Nasihat Al-Imam Al-Auza’i Raheemahullaahu



Preface:

Berkata Abu Hazim: “Nikmat Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang disingkirkan dariku berupa dunia lebih mulia bagiku daripada nikmat lainnya yang diberikan kepadaku. Aku melihat Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan nikmat kepada suatu kaum, lantas mereka binasa. Sebab, setiap nikmat yang tidak bisa mendekatkan diri pemiliknya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala maka ia sebenarnya adalah cobaan. Apabila Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan nikmat kepadamu sedangkan engkau berbuat maksiat kepadanya, maka waspadalah!.”


Nasihat Al-Imam Abu ‘Amr Abdurahman bin ‘Amr Asy-Syamy Al-Auza’I ad-Dimasqy –raheemahullaahu-

Juru Tulis Laits meriwayatkan dari Hiql, dari Al-Imam Al-Auza’I, bahwa beliau menyampaikan ceramah;

“Wahai manusia, peliharalah nikmat yang sedang kalian rasakan ini dengan cara melarikan diri dari neraka Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang menyala-nyala dan membakar hati. Sebab kalian berada di suatu negeri yang kehidupannya hanya sebentar (sementara/ fana, red). Kalian diharapkan berbeda dengan umat yang terdahulu pada abad-abad sebelumnya dalam mempergunakan dunia, mereka mengambil apa yang paling mereka sukai dan (yang) penuh (dengan) keindahan, umur mereka jauh lebih panjang daripada umur kalian, dan postur tubuh mereka lebih besar, dan peninggalan mereka (jauh) lebih banyak.

Mereka mendaki gunung, menyeberangi padang pasir, dan membangun gedung-gedung yang tiangnya menjulang tinggi. Hari demi hari, malam demi malam telah berlalu hingga akhirnya bangunan mereka dimusnahkan (dihancurleburkan, red). Peninggalan mereka lenyap dan rumah mereka roboh. Bahkan kenangan indah tentang kejayaan mereka terlupakan, hingga tidak ada seorangpun dari mereka yang mendengar suara sayup-sayup. Padahal sebelumnya, mereka adalah bangsa yang hidup penuh (dengan) kemewahan (duniawi) dan merasa aman, namun karena mereka menjadi kaum yang lalai, mereka pun (akhirnya) menyesal.

Kalian telah mengetahui azab Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang turun pada malam hari ke rumah-rumah mereka, sehingga banyak di antara mereka yang mati bergelimpangan. Sementara yang masih hidup melihat bekas-bekas reruntuhan (bangunan) akibat dari azab Allah Subhaanahu wa Ta’ala, hilangnya nikmat, dan tempat tinggal yang kosong. Hal ini mengandung tanda bagi orang-orang yang takut akan azab Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang pedih dan pelajaran bagi orang yang khouf.

Setelah itu, ajal (umur, red) kalian sangat pendek dan (terus) berkurang, dunia tergenggam, zaman telah hilang kenikmatannya dan tidak lagi makmur. Tidak ada (lagi) yang tersisa selain lumpur (yang) kotor dan air yang keruh, (sebuah) pelajaran yang membuat bulu kuduk (manusia) merinding, hukuman yang dahsyat, munculnya fitnah-fitnah, (dan) gempa bumi yang terbungkus dengan kehinaan. Akibat (dari) ulah mereka (itu), timbullah kerusakan di darat dan di laut.

Janganlah kalian menjadi orang yang tertipu oleh angan-angan dan khayalan umur panjang.[1] Kami memohon kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar menjadikan kita semua orang-orang yang sadar akan peringatan-Nya, memahami kabar gembira-Nya dan mempersiapkan diri.”

== Selesai Kutipan==


Di-“copas” oleh al faqir dari ‘Uddatus Shaabirin hal. 213-214, Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah.

TTC Soetta Bandung, 1st Floor

________________________

[1]. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis-garis lalu bersabda, “Ini adalah manusia, ini angan-angannya dan ini adalah ajalnya. Maka tatkala manusia berjalan menuju angan-angannya tiba-tiba sampailah dia ke garis yang lebih dekat dengannya (daripada angan-angannya, pent).” Yakni ajalnya yang melingkupinya. (HR. Al-Bukhariy No. 6418)

[Baca Selengkapnya...]


Lagi, Seputar Syukur dan Sabar



Seputar Syukur

Seorang laki-laki mendatangi Yunus Ibn ‘Ubaid dan mengadukan keadaannya yang (menurutnya, red) susah. Lalu Yunus bertanya kepadanya, “Apakah engkau mau penglihatanmu ditukar dengan seratus ribu dirham?”[1]

“Tidak”, jawabnya.

Yunus bertanya lagi, “Bagaimana jika kedua tanganmu ditukar dengan seratus ribu dirham?”

“Tidak mau”, jawabnya.

Yunus berkata, “Bagaimana kalau kakimu saja yang ditukar dengan seratus ribu dirham?”

“Tidak mau”, jawabnya.

Setelah menyebutkan kepadanya nikmat-nikmat Allah Subhaanahu wa Ta’ala itu, Yunus lalu berkata, “Aku melihatmu memiliki beratus-ratus ribu dirham, tetapi engkau masih mengeluhkan keadaanmu!.”[2]

al-Imam al-Hasan al-Bashri berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan nikmat sekehendak-Nya. Apabila nikmat itu tidak disyukuri, Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan mengubahnya menjadi azab. Oleh karena itulah orang-orang menjuluki syukur sebagai “pemelihara” (al-hafizh) karena ia memelihara keberadaan nikmat, juga sebagai “penarik” (al-jalib) karena ia menarik nikmat yang dicari-cari.”[3]

Ibnu Abi Dunya menyebutkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu bahwa ia berkata kepada seorang laki-laki dari Hamadzan, “Nikmat itu tercapai berkat syukur, dan syukur berkaitan dengan nikmat tambahan. Keduanya bertalian erat dalam satu simpul sehingga nikmat tambahan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala tidak akan terputus sebelum syukur terputus dari hamba.”[4]

Muthrif Ibn ‘Abdillah berkata,, “Aku memperhatikan kesehatan dan syukur, lalu aku dapati keduanya mengandung sebaik-baiknya dunia dan akhirat. Menjadi sehat lalu bersyukur lebih aku sukai daripada diberi cobaan lalu bersabar.”[5]

Bakr Ibn ‘Abdillah al-Muzanni bercerita, “Aku melihat seorang kuli panggul yang sedang memanggul barang bawaannya sambil berucap, ‘Alhamdulillah (segala puji hanya bagi Allah semata), astagfirullaah (aku memohon ampunan kepada Allah).’ Maka aku menunggunya hingga ia meletakkan barang yang dipanggulnya, lalu aku bertanya kepadanya, “Apakah engkau bisa membaca selain bacaan itu?”. Ia menjawab, “Ya. Bahkan ada yang jauh lebih baik darinya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an, red). Akan tetapi hamba selalu berada antara nikmat dan dosa. Maka aku memuji Allah Allah Subhaanahu wa Ta’ala atas nikmat-Nya dan memohon ampun kepada-Nya atas dosa-dosaku.”[6]


Seputar Sabar

Abdullah Ibnul Mubarak berkata, Abdullah bin Luhai’ah memberitahukan kepada kami, dari Atha’ Ibn Dinar bahwa Sa’id bin Jubair mengatakan:

“Kesabaran adalah pengakuan hamba kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala bahwa apa yang menimpanya berasal dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala disisi-Nya. Adakalanya setiap orang tetap merasa gelisah, padahal ia berusaha untuk tabah, namun yang terlihat darinya hanyalah kesabaran.”

Perkataan Said ibn Jubair, “pengakuan hamba kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala bahwa apa yang menimpanya berasal dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala,” seolah olah merupakan penafsiran firman Allah Ta’ala, “…sesungguhnya kami (hanyalah) milik Allah”. Jadi dia mengakui bahwa dirinya adalah milik Allah pengakuan hamba kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala bahwa apa yang menimpanya berasal dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Sang Pemilik bisa sesuka hati bertindak terhadapnya.

Adapun perkataannya, “Adakalanya setiap orang tetap merasa gelisah, padahal ia berusaha untuk tabah, namun yang terlihat darinya hanyalah kesabaran.”, maksudnya adalah kesabaran bukanlah sekedar berusaha untuk tabah, melainkan menahan amarah terhadap takdir (Allah Subhaanahu wa Ta’ala) dan menahan lisan agar tidak mengadu (mengeluh, red). Barangsiapa berusaha untuk tabah namun hatinya marah terhadap takdir, berarti dia tidak bersabar.[7]

Ibnu Abi Dunya berkata, Muhammad bin Ja’far ibn Mahran menceritakan kepadaku seorang wanita Quraisy bersyair,

Demi yang tiada keabadian selain Zat-Nya

Dan yang tidak ada persamaan dalam kebesaran-Nya yang kokoh

Jika memulai kesabaran itu pahit rasanya

Maka buah yang akan dipetiknya akan manis rasanya


== Selesai kutipan ==

Di-“copy-paste” oleh al-faqir ilallah

TTC Soetta Bandung 1st Floor

___________________________________________

[1]. Jika dirupiahkan, 100.000 dirham setara dengan Rp. 234.607.779 (http://www.mataf.net/en/currency/converter-AED-IDR)

[2]. ‘Uddatush Shaabirin hal. 209. Banyak manusia (saat ini) yang bersikap sebagaimana laki-laki yang berbicara dengan Yunus Ibn ‘Ubaid pada kisah diatas. Allah Ta’ala telah memberikan limpahan rezeki dan nikmat dunia yang begitu banyak kepada mereka, namun tetap saja masih merasa kurang dan (mengeluh) kesusahan.

[3]. ‘Uddatus Shaabirin hal. 192

[4]. Ibid

[5]. ‘Uddatus Shaabirin hal. 195

[6]. Ibid

[7]. ‘Uddatus Shaabirin hal. 154

[Baca Selengkapnya...]


Refleksi Rasa Syukur dan Sabar



Berkata Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah –raheemahullaahu-:

Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Iman itu terdiri dari dua bagian, separuhnya berupa kesabaran dan separuhnya berupa syukur.” Sebab itulah Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyatukan antara sabar dan syukur dalam firman-Nya, “…sesungguhnya pada hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang penyabar lagi banyak bersyukur.” (QS. Ibrahim: 5). Ayat ini terdapat dalam surah Ibrahim, Asy-Syura, Saba’ dan Luqman.

Kemudian penulis kitab ‘Uddatus Shabirin tersebut (i.e Al-Imam Ibnul Qayyim, red) menjelaskan beberapa pelajaran yang terkandung dalam dua bagian keimanan diatas dan menjabarkannya ke dalam sepuluh poin. Pada kesempatan ini, penukil hanya akan menampilkan lima diantara sepuluh pelajaran yang beliau tuliskan dalam kitab beliau tersebut (mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, amieen), yakni:

Beliau –raheemahullaahu- berkata:

[A]. (Bahwa) pada hakikatnya agama adalah harap dan cemas. Orang mukmin adalah orang yang penuh (dengan) harapan, akan tetapi terkadang juga penuh (dengan) rasa cemas. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “…sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap (rogbah) dan cemas (rohbah)..”[1] (QS. Al-Anbiya: 90)

Doa (ketika hendak) tidur yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam (kitab) Shahihnya berbunyi:

“Ya Allah, kuserahkan diriku kepada-Mu, kuhadapkan wajahku kepada-Mu, kupercayakan urusanku kepada-Mu, dan kusandarkan punggungku kepada-Mu dengan harap dan cemas kepada-Mu.”

Karena itu anda selamanya pasti akan mendapati orang mukmin dalam keadaan berharap dan cemas. Harapan dan kecemasan hanya berdiri di atas kaki kesabaran. Rasa cemas akan mengarahkan orang untuk bersabar dan rasa harap akan mengarahkannya untuk bersyukur.

[B]. (Bahwa) semua yang dilakukan oleh hamba di dunia ini tidak lepas dari hal yang bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat, atau merugikannya di dunia dan di akhirat, atau bermanfaat baginya di salah satu (bagian) saja (i.e di dunia saja atau di akhirat saja, red) dan merugikannya di salah satunya saja. Hamba yang paling mulia adalah (hamba) yang melakukan hal (atau amalan) yang bermanfaat baginya di akhirat dan tidak melakukan hal yang merugikannya di akhirat; inilah hakikat keimanan. Melakukan hal yang bermanfaat baginya merupakan refleksi rasa syukur, sedangkan tidak melakukan hal yang merugikannya adalah refleksi kesabaran.

[C]. (Bahwa) diri hamba mengandung dua penyeru, yakni suatu penyeru yang mengajaknya kepada dunia, syahwat, serta kenikmatannya dan suatu penyeru yang mengajaknya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, negeri akhirat serta kenikmatan kekal yang dipersiapkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala untuk wali-wali-Nya. Menolak ajakan penyeru syahwat dan hawa nafsu adalah wujud kesabaran, sedangkan memenuhi ajakan penyeru di jalan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan negeri akhirat adalah wujud rasa syukur.

[D]. (Bahwa) Agama berporos pada dua sumbu, yakni tekad dan keteguhan. Kedua pondasi ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Imam An-Nasa’I dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keteguhan dalam beragama, dan tekad untuk tetap berada di jalan kebenaran.” [2]

Syukur berakar pada tekad yang benar, sedangkan kesabaran berakar pada keteguhan yang kuat. Apabila seorang hamba telah diperkuat dengan suatu tekad dan keteguhan, berarti dia telah diperkuat dengan pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan taufik-Nya.

[E]. (Bahwa) Agama dibangun diatas dua pokok; kebenaran dan kesabaran. Keduanya disebutkan dalam firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, “Dan saling menasihati supaya mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 3)

Ketika yang diharapkan dari (seorang) hamba adalah mengamalkan kebenaran pada dirinya dan (kemudian) melaksanakannya pada orang lain, maka inilah hakikat rasa syukur. Itupun hanya terlaksana dengan cara bersabar. Dengan demikian, kesabaran adalah separuh dari keimanan. Wallaahu a’lam.

=== Selesai kutipan ===


Di-copy-paste oleh al-Faqir yang jahil (bodoh), yang selalu butuh akan pertolongan dan ampunan Rabbnya Azza wa Jalla dari ‘Uddatus Shaabirin hal. 172-176.

Gd. TTC SCS Regional Jawa Barat Lt.1

Jl. Soekarno-Hatta No. 707 Bandung

________________________________

[1]. Dari ayat ini, Allah mengisahkan tentang Zakaria, istrinya dan Yahya yang selalu bersegera dalam melakukan ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Allah memuji mereka karena mereka berdoa kepada Allah dengan mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, serta dengan merendahkan diri kepada-Nya. Mereka menyembah Allah dengan berbagai bentuk ibadah tersebut. [Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi].

Apa makna harap (rogbah) dan cemas (rohbah)?. Asy-Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata, “Makna rogbah (harap) adalah meminta, merendahkan diri, dan mengharap sepenuh hati dengan penuh kecintaan yang mengantarkan kepada sesuatu yang dicintai. Sedangkan makna rohbah (cemas) adalah takut yang menyebabkan seseorang menjauh dari sesuatu yang ditakuti. [Lihat Hushulul Ma’mu bisyarhi Tsalatsatil Ushul]

[2]. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari (hadits No. 6313) dan Al-Imam Muslim dalam Adz-Dzikr (hadits No. 56)

[Baca Selengkapnya...]


Petuah Isa Ibnu Maryam ‘Alaihissalam



Al-Imam Ahmad bin Hambal berkata, Aun ibn Jabir menceritakan kepada kami, dia berkata, aku mendengar Muhammad ibn Daud dari bapaknya dari Wahab yang berkata:

Para pengikut Nabi Isa ‘Alaihissalam berkata, “Wahai Isa, siapakah kekasih Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang mereka tidak merasa takut dan tidak bersedih?”

Nabi Isa ‘Alaihissalam menjawab, “Mereka itulah orang-orang yang melihat pada substansi dunia di saat orang-orang melihat pada kesegeraannya (yang tampak).

Mereka mematikan nilai-nilai dunia yang memang dikhawatirkan dapat mematikan mereka. Mereka meninggalkan apa yang akan meninggalkan mereka. Perilaku memperbanyak dunia, bagi mereka adalah mempermiskin. Mengingat dunia bagi mereka adalah kehilangan. Kegembiraan kala memperoleh dunia menurut mereka adalah kesusahan. Nilai dunia yang menghalangi, mereka tolak. Kehormatan dunia yang bukan hak mereka diletakkan.

Dunia bagi mereka adalah benda lusuh yang tidak dapat diperbaharui dan barang rusak yang tidak diperbaiki. Atau sesuatu yang mati dalam hati yang tidak bisa dihidupkan. Mereka robohkan dunia. Dengan dunia mereka bangun akhirat. Mereka jual dunia untuk memperoleh nilai keabadian akhirat. Mereka menolak dunia, karenanya mereka menjadi orang-orang yang bahagia. Mereka menyaksikan para pemburu dunia tergeletak tersungkur oleh siksa. Mereka hidupkan daya ingat pada kematian dan mereka matikan daya ingat pada kehidupan. Mereka mencintai Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan mencintai dzikir kepada-Nya. Mereka diterangi cahaya Allah Azza wa Jalla.

Pada diri merekalah segala kebaikan yang menakjubkan juga berita-berita yang menggemparkan. Karena mereka Kitab Allah Subhaanahu wa Ta’ala menjadi tegak dan disana pulalah Kitab Allah Subhaanahu wa Ta’ala tegak. Mereka adalah Kitabullah yang berbicara. Dengan Kitab itu mereka dimengerti. Juga dengan Kitab itu mereka berperilaku. Mereka tidak melihat perolehan sebagai perolehan. Mereka tidak melihat keadaan tenang di balik harapan dan tidak melihat suatu ketakutan di balik kepribadian mereka.”

Al-Imam Ahmad bin Hambal berkata, Umar bin Sa’ad bin Daud Al-Jufri meriwayatkan dari sufyan, ia berkata:

Isa ibnu Maryam ‘Alaihissalam berkata, “Pangkal dari segala kesalahan adalah cinta dunia, sedangkan pada harta itu terdapat banyak sekali penyakit.”

Mereka bertanya, “Penyakit apa itu?”

Isa ‘Alaihissalam menjawab, “Tidak akan selamat dari rasa bangga dan kesombongan.”

Mereka bertanya, “Jika dia selamat?”

Isa ‘Alaihissalam menjawab, “Menyikapinya dengan baik akan melalaikan dirinya dari berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.”

Mereka berkata, “Demikian ini dapat diketahui dan disaksikan sebagai sebuah kenyataan. Yakni kecintaan terhadap dunia membawa kesalahan lahir dan batin. Apalagi dunia tidak didapatkan kecuali dengan berunsur kesalahan. Maka disanalah para pemabuk dunia tidak menyadari kesalahan dan keburukan yang ada, apalagi membenci dan menjauhi dunia. Cinta dunia akan membawa ke wilayah syubhat, wilayah makruh, kemudian wilayah haram. Selain itu seringkali menjerumuskan (pelakunya) kepada kekafiran. Begitulah yang terjadi pada umat-umat terdahulu. Cinta dunialah yang membawa pada kekafiran yang membinasakan[1]. Ketika para rosul melarang mereka dari perilaku syirik dan maksiat, kecintaan mereka kepada dunia membuat mereka mendustakan dan melawan larangan itu. Jadi kesalahan apapun di dunia ini, pangkalnya adalah cinta dunia.

Jangan lupa pula bahwa kesalahan kedua orang tua kita terdahulu (Adam dan Hawa, red) itu disebabkan oleh kecintaan untuk terus abadi di dunia. Kita tidak lupa pula dengan dosa Iblis. Dosanya disebabkan oleh kecintaannya pada kepemimpinan yang merupakan kecintaan yang lebih buruk daripada kecintaan terhadap dunia. Atas sebab itu pulalah Fir’aun, Haman beserta bala tentaranya, Abu jahal dan kaumnya, serta (kaum) Yahudi kufur kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Kecintaan kepada dunia dan kekuasaan inilah yang meramaikan neraka dengan penghuni-penghuninya. Sedangkan zuhud pada dunia dan harta membuat surga ramai dengan penghuninya. Adapun mabuk cinta terhadap dunia itu jauh lebih berbahaya daripada mabuk karena khamr. Orang yang mabuk cinta terhadap dunia ini tidak sadar kecuali kelak ketika (dia berada) di gelapnya alam kubur. Adapun (jika) penutup (sekat/tabir) kemabukan ini disingkap di dunia maka akan terlihat (efek) bahayanya yang lebih dahsyat daripada mabuk karena khamr. Tetapi dunia telah menyihir akal manusia dengan begitu hebatnya.”

--- Selesai kutipan ---


Dinukil dari: ‘Uddatus Shaabirin hal. 352-353, 355-356, karya Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah.

_______________________

[1]. Sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, “Wallaahi (Demi Allah), bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas kalian, akan tetapi yang aku takutkan adalah jika dunia dibentangkan lebar-lebar atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas umat-umat sebelum kalian, kalian berlomba-lomba mengejar/memperebutkan dunia sebagaimana mereka terdahulu melakukannya, (dan akhirnya) dunia pun membinasakan kalian sebagaimana dunia telah membinasakan umat-umat sebelum kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Note: Saya menemukan dan mendengar hadits ini pertama kalinya di dalam kitab Qaala Ibnu Rajab Al-Hambali dan dari kaset ceramah Al-Ustadz Abdurrahman Lombok -hafidhahullaahu-

[Baca Selengkapnya...]


Nikmat Yang Membawa Sengsara: Sebuah Renungan



Ada sembilan poin yang dipaparkan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah –semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala merahmatinya- ketika menjelaskan keadaan kekayaan dan harta yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an. Penukil dalam hal ini hanya akan menuliskan satu dari sembilan poin yang ada dalam kitab ‘Uddatush Shaabirin (i.e poin ke-delapan). Semoga bermanfaat.

Beliau rahimahullaahu berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa berlomba-lomba mengumpulkan harta dan lainnya dapat menyibukkan dan melalaikan manusia dari mengingat akhirat dan dari persiapan diri menuju ke sana. Allah Ta’ala mengecam hal yang demikian sebagaimana tercantum dalam firman-Nya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu mengunjungi kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat dari perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.” (QS. At-Takatsur: 1-4)

Allah Subhaanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa bermegah-megahan itu termasuk kesibukan yang melalaikan penghuni dunia dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Hari Akhir hingga maut menjemput mereka. Sehingga mereka mendatangi kuburan dalam keadaan masih belum terbangun dari kelalaian dalam sikap bermegah-megahan itu. Dalam ayat tersebut juga disebutkan bahwa mereka mengunjungi kuburan, hal ini mengisyaratkan bahwa mereka tidak akan menetap di alam kubur itu (selamanya). Alam kubur bukanlah akhirat bagi mereka. Mereka hanya sekedar berkunjung selama beberapa waktu lalu meninggalkannya. Hal ini seperti sewaktu mereka di dunia yang melakukan ziarah kubur (datang kemudian pergi, red). Adapun akhirat bagi mereka adalah surga atau neraka.”

Seperti apakah bermegah-megahan yang melalaikan itu?. Mari kita ikuti penjelasan beliau rahimahullaahu berikutnya.

“Dalam ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’ala tidak menyatakan dengan jelas bentuk kemegahan dan perlombaan di dunia. Hal ini bisa bermakna bahwa kecaman itu ditujukan kepada perlombaan dan bermegahan itu sendiri, bukan pada bentuk yang diperlombakan atau dibuat ajang bermegah-megahan[1]. Sebagaimana disebutkan, “Engkau disibukkan dengan permainan dan kelalaian.” Dalam redaksi ini tidak disebutkan permainan atau kelalaian apa yang dilakukan. Atau bisa juga dimaksudkan secara mutlak, yakni apa saja bentuk fasilitas duniawi berupa harta benda, jabatan, budak, bangunan, tanaman, ilmu yang tidak ditujukan untuk ridha Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan amal perbuatan yang tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, yang dilombakan dan dimegahkan. Ini semua termasuk bermegah-megahan yang melalaikan diri dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Hari Akhir.

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abdullah ibn Asy-Syakhir bahwa dia bercerita: ‘Aku datang pada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama ketika beliau sedang membaca surat al-haakum at-takaatsur. Beliau lalu bersabda, “Anak Adam mengatakan, ‘Hartaku…hartaku…’ Padahal adakah dari hartamu itu selain dari apa yang engkau sedekahkan kemudian engkau relakan, atau yang engkau makan yang kemudian engkau musnahkan, atau yang engkau pakai yang kemudian engkau lusuhkan?.” (HR. Muslim No. 3 dalam Az-Zuhd, At-Tirmidzi No. 2342, dan An-Nasa’I vol. 6, hlm. 238)

Kemudian Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang yang lalai oleh sikap bermegah-megahan itu dengan ancaman yang berat ketika menjelaskan bahwa bermegah-megahan seperti itu tidak ubahnya debu yang berterbangan. Dia juga menjelaskan bahwa dunia yang mereka jadikan perlombaan itu hanyalah tipuan dan bujukan belaka. Maka dia pun mendapati akibat dari bermegah-megahan itu merugikan dan tidak menguntungkan. Bermegah-megahan itu ternyata merugikan, sehingga apa yang dia dapati dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Sikap bermegah-megahan yang menjadikannya sibuk dari mengingat Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Hari Akhir itu merupakan salah satu sebab terbesar siksaan yang dialaminya. Maka diapun disiksa karena sikap bermegah-megahannya sewaktu di dunia. Akibat kelakuannya itu, dia disiksa di alam Barzakh lalu disiksa lagi di Hari Kiamat. Maka jadilah dia orang yang paling celaka disebabkan oleh bermegah-megahan itu.

Dia hanya mendapatkan kesengsaraan, bukan keberuntungan dan keselamatan. Dia pun menjadi orang yang merugi dan hina. Dia tidak lagi menjaga kekuasaannya sewaktu di dunia. Seperti itulah bermegah-megahan, betapa hinanya!, duhai bencana alangkah dahsyatnya!, duhai kekayaan yang mengantarkan pada segala kemelaratan!, duhai nikmat yang membawa sengsara ketika tabir disingkap, pelakunya akan berucap, “Alangkah baiknya, sekiranya aku (di dunia, sebelum kematianku) dahulu mengerjakan (bentuk-bentuk ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala) untuk kehidupanku (di akhirat) ini.”

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Wahai Tunanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan,’. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”. (QS. Al-Mu’minun: 99-100). Itu adalah kata-kata yang mereka ucapkan dan permintaan kembali yang tidak akan pernah dituruti.

Renungkanlah firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala tadi. Kata “Rabbi” (wahai Tuhanku) adalah ungkapan permohonan orang yang sengsara di akhirat kepada Rabbnya, namun Allah tidak bergeming. Kemudian dia berpaling kepada malaikat yang diperintahkan untuk menghadirkan dirinya dihadapan Rabbnya. Dia pun berkata kepada malaikat, “irji’uni” (kembalikanlah aku). Lalu disebutkan bahwa alasan dia memohon agar dikembalikan ke dunia adalah untuk melakukan amal shalih yang belum dia lakukan dengan hartanya, pangkat/jabatannya, kekuasaannya, kekuatannya, fasilitas atau sarana miliknya yang lain. Lantas dikatakan kepadanya, “kalla” (sekali-kali tidak); tidak ada jalan bagimu untuk kembali, engkau telah diberikan umur yang panjangnya sama dengan umur orang lain yang tidak lalai. Berhubung sifat Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang adalah memenuhi permohonan orang yang tulus dan melonggarkan waktu sekiranya dengan itu dia benar-benar insyaf, Allah Subhaanahu wa Ta’ala pun memberitahukan bahwa permohonan kembali (ke dunia) orang yang melampaui batas (ghuluw) itu hanyalah omong kosong belaka, bukan permohonan sesungguhnya. Sebab perangai aslinya adalah enggan beramal shalih. Seandainya permohonan itu dikabulkan sekalipun, dia tetap akan melakukan hal-hal yang dilarang Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Jadi dia termasuk orang-orang yang dusta dalam permohonannya.

Keputusan Allah yang Mahabijaksana, Kekuasaan, Pengetahuan dan Keterpujian-Nya (adalah) menolak memenuhi permohonannya tersebut. Permintaan itu tidak bermanfaat sama sekali. Jikalau dia dikembalikan, maka keadaannya yang kedua ini akan sama seperti keadaannya yang pertama, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, “Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, ‘Sekiranya kami dikembalikan (ke dunia), niscaya kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman’, Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka.” (QS. Al-An’am: 27-28)”.

--- Selesai kutipan ---


Sumber: ‘Uddatus Shaabirin hal. 296-298

____________________________

[1]. Persis seperti penjelasan Al-Imam Ibnu Muflih Al-Maqdisi rahimahullah, “Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi (dicela) karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi (dipuji) karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) radhiallahu ‘anhu dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu. Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan, serta kedekatan kepada-Nya….”. [Kitab Al-Aadaabusy Syar’iyyah (3/469)]

[Baca Selengkapnya...]


Surat Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri Kepada Amirul Mukminin



Ibnu Abi Dunya menyebutkan bahwa Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri (Seorang ulama salafus shalih dari kalangan tabi’in. Klik disini untuk melihat biografi singkatnya, red) menulis surat kepada amirul mukminin Umar ibn Abdul Aziz -rahimahullaahu-.

Beliau –rahimahullaahu- berkata dalam suratnya, “Dunia adalah kampung singgah, bukan tempat tinggal. Adam diturunkan ke dunia adalah sebagai hukuman. Maka waspadalah wahai amirul mukminin, karena bekal dari dunia adalah dengan meninggalkannya, sedangkan kekayaan dari dunia adalah kemiskinan. Di dunia, setiap saat ada orang yang terbunuh. Dunia menghinakan orang yang memuliakannya dan memiskinkan orang yang menghimpunnya. Dunia laksana racun yang dimakan orang yang tidak mengetahuinya, disanalah kematiannya. Maka, jadilah penyembuh luka bagi orang itu, yang berlindung sejenak demi menghindari rasa sakit yang memanjang dan bersabar terhadap kerasnya obat demi menghindari lamanya cobaan.

Waspadalah baginda, terhadap negeri yang menipu, membujuk, dan membawa lamunan (i.e dunia, red). Ia berhias dengan gaya tipunya, menggiurkan dengan bujukannya, menerbangkan khayalnya dengan harapan-harapan kosong. Ia menciptakan kerinduan bagi para perindunya. Dunia laksana pengantin wanita yang ditampilkan di atas singgasana pelaminan. Kala itu, semua mata terpana, semua hati terpesona, dan semua hawa nafsu terpaku. Sementara pengantin itu adalah ‘pembunuh’ suami-suaminya.

Tragisnya, mereka yang masih hidup ini tidak mengambil pelajaran dari generasi sebelumnya. Orang yang mengenal Allah Azza wa Jalla akan menerima sebagai pelajaran ketika mendapat berita seperti ini. Penggemar dunia mendapatkan perolehan sesuai dengan apa yang diinginkan, sehingga ia pun tertipu, terbuai, melampaui batas (ghuluw), dan melalaikan akhirat. Hatinya telah tertanam disana sehingga kakinya terpeleset. Betapa besar kekecewaan dan betapa panjang keluh kesah. Pada dunia berkumpul sekarat dan rasa sakit, kekesalan tertinggal beserta ketidakpuasan. Ia meninggalkan dunia dalam kondisi penuh keprihatinan dan tidak mendapatkan apa yang dicarinya. Sementara itu, jiwanya tidak bisa beristirahat dari kepayahan. Maka dia keluar dari dunia tanpa membawa bekal apapun dan melangkah tanpa landasan.

Berhati-hatilah wahai baginda amirul mukminin, terhadap dunia. Yang menyenangkan itu lebih mengkhawatirkan. Pemilik dunia, ketika dia sedang bersenang-senang dalam kegembiraan, dia akan dikejutkan oleh perkara yang tidak menyenangkan. Apa yang menyenangkan dari dunia adalah makanan yang membahayakan. Kemakmuran disana bersambung dengan cobaan. Kebesaran disana menjadi fana. Maka kegembiraan bercampur dengan kesusahan. Ketika berpaling maka tidak akan kembali dan tidak diketahui apa yang harus dinanti. Harapan-harapannya bohong, cita-citanya adalah batil, kejernihannya keruh, dan kehidupannya susah.

Apabila Pencipta Dunia tidak memberitahukan tentang dunia, juga tidak memberikan perumpamaan, pastilah dunia itu sendiri sudah menggugah orang yang tidur dan menyadarkan orang yang lalai. Maka bagaimanakah jika datang berbagai penghardik dan sejumlah penasihat, sementara disisi Allah Azza wa Jalla adalah dunia yang tidak bernilai dan tidak berbobot? Bahkan Allah Ta’ala tidak pernah memandangnya sejak diciptakan.

Dunia telah menghadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, lengkap dengan kunci dan gudang-gudangnya. Semua itu tidak lebih berharga daripada sayap nyamuk[1]. Beliaupun menolaknya dan tidak mau menerima. Maka Allah Subhaanahu wa ta’ala pun menyingkirkan dunia dari orang-orang shalih sebagai sebuah pilihan. Sementara itu, Dia melapangkan dunia kepada musuh-musuhNya sebagai tipuanNya. Sehingga orang yang tertipu dunia akan menyatakan (atau menyangka) bahwa Allah Ta’ala sedang memuliakannya. Ia lupa apa yang diperbuat Allah Azza wa Jalla pada nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang mengganjal perutnya tatkala kelaparan.”

Dinukil dari; ‘Uddatush Shaabirin hal. 368

_____________________

[1]. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits: Dari Sahl ibn Sa’id radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Kalau saja dunia di sisi Allah sebanding dengan (berat) sayap nyamuk, niscaya Dia tidak akan memberikan minum orang kafir seteguk airpun.” [HR. At-Tirmidzi No. 2320 dan beliau mengatakan bahwa hadits ini “shahih’, Ibnu Majah No. 4110]

[Baca Selengkapnya...]


Oase Hidup: Bersabar dan Bersyukur



Al-Imam Al-‘Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i ad-Dimasyqi atau yang terkenal dengan nama Al-Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah –semoga Allah Azza wa Jalla merahmati beliau- berkata dalam kitab beliau yang sarat akan manfaat dan faidah: ‘Uddatush Shaabirin (Bekal untuk orang-orang yang sabar):

Abdullah Ibnul Mubarak berkata, Mutsanna Ibn Ash-Shabah memberitahukan kepada kami dari Amr ibn Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata:

Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wa sallama bersabda, “Dua sikap yang apabila seseorang berada di dalamnya maka Allah –Azza wa Jalla- mencatatnya sebagai orang yang sabar dan bersyukur, dan apabila dia tidak berada di dalamnya maka Allah Ta’ala tidak mencatatnya sebagai orang yang bersabar dan bersyukur:

Pertama, orang yang melihat urusan agamanya kepada orang yang berada diatasnya lalu dia mengikutinya, dan orang yang melihat urusan dunianya kepada orang yang berada dibawahnya lalu memuji Allah Azza wa Jalla atas karunia yang diberikan kepadanya, maka Allah Ta’ala akan mencatatnya sebagai orang yang sabar dan bersyukur.

Kedua, orang yang dalam urusan agamanya melihat kepada orang yang berada dibawahnya, dan dalam urusan dunianya melihat kepada orang yang berada diatasnya kemudian ia kecewa dengan ketertinggalannya, maka Allah Subhaanahu wa Ta’ala –yang Mahasuci lagi Mahatinggi- tidak mencatatnya sebagai orang yang bersabar dan bersyukur.” [HR. At-Tirmidzi No. 2512]

Perihal firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, “…..sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba yang banyak bersyukur.” (QS. Al-Isra: 3). Ibnul Mubarak berkata dari Syibil, dari Abu Najih, dari Mujahid, dia menafsirkan, “Konon, setiap kali Nabi Nuh Alaihissalam memakan suatu makanan pastilah dia memuji Allah Ta’ala atas hal itu, setiap meminum suatu minuman pastilah dia memuji Allah Ta’ala atas hal itu, dan setiap kali melakukan sesuatu dengan tangannya pastilah dia memuji Allah Ta’ala atas hal itu. Dia selalu menyanjung Allah Tabaaraka wa Ta’ala karena dia adalah hamba yang banyak bersyukur.”

Muhammad Ibnu Ka’ab menuturkan:

“Apabila makan Nabi Nuh Alaihissalam mengucapkan alhamdulillah (الحمد لله), apabila minum dia mengucapkan alhamdulillah (الحمد لله), apabila mengenakan pakaian dia mengucapkan Alhamdulillah (الحمد لله), dan apabila mengendarai hewan tunggangannya dia mengucapkan alhamdulillah (الحمد لله). Karena itulah Allah Azza wa Jalla menyebutnya hamba yang banyak bersyukur.”

Ibnu Abi Dunya berkata:

“Aku diberitahu oleh salah seorang ahli hikmah, dia berkata, ‘Seandainya Allah Azza wa Jalla tidak mengazab perbuatan maksiat (yang dilakukan) orang terhadap-Nya, tentulah orang itu seyogyanya tidak bermaksiat demi mensyukuri nikmat-Nya’.”

Beliau (Al-Imam Ibnul Qayyim) –rahimahullahu- melanjutkan:

Allah Subhaanahu wa Ta’ala memiliki dua hak yang harus ditunaikan oleh hamba-Nya:

Petama, Perintah dan larangan. Keduanya merupakan hak mutlak Allah Ta’ala yang harus ditunaikan oleh hamba-Nya. Kedua, Syukur atas nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang telah Dia berikan kepadanya.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala menuntut hamba-hambaNya untuk mensyukuri nikmat-nikmatNya dan melaksanakan perintahNya. Kewajiban hamba dalam memenuhi hak Allah selalu diwarnai oleh kekurangan dan penelantaran, sehingga sang hamba membutuhkan ampunan dan maaf dari-Nya. Apabila hamba tidak menyadari hal itu maka dia celaka.

Semakin dia memahami agama, maka pengetahuannya tentang pelaksanaan kewajiban ini lebih sempurna, dan kesadarannya akan ketidakmampuannya lebih besar.

Al-Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullaahu- berkata, Hajjaj menceritakan kepada kami, Jarir ibn Hazim menceritakan kepada kami dari Wahab, dia bercerita:

Aku diberitahu bahwa Musa Alaihissalam melewati seorang lelaki yang sedang berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Musa pun berdoa setelah melihatnya, “Wahai Rabb, kasihanilah dia, karena aku mengasihinya.”

Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Nabi Musa Alaihissalam, “Andaikan dia berdoa kepada-Ku hingga kekuatannya habis sekalipun, Aku tetap tidak akan mengabulkan doanya sebelum dia mengindahkan hak-Ku yang harus dia tunaikan.”

Kesaksian hamba akan nikmat dan kewajiban itu membuat dirinya tidak memandang amal shalihnya sedikitpun dan membuatnya senantiasa mencela dirinya sendiri. Alangkah dekatnya seorang hamba dengan rahmat Allah Subhaanahu wa Ta’ala apabila dia memberikan hak kesaksian tersebut. Hanya kepada Allah Ta’ala kita memohon pertolongan.

--- Selesai kutipan ---


Beberapa hal yang bisa kita petik dari penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah diatas adalah;

[1]. Ketika seorang hamba menginginkan dirinya dicatat oleh Allah Rabbul ‘alamin sebagai hamba yang bersabar lagi bersyukur, maka hendaknya dia selalu melihat urusan agamanya kepada orang yang berada diatasnya lalu dia mengikutinya, dan selalu melihat urusan dunianya kepada orang yang berada dibawahnya lalu memuji Allah Azza wa Jalla atas karunia yang diberikan kepadanya.

[2]. Bahwa para Nabi ‘Alaihimus salam adalah hamba-hamba pilihan yang ditinggikan dan dimuliakan derajatnya oleh Allah Azza wa Jall atas para makhluk-Nya yang lain di dunia. Merekalah hamba yang paling banyak bersyukur, dan merekalah hamba yang paling tinggi tingkat kesabarannya terhadap ujian dan cobaan Allah Azza wa Jalla.

[3]. Ketika seorang hamba semakin memahami agamanya (dienul Islam, red), maka pengetahuannya tentang pelaksanaan kewajiban (dalam agama ini) lebih sempurna, dan kesadarannya akan ketidakmampuannya lebih besar.

[4]. Apabila seorang hamba menunaikan hak-hak Allah Azza wa Jalla, maka Dia akan memenuhi hak-hak hamba tersebut dengan mengabulkan doa-doanya. Sebaliknya jika seorang hamba mengabaikan hak-hak Allah Azza wa Jalla, maka Dia tidak akan mengabulkan doanya hingga hamba tersebut mengindahkan hak-Nya.

Wallaahu Ta’ala a’lamu…..

Di nukil oleh al-Faqir yang selalu butuh akan pertolongan dan ampunan Rabbnya, dari ‘Uddatush Shaabirin karya Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, di TTC Soekarno-Hatta, Bandung.


[Baca Selengkapnya...]


Waspada Dengan Iklan Produk Murah



Seiring dengan berkembang pesatnya teknologi informasi, portofolio bisnis pun ikut berubah, termasuk cara memperkenalkan dan mempromosikan barang dan jasa kepada konsumen. Internet merupakan media paling dikenal dan paling banyak digunakan orang untuk menawarkan produk-produknya. Disamping murah, media ini juga dikenal sangat efektif karena hampir tiap menit bahkan tiap detik jutaan user mengakses informasi melalui media tersebut, sehingga probabilitas produk kita dilihat sangat besar. Ditambah lagi sebagian besar dari mereka merupakan pasar potensial yang layak untuk dibidik. Hanya saja, banyak oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan media ini sebagai sarana melakukan kejahatan (baca: penipuan) melalui transaksi online. Sungguh ironis memang.

Nah, kali ini saya ingin menshare kasus penipuan yang hendak dilakukan oleh seorang oknum berkedok transaksi online melalui facebook. Ceritanya begini: Beberapa hari yang lalu, saya mendapati seorang facebooker men-tag sebuah iklan produk di salah satu wall facebook rekan saya. Sebenarnya iklan-iklan seperti ini kerap saya lihat di internet, baik itu di facebook, forum-forum diskusi atau pun media iklan gratis, hanya saja kebanyakan content yang ditawarkan tidak begitu menarik perhatian saya. Hari itu saya iseng membuka salah satu iklan (yang ditampilkan sang) oknum tersebut berupa kamera Canon 5D Mark II dengan tambahan lensa Canon EF 24-105mm f/4L IS USM. Dibawahnya tertulis bandrol harga Rp 11.650.000. “Bagi yang berminat, silahkan hubungi 0852 1729 2696”, kata si pemilik account. Dilihat dari sisi harga saja sudah tidak reasonable, apalagi dari sisi yang lain. Coba bandingkan dengan harga sesungguhnya dari Canon 5D Mark II berlabel second, kondisi 99%, body only, yang dibandrol dengan harga Rp. 24.500.000! (Silahkan check di sini, harga terakhir berkisar di angka Rp. 16.500.000). Sebagai catatan, kamera dan lensa yang dia tawarkan [katanya] masih baru dan bergaransi 1 tahun dari Datascript. Jauh panggang dari api memang. Keisengan saya pun berlanjut, saya coba kirim sms ke nomor diatas untuk menanyakan harga Canon EF 24-105mm f/4L IS USM tanpa body (i.e tanpa kamera). Si penjual berkata, “Untuk lensanya saja saya jual Rp. 2.300.000 mas”. Setelah dinego harga pun diturunkan hingga menyentuh angka Rp. 2.000.000. Bandingkan dengan harga resminya di toko kamera terdekat, Rp. 9.800.000 (Silahkan dicheck di sini), Rp. 150.000 lebih murah dari bandrol harga yang saya lihat di BEC Bandung. Sekali lagi jauh panggang dari api. Saya bilang, “OK lah pak, deal. Proses transaksinya bagaimana?”, dia menjawab, “Silahkan mas kirimkan sms dengan format ……. beserta alamatnya, kemudian setelah konfirmasi, mas kirimkan uang sesuai kesepakatan ke rekening ….. Barang yang mas inginkan akan kami kirim segera ke alamat yang diminta melalui JNE. Adapun no resinya akan kami infokan kemudian sebagai bukti bahwa barang sudah kami kirim. Kami jamin 100% barang akan sampai ke tangan mas!”. Tapi saya bilang, “Pak, kenapa prosesnya tidak dibalik saja?. Sampeyan kan tidak mau COD (cash on delivery), tidak mau pula bertransaksi melalui rekber, sedangkan saya, sebagai buyer menganggap kalau transaksi dengan cara ini adalah yang paling fair dan paling secure saat ini, maka saya memutuskan hanya akan mentransfer uang jika barang tersebut sudah ada di tangan saya. Kalau sampeyan menjamin 100% bahwa barang akan dikirim setelah uang sampeyan terima, saya pun berani menjamin 100% bahwa saya akan mengirimkan uang setelah barang yang saya inginkan tersebut saya terima!, bagaimana?. Apalagi sekarang sedang marak modus penipuan melalui internet, saya khawatir saja kalau barang yang saya pesan tidak akan pernah sampai ke tangan saya, berani gak Pak?”. Kemudian saya kirimkan data diri saya, no telpon, dan alamat kantor saya sebagai alamat pengiriman barang untuk meyakinkan dirinya. Dia pun berkata, “Wah tidak bisa mas, barang tidak bisa keluar jika uang belum ditransfer. Itu sudah menjadi prosedur kami”, kemudian dia mulai menawar, “Bagaimana jika setengahnya dulu, bisa tidak mas?”, Saya bilang, “Maaf, tetep tidak bisa”.

Sebenarnya kelanjutan dialog diatas masih panjang, namun iktikad yang kurang baik serta ketidakseriusan si penjual dalam hal ini sudah mulai tergambar/terbaca. Bukannya bersu’udzan, namun alibi dan bukti tambahan yang ada mengindikasikan kalau tindakan yang bersangkutan memang mengarah ke unsur penipuan. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Dia mengklaim bahwa barang tersebut resmi dan bergaransi. Namun anehnya ia mengaku barang tersebut didapatnya dari pihak Bea Cukai. Kalau memang resmi, mengapa barang tersebut disita oleh pihak Bea Cukai?, beda ceritanya jika barang tersebut didapatkan dari BM.

2. Jika barang tersebut bergaransi, kecil kemungkinannya si penjual menawarkan barang tersebut dengan harga yang jauh lebih murah (diatas 50% guys!, manteb bener.. J) dari harga pasaran, apalagi dia mengatakan bahwa barang tersebut masih baru. Canon 500D yang merupakan kamera pre-consumer saja masih berharga lebih dari Rp. 5 Jt di pasaran, lalu bagaimana dengan kamera full frame baru?..

3. Ketika saya menanyakan, “Adakah lensa Canon selain Canon EF 24-105mm f/4L IS USM di gudang sampeyan?...barangkali saya berminat membeli”. Dia berkata, “Ada mas, tipe Canon EF-S 18-200 mm/ f3.5-5.6 IS, tapi harganya lebih mahal”. Saya, “?????”. Adalah fakta bahwa Canon EF 24-105mm f/4L IS USM jauh lebih mahal daripada Canon EF-S 18-200 mm/ f3.5-5.6 IS.. J

4. Ketika saya telpon melalui fix phone kantor, dia mengaku tinggal di Kendari, karena alasan itulah dirinya mengaku proses transaksi melalui COD tidak bisa dilakukan. Tapi kalau dilihat nomor MSISDN-nya (0852 1729 2696), yang bersangkutan berada di HLR (Home Location Register) Jabotabek. Ketika saya konfirmasi, “Sampeyan ada di Jabotabek ya?”,..dia hanya diam membisu.

5. Saya menemukan No Resi yang diklaimnya itu berada persis di web lain yang masuk ke dalam daftar “Black List” website/facebook/seller online penipu berkedok “Jualan barang murah”.

6. Ditemukan banyak testimoni dari para pembeli yang pernah tertipu olehnya di banyak forum.

7. Dan satu hal yang pasti, yang bersangkutan tidak pernah berani bersumpah atas nama Rabbnya Azza wa Jall kalau dirinya memang jujur dan tidak benar melakukan tindakan penipuan.. J

Akhirnya, saya menghimbau rekan-rekan agar berhati-hati dengan iklan-iklan yang tidak reasonable. Jangan tergiur dengan harga murah namun tidak secure transaksinya.. J. Tips yang bisa saya bagi adalah: (1). Kenali penjualnya termasuk track recordnya. Tidak sedikit dari mereka yang memang sengaja menipu. Profil mereka biasanya dipublish oleh orang yang pernah tertipu di forum-forum besar semisal kaskus, detik, tokobagus.com dan lain-lain. Tanyakan pula posisinya dimana dan ajak bertransaksi langsung face to face. (2). Cari referensi harga untuk produk yang sama di tempat lain sebagai perbandingan (komparasi) untuk menilai reasonable tidaknya harga. Biasanya para penipu itu sengaja menampilkan harga yang sangat murah untuk mengelabui calon konsumennya. Bahkan mereka tidak segan membanting harga jauh lebih rendah dari harga yang dibandrol. (3). Pastikan proses transaksinya aman. COD (Cash on Delivery) adalah cara yang paling secure karena penjual dan pembeli langsung bertemu di lokasi, solusi lain bisa lewat rekening bersama yang dikelola oleh pihak ketiga yang bisa dipercaya. Jika si penjual hanya mau bertransaksi dengan cara “kirim uang, barang belakangan” dan menolak bertransaksi dengan jalan lain yang lebih aman, maka sangat masuk akal jika penjual seperti ini masuk ke dalam daftar suspect penipu. Semoga bermanfaat…

[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula