Cukup Menyisihkan 2.5% Saja Koq



Di negeri Sakura sana, konon terdapat kepingan-kepingan baja yang memiliki nilai ekonomis dan historis tinggi yang disebut Tamahagane (玉鋼:たまはがね) atau “baja permata” (berasal dari kata i.e “tama” yang berarti jewel atau permata dan “hagane” yang berarti steel atau baja, red). Para pengrajin pedang tradisional Jepang tempo doeloe menggunakan logam ini sebagai bahan utama pembuat katana kelas satu. Untuk mendapatkan senyawa kimia tersebut, para pandai besi harus memindahkan berton-ton pasir besi pilihan ke dalam tatara (tungku persegi yang terbuat dari tanah liat), mencampurnya dengan arang kayu dan membakarnya dengan api yang bersuhu 2.500 derajat Fahrenheit selama tiga hari tiga malam. Setelah proses pembakaran sempurna, tungku pembakaran dipecah untuk mengeluarkan gumpalan besi berkadar karbon antara 0.5%-1.5% itu dari kerak tungku. Gumpalan besi tak beraturan yang berkilauan bak permata itulah yang disebut dengan Tamahagane. Harga logam tersebut sangat mahal, konon bisa mencapai belasan bahkan puluhan kali lipat dibandingkan harga logam biasa di pasaran. Untuk menghasilkan bilah katana berkualitas tinggi (i.e keras, liat dan tajam), masing-masing bahan Tamahagane dengan kadar karbon yang berbeda itu harus dipanaskan, ditempa dan dilipat berkali-kali sampai level kepadatan yang diinginkan dirasa sempurna, kemudian dibersihkan (umumnya menggunakan sabut atau jerami, red) agar sisa-sisa kotoran (i.e bijih besi) yang masih menempel pada permukaan baja tersebut hilang. Tahapan ini dilakukan berkali-kali sampai permukaan baja benar-benar bersih. Gabungan Tamahagane berkarakter keras dan liat itulah yang kemudian ditempa menjadi bilah katana yang sangat kuat dan mematikan, menjadikannya (sebagai) salah satu karya seni tradisional terbaik yang pernah ada. Konon, satu bilah katana berkualitas tinggi dibandrol dengan harga USD 25.000 di balai lelang!.



Harta yang kita simpan, yang sudah mencapai syarat nishab (ukuran minimal harta yang wajib dizakati, red) dan haul (sudah mencapai waktu satu tahun, red) itu ibarat tamahagane yang mengendap di kerak tungku, memiliki nilai ekonomis dan bisa dimanfaatkan kapan saja oleh pemiliknya. Namun meskipun sudah bernilai, harta tersebut masih harus dibersihkan agar manfaatnya benar-benar terasa secara syar’i i.e dengan zakat. Ibarat tamahagane setengah jadi (work in prosess good) yang juga harus ditempa dan dibersihkan permukaannya dari sisa-sisa kotoran yang masih menempel demi mendapatkan bilah katana yang kuat dan berkualitas. 2,5% harta yang dikeluarkan untuk zakat itu diibaratkan sebagai kotoran yang menempel pada permukaan tamahagane yang harus dihilangkan.


Tidaklah menyisihkan (hanya) 2,5% harta simpanan yang kita punya akan membuat kita miskin –wahai saudaraku-, tidaklah mengeluarkan harta minimal Rp. 923.125 (nishab emas = 70 gr [24 Karat]. 1 gr per 29/12/12 = Rp. 527.500. Maka nishab harta [kurang lebih] = Rp. 36.925.000, wallaahu a’lam) akan membuat kita melarat. Justru dengan mengeluarkan zakat itulah, harta yang tersisa menjadi berkah, dan Allah ‘Azza wa Jall akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Dia berfirman;

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Dia akan menggantinya dan Dia-lah sebaik-baik Pemberi rizki.” (QS. Saba’: 39)


al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H) menjelaskan firman Allah Ta’ala di atas;

)وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ) نفقة واجبة, أو مستحبة, على قريب, أو جار, أو مسكين, أو يتيم, أو غير ذلك، (فَهُوَ) تعالى (يُخْلِفُهُ) فلا تتوهموا أن الإنفاق مما ينقص الرزق, بل وعد بالخلف للمنفق, الذي يبسط الرزق لمن يشاء ويقدر

‘Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan’, nafkah yang wajib atau yang sunnah kepada kerabat dekat, tetangga, orang miskin, anak yatim atau lain-lainnya, ‘maka Dia’ Ta’ala ‘akan menggantinya’, maka jangan kalian berpraduga salah bahwa berinfak itu termasuk hal yang dapat mengurangi rizki. Malah Allah (Dzat Yang melapangkan rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan) menjanjikan akan memberi ganti kepada orang yang berinfak.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman, 6/1422, cet. Daar Ibn al-Jawzee]


Jika kita memahami benar maksud disyariatkannya zakat, maka kita –wahai saudaraku- akan merasa bahwa 2,5% itu hanyalah nominal kecil yang tidak ada artinya bila dibandingkan dengan nikmat-nikmat Allah Ta’ala lainnya yang jauh lebih besar. Dalam bab 3: Kitab Zakat, al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisy al-Hambali –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 620 H) menjelaskan bahwa ada 3 perkara yang harus dipahami dari maksud zakat;

ابتلاء مدعى محبة الله تعالى بإخراج محبوبه، والتنزه عن صفة البخل المهل، وشكر نعمة المال‏

“[Pertama;] ujian kepada orang yang mengaku mencintai Allah Ta’ala dengan mengeluarkan apa yang dicintainya. [Kedua;] membersihkan dari sifat kikir yang mencelakakan. Dan [ketiga;] mensyukuri nikmat harta.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 48, cet. al-Maktab al-Islamiy]


Perlu kiranya diketahui bahwa sikap “merasa kecil” itu sendiri merupakan bagian dari adab batin dalam zakat yang harus kita –wahai saudaraku- perhatikan. Mengapa?, al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisy al-Hambali –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 620 H) menjelaskan;

فإن المستعظم للفعل معجب به ‏.‏ وقد قيل‏:‏ لا يتم المعروف إلا بثلاث ‏:‏ بتصغيره، وتعجيله، وستره

“... karena orang yang melakukan sesuatu dan dia merasa bahwa apa yang dilakukannya besar adalah orang yang ‘ujub kepada dirinya. Ada yang berkata, ‘Kebaikan tidak sempurna kecuali dengan tiga perkara; [pertama,] dengan merasakannya (sebagai sesuatu yang) kecil, [kedua,] dengan menyegerakannya, dan [ketiga] dengan menutupinya’.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 48, cet. al-Maktab al-Islamiy]


Jika kita termasuk orang-orang yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan kelapangan dan kemudahan dalam perkara rizki, maka wujudkanlah –wahai saudaraku- rasa syukur itu dengan berzakat. Mengapa?, al-‘Allamah ‘Abdullah bin ‘Abd ar-Rahman ‘alu Bassam –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1424 H) menjelaskan (sekaligus hal ini menjadi perenungan kita bersama, red);

وهي من محاسن الإسلام، الذي جاء بالمساواة، والتراحم، والتعاطف، والتعاون، وقطع دابر كل شرٍّ يهدد  الفضيلة والأمن والرخاء، وغير ذلك من  مقومات البقاء لصلاح الدنيا والآخرة.

فقد جعلها الله طهرة  لصاحبها من رذيلة البخل، وتنمية حسية ومعنوية من آفة النقص، ومساواة بين خلقه بما خوَّلهم من مال، وإعانة من الأغنياء لإخوانهم الفقراء، الذين لا يقدرون على ما يقيم أودهم من مال، ولا قوة لهم على عمل . وتحقيقا للسلام، الذي لا يستقر بوجود طائفة جائعة، ترى المال المحرومة منه، وتأليفا للقلوب، وجمعاً للكلمة حينما يجود الأغنياء على الفقراء بنصيب من أموالهم . وبمثل هذه الفريضة الكريمة يُعْلَمُ : أن الإسلام هو دين  العدالة الاجتماعية، الذي يكفل للفقير العاجز العيش  والقوت، وَلِلغني حرية التملك مقابل سعيه وكدحه.

وهذا هو المذهب المستقيم الذي به عمارة الكون، وصلاح الدين  والدنيا. فلا شيوعية متطرفة، ولا رأسمالية ممسكة شحيحة. وقد حذر الله من منع الزكاة في نصوص كثيرة، وتوعد على ذلك بالعذاب الشديد، فمن ذلك  قوله  تعالى: {ولا يحسبن الذين يبخلون بما آتاهم الله من فضله هو خيرا لهم، بل هو شر لهم، يطوقون ما بخلوا به يوم القيامة}.

وجاء في صحيح البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم  قال: " من  آتاه الله مالا فلم يؤد  زكاته مثل له يوم القيامة شجاعا أقرع ، يطوقه يوم القيامة ثم يقول : أنا مالك أنا كنزك ".

“Zakat termasuk kebaikan-kebaikan Islam, yang datang dengan membawa persamaan hak, kasih sayang, tolong menolong dan memutus setiap jalan keburukan yang dapat mengancam keutamaan, keamanan, kelapangan dan lain sebagainya dari berbagai sendi-sendi kemaslahatan akhirat.

Allah menjadikan zakat sebagai penyucian bagi pelakunya dari kehinaan kekikiran, sekaligus untuk menumbuhkan moral dan material dari bencana kekurangan, juga sebagai persamaan hak di antara makhluk-makhluk-Nya, sebagai pertolongan dari orang-orang kaya bagi saudara-saudaranya yang miskin, yaitu mereka yang tidak memiliki kemampuan mencari harta dan tidak mempunyai kekuatan untuk bekerja. Zakat mampu merealisir kesejahteraan, yang tidak tetap dengan keberadaan segolongan orang-orang kelaparan, sementara mereka hanya bisa melihat harta yang tidak bisa diraihnya. Zakat juga mampu menyatukan hati banyak orang dan menghimpun kalimat, ketika orang-orang kaya bermurah hati kepada orang-orang miskin dengan menyerahkan sebagian dari harta mereka.

Dengan kewajiban yang mulia ini dapat diketahui bahwa Islam adalah agama keadilan sosial, yang memberikan jaminan bagi orang fakir yang lemah dalam mendapatkan bahan makanannya, dan jaminan kebebasan bagi orang-orang kaya untuk memiliki harta benda sesuai kemampuannya dalam berusaha.

Hal ini merupakan pendapat yang lurus untuk memakmurkan dunia, mendatangkan kemashlahatan agama dan juga dunia, sehingga tidak ada komunisme yang kekiri-kirian dan tidak ada pula kapitalisme yang ketat dan kikir. Allah telah memperingatkan orang yang menolak mengeluarkan zakat di berbagai nash dan mengancamnya dengan siksaan yang pedih. Firman-Nya;

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di hari Kiamat.” (QS. ‘Ali Imran: 180)

Telah disebutkan dalam Shahih al-Bukhari (no. 1403), Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda; “Barangsiapa diberi harta oleh Allah lalu dia tidak mengeluarkan zakatnya, maka diserupakan baginya pada hari Kiamat dengan seorang pemberani gundul yang menindihnya pada hari Kiamat, kemudian berkata, ‘Aku adalah hartamu, aku adalah simpananmu’.” [Taiseer al-‘Alam Syarh ‘Umdah al-Ahkam, 1/459-460, cet. Daar al-Maiman]


Hisablah hak-hak orang lain yang terdapat dalam harta-harta kita sebelum Allah ‘Azza wa Jall, Dzat Yang Mahakaya menghisab diri-diri kita kelak di akhirat. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu
[Baca Selengkapnya...]


Ramalan Bintang 2013



Jika anda memasukkan judul di atas ke dalam mesin pencari (search engine) otomatis terbesar saat ini i.e Google, maka anda akan mendapati belasan hingga puluhan artikel yang berisi ramalan-ramalan para ahli nujum terkait peristiwa-peristiwa (yang akan terjadi) di masa depan (versi akal mereka) semisal ramalan peruntungan, keuangan, kesehatan, asmara, karir dan lain-lain. Pertanyaannya: “Percayakah Anda dengan ramalan-ramalan itu?.

Definisi Ilmu Nujum

Dalam bab: Keterangan tentang ilmu nujum, al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abd ar-Rahman bin Hasan ‘alu asy-Syaikh –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1285 H) menukil perkataan Syaikhul Islam al-Hafizh Ibnu Taimiyyah –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 728 H) mengenai definisi Ilmu Nujum, beliau berkata;

التنجيم هو الاستدلال بالأحوال الفكلية على الحوادث الأرضية

“Ilmu nujum adalah berdalil kepada keadaan bintang-bintang untuk meramalkan kejadian-kejadian di bumi.”


Beliau juga menukil penjelasan al-Imam al-Hafizh al-Khaththabi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 388 H), beliau berkata;

وقال الخطابي : علم النجوم المنهى عنه هو ما يدعيه أهل التنجيم من علم الكوائن والحوادث التي ستقع في مستقبل الزمان ، كأوقات هبوب الرياح ومجيء المطر ، وتغير الأسعار ، وما في معناها من الأمور التي يزعمون أنها تدرك معرفتها بمسير الكواكب في مجاريها ، واجتماعها وافتراقها ، يدعون أن لها تأثيراً في السفليات ، وهذا منهم تحكم على الغيب ، وتعاط لعلم قد استأثر الله به ، ولا يعلم الغيب سواه

al-Khaththabi berkata, “Ilmu nujum yang dilarang adalah ilmu yang diklaim oleh ahli nujum berupa pengetahuan tentang kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang, seperti waktu berhembusnya angin, turunnya hujan, berubahnya harga, dan perkara-perkara semisalnya yang menurut mereka bisa diketahui dengan mengetahui peredaran bintang-bintang di tempat peredarannya, serta pertemuan dan perpisahannya, mereka mengklaim bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap alam bawah. Ini merupakan kelancangan dari mereka terhadap ilmu ghaib dan keberanian merambah ilmu yang Allah simpan untuk Diri-Nya semata. Dan tidak ada yang mengetahui perkara yang ghaib selain Allah.” [Fathul Majeed Syarh Kitabut Tauheed, hal. 444, Cet. Mu’assasah Qurthubah]


Apa sih hikmah diciptakannya bintang-bintang?

al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukharee –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 256 H) meriwayatkan sebuah atsar dari Qatadah di dalam Shahihnya (i.e Shahih al-Bukharee). Berikut atsar yang dimaksud; Al-Imam Qatadah –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 117 H) berkata;

إنما جعل الله هذه النجوم لثلاث خصال : جعلها زينة للسماء ، وجعلها يهتدى بها ، وجعلها رجوماً للشيطاطين . فمن تعاطى فيها غير ذلك فقد قال برأيه ، وأخطأ حظه وأضاع نصيبه ، وتكلف ما لا علم له به ، وإن ناساً جهلة بأمر الله قد أحدثوا في هذه النجوم كهانة : من أعرس بنجم كذا وكذا كان كذا وكذا ، ومن سافر بنجم كذا وكذا كان كذا وكذا . ولعمري ما من نجم إلا يولد به الأحمر والأسود والطويل والقصير والحسن والدميم ، وما علم هذه النجوم وهذا الدابة وهذا الطائر بشئ من هذا الغيب ولو أن أحداً علم الغيب لعلمه آدم الذي خلقه الله بيده وأسجد له ملائكته وعلمه أسماء كل شئ  انتهى

“Allah hanya menjadikan bintang-bintang ini untuk tiga perkara; Dia menjadikannya untuk perhiasan langit, Dia menjadikannya untuk petunjuk arah, dan Dia menjadikannya sebagai alat untuk melempar setan. Barangsiapa meyakini padanya selain itu, maka dia telah berpendapat dengan akalnya, pendapatnya salah, dia telah menyia-nyiakan bagiannya, dan membebani diri untuk mengetahui apa yang berada di luar batas pengetahuannya. Sesungguhnya ada orang-orang jahil (bodoh) terhadap agama Allah, telah membuat ilmu perdukunan dari bintang-bintang, mereka mengatakan, ‘Barangsiapa yang menyelenggarakan pesta pernikahan pada bintang ini dan ini, maka akan mengalami begini dan begini. Barangsiapa bepergian pada bintang ini dan ini, maka akan mengalami begini dan begini.’ Aku bersumpah, tidak ada satu bintang pun kecuali terlahir di saat itu yang berkulit merah dan hitam, orang tinggi dan orang pendek, orang tampan dan orang buruk rupa. Bintang-bintang, binatang, dan burung sama sekali tidak mengetahui perkara yang ghaib. Seandainya ada seorang mengetahui yang ghaib niscaya orang itu adalah Adam yang diciptakan oleh Allah dengan Tangan-Nya, yang Allah memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya, dan Dia mengajarinya nama-nama sesuatu.”


al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Hasan ‘alu asy-Syaikh –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1285 H) berkata;

فتأمل ما أنكره هذا الإمام مما حدث من المنكرات في عصر التابعين ، وما زال الشر يزداد في كل عصر بعدهم حتى بلغ الغاية في هذه الأعصار ، وعمت به البلوى في جميع الأمصار فمقل ومستكثر ، وعز في الناس من ينكره ، وعظمت المصيبة به في الدين . فإنا لله وإنا إليه راجعون

“Perhatikanlah apa yang diingkari oleh Imam ini (i.e al-Imam Qatadah), salah satu kemungkaran yang terjadi di masa tabi’in, kemudian keburukan akan terus meningkat di setiap masa setelah masa mereka, sehingga ia mencapai puncaknya di masa-masa ini, musibahnya menyeluruh di setiap kota, ada yang besar ada yang kecil, sedikit manusia yang mengingkarinya, sementara musibah dalam agama karenanya sangatlah besar. فإنا لله وإنا إليه راجعون.” [Fathul Majeed Syarh Kitabut Tauheed, hal. 445, Cet. Mu’assasah Qurthubah]


Ketiga fungsi (Bintang) di atas bisa ditemukan di dalam nash al-Qur’an al-Kareem antara lain;


Allah Ta’ala berfirman;
ولقد زينا السماء الدنيا بمصابيح وجعلناها رجوماً للشياطين

“Sesungguhnya Kami menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” (QS. al-Mulk: 5)


al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H) menjelaskan;

فجعل الله هذه النجوم، حراسة للسماء عن تلقف الشياطين أخبار الأرض

“Allah Ta’ala menjadikan bintang-bintang tersebut sebagai penjaga langit agar setan tidak bisa mencuri berita-berita bumi.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman, 8/1857, Cet. Daar Ibn al-Jawzee]

Allah Ta’ala berfirman;
وعلامات وبالنجم هم يهتدون

“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan) dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapatkan petunjuk.” (QS. an-Nahl: 16)


أي لتعرفوا بها جهة قصدكم ، وليس المراد أن يهتدي بها في علم الغيب ، كما يعتقده المنجمون ، وقد تقدم وجه بطلانه وأنه لا حقيقة له كما قال قتادة :  فمن تأول فيها غير ذلك  أي زعم فيها غير ما ذكر الله في كتابه من هذه الثلاث فقد أخطأ . حيث زعم شيئاً ما أنزل الله به من سلطان ، وأضاع نصيبه من كل خير ، لأنه شغل نفسه بما يضره ولا ينفعه

“Yakni, supaya kamu mengetahui arah yang kamu tuju. Maksudnya bukan sebagai petunjuk kepada ilmu ghaib seperti yang diyakini oleh ahli nujum. Sisi kebatilannya telah dijelaskan sebelumnya, dan bahwa ia tidak mempunyai hakikat sebagaimana yang dikatakan Qatadah, “Barangsiapa meyakini selain itu.” Yakni mengklaim pada bintang-bintang selain apa yang Allah sebutkan di dalam kitab-Nya dari tiga perkara ini, maka dia telah keliru, dimana dia mengklaim sesuatu yang tidak berdasarkan ilmu dari Allah, dan dia menyia-nyiakan bagiannya dari semua kebaikan, sebab ia menyibukkan diri dengan sesuatu yang memudharatkannya dan tidak memberinya manfaat.” [Fathul Majeed Syarh Kitabut Tauheed, hal. 446, Cet. Mu’assasah Qurthubah]


Bagaimana jika ada orang yang mengatakan: “Bukankah terkadang ramalan para ahli nujum itu benar dan sesuai dengan fakta di lapangan?”. asy-Syaikh –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1285 H) memberikan jawabannya;

قيل : صدقه كصدق الكاهن ، ويصدق في كلمة ويكذب في مائة . وصدقه ليس عن علم ، بل قد يوافق قدراً ، فيكون فتنة في حق من صدقه

“Maka kita katakan, benarnya ahli nujum seperti benarnya dukun (paranormal, red), dimana ia benar dalam satu kalimat namun dusta dalam seratus perkara. Dan kebenarannya bukan berasal dari Ilmu, akan tetapi karena bisa jadi hal itu bertepatan dengan takdir, sehingga ia menjadi fitnah bagi orang yang mempercayainya.” [Fathul Majeed Syarh Kitabut Tauheed, hal. 446, Cet. Mu’assasah Qurthubah]


-Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu-
[Baca Selengkapnya...]


Silaturaheem Is Beautiful, Isn’t It?



Ayah kami ternyata bernazar, jika kelak ia pensiun dari pekerjaannya (sebagai seorang guru, red), ia akan menyisihkan waktu luangnya untuk bersilaturahmi ke rumah kakak sepupunya di Jakarta. Akhirnya nazar itu benar-benar ia laksanakan, Kamis, 20/12/12, tepat dua setengah bulan pasca ia pensiun, Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabulkan niat baiknya dan memudahkan persiapannya. Dengan ditemani oleh Ibu kami tercinta, ia bertolak ke Jakarta meskipun kondisi tubuhnya sedang tidak fit. Ba’da maghrib, tepatnya sehari setelah mereka menginap di rumah saudara kami tercinta –semoga Allah Ta’ala memberkahinya-, mereka bertemu kembali setelah belasan tahun tidak pernah bertatap muka. Jarak yang jauh, sedikitnya waktu luang dan naik turunnya kondisi kesehatan adalah faktor utama terhambatnya silaturahmi secara fisik. Beliau adalah seorang Ibu sekaligus istri dari kakak sepupu ayah kami –ghafarallaahu-. Dahulu suaminya merupakan pegawai dan pensiunan Freeport Mc. Moran dan Pertamina –wallaahu a’lam-. Meskipun status sosial kami berbeda 180 derajat, semasa jayanya (di masa lampau), beliau –ghafarallaahu- ini dikenal sangat baik terhadap keluarga kami, selalu menanggalkan status sosialnya ketika bertemu dan berinteraksi dengan kami. Barangkali itulah mengapa ayah kami begitu menghormatinya laiknya kedua orang tuanya sendiri –wallaahu a’lam-. Pertemuan itu berlangsung singkat, lebih cepat dibandingkan waktu perjalanan yang harus ditempuh oleh kedua orang tua kami dari atau dan ke Jakarta. Entah mengapa kakak sepupu ayah kami itu meneteskan air mata tatkala ayah dan ibu kami berpamitan, satu momen yang benar-benar membuat kaku kaki-kaki mereka untuk melangkah ke luar rumah. Sepertinya ada keinginan untuk menahan mereka lebih lama. Tangisan haru dari seorang Ibu yang seolah-olah terpisah belasan tahun lamanya dengan “anak-anaknya”, tangisan haru dari seorang sepupu yang sepertinya mengharapkan kembali terwujudnya momen silaturahmi yang indah itu di sisa-sisa umurnya, keharuan seorang wanita senja usia terhadap kedatangan salah satu kerabatnya (nun jauh di pedesaan sana) yang masih tetap tak berubah, memberikan penghormatan dan perlakuan yang sama (terhadapnya dan juga keluarganya) kendati masa jayanya telah lewat. Tidak ada (sesuatu) yang lebih membahagiakan seseorang wanita senja seusianya (dengan segala keterbatasannya itu) selain limpahan perhatian dan kasih sayang dari keluarga dan sanak kerabatnya yang lain. Semoga Allah Ta’ala memanjangkan umurnya dan menjaga mereka semua agar bisa memperbanyak amal shalih di dunia.


Kami yakin, semua orang di dunia ini sepakat bahwa menyambung tali silaturahmi itu indah, membahagiakan sekaligus mengharukan. Dengannya tali kekerabatan tetap tersambung, dengannya pula kebahagiaan hidup terasa sempurna. Siapakah gerangan orang yang akan banyak membantu anda tatkala anda kesusahan?, Siapakah kiranya orang yang paling banyak bersedih dan banyak menghibur anda tatkala anda tertimpa musibah?, siapakah kiranya orang yang paling peduli dan mau berbagi dalam suka maupun duka kalau bukan kerabat atau saudara anda sendiri?. Qadarullah, ternyata tidak semua manusia seperti itu, ada pula sebagian dari mereka yang rela memutuskan tali silaturahmi dengan kaum kerabatnya, saudaranya, kawan-kawannya hanya karena dunia, kedudukan, status sosial atau kekuasaan. Mereka meninggalkan kaum kerabatnya karena tidak lagi dianggap selevel atau sekufu!. Fakta ini banyak ditemukan di sekitar kita. Rabb kita Yang Mahatinggi, Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengingatkan dan mengancam kita semua yang berbuat hal semacam itu dalam kitab-Nya yang shahih;


فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ (22) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ (23  

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?, mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)


al-‘Alim Rabbani, asy-Syaikh ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer bin ‘Abdillah as-Sa’dee –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1307 H) menjelaskan ayat diatas;


 )أُولَئِكَ الَّذِينَ ) أفسدوا في الأرض، وقطعوا أرحامهم ( لَعَنَهُمُ اللَّهُ ) بأن أبعدهم عن رحمته، وقربوا من سخط الله. ( فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ ) أي: جعلهم لا يسمعون ما ينفعهم ولا يبصرونه، فلهم آذان، ولكن لا تسمع سماع إذعان وقبول، وإنما تسمع سماعا تقوم به حجة الله عليها، ولهم أعين، ولكن لا يبصرون بها العبر والآيات، ولا يلتفتون بها إلى البراهين والبينات


“Mereka itulah orang-orang”, yakni yang berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan tali kekeluargaan, “dilaknati Allah”, dengan menjauhkan mereka dari rahmat-Nya dan mendekatkan mereka pada murka-Nya, “dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” Artinya, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menjadikan mereka tidak bisa mendengar nasihat dan petuah yang membawa manfaat bagi mereka serta tidak dapat melihatnya. Mereka memiliki telinga tetapi tidak bisa mendengar secara taat dan menerima, mereka hanya mendengar namun hanya sebagai tegaknya hujjah Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Mereka memiliki mata tetapi tidak bisa melihat berbagai pelajaran dan tanda-tanda kebesaran Allah Subhaanahu wa Ta’ala, tidak digunakan untuk menengok berbagai bukti dan penjelasan nyata.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, 7/1661. Tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail, Cet. Daar Ibn al-Jawzee)



Di dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 135 (Tahqiq: Zuhair asy-Syawisy, Cet. al-Maktab al-Islami, 1421 H), al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisee –raheemahullaahu Ta’ala - (w. 620 H) membawakan beberapa hadits shahih mengenai hak kerabat dan silaturaheem, beliau berkata;


وأما حقوق الأقارب والرحم، ففى الحديث الصحيح، من رواية عائشة، أن النبى صلى الله عليه وآله وسلم قال‏:‏ ‏"‏الرحم معلقة بالعرش، تقول‏:‏ من وصلنى وصله الله، ومن قطعنى قطعه الله‏"‏‏.‏

Hak-hak kerabat dan raheem disebutkan dalam hadits shahih dari ‘Aisyah -radhiyallaahu ‘anha- bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa ‘aalihi wa sallama bersabda;

“Rahim (kekerabatan) tergantung di ‘Arsy, ia berkata, ‘Barangsiapa menyambungku, maka Allah menyambungnya (dengan kebaikan dan berkah), barangsiapa memutuskanku, maka Allah memutuskannya (dari kebaikan dan berkah)’.” (HR. al-Bukharee no. 5959, Muslim no. 2555, Shaheehul Jamee’ no. 3523)



وفى حديث آخر من أفراد البخارى‏:‏ ‏"‏ليس الواصل بالمكافئ، ولكن الواصل الذى إذا قطعت رحمه وصلها‏"‏‏

Dalam hadits lain dalam shahih al-Bukharee, “Orang yang menyambung silaturahim bukan orang yang membalas kebaikan, akan tetapi orang yang menyambung silaturahim adalah orang yang bila kerabatnya memutuskan tali rahim (kekerabatan) dengannya, maka dia menyambungnya.” (HR. al-Bukharee no. 5991, Abu Dawood no. 1697, at-Tirmidzee no. 1908, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallaahu ‘anhu) –selesai kutipan-.


Ternyata, memutuskan tali silaturaheem itu adalah salah satu sifat kaum fasik. Hal ini dikhabarkan oleh Allah ‘Azza wa Jall dalam kitab-Nya;


وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا الْفَاسِقِينَ (26) الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (27

“Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk mengubungkannya...” (QS. al-Baqarah: 26-27)


Sedangkan sifat orang mukmin itu adalah menunaikan hak-hak kerabatnya dengan menyambung tali silaturaheem sebagaimana penjelasan al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer bin ‘Abdillah as-Sa’dee –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1307 H) berikut tatkala menjelaskan ayat di atas;


وهذا يدخل فيه أشياء كثيرة، فإن الله أمرنا أن نصل ما بيننا وبينه بالإيمان به والقيام بعبوديته، وما بيننا وبين رسوله بالإيمان به ومحبته وتعزيره والقيام بحقوقه، وما بيننا وبين الوالدين والأقارب والأصحاب; وسائر الخلق بالقيام بتلك الحقوق  التي أمر الله أن نصلها. فأما المؤمنون فوصلوا ما أمر الله به أن يوصل من هذه الحقوق، وقاموا بها أتم القيام، وأما الفاسقون، فقطعوها، ونبذوها وراء ظهورهم; معتاضين عنها بالفسق والقطيعة; والعمل بالمعاصي; وهو: الإفساد في الأرض

“Banyak hal yang termasuk ke dalam ayat ini, dan Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk menghubungkan antara kita dengan diri-Nya yaitu dengan keimanan kepada-Nya, melaksanakan ibadah hanya semata kepada-Nya, atau antara kita dengan Rasul-Nya yaitu dengan beriman kepadanya, mencintainya, menghormatinya, menunaikan segala hak-haknya, atau di antara kita dengan kedua orang tua, karib kerabat, teman sahabat dan seluruh makhluk yakni dengan menunaikan hak-hak mereka yang mana Allah memerintahkan (untuk) bersilaturaheem. Adapun orang-orang mukmin, maka mereka akan menyambung silaturaheem yang telah Allah perintahkan untuk disambungkan berupa hak-hak tersebut, dan mereka menunaikannya dengan sebaik-baik pelaksanaan, sedangkan orang-orang fasik, maka mereka memutuskannya dan membuangnya dari diri mereka dan menggantinya dengan kefasikan, memutus hubungan, melakukan kemaksiatan yaitu merusak di bumi..” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, 1/51. Tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail, Cet. Daar Ibn al-Jawzee)


Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa silaturahmi itu memberikan beberapa manfaat;

a). Dengan menyambung tali silaturhami kepada sanak kerabat berarti kita telah mematuhi perintah Allah ‘Azza wa Jall dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang tentunya berpahala.

b). Silaturahmi mempererat tali persaudaraan, dan persahabatan. Pada akhirnya ta’awun alal birr wa taqwa akan lebih mudah dilakukan dan tentunya juga berpahala.

c). Dengan bersilaturahmi pintu rejeki semakin luas dan umur akan dipanjangkan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;


مَنْ أَ حَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. al- Bukhari no. 5986 dan Muslim no. 2557)

d). Bersilaturahmi merupakan salah satu sebab masuknya hamba ke dalam surga sebagaimana hadits berikut; Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari -radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama: “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda:


تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ

“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi.” (HR. al-Bukhari no. 1396 dan Muslim no. 13)



Wallaahu Ta’ala a’lamu
[Baca Selengkapnya...]


Kesabaran Adalah Separuh Keimanan



Keimanan itu terdiri dari dua bagian, separuhnya berupa kesabaran dan separuhnya (lagi) berupa syukur. Abdullah bin Mas’ud –radhiyallaahu ‘anhu- berkata;

وقال عبدالله بن مسعود رضى الله عنه: الايمان نصفان نصف صبر ونصف شكر

“Iman itu terdiri dari dua bagian, separuhnya berupa kesabaran dan separuhnya berupa syukur.”

Oleh karenanya Allah menyatukan antara sabar dan syukur dalam firman-Nya;

ان في ذلك لآيات لكل صبار شكور

“... Sesungguhnya pada hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang penyabar lagi banyak bersyukur.” (QS. Ibrahim: 5)

Ayat ini terdapat dalam surat Ibrahim, asy-Syura, Saba’ dan Luqman. Demikian (kurang lebih) penjelasan al-Imam al-‘Allamah Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 751 H) pada awal bab: الصبر نصف الايمان “Kesabaran adalah Separuh Dari Keimanan” dalam kitab beliau yang sarat dengan manfaat, ‘Uddatus Shaabirin.


Pembagian keimanan menjadi dua bagian ini mengandung beberapa ibrah (pelajaran) diantaranya;



الدين كله رغبة ورهبة فالمؤمن هو الراغب الراهب قال تعالى انهم كانوا يسارعون في الخيرات ويدعوننا رغبا ورهبا وفي الدعاء عند النوم الذى رواه البخارى في صحيحه "اللهم انى أسلمت نفسى اليك ووجهت وجهى اليك وفوضت امرى اليك وألجأت ظهرى اليك رغبة ورهبة اليك" فلا تجد المؤمن أبدا الا راغبا وراهبا والرغبة والرهبة لا تقوم الا على ساق الصبر فرهبته تحمله على الصبر ورغبته تقوده إلى الشكر

(a). Pada hakikatnya agama adalah harap dan cemas. Orang mukmin adalah orang yang penuh harapan, akan tetapi terkadang juga penuh rasa cemas. Allah Ta’ala berfirman;

انهم كانوا يسارعون في الخيرات ويدعوننا رغبا ورهبا

“... sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami harap dan cemas... “ (QS. al-Anbiya: 90)

Doa tidur yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya berbunyi;

اللهم انى أسلمت نفسى اليك ووجهت وجهى اليك وفوضت امرى اليك وألجأت ظهرى اليك رغبة ورهبة اليك

“Ya Allah, kuserahkan diriku kepada-Mu, kuhadapkan wajahku kepada-Mu, kupercayakan urusanku kepada-Mu, dan kusandarkan punggungku kepada-Mu dengan harap dan cemas kepada-Mu.”

Karena itu, anda selamanya pasti mendapati orang mukmin dalam keadaan berharap dan cemas. Harapan dan kecemasan hanya berdiri di atas kaki kesabaran. Rasa cemas akan mengarahkan orang untuk bersabar dan rasa harap akan mengarahkannya untuk bersyukur.



جميع ما يباشره العبد في هذه الدار لا يخرج عما ينفعه في الدنيا والآخرة أو يضره في الدنيا والاخرة أو ينفعه في أحد الدارين ويضره في الاخرى وأشرف الاقسام أن يفعل ما ينفعه في الاخرة ويترك ما يضره فيها وهو حقيقة الايمان ففعل ما ينفعه هو الشكر وترك ما يضره هو الصبر

(b). Semua yang dilakukan oleh hamba di dunia ini tidak lepas dari hal yang bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat, atau merugikannya di dunia dan di akhirat, atau bermanfaat baginya di salah satunya saja dan merugikannya di salah satunya saja. Hamba yang paling mulia adalah yang melakukan hal yang bermanfaat baginya di akhirat dan tidak melakukan hal yang merugikannya di akhirat; inilah hakikat keimanan. Melakukan hal yang bermanfaat baginya merupakan refleksi rasa syukur, sedangkan tidak melakukan hal yang merugikannya adalah refleksi kesabaran.



العبد لا ينفك عن أمر يفعله ونهى يتركه وقدر يجرى عليه وفرضه في الثلاثة الصبر والشكر ففعل المأمور هو الشكر وترك المحظور والصبر على المقدور هو الصبر

(c). Hamba tidak pernah lepas dari suatu perintah untuk dia laksanakan, larangan untuk tidak dia lakukan, serta takdir yang berlaku padanya. Ketiga hal ini mewajibkan seoran hamba untuk selalu bersabar dan bersyukur. Melaksanakan hal yang diperintahkan merupakan wujud rasa syukur, sedangkan tidak melakukan hal yang dilarang dan pasrah menerima takdir adalah wujud kesabaran.



العبد فيه داعيان داع يدعوه إلى الدنيا وشهواتها ولذاتها وداع يدعوه إلى الله والدار الآخرة وما أعد فيها لأوليائه من النعيم المقيم فعصيان داعى الشهوة والهوى هو الصبر وإجابة داعى الله والدار الآخرة هو الشكر

d). Diri hamba mengandung dua penyeru, yaitu suatu penyeru yang mengajaknya kepada dunia, syahwat, serta kenikmatannya dan suatu penyeru yang mengajaknya kepada Allah, negeri akhirat, serta kenikmatan kekal yang dipersiapkan oleh Allah untuk wali-wali-Nya. Menolak ajakan penyeru syahwat dan hawa nafsu adalah wujud kesabaran, sedangkan memenuhi ajakan penyeru jalan Allah dan negeri akhirat adalah wujud rasa syukur.



الدين مداره على أصلين العزم والثبات وهما الأصلان المذكوران في الحديث الذى رواه أحمد والنسائى عن النبي: "اللهم إنى أسألك الثبات في الأمر والعزيمة على الرشد" وأصل الشكر صحة العزيمة وأصل الصبر قوة الثبات فمتى أيد العبد بعزيمة وثبات فقد أيد بالمعونة والتوفيق

e). Agama berporos pada dua sumbu, yaitu tekad dan kesungguhan. Kedua pondasi ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ahmad dan an-Nasaa’i dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;

اللهم إنى أسألك الثبات في الأمر والعزيمة على الرشد

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keteguhan dalam beragama dan tekad untuk tetap berada di jalan kebenaran.” [1]

Syukur berakar pada tekad yang benar, sedangkan kesabaran berakar pada keteguhan yang kuat. Apabila hamba telah diperkuat dengan suatu tekad dan keteguhan, berarti dia telah diperkuat dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya.



الدين مبنى على أصلين الحق والصبر وهما المذكوران في قوله تعالى { وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر} ولما كان المطلوب من العبد هو العمل بالحق في نفسه وتنفيذه في الناس وكان هذا هو حقيقة الشكر لم يمكنه ذلك إلا بالصبر عليه فكان الصبر نصف الايمان والله سبحانه وتعالى أعلم                                      

f). Agama dibangun di atas dua pokok; kebenaran dan kesabaran. Keduanya disebutkan dalam firman Allah Ta’ala;

وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر

“Dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 3) [2]

Ketika yang diharapkan dari hamba adalah mengamalkan kebenaran pada dirinya dan melaksanakannya pada orang lain, maka inilah hakikat rasa syukur. Itu pun hanya terlaksana dengan cara bersabar. Dengan demikian, kesabaran adalah separuh keimanan. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu. [‘Uddatus Shaabirin, pg. 109-111. Cet. Daar Ibn Katheer, Dimasyq, Beirut, 1409 H]


________
[1]. HR. al-Bukhari no. 6313 dan Muslim no. 56 dalam adz-Dzikr
[2]. Berkata asy-Syaikh al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H) dalam tafsirnya;

والتواصي بالحق، الذي هو الإيمان والعمل الصالح، أي: يوصي بعضهم بعضًا بذلك، ويحثه عليه، ويرغبه فيه

“Saling menasihati dengan kebenaran” yang merupakan iman dan amal shalih, yakni sebagian orang menasihati sebagian yang lain dengan kebenaran, mendorong dan mengajarkannya.

والتواصي بالصبر على طاعة الله، وعن معصية الله، وعلى أقدار الله المؤلمة

“Saling Menasihati dengan kesabaran” adalah dalam ketaatan terhadap Allah, bersabar menjauhi maksiat, dan bersabar atas ketentuan-ketentuan Allah yang menyakitkan. [Taiseer al-Kareem ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 8, pg. 1992, Cet. Daar Ibn al-Jawzee, KSA, 1426 H]
[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula