Peringatan Itu Bermanfaat Bagi Orang-Orang Yang Beriman



Saling nasihat-menasihati dalam kebenaran adalah salah satu perkara penting yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam Islam. Dia berfirman dalam kitabNya;

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 1-3)


al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullahu- menjelaskan ayat di atas dalam tafsirnya;

أقسم تعالى بالعصر، الذي هو الليل والنهار، محل أفعال العباد وأعمالهم أن كل إنسان خاسر، والخاسر ضد الرابح والخسار مراتب متعددة متفاوتة قد يكون خسارًا مطلقًا، كحال من خسر الدنيا والآخرة، وفاته النعيم، واستحق الجحيم وقد يكون خاسرًا من بعض الوجوه دون بعض، ولهذا عمم الله الخسار لكل إنسان، إلا من اتصف بأربع صفات

“Allah Ta’ala bersumpah dengan masa, yaitu siang dan malam sebagai tempat terjadinya perbuatan-perbuatan manusia, bahwa manusia itu rugi. Orang yang rugi adalah kebalikan dari orang yang beruntung. Tingkatan orang yang rugi bermacam-macam; ada yang rugi secara mutlak seperti kondisi orang yang rugi di dunia dan di akhirat. Ia tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak mendapatkan neraka Jahim. Ada yang rugi di sebagian sisi saja. Karena itu Allah Ta’ala menyebutkan kerugian untuk setiap manusia secara umum, kecuali orang yang memiliki empat sifat:

الإيمان بما أمر الله بالإيمان به، ولا يكون الإيمان بدون العلم، فهو فرع عنه لا يتم إلا به

Iman terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dengan beriman kepadaNya. Dan iman tidak ada tanpa adanya ilmu. Ilmu adalah bagian dari iman yang tanpanya keimanan menjadi tidak sempurna.

والعمل الصالح، وهذا شامل لأفعال الخير كلها، الظاهرة والباطنة، المتعلقة بحق الله وحق عباده ، الواجبة والمستحبة

Amal shalih. Dan ini mencakup seluruh perbuatan baik, lahir maupun batin, yang berkaitan dengan hak-hak Allah Ta’ala dan hak-hak hambaNya, yang wajib dan yang dianjurkan.

والتواصي بالحق، الذي هو الإيمان والعمل الصالح، أي: يوصي بعضهم بعضًا بذلك ، ويحثه عليه، ويرغبه فيه

Saling menasihati dengan kebenaran yang merupakan iman dan amal shalih, yakni sebagian orang menasihati sebagian yang lain dengan kebenaran, mendorong dan menganjurkannya.

والتواصي بالصبر على طاعة الله، وعن معصية الله، وعلى أقدار الله المؤلمة فبالأمرين الأولين، يكمل الإنسان  نفسه، وبالأمرين الأخيرين يكمل غيره، وبتكميل الأمور الأربعة، يكون الإنسان قد سلم من الخسار، وفاز بالربح < العظيم >

Saling menasihati dengan kesabaran adalah dalam ketaatan terhadap Allah Ta’ala, bersabar menjauhi maksiat, dan bersabar atas ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala yang menyakitkan. Dengan dua hal yang pertama, seseorang menyempurnakan dirinya sendiri dan dengan dua hal kedua, seseorang menyempurnakan orang lain dan dengan melengkapi keempat hal tersebut, seseorang terhindar dari kerugian dan mendapatkan keuntungan besar.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7, juz. 30, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)



Namun herannya, masih saja ada segelintir orang yang suka bersu’uzhan (berperasangka buruk) kepada saudaranya yang gigih menyampaikan nasihat dan peringatan dengan tuduhan yang buruk dan tidak pada tempatnya. Seperti ketika seseorang menasihati saudaranya dengan perkataan, “Wahai saudaraku, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk menjauhi riba, tidak mencari rizki dengan jalan riba, tidak bekerja di tempat yang di dalamnya mengandung riba karena termasuk berta’awun ‘alal itsmi wal ‘udwan.” Lalu muncul komentar sinis dari seseorang, “Ga usahlah mengurusi urusan orang lain. Biarkan saja mereka bekerja sesuai pilihan hatinya. Toh anda tidak dirugikan kan?. Ga usah pula membicarakan halal wal haram. Bilang saja anda iri dengan kesuksesan duniawi dan karir mereka, sesuatu yang belum pernah anda dapat dan rasakan sejauh ini bukan?. Anda juga bukan Tuhan, jadi ga usahlah menghukumi seseorang.” Kemudian ia tutup dengan statement pamungkasnya i.e, “Ketauhilah bahwa sirik itu tanda tak mampu!.”

Padahal nasihat atau peringatan itu sangat penting dan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. “Siapa bilang?”, Allah Ta’ala sendiri yang mengatakan dalam kitabNya. Perhatikan firman Allah Ta’ala berikut;

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ (55

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat: 55)



al-‘Allamah as-Sa’dy menjelaskan;

والتذكير نوعان: تذكير بما لم يعرف تفصيله، مما عرف مجمله بالفطر والعقول  فإن الله فطر العقول على محبة الخير وإيثاره، وكراهة الشر والزهد فيه، وشرعه موافق لذلك، فكل ما أمر به ونهى من الشرع، فإنه من التذكير، وتمام التذكير، أن يذكر ما في المأمور به ، من الخير والحسن والمصالح، وما في المنهي عنه، من المضار والنوع الثاني من التذكير: تذكير بما هو  معلوم للمؤمنين، ولكن انسحبت عليه الغفلة والذهول، فيذكرون بذلك، ويكرر عليهم ليرسخ في أذهانهم، وينتبهوا ويعملوا بما تذكروه، من ذلك، وليحدث لهم نشاطًا وهمة، توجب لهم الانتفاع والارتفاع وأخبر الله أن الذكرى تنفع المؤمنين، لأن ما معهم من الإيمان والخشية والإنابة، واتباع رضوان الله، يوجب لهم أن تنفع فيهم الذكرى، وتقع منهم الموعظة موقعها كما قال تعالى :

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى * سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى * وَيَتَجَنَّبُهَا الأَشْقَى

وأما من ليس له معه إيمان ولا استعداد لقبول التذكير، فهذا لا ينفع تذكيره، بمنزلة الأرض السبخة، التي لا يفيدها المطر شيئًا، وهؤلاء الصنف، لو جاءتهم كل آية، لم يؤمنوا حتى يروا العذاب الأليم

“Memberi peringatan terbagi menjadi dua macam; Peringatan yang perinciannya tidak diketahui namun secara garis besarnya dapat diketahui oleh fitrah dan akal sehat, karena Allah Ta’ala telah membentuk akal dengan fitrah yang menyukai kebaikan serta mengedepankan kebaikan dan juga membenci keburukan serta meninggalkannya. Dan syariat Allah Ta’ala sesuai dengan hal itu. Maka seluruh perintah dan dan larangan syariat merupakan peringatan. Peringatan yang sempurna adalah peringatan yang di dalamnya disebutkan kebaikan-kebaikan, kemashlahatan-kemashlahatan yang terdapat pada apa yang diperintahkan serta disebutkannya mudarat dari apa yang dilarang disebutkan. Kedua adalah peringatan yang diketahui oleh orang-orang yang beriman, hanya saja dilalaikan sehingga perlu diulang-ulang agar mereka ingat kembali, agar mengakar di dalam otak mereka, dan agar waspada sehingga mereka mengetahui peringatan yang disampaikan, menimbulkan semangat dan tekad tinggi yang menyebabkan mereka memanfaatkan peringatan tersebut hingga derajat mereka bisa terangkat. Allah Ta’ala mengabarkan bahwa peringatan itu berguna bagi orang-orang beriman sebab keimanan yang mereka miliki dan juga rasa takut (khouf), kembali kepada Allah Ta’ala, serta meniti keridhaanNya mengharuskan mereka terpengaruh oleh peringatan dan nasihat pun mengena pada tempatnya sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala;

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى * سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى * وَيَتَجَنَّبُهَا الأَشْقَى

“Maka berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat, akan diingat oleh orang-orang yang takut dan akan dijauhi oleh orang yang celaka.” (QS. al-A’la: 9-11)

Adapun orang yang tidak memiliki keimanan serta tidak memiliki kesiapan untuk menerima peringatan, maka peringatan sama sekali tidak berguna baginya, sama seperti tanah lembab dan asin yang tidak bisa memanfaatkan air hujan sama sekali. Orang-orang seperti ini andai seluruh ayat datang kepada mereka, tentu mereka tidak beriman hingga mereka melihat azab yang pedih.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7, juz. 27, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)



Ada satu pertanyaan penting yang perlu kiranya dijawab oleh orang-orang yang suka bersu’uzhan kepada saudara muslimnya yang berusaha mengamalkan QS. al-‘Ashr diatas yakni: “Apakah anda orang yang beriman?”. Jika jawabannya “Iya”, maka seharusnya anda berbahagia dan bersyukur karena masih ada saudara anda sesama muslim yang peduli dan mau berbagi nasihat dan peringatan dengan anda atau dengan saudara-saudara anda yang sedang terjatuh dalam perkara yang membinasakan. Peringatan itu seharusnya membuat kita waspada hingga kita mengetahui dan memahami peringatan yang disampaikan, menimbulkan semangat dan tekad yang tinggi untuk memanfaatkan peringatan tersebut hingga (akhirnya) derajat kita bisa terangkat (mengutip keterangan asy-Syaikh as-Sa’dy –raheemahullaahu- diatas, red). Namun jika jawabannya “Tidak” maka benarlah apa yang dikatakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala bahwa peringatan atau nasihat itu (hanya) bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Maka (mengutip penjelasan asy-Syaikh as-Sa’dy –raheemahullaahu-), “Orang-orang seperti ini andai seluruh ayat datang kepada mereka, tentu mereka tidak beriman hingga mereka melihat azab yang pedih.” Sebab peringatan atau nasihat yang baik yang disampaikan dengan cara hikmah sekalipun tidak membuat mereka berubah dan tunduk sama sekali

Finally, mudah-mudahan kita termasuk orang yang ikhlas menerima nasihat dan peringatan, terlebih-lebih jika nasihat dan peringatan itu datangnya dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya sekalipun terasa pahit, pedas di telinga, dan menyakitkan hati. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu...



تقبل الله منا ومنكم
Semoga Allah (Subhaanahu wa Ta’ala) menerima ibadah kita semua.





Lengkong Kecil, Bandung

_______

Maraji’
Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7, juz. 27 dan juz. 30, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail
[Baca Selengkapnya...]


Mustahil Bagi Kita, Tidak Bagi Allah Ta’ala



Jujur saja, sharing session dengan Director of Human Capital Management kemarin pagi (Selasa, 14 August 2012) sedikit agak “datar”. Sebagian besar pertanyaan-pertanyaan kami (yang sebenarnya hanya sekedar repetisi dari tahun ke tahun, dari satu periode management ke periode management selanjutnya) dijawab dengan jawaban yang diplomatis dan bahasa yang general, khas “Management”. Tapi tidaklah mengapa, yang penting aspirasi kami (yang ada di “kasta” terbawah ini) sudah tersalurkan dengan uslub dan adab yang baik. Kami sangat menghargai, percaya sekaligus berharap, terobosan-terobosan baru (break through) dari Management kami dalam upayanya memperbaiki “jalan-jalan berlubang” dan membersihkan “benalu-benalu” (yang masih banyak dijumpai dan menempel) dalam tubuh perseroan kali ini mampu membawa harapan dan perubahan baru yang berarti. Never lose hope!, begitu kira-kira kata orang bijak. Dan semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan kepada mereka agar mampu menahkodai kapal besar yang sedang kami tumpangi ini ke destinasi dan arah yang tepat, amieen.


Berbicara mengenai “harapan” atau “berharap”, ba’da shalat dhuhur berjama’ah kemarin siang seorang ustadz alumni al-Azhar Mesir yang sangat fasih dan merdu bacaan al-Qur’annya itu menuturkan dalam taushiahnya bahwa suatu ikhtiar (yang dilakukan) tanpa diiringi dengan doa yang ikhlas (karena Allah Ta’ala) disertai dengan raja’ (pengharapan) kepadaNya tidaklah cukup untuk menggapai sesuatu. Ada kalanya seseorang yang sudah mencoba berbagai macam ikhtiar, menjalankan sebab-sebabnya secara maksimal, mengerahkan seluruh kemampuan (skill) yang ia miliki, tidak pernah berhasil meraih cita-cita dan harapannya. Di dalam situasi seperti inilah doa yang ikhlas yang disertai dengan pengharapan kepada Allah Ta’ala tadi seringkali mampu mengubah keadaan yang secara akal dan fisik mustahil bisa terwujud (namun dengan kehendak Allah Ta’ala bisa terwujud). Simaklah kisah Nabi Zakaria ‘Alahissalam (dalam Kitabullah) yang dalam kondisi usia lanjut dan lemah itu masih belum mendapatkan keturunan. Beliau berdoa;


قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (6


“Ia berkata, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu, wahai Rabbku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub, dan Jadikanlah ia, wahai Rabbku, seorang yang diridhai.’” (QS. Maryam: 4-6)


Lantas apa jawaban Allah Subhaanahu wa Ta’ala terhadap doa Nabi Zakaria ‘Alahissalam di atas?. Allah Ta’ala berfirman pada ayat selanjutnya;


يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا (7) قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا (8) قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا (9


“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (mendapatkan) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” Zakaria berkata: “Ya Rabbku, bagaimana (mungkin) akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua”. Dia berfirman: “Demikianlah”. Rabbmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.” (QS. Maryam: 7-9)


Lihatlah keteladanan dari Nabi Zakaria ‘Alahissalam. Kendati usia beliau sudah tua, tulang-tulangnya mulai melemah dan rambutnya sudah beruban, ditambah lagi dengan keadaan isterinya yang mandul, beliau ‘Alahissalam tidak pernah berhenti memohon, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan raja’ (pengharapan) agar beliau dikaruniai seorang putra yang kelak dapat meneruskan estafet kenabiannya. Jika kita cerna berdasarkan akal dan logika kita yang lemah, dengan umur yang sudah senja dan istri yang mandul, sangat kecil kemungkinannya (kalau tidak mau dibilang mustahil, red) bagi seseorang itu bisa mendapatkan seorang anak. Oleh karenanya Nabi Zakaria pun berkata;


رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا (8


“Ya Rabbku, bagaimana (mungkin) akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua” (QS. Maryam: 8)


Al-‘Allamah Abdul ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan dalam tafsirnya;


فحينئذ لما جاءته البشارة بهذا المولود الذي طلبه استغرب وتعجب وقال: ( رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلامٌ )
والحال أن المانع من وجود الولد، موجود بي وبزوجتي؟ وكأنه وقت دعائه، لم يستحضر هذا المانع لقوة الوارد في قلبه، وشدة الحرص العظيم على الولد، وفي هذه الحال، حين قبلت دعوته، تعجب من ذلك، فأجابه الله بقوله: ( كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ ) أي: الأمر مستغرب في العادة، وفي سنة الله في الخليقة، ولكن قدرة الله تعالى صالحة لإيجاد الأشياء بدون أسبابها فذلك هين عليه، ليس بأصعب من إيجاده قبل ولم يكن شيئا


“Ketika itu, saat Nabi Zakaria menerima kabar gembira (atas) kelahiran anak ini yang dimintanya, maka beliau merasa aneh dan keheranan. Beliau mengatakan, “Ya Rabbku, bagaimana (mungkin) akan ada anak bagiku” sementara kondisinya bahwa faktor penghalang untuk mendapatkan anak ada pada saya dan diri saya? Seakan-akan pada saat berdoa, beliau tidak menyadari keberadaan faktor penghalang ini, lantaran keinginan kuat di hatinya dan hasrat yang besar untuk mendapatkan anak. Dalam kondisi seperti ini, saat doanya dikabulkan, maka beliau keheranan. Maka Allah menjawab keheranannya dengan firmanNya, “Demikianlah”. Rabbmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku.” Maksudnya masalah ini memang aneh menurut kebiasaan, dan aneh pula menurut sunnatullah pada penciptaan makhlukNya. Akan tetapi kekuasaan Allah Ta’ala memungkinkan penciptaan Yahya, tanpa melalui sebab-sebab (yang lumrah) dan masalah ini ringan bagiNya. Tidak lebih sulit dari menciptakan Zakaria sebelumnya, padahal sebelumnya beliau tidak ada sama sekali.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 16 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)


Da’i lulusan Mesir itu juga menceritakan kisah Maryam sebagai ibrah lain (dalam al-Qur’an al-Kareem) yang bisa kita petik hikmahnya;


فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا (23) فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (24) وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا (25


“Maka rasa sakit akan melahirkan anak (i.e Isa ‘Alahissalam, red) memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 23-25)


Di tengah-tengah ujian berat yang harus di hadapi oleh Maryam karena didera rasa sakit menjelang melahirkan putranya, pedihnya hati karena komentar miring dari kaumnya dan kecemasan dirinya akan kemampuannya untuk bersabar, Allah Ta’ala mengutus Jibril agar menenangkan rasa kekhawatirannya dan meneguhkan hatinya seraya berkata kepadanya, “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” Jika kita cerna berdasarkan akal dan logika kita yang terbatas ini, sangat mustahil bagi seorang wanita yang sedang mengandung seorang anak itu mampu menggoyangkan pohon kurma yang berdiri kokoh dengan kedua tangannya yang lemah dan menggugurkan buahnya. Tapi itulah faktanya, sesuatu yang mustahil (menurut akal kita yang lemah dan terbatas) ternyata tidak pernah berlaku bagi Allah Ta’ala. Jika Dia berkehendak, maka dalam sekejap sesuatu yang impossible itu bisa berubah menjadi possible, cukup dengan mengatakan “Kun”, maka sesuatu itu pasti terjadi (fayakun). BagiNya segala sesuatu itu mungkin dan mudah. Oleh karenanya manusia tidak boleh hanya terpaku kepada faktor penyebab sesuatu itu terjadi saja, namun juga tidak boleh mengabaikan Dzat yang menakdirkannya dan menyebabkannya. Berkata al-‘Allamah Abdul ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu- ketika menafsirkan ayat;


قَالَ كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ (21


“Jibril berkata: “Demikianlah”. Rabbmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia.” (QS. Maryam: 21)


تدل على كمال قدرة الله تعالى وعلى أن الأسباب جميعها لا تستقل بالتأثير وإنما تأثيرها بتقدير الله فيري عباده خرق العوائد في بعض الأسباب العادية لئلا يقفوا مع الأسباب ويقطعوا النظر عن مقدرها ومسببها


“Ini menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah Ta’ala dan menandakan bahwa semua faktor penyebab itu tidak memberikan efek dengan sendirinya, akan tetapi yang memberikan pengaruh adalah takdir Allah. Maka Allah memperlihatkan kepada hambaNya pendobrakan kejadian-kejadian yang biasa pada sebagian hukum sebab akibat yang biasa (terjadi) supaya mereka tidak hanya terpaku pada faktor penyebab saja, tanpa peduli dengan Dzat yang menakdirkan dan menyebabkannya.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 16 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)


Ketika seseorang sudah berikhtiar dengan berbagai macam cara, sudah berdoa dengan gigih kepada Allah Ta’ala namun belum juga mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, maka bersabar atas takdir Allah adalah langkah selanjutnya yang harus dilakukan. Yakinlah bahwa Allah Ta’ala telah memilihkan sesuatu yang terbaik untuk kita, demikian penjelasan yang saya dengar dari al-Ustadz. Simaklah buah kesabaran dari seorang Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha atas musibah dan takdir Allah Ta’ala berikut; Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak seorang hamba pun yang tertimpa musibah lalu ia mengatakan;


إِنَّا لِلّهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ اللّهُمَّ أْجُرْنِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا


“Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami kembali. Wahai Allah, berikanlah kami pahala dari musibah ini dan berilah ganti yang lebih baik darinya.” Kecuali Allah akan memberikan ganjaran pahala karena musibah yang menimpanya dan memberikan ganti yang lebih baik.’ Ummu Salamah berkata, “Ketika Abu Salamah wafat, aku membacanya sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama. Maka Allah memberikan ganti yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama.” (HR. Muslim)


Demikian,... Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.



Ba’da Shubuh, Lengkong Kecil, Bandung.
____
Maraji’ : Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 16 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail
[Baca Selengkapnya...]


Ekstrimisme!



Dari sejak zaman kuliah hingga hari ini, saya masih sering mendengar kata “ekstrim”, “ekstrimis” atau kata lain yang semisal (dengan kata itu) disematkan kepada orang-orang tertentu yang (bisa jadi) tidak layak menyandang predikat itu secara syar’i sebagai bahan olok-olokan atau cap/stempel buruk. Bahkan jauh-jauh hari ketika saya masih menimba ilmu di sekolah menengah dahulu (di Daerah Istimewa Yogyakarta), kata-kata itu pun sering terdengar berulang kali dari lisan seorang Ibu yang hendak memperingatkan saya dari bahayanya bergaul dengan salah seorang senior sekolah saya waktu itu. Beliau berkata, “Mas, hati-hati yo, jangan dekat-dekat apalagi bergaul dengan si Fulan, dia seorang ekstrimis!. Khawatirnya sampeyan nanti berubah.” Bahkan (konon) saking ekstrimnya si Fulan ini, ia pernah membuat marah beberapa aktivis Nashara (di sekolah kami) hingga harus dihadang oleh sejumlah aktivis dari kalangan mereka di jalan dekat sebuah Gereja yang tidak jauh dari sekolah kami, diancam oleh mereka agar tidak lagi berulah, bahkan sampai perlu dihadiahi bogem mentah di wajahnya sebagai pelajaran. Seberapa “ekstrim”-kah dia sampai harus menyandang label “ekstrimis”?. Yang jelas, dia adalah seorang aktivis sekolah laiknya siswa sekolah pada umumnya, anggota sekaligus wakil ketua organisasi keagamaan di sekolah kami. Namun tidak masuk akal rasanya jika karena (alasan) itu orang-orang (baik di lingkup sekolah maupun di luar sekolah) mencapnya sebagai seorang ekstrimis. Mengapa? Karena tidak ada seorang pun selain dirinya di dalam organisasi (sekolah) tersebut yang mendapatkan label yang sama (termasuk penulis yang waktu itu hanya duduk sebagai pelengkap di organisasi, red). Ia memang terkenal cukup vokal, berani menerapkan prinsip al-wala’ wa al-bara fil Islam di lingkungan sekolah dan bersungguh-sungguh dalam berittiba’ terhadap sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Ibu itu pernah mengatakan bahwa label ekstreem terhadap si Fulan muncul karena dia memiliki tabiat atau pemahaman yang berbeda dengan keumuman anak-anak di sekolah dalam berislam. Ketika anak-anak lainnya berisbal ria misalnya (memanjangkan pakaiannya di bawah mata kaki, red), dia justru berbuat sebaliknya, dan hal itu menurutnya merupakan perbuatan yang aneh, tidak lazim dan menyimpang. Ibu itu menjadikan “keumuman” amalan yang lestari dan berkembang di masyarakat sebagai tolok ukur kebenaran sehingga tatkala ia menemukan sesuatu yang berbeda (pada amalan seseorang yang tidak sejalan dengan perbuatan manusia pada umumnya), label “ekstreem” pun lantas disematkan padanya tanpa melihat sedikit pun hujjah yang dijadikan dasar amalan oleh orang tersebut. Padahal jika mau bersikap ilmiah, si Fulan sejatinya sedang mengamalkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berikut;

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ :" ثَلَاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلٍيْمٌ",قَالَ :فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ اللهِ ثَلاثَ مِرَارٍ .قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ :"خَابُوا وَ خَسِرُوْا. مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :"المُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ"

Dari Abu Dzar dari Nabi, beliau bersabda: “Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat dan tidak dilihat dan tidak (juga) disucikan dan bagi mereka adzab yang pedih.” Abu Dzar menceritakan, “Rasulullah mengulanginya sampai tiga kali.”, “Sungguh merugi mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah?”, tanya Abu Dzar. Nabi menjawab: “Orang yang isbal (menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki, red), orang yang mengungkit-ngungkit sedekahnya dan penjual yang bersumpah palsu.” (HR. Muslim No. 106)

Apakah layak si Fulan dicap sebagai ekstrimis lantaran kedalaman ilmunya (saat itu) (compared to teman-teman sebayanya) dalam memahami sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama?. Ia memandang bahwa meninggikan pakaian diatas mata kaki adalah sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang harus diamalkan karena ia khawatir dengan ancaman Allah Ta’ala atasnya.

Ada cerita lain terkait riwayat hidup si Fulan. Suatu ketika libur kenaikan kelas telah tiba. Di saat-saat seperti itu biasanya pihak sekolah mengadakan study tour ke Bali (i.e untuk anak kelas 2 yang naik ke kelas 3, red). Sebagai anak kelas 3 yang baru naik, si Fulan seharusnya ikut tour ke Bali sebagaimana teman-teman seangkatannya. Namun pada akhirnya ia lebih memilih menyalahi “jumhur” dan menerima ajakan saya (yang saat itu masuk ke tingkat 2, red) untuk ikut pulang kampung ke kota kelahiran saya di Cilacap. Ketika saya tanya, “Mengapa anda tidak ikut study tour ke Bali?.”, Ia justru bertanya balik, “Apa manfaat terbesar dari acara study tour tersebut?.” Saya menjawab sekenanya, “Refreshing. Konon pantai disana sangat indah i.e Kuta dan Sanur, tidakkah hal itu membuat anda tertarik?.” Ia menjawab, “Saya sering sekali berkunjung ke pantai Glagah (i.e pantai di sekitar tempat tinggalnya di Yogyakarta, red). Saya kira tidak ada bedanya antara pantai-pantai di Bali dengan pantai-pantai di Yogyakarta. Justru akan lebih bermanfaat jika saya pergi bersama anda karena saya bisa menyambung tali silaturahmi dengan anda dan keluarga anda. Bukankah demikian?.” Itulah jawaban anak kelas 2 yang baru naik ke kelas 3 itu. Apakah karena sikapnya yang berbeda dengan keumuman teman-temannya ini menjadikan dia layak menyandang label ekstrimis?, padahal dia ingin mengamalkan hadits berikut; Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama, beliau bersabda;

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. at-Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976. al-‘Allamah al-Albani mengatakan bahwa hadits ini; shahih)

Berkata al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali –raheemahullaahu-; “Hadits ini mengandung makna bahwa di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baik berupa perkataan atau perbuatan.” (Jaami’ul ‘Ulum wa al-Hikam, 1/ 288)

Dan si Fulan memandang bahwa liburan ke Bali tidak lebih bermanfaat baginya dibandingkan dengan menyambung tali silaturahmi dengan keluarga saya di kampung halaman. Selama liburan di rumah kami, setiap pagi sebelum adzan shubuh berkumandang, ia sudah terbangun dari tidurnya. Di pagi hari dia duduk santai di teras rumah kami, menyibukkan diri dengan aktivitas membaca. Ketika saya tanya, “Apa yang sedang anda baca?.”, Ia menjawab, “Sebuah buku.”, Saya mohon ijin meminjamnya kemudian saya buka halaman demi halamannya secara acak. Ternyata sebuah kitab kuning dengan rangkaian huruf arab gundulnya itu. Saya tanya ke dia, “Apakah anda bisa membacanya?.”, dia menjawab sembari tersenyum, “InsyaAllah bisa.” Subhanallah, itulah aktivitas yang biasa dia lakukan untuk mengisi waktu-waktu senggangnya, bercengkrama dengan buku, mengambil faidah ilmu dari kitab-kitab gundul para ulama. Aktivitas yang sangat tidak lazim bagi keumuman teman-teman sebayanya waktu itu. Kemampuan dan kefasihan anak kelas 2 yang baru saja naik ke kelas 3 dalam membaca kitab-kitab klasik “kelas berat” itu melebihi keumuman anak-anak sebayanya, padahal dia tidak pernah duduk, bertalaqqi secara khusus di pesantren!, bahkan saya yakin tidak ada satu pun anak sebayanya di sekolah kami yang mampu berbahasa arab secara fasih seperti dirinya waktu itu!. Apakah aktivitas kesehariannya yang “tidak umum” itu, yang tidak sejalan dengan kebiasaan teman-teman sebayanya waktu itu (i.e yang sebagian besar dari mereka lebih suka memanfaatkan waktu libur dan senggangnya untuk berkhalwat dengan pasangannya, bersenang-senang dlsb, red) menjadikannya layak menyandang predikat ekstreemis?. Padahal dia hanya ingin berittiba’ dengan hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berikut; Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallama bahwasannya beliau berkata kepada seorang laki-laki untuk menasihatinya :

إِغْتَنِمْ خَمْساًَ قًبْلَ خَمْسٍِ : حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ

“Manfaatkanlah lima (perkara) sebelum (datangnya) lima (perkara yang lain): Hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dishahihkan oleh al-‘Allamah al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no. 1077)

Dengan berbekal otak brilian yang ia miliki sebenarnya ia sangat mampu menekuni bidang-bidang keilmuan favorit anak-anak SMA waktu itu seperti ilmu teknik maupun ilmu kedokteran, namun entah mengapa ia lebih tertarik mendalami sastra arab (dan memang qadarullah pada akhirnya ia diterima dan belajar di jurusan sastra arab UGM setahun kemudian, red). Ketika saya tanya mengapa ia lebih memilih jurusan tersebut, ia hanya menjawab, “InsyaAllah ilmu ini akan lebih bermanfaat bagi agama dan dunia saya kelak.” Itulah sosok si Fulan, anak yang selalu dicap “ekstrimis” dan dibenci oleh sebagian orang-orang di sekelilingnya karena “keestrimannya” selama 3 tahun di sekolah.


Apa sih makna “ekstrim” sebenarnya?. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna ekstrem secara bahasa ada dua yakni;

1). Paling ujung (paling tinggi, paling keras, dsb); (adjektiva)
2). Sangat keras dan teguh; fanatik; (adjektiva)
Contoh: Mereka termasuk golongan ~ dl pendirian mereka.

Kata ekstreem ini sudah terlanjur identik dengan perilaku buruk dan berlebihan dari seseorang, padahal secara makna literal, kata ini sangat mungkin melekat pada perilaku yang baik. Misal; si Fulan adalah orang yang paling ekstreem dalam berittiba’ kepada sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama di sekolahnya. Artinya si Fulan sangat teguh dalam berpegang kepada ucapan dan perbuatan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam aktivitas kesehariannya. Bukankah ini perkara yang baik?. Namun (hari ini) ketika ada seseorang yang berkata, “Si Fulan orangnya ekstreem.”, biasanya identik dengan konotasi buruk terhadap pribadi orang yang dibicarakannya. Disadari maupun tidak, dunia ini memang sudah terbalik-balik, sesuatu yang bathil dikatakan haq, yang syirik dikatakan tauhid, yang bid’ah dikatakan sunnah, yang khurafat dan tahayul dikatakan karamah, yang dhaif dikatakan shahih, yang jahil dikatakan pinter dlsb. Jadi jangan heran jika suatu saat ada wanita setengah telanjang berjalan di muka bumi, akan dijumpai orang-orang di sekitarnya yang berkomentar “anggun, berpakaian rapi, modern, stylish, beradab” dst adapun jika yang berjalan adalah seorang wanita yang berpakaian tertutup, longgar, tidak mencolok, maka dikatakan sebagai seorang wanita yang “ekstreem, tidak lazim, jumud, ekslusif, layak hidup di zaman batu” dst. Memang kelak apa yang datang dari sisi Allah Ta’ala dan rasulNya akan dirasa asing bagi manusia, dianggap aneh dan tidak lazim. Hal ini sebagaimana sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;

“Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan kelak akan kembali asing sebagaimana (keadaan) semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing itu (al-Ghuroba’).” (Shahih, HR. Muslim)

“Berbahagialah orang-orang yang asing (al-Ghuroba’). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad)

Jadi,..... seandainya hari ini ada orang-orang yang ingin berpegang kepada sunnah Nabinya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan mau mengamalkannya lantas orang-orang di sekitarnya mengatakan, “Anda seorang ekstreemis”, maka jika demikian keadaannya, ketahuilah bahwa saya pun rela dicap sebagai ekstreemis... Wallaahu Ta’ala a’lamu,.....
[Baca Selengkapnya...]


Keteladanan Keluarga Ibrahim ‘Alaihissalam Dan Tafsir QS. An-Nahl: 95-97



Bagi kita kaum muslimin, Hajar Ummu Isma’il bukanlah nama yang asing di telinga kita, beliau (adalah) seorang wanita shalihah di zamannya, begitu pula dengan Isma’il ‘alaihissalam. Mereka berdua merupakan istri dan putra Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam. Ada apakah dengan mereka?.

Suatu ketika salah seorang kawan senior saya berkata (secara makna, red), “Tidaklah mudah menjalankan perintah Allah Ta’ala dan (sunnah) Nabi-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama (dalam sebuah keluarga) jika orang-orang terdekat di sekelilingnya tidak memiliki pemahaman yang baik (tentang ilmu ad-dien), tidak memberikan support dan tidak pula memiliki semangat yang sama untuk menjalankannya.” Jika kita menilik fakta di lapangan, maka ucapan (kawan saya) di atas ada benarnya. Fakta menunjukkan; tidak sedikit dari para pemimpin keluarga yang memilih untuk “mengalah” (entah terpaksa atau tidak, red) ketika ayah, ibu, istri atau anak tercintanya menuntut sesuatu darinya sekalipun hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip syariat yang hanif. Kemudian kami teringat firman Allah Ta’ala yang berbunyi;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka …” (QS. at-Taghabun: 14)

Berkata al-Imam al-Hafidz Ibnu Katsir asy-Syafi’i –raheemahullahu- tentang ayat tersebut, “Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberitahukan ikhwal istri dan anak bahwa di antara mereka ada yang merupakan musuh bagi suami dan ayah. Artinya, bahwa di antara mereka itu ada yang menyebabkannya lalai dari mengerjakan amal shalih. Hal ini sebagaimana firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” Itulah sebabnya disini Allah Ta’ala berfirman, “Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka”, yaitu dalam memelihara agamamu. Dikatakan oleh Mujahid, ‘“Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu”, yaitu seorang laki-laki dapat menyeret kepada pemutusan tali kekeluargaan atau kepada kedurhakaan terhadap Rabbnya. Dan laki-laki itu tidak mampu berbuat apa-apa karena hatinya dikuasai rasa cinta kepada seseorang selain menuruti semua yang diinginkannya’.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir vol. 4).

Apa yang dikatakan oleh al-Imam Mujahid –raheemahullaahu- (beliau adalah murid Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu, ahli tafsir di kalangan shahabat, red) sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Katsir diatas adalah realita yang terjadi di tengah-tengah manusia sejak zaman dahulu hingga zaman sekarang. Sungguh berbahagia dan bersyukur seorang Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam, Allah Ta’ala telah menganugerahkan seorang istri yang shalihah kepadanya serta mengabulkan doanya, “Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ash-Shafat: 100), sehingga apapun perintah Allah Ta’ala yang beliau kerjakan selalu mendapatkan dukungan dari keluarganya. Simaklah penuturan Hajar Ummu Isma’il. Ketika beliau ditinggalkan berdua dengan putranya Isma’il ‘alaihissalam di dekat Baitullah, beliau mengikuti suaminya seraya berkata, “Wahai Ibrahim, kamu hendak pergi kemana?. Apakah kamu meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apapun ini”. Ummu Isma’il terus saja mengulang-ulang pertanyaannya berkali-kali hingga akhirnya Ibrahim tidak menoleh lagi kepadanya. Akhirnya Ummu Isma’il bertanya; “Apakah Allah yang memerintahkan kamu atas semuanya ini?”. Ibrahim menjawab: “Ya”. Ummu Isma’il berkata; “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.” (HR. al-Bukhari No. 3113). Demikianlah kisah teladan dari Hajar Ummu Isma’il. Ketika beliau mengetahui bahwa apa yang dilakukan suaminya itu merupakan perintah Allah Ta’ala, maka beliau pun ridha’ (sami’na wa atha’na) meskipun kondisi mereka pada waktu itu sedang sulit. Begitu pula dengan putranya Isma’il ‘alaihissalam, ketika ayahnya Ibrahim ‘alaihissalam berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”, Ia menjawab: “Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102). Subhanallah, demikianlah sosok-sosok teladan ummat ini yang Allah abadikan kisahnya dalam kitabNya agar manusia mau memikirkan dan mengambil pelajaran.

Bercermin dengan kisah (dalam prolog) diatas, maka firman Allah Ta’ala yang hendak kami kutip tafsirnya berikut ini juga tidak mudah diimplementasikan (oleh sebuah keluarga) jika orang-orang terdekat di sekitarnya tidak aware, tidak memiliki ghirah (semangat) untuk meneladani kehidupan para anbiya dan keluarganya yang shalih. Ayat ini sarat dengan nasihat dan peringatan. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mampu mengambil pelajaran, amieen. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;

وَلا تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلا إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (95) مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (96) مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (97

“Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 95-97)


Al-‘Allamah ‘Abdul ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan dalam tafsirnya;

يحذر تعالى عباده من نقض العهود والأيمان لأجل متاع الدنيا وحطامها فقال: ( وَلا تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلا ) تنالونه بالنقض وعدم الوفاء ( إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ ) من الثواب العاجل والآجل لمن آثر رضاه، وأوفى بما عاهد عليه الله ( هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ) من حطام الدنيا الزائلة ( إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ )
فآثروا ما يبقى على ما يفنى فإن الذي عندكم ولو كثر جدا لا بد أن ( يَنْفَدُ ) ويفنى، ( وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ ) ببقائه لا يفنى ولا يزول، فليس بعاقل من آثر الفاني الخسيس على الباقي النفيس وهذا كقوله تعالى:   بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى     وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِلأَبْرَارِ 

“Allah Ta’ala memperingatkan para hambaNya dari (tindakan) membatalkan janji-janji dan sumpah-sumpah karena  (ingin mendapatkan) kenikmatan dunia. Allah berfirman, “janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah)”, yaitu kalian mendapatkan dunia (ditukar) dengan membatalkan dan tidak menepatinya. “Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah”, berupa balasan segera (di dunia) dan ganjaran menyusul (di akhirat) adalah bagi orang yang lebih mengutamakan ridha Allah Ta’ala dan menepati apa yang telah ia tetapkan kepada Allah. “itulah yang lebih baik bagimu”, daripada kenikmatan yang fana, “Jika kamu mengetahui”.

Maka utamakanlah kenikmatan yang lestari diatas kenikmatan yang fana. Sesungguhnya, “Apa yang di sisimu”, meskipun berjumlah banyak sekali, pasti akan lenyap dan hilang, “dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal”, dengan keabadian yang Allah tetapkan baginya, tidak hilang dan tidak sirna. Maka bukanlah insan yang cerdik orang yang lebih mengedepankan barang yang (akan) sirna lagi bernilai rendah diatas kenikmatan yang lestari lagi bernilai tinggi. Pengertian ini sejalan dengan kandungan firman Allah;

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la: 16-17)

وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِلأَبْرَارِ

“Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali Imran: 198)

وفي هذا الحث والترغيب على الزهد في الدنيا خصوصا الزهد المتعين وهو الزهد فيما يكون ضررا على العبد ويوجب له الاشتغال عما أوجب الله عليه وتقديمه على حق الله فإن هذا الزهد واجب ومن الدواعي للزهد أن يقابل العبد لذات الدنيا وشهواتها بخيرات الآخرة فإنه يجد من الفرق والتفاوت ما يدعوه إلى إيثار أعلى الأمرين وليس الزهد الممدوح هو الانقطاع للعبادات القاصرة كالصلاة والصيام والذكر ونحوها بل لا يكون العبد زاهدا زهدا صحيحا حتى يقوم بما يقدر عليه من الأوامر الشرعية الظاهرة والباطنة ومن الدعوة إلى الله وإلى دينه بالقول والفعل فالزهد الحقيقي هو الزهد فيما لا ينفع في الدين والدنيا والرغبة والسعي في كل ما ينفع ( وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا ) على طاعة الله وعن معصيته وفطموا نفوسهم عن الشهوات الدنيوية المضرة بدينهم ( أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ) الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف إلى أضعاف كثيرة فإن الله لا يضيع أجر من أحسن عملا

Padanya terdapat himbauan dan anjuran untuk bersifat zuhd di dunia, terutama sifat zuhd yang sudah semestinya ditempuh. Yaitu zuhd dari perkara-perkara yang akan menjadi bahaya pada seorang hamba dan menimbulkan kesibukan seorang hamba sehingga melupakan hal-hal yang diwajibkan Allah atas dirinya dan mendahulukannya atas hak Allah. Sesungguhnya zuhd inilah yang mesti ada.

Di antara faktor pendorong untuk zuhd adalah hendaknya seorang hamba membandingkan kenikmatan-kenikmatan dunia dan godaan syahwatnya dengan kebaikan-kebaikan di akhirat. (Dengan itu) dia akan menjumpai perbedaan dan jenjang yang berpotensi mengajaknya untuk lebih mengutamakan perkara paling luhur dari dua perkara itu. Bukanlah termasuk zuhd yang terpuji, yaitu dengan mengasingkan diri untuk beribadah saja dengan ibadah qashirah (yang bermanfaat bagi dirinya sendiri), seperti shalat, puasa, dzikir dan lainnya. Bahkan seorang hamba tidak disebut zuhd dengan cara yang benar, sampai dia mengerjakan perintah-perintah agama yang mampu dia kerjakan, yang zhahir dan batin, berdakwah kepada Allah dan kepada agamaNya melalui ucapan dan tindakan. Zuhd yang sebenarnya adalah merasa tidak butuh kepada sesuatu yang tidak bermanfaat bagi agama dan dunia, dan berkeinginan serta berusaha berbuat (sesuatu) yang bermanfaat. “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar” atas ketaatan kepada Allah dan bersabar dari maksiat kepadaNya dan mengekang jiwa-jiwa mereka dari jeratan syahwat dunia yang berbahaya bagi agamanya, “dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat, sampai penggandaan hitungan yang banyak sekali. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.

ولهذا ذكر جزاء العاملين في الدنيا والآخرة فقال ( مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ ) فإن الإيمان شرط في صحة الأعمال الصالحة وقبولها بل لا تسمى أعمالا صالحة إلا بالإيمان والإيمان مقتض لها فإنه التصديق الجازم المثمر لأعمال الجوارح من الواجبات والمستحبات فمن جمع بين الإيمان والعمل الصالح ( فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ) وذلك بطمأنينة قلبه وسكون نفسه وعدم التفاته لما يشوش عليه قلبه ويرزقه الله رزقا حلالا طيبا من حيث لا يحتسب ( وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ ) في الآخرة ( أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ) من أصناف اللذات مما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر فيؤتيه الله في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة

Oleh karena itu Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia dan akhirat, “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman”, sesungguhnya keberadaan iman menjadi syarat sah dan diterimanya amalan shalih. Bahkan tidak bisa disebut amal shalih kecuali disertai dengan keimanan, (karena) iman menuntut (adanya) amal shalih. Sesungguhnya iman adalah pembenaran yang teguh lagi membutuhkan amalan-amalan badan, baik perbuatan yang wajib maupun sunnah.  Barangsiapa (yang) telah mengkombinasikan antara iman dan amal shalih, “maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik”. Hal tersebut dengan pemberian ketentraman dalam hati dan ketenangan jiwa serta tiada menoleh kepada objek yang mengganggu hatinya, dan Allah memberi rezeki lagi halal lagi baik dari arah yang tidak disangka-sangkanya, “dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka” di akhirat, “dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Berupa aneka kenikmatan (surgawi) yang tidak pernah dilihat oleh pandangan mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbetik di dalam hati manusia. Maka Allah memberinya kebaikan di dunia dan di akhirat.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman, vol. 4, juz. 14 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)


Pelajaran yang bisa kita ambil al:

(1). Kita dilarang membatalkan janji-janji dan sumpah-sumpah demi mendapatkan kenikmatan dan kekayaan dunia sebagaimana FirmanNya, “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah).”

(2). Kita diperintahkan agar mengutamakan dan bersemangat dalam mengejar kenikmatan yang lestari diatas kenikmatan yang fana karena “apa yang ada di sisi Allah adalah kekal” i.e dengan memperbanyak amal shalih di dunia

(3). Kita dianjurkan untuk hidup zuhd, sederhana (qana’ah). Merasa tidak butuh kepada sesuatu yang tidak bermanfaat bagi agama dan dunia, dan berkeinginan serta berusaha berbuat (sesuatu) yang bermanfaat. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim No. 4816)

(4). Allah Ta’ala berjanji akan memberikan kehidupan yang baik dan pahala yang melimpah jika kita bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shalih.

Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.


_______
Maraji’
[1]. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir vol. 4 (softcopy)
[2]. Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 4, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail
[3]. www.asysyariah.com
[4]. Ensiklopedi Kitab 9 Imam Hadits (online)
[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula