti pemerintah walaupun berbeda dengan negara Arab Saudi

Ini adalah pendapat yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau pernah ditanya oleh para pekerja yang bertugas di kedutaan Arab Saudi (di negara lain), ketika mereka menghadapi masalah terkait dengan puasa Ramadhan dan puasa Arafah. Mereka tepecah menjadi tiga kelompok:

  • Kelompok pertama mengatakan: “Kami akan berpuasa dan berbuka mengikuti kerajaan Arab Saudi”.
  • Kelompok kedua mengatakan: “Kami berbuka dan berpuasa mengikuti negara yang kami bertugas di sana.”
  • Dan kelompok ketiga mengatakan: “Kami akan berpuasa Ramadhan sesuai dengan negara tempat kami bertugas, namun untuk puasa Arafah, kami mengikuti kerajaan Arab Saudi.”

Maka beliau menjawab:

Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat, apakah jika hilal telah tampak di suatu negeri,

  • Kemudian mengharuskan kaum muslimin di seluruh negeri untuk mengikuti negeri tersebut,
  • Ataukah kewajiban itu hanya bagi yang melihat hilal saja dan juga bagi negeri yang satu mathla’ dengannya [note: mathla’ (مَطْلَعٌ ) dengan harakat fathah pada huruf al-lam, bermakna : waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari, red],
  • Atau kewajiban itu juga berlaku bagi yang melihat hilal dan siapa saja yang berada di pemerintahan (negara) yang sama.

Dalam permasalahan ini terdapat beberapa pendapat,

Yang rajih (kuat) adalah bahwasannya permasalahan ini dikembalikan kepada ahlul ma’rifah. Jika dua negeri berada dalam satu mathla’ yang sama, maka keduanya terhitung seperti satu negeri, sehingga jika di salah satu negeri tersebut sudah terlihat hilal, maka hukum ini juga berlaku bagi negeri yang satunya tadi.

Adapun jika dua negeri tadi tidak berada pada satu mathla’, maka setiap negeri memiliki hukum tersendiri. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala. Dan inilah yang sesuai dengan zhahir Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta qiyas.

Dalil dari Al-Qur’an:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185]

Dipahami dari ayat ini adalah barangsiapa yang tidak melihat maka tidak diwajibkan baginya berpuasa.

Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا

“Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah, dan apabila melihat hilal (syawwal), maka berbukalah (beridul fithrilah.”

Dipahami dari hadits ini adalah jika kita tidak melihat hilal, maka tidak wajib berpuasa ataupun berbuka (beridul fithri).

Adapun dalil qiyas adalah:

Karena waktu mulainya berpuasa dan berbuka itu hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri lain yang waktu terbit dan tenggelamnya matahari adalah sama. Ini adalah hal yang telah disepakati, sehingga anda saksikan bahwa kaum muslimin di Asia sebelah timur mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah baratnya, demikian pula dengan waktu berbukanya. Hal ini terjadi karena fajar di belahan bumi timur terbit lebih dahulu daripada di belahan barat, begitu juga dengan tenggelamnya matahari. Jika perbedaan seperti ini bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa dan berbuka yang itu terjadi setiap hari, maka demikian juga hal itu bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa di awal bulan dan waktu mulainya berhari raya. Tidak ada bedanya antara keduanya.

Namun jika ada dua negeri yang berada dalam satu pemerintahan, dan pemerintah negeri tersebut telah memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka (berhari raya), maka wajib mengikuti perintah (keputusan) pemerintah tersebut. Masalah seperti ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan pemerintahlah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.

Berdasarkan ini semua, hendaklah kalian berpuasa dan berbuka (berhari raya) sebagaimana puasa dan berbuka (berhari raya) yang dilakukan di negeri kalian berada (yaitu mengikuti keputusan pemerintah). Sama saja apakah keputusan ini sesuai dengan negeri asal kalian atau berbeda. Begitu juga dengan hari (puasa) Arafah, hendaklah kalian mengikuti negeri yang kalian berada di sana.

Pada kesempatan yang lain, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala juga ditanya:

“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah dari negeri-negeri yang berbeda disebabkan perbedaan mathla’, apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami berada padanya, ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Arab Saudi)?”

Beliau menjawab:

“Permasalahan ini dibangun (muncul) dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah munculnya hilal (di suatu daerah) itu berlaku untuk seluruh dunia, ataukah berbeda-beda tergantung perbedaan mathla’nya.

Pendapat yang benar adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan mathla’nya. Misalnya di Makkah terlihat hilal tanggal 9 Dzulhijjah, namun di negari lain, hilal tersebut sudah terlihat sehari sebelumnya, sehingga hari Arafah (di Makkah) menurut negeri itu adalah sudah memasuki tanggal 10 Dzulhijjah. Maka tidak boleh bagi penduduk negeri tersebut untuk berpuasa pada hari itu, karena hari itu adalah hari ‘Idul Adha.

Demikian juga jika munculnya hilal Dzulhijjah di negeri itu sehari setelah ru’yatul hilal di Makkah, maka tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu adalah bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di negeri tersebut. Sehingga penduduk negeri tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka, yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.

Inilah pendapat yang kuat dalam permasalahan ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا

“Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) hendaklah kalian berpuasa, dan jika kalian melihat hilal (Syawwal) hendaknya kalian berbuka (berhari raya).”

Penduduk di daerah yang tidak tampak oleh mereka hilal, maka mereka bukan termasuk orang yang melihatnya.

Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari itu sesuai (mengikuti) daerahnya masing-masing yang berbeda-beda, maka demikian juga penetapan (awal) bulan itu, sebagaimana penetapan waktu harian (mengikuti daerahnya masing-masing).”

Pendapat kedua: puasa Arafah mengikuti Arab Saudi, namun idul adha mengikuti pemerintah

Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:

Apakah kita beridul Adha (yakni mulai menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?

Maka beliau menjawab:

Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.

Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi tersebut).

Namun apabila kalian khawatir terjadinya fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10 Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama yang lain.

Sehingga kalian boleh memilih, tidak mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.

Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga Allah memberikan taufik kepada kalian.

Adapun untuk shalat id, maka dilakukan pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari kedua.

Kesimpulan

Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.

Bagi yang mengikuti pendapat pertama, maka dia memiliki dasar:

Bahwa dari keterangan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin tadi, dalam menentukan waktu masuknya bulan Dzulhijjah, insya Allah Pemerintah Indonesia sudah menempuh upaya-upaya yang sesuai dengan syar’i, yaitu ru’yatul hilal[1], yang kenyataannya pada 29 Dzulqa’dah petang, hilal bulan Dzulhijjah belum nampak, sehingga dilakukan ikmal (menyempurnakan/menggenapkan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari). Ini semua adalah upaya yang sudah sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dengan mengikuti pemerintah, syi’ar kebersamaan umat Islam di negeri ini akan lebih terjaga, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

الصوم يوم تصومون ، و الفطر يوم تفطرون ، و الأضحى يوم تضحون

“Berpuasa (adalah dilakukan di) hari kalian semua berpuasa, beridul fithri (adalah dilakukan di) hari kalian beridul fithri, dan beridul adha (adalah dilakukan di) kalian beridul adha (melakukan penyembelihan).” [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah]

Dan bagi yang mengikuti pendapat kedua, dia memiliki dasar:

Puasa Arafah disesuaikan waktunya dengan waktu wukufnya jama’ah haji di Arafah. Sesuai dengan namanya, bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilakukan ketika jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah. Wallahu a’lam.

Pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.

Adapun untuk shalat id-nya, boleh bagi dia untuk melakukannya bersamaan dengan pemerintah karena biasanya mayoritas umat Islam di negeri ini mengikuti pemerintah, sehingga jika dikhawatirkan timbul fitnah, tidak mengapa untuk melakukan shalat id sesuai dengan pemerintah negeri ini, berbeda dengan puasa yang itu merupakan amalan yang tidak nampak.

Wallahu a’lam bish shawab.

[1] Walaupun pemerintah juga menggunakan metode hisab, namun metode ini tidak teranggap karena tidak sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua dan kepada pemerintah negeri ini.


Sumber; www.assalafy.org

[Baca Selengkapnya...]


Vacancy @PT. Garuda Indonesia




Mau sharing info lowongan pekerjaan di perusahaan maskapai penerbangan plat merah, PT. Garuda Indonesia untuk posisi Management Trainee (MT). Kebetulan lihat di milis almamater. Barangkali saja rekan-rekan berminat. Tapi kalau nanti diterima, jangan lupa lo ya makan-makannya.. :P

Monggo…


[Baca Selengkapnya...]


Bersandar Kepada Allah Dalam Mencari Jalan Keluar



Shuhaib bin Sinan radhiyallahu 'anhu menuturkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam;

“Dulu hidup seorang raja yang memiliki seorang tukang sihir. Ketika usia tukang sihir itu telah menua, ia berkata kepada sang raja, “Sesungguhnya aku ini telah tua, maka utuslah padaku seorang pemuda yang dapat kuajari sihir.” Lalu raja pun mengirim seorang pemuda untuk diajari sihir. Di tengah jalan yang biasa dilalui pemuda itu menuju tukang sihir ada seorang rahib. Pemuda itu singgah duduk dan mendengarkan ucapan sang rahib. Dia pun merasa takjub. Maka demikianlah bila dia mendatangi tukang sihir, dia melewati rahib lalu duduk di hadapannya. Bila tiba di hadapan tukang sihir, tukang sihir itu pun memukulnya. Dia adukan hal itu kepada rahib. Si rahib menjawab, “Kalau engkau khawatir terhadap tukang sihir, katakan padanya ‘Keluargaku menahanku’, dan kalau engkau khawatir terhadap keluargamu, katakan ‘Tukang sihir menahanku’.”

Demikian terus berlangsung sampai suatu saat, muncul seekor binatang besar yang menghalangi jalan manusia. Pemuda itu berkata, “Pada hari ini aku akan mengetahui, apakah tukang sihir yang lebih utama ataukah rahib.” Lalu diambilnya sebuah batu sambil berkata, “Ya Allah, bila ajaran rahib lebih Engkau cintai daripada ajaran tukang sihir, matikanlah binatang ini, hingga manusia dapat lewat kembali.” Dilemparnya binatang itu hingga akhirnya mati dan orang-orang pun dapat melewati jalan itu lagi.

Kemudian dia datang kepada rahib dan menceritakan apa yang terjadi. Mendengar itu rahib berkata, “Wahai anakku, sekarang engkau lebih utama daripadaku, engkau telah mencapai kedudukan sebagaimana yang kulihat, dan nanti engkau akan diuji. Jika engkau mendapatkan ujian, jangan sekali-kali menunjuk padaku.”

Pemuda itu pun dapat mengobati orang yang buta sejak lahir, orang yang berpenyakit sopak ataupun segala penyakit. Hal itu didengar oleh seorang pendamping raja yang buta. Dia pun mendatangi pemuda itu dengan membawa banyak hadiah, lalu berkata, “Semua yang di hadapanmu ini menjadi milikmu kalau engkau bisa menyembuhkanku.” Si pemuda menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah. Kalau engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa agar Allah menyembuhkanmu.” Pendamping raja itu pun beriman dan Allah pun menyembuhkannya.

Pendamping raja itu kembali duduk di sisi raja sebagaimana biasanya. Sang raja bertanya, “Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?” “Rabbku,” jawab pendamping raja. “Apakah engkau punya rabb selain aku?” tanya raja lagi. “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah,” jawabnya.

Sang raja pun menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya sampai akhirnya pendamping raja itu menunjukkan si pemuda. Didatangkanlah pemuda itu dan dia mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah.” Mendengar itu, raja segera menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya sampai pemuda itu menunjukkan si rahib. Didatangkan pula si rahib dan dikatakan padanya, “Keluar dari agamamu!” Rahib itu menolak. Raja meminta sebilah gergaji, lalu digergajilah tepat di tengah-tengah kepala rahib hingga terbelah dua badannya. Kemudian didatangkan pendamping raja dan dikatakan pula, “Keluar dari agamamu!” Akan tetapi dia menolak hingga digergaji tepat di tengah kepalanya sampai terbelah dua badannya.

Setelah itu didatangkan si pemuda dan dikatakan juga padanya, “Keluar dari agamamu!” Dia pun menolak, hingga raja menyerahkannya pada para pengawal, “Bawa dia naik ke gunung. Kalau kalian telah sampai di puncak, tawarkanlah kalau dia mau keluar dari agamanya. Kalau tidak, lemparkan dia!” Mereka membawa pemuda itu naik ke gunung. Pemuda itu berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Tiba-tiba gunung itu bergoncang dahsyat hingga para pengawal itu berjatuhan dari atas gunung. Pulanglah pemuda itu dengan berjalan kaki ke hadapan raja. Raja pun bertanya heran, “Apa yang mereka lakukan?” Jawab pemuda itu, “Allah menyelamatkanku dari mereka.”

Kemudian raja kembali menyerahkannya pada pengawal, “Bawalah dia dengan perahu hingga ke tengah lautan, lalu tawarkan kalau dia mau keluar dari agamanya. Kalau tidak, lemparkan dia ke lautan.” Mereka pun membawanya ke tengah lautan. Pemuda itu lalu berdoa, “Ya Allah, selamatkan aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Tiba-tiba perahu itu terbalik hingga para pengawal raja tenggelam. Pemuda itu pulang ke hadapan raja dengan berjalan kaki. Raja bertanya lagi, “Apa yang mereka lakukan?” Pemuda itu menjawab, “Allah menyelamatkanku dari mereka.”

Pemuda itu berkata lagi, “Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku sampai engkau laksanakan saranku.” “Apa itu?” tanya raja. “Engkau kumpulkan manusia di sebuah tanah lapang, dan engkau salib aku pada sebatang pohon. Lalu ambil sebuah anak panah dari tempat anak panahku dan letakkan di busur. Kemudian ucapkan ‘Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini’ lalu panahlah. Kalau engkau lakukan ini, engkau akan bisa membunuhku.”

Raja segera mengumpulkan manusia di suatu tanah lapang dan menyalib pemuda itu pada sebatang pohon. Lalu diambilnya anak panah dari tempatnya kemudian diletakkan di busurnya sambil berkata, “Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.” Dilontarkannya anak panah tepat mengenai dahi pemuda itu. Pemuda itu pun meletakkan tangannya di dahinya, di tempat sasaran anak panah, lalu meninggal.

Menyaksikan hal itu, manusia pun berkata, “Kami beriman kepada Rabb pemuda itu! Kami beriman kepada Rabb pemuda itu! Kami beriman kepada Rabb pemuda itu!”

Disampaikanlah kepada raja, “Tidakkah engkau melihat apa yang engkau khawatirkan? Demi Allah, sungguh telah terjadi apa yang engkau takutkan. Manusia telah beriman.” Maka raja memerintahkan untuk dibuat parit besar di setiap pintu kota dan dinyalakan api di dalamnya. Raja berkata, “Barangsiapa yang tidak mau keluar dari agamanya, lempar dan bakar dia di dalamnya!” Perintah itu pun segera dilaksanakan.

Suatu ketika, datang seorang wanita membawa anaknya yang masih kecil. Dia merasa bimbang untuk masuk ke dalam api. Tiba-tiba berucaplah sang anak, “Bersabarlah wahai ibu, sesungguhnya engkau di atas kebenaran.” [Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya no. 3005]

Inilah di antara banyak kisah yang memberikan gambaran tentang keadaan seorang mukmin yang senantiasa bersandar kepada Allah untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya.


Sumber: www.asysyariah.com

[Baca Selengkapnya...]


Absensi dan Ayam Bakar Sambel Kecap!



Sebagaimana kebiasaan hari sebelumnya, pagi ini pun (Senin, 8 November 2010) saya kembali telat masuk kantor, sungguh kebiasaan buruk yang susah sekali diberantas sedari dulu, tepatnya semenjak pindah dari Jakarta (mudah-mudahan tidak menular pada rekan-rekan yang lain…hehe, red). Kalau dulu barangkali masih bisa dimaklumi karena trafik lalu-lintas di DKI Jakarta memang selalu padat dari pagi hingga sore hari, tapi (di lokasi) sekarang? Gak bisa dijadikan alasan sebenarnya ^_^. Setelah duduk, screen computer saya nyalakan, login HRiS saya buka kemudian absen. Beberapa hari belakangan ini (tidak seperti biasanya) pula saya harus absen hingga dua kali, yang pertama absen buat saya sendiri dan yang kedua absen buat atasan (i.e manager). [Jadi inget jaman kuliah dulu, hampir di setiap mata kuliah absensi saya selalu bagus (karena nitip, red), tapi orangnya sendiri jarang kelihatan di kelas. Imbasnya, IPK akhir saya agak “pas-pasan”...hehe. Nah sekarang kena getahnya sendiri, jadi korban “titipan absen” atasan, red]. Lumayan agak “surprised” juga ketika melihat history absensi saya selama beberapa bulan terakhir. Dulu “highlight” merah gampang sekali dihitung (karena hampir tidak pernah telat masuk kantor), tapi belakangan justru sebaliknya..hehe, punten nya.

Alhamdulillah hari ini saya shoum sunnah, jadi gak ikut sarapan pagi bareng rekan-rekan di pantry (seperti biasanya). “Hari ini kayaknya ada yang beda, apa ya?”. Setelah berpikir sejenak dan melihat sekeliling ruangan, ternyata saya baru menyadari kalau salah satu Spv kami tidak masuk kerja hari ini. Kamis minggu lalu beliau mengajukan cuti kepada atasan kami dengan alasan belum cukup fit untuk kembali bekerja (karena sakit, red). Biasanya dia lah yang selalu meramaikan suasana pagi dengan guyonannya yang segar dan menghibur. Akhirnya tadi pagi saya iseng mendatangi tempat kerjanya, saya temukan sebuah tabloid terbitan baru di mejanya. Saya buka satu persatu, halaman demi halaman. Nah pas masuk ke halaman 34, ada sesuatu yang begitu menarik mata saya, sebuah foto close-up yang jernih, begitu menggoda. Saya yakin sebagian besar orang akan terpikat melihatnya, seandainya saja ada kesempatan, (mereka) pasti ingin mencobanya, apalagi jika benar-benar ada dihadapannya saat itu juga!. Apakah itu? “Ayam Bakar Sambal Kecap”!!, begitulah kurang lebih judul resep masakan (di tabloid) tersebut tertulis.. hehe.

Sebenarnya sih agak kurang nyambung antara kalimat pembuka (prolog) dengan esensi cerita yang hendak saya sampaikan (Absensi, cuti dan “ayam bakar”, hubungannya apa ya...hehe). Punten pisan, memang sedikit dipaksakan, tapi gak papa lah :P. Nah, berbicara mengenai ayam bakar, kurang afdhal rasanya kalau tidak mengulas bagaimana cara membuatnya dan apa saja resep yang harus disiapkan. Nah bagi penggemar ayam bakar, berikut ini adalah resep komplitnya.

Bahan:

1 ekor Ayam (enaknya ayam kampung nih, red), dipotong 4 bagian

1 buah Jeruk Nipis (untuk menghilangkan bau amis biasanya sih, red)

3 siung Bawang Putih

5 cm Jahe

1 sdt Garam

3 sdm Kecap Manis

1 batang Serai, memarkan (bikin harum masakan nih, red)

2 lembar Daun Salam (mantap kalo dikombinasikan sama serai, harumnya menggoda selera, red)

400 ml Air

2 sdm Mentega, lelehkan

Sambal Kecap:

6 buah Cabe Rawit Merah (sesuaikan dengan selera saja, red)

3 sdm Bawang Goreng, haluskan (Bawang mentah juga mantap sih sebenarnya, red)

4 sdm Kecap manis

1 buah Jeruk Limau (Kalau buat saya, bahan ini yang wajib ada buat pelengkap sambel kecap, red)

Cara membuat:

  1. Lumuri ayam dengan air jeruk nipis, diamkan 15 menit.
  2. Haluskan bawang putih, jahe dan garam. Masak ayam, bumbu yang sudah dihaluskan, kecap manis, serai dan daun salam. Tambahkan air, masak hingga matang dan bumbu meresap.
  3. Oles ayam dengan mentega cair dan bakar hingga harum kecoklatan.
  4. Sambal: haluskan cabe rawit merah, tambahkan bawang goring halus, kecap dan air jeruk limau. Terakhir, hidangkan dengan ayam bakar diatas. Mantabss dan selamat mencoba!

[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula