Seputar Syukur
Seorang laki-laki mendatangi Yunus Ibn ‘Ubaid dan mengadukan keadaannya yang (menurutnya, red) susah. Lalu Yunus bertanya kepadanya, “Apakah engkau mau penglihatanmu ditukar dengan seratus ribu dirham?”[1]
“Tidak”, jawabnya.
Yunus bertanya lagi, “Bagaimana jika kedua tanganmu ditukar dengan seratus ribu dirham?”
“Tidak mau”, jawabnya.
Yunus berkata, “Bagaimana kalau kakimu saja yang ditukar dengan seratus ribu dirham?”
“Tidak mau”, jawabnya.
Setelah menyebutkan kepadanya nikmat-nikmat Allah Subhaanahu wa Ta’ala itu, Yunus lalu berkata, “Aku melihatmu memiliki beratus-ratus ribu dirham, tetapi engkau masih mengeluhkan keadaanmu!.”[2]
al-Imam al-Hasan al-Bashri berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan nikmat sekehendak-Nya. Apabila nikmat itu tidak disyukuri, Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan mengubahnya menjadi azab. Oleh karena itulah orang-orang menjuluki syukur sebagai “pemelihara” (al-hafizh) karena ia memelihara keberadaan nikmat, juga sebagai “penarik” (al-jalib) karena ia menarik nikmat yang dicari-cari.”[3]
Ibnu Abi Dunya menyebutkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu bahwa ia berkata kepada seorang laki-laki dari Hamadzan, “Nikmat itu tercapai berkat syukur, dan syukur berkaitan dengan nikmat tambahan. Keduanya bertalian erat dalam satu simpul sehingga nikmat tambahan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala tidak akan terputus sebelum syukur terputus dari hamba.”[4]
Muthrif Ibn ‘Abdillah berkata,, “Aku memperhatikan kesehatan dan syukur, lalu aku dapati keduanya mengandung sebaik-baiknya dunia dan akhirat. Menjadi sehat lalu bersyukur lebih aku sukai daripada diberi cobaan lalu bersabar.”[5]
Bakr Ibn ‘Abdillah al-Muzanni bercerita, “Aku melihat seorang kuli panggul yang sedang memanggul barang bawaannya sambil berucap, ‘Alhamdulillah (segala puji hanya bagi Allah semata), astagfirullaah (aku memohon ampunan kepada Allah).’ Maka aku menunggunya hingga ia meletakkan barang yang dipanggulnya, lalu aku bertanya kepadanya, “Apakah engkau bisa membaca selain bacaan itu?”. Ia menjawab, “Ya. Bahkan ada yang jauh lebih baik darinya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an, red). Akan tetapi hamba selalu berada antara nikmat dan dosa. Maka aku memuji Allah Allah Subhaanahu wa Ta’ala atas nikmat-Nya dan memohon ampun kepada-Nya atas dosa-dosaku.”[6]
Seputar Sabar
Abdullah Ibnul Mubarak berkata, Abdullah bin Luhai’ah memberitahukan kepada kami, dari Atha’ Ibn Dinar bahwa Sa’id bin Jubair mengatakan:
“Kesabaran adalah pengakuan hamba kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala bahwa apa yang menimpanya berasal dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala disisi-Nya. Adakalanya setiap orang tetap merasa gelisah, padahal ia berusaha untuk tabah, namun yang terlihat darinya hanyalah kesabaran.”
Perkataan Said ibn Jubair, “pengakuan hamba kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala bahwa apa yang menimpanya berasal dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala,” seolah olah merupakan penafsiran firman Allah Ta’ala, “…sesungguhnya kami (hanyalah) milik Allah”. Jadi dia mengakui bahwa dirinya adalah milik Allah pengakuan hamba kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala bahwa apa yang menimpanya berasal dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Sang Pemilik bisa sesuka hati bertindak terhadapnya.
Adapun perkataannya, “Adakalanya setiap orang tetap merasa gelisah, padahal ia berusaha untuk tabah, namun yang terlihat darinya hanyalah kesabaran.”, maksudnya adalah kesabaran bukanlah sekedar berusaha untuk tabah, melainkan menahan amarah terhadap takdir (Allah Subhaanahu wa Ta’ala) dan menahan lisan agar tidak mengadu (mengeluh, red). Barangsiapa berusaha untuk tabah namun hatinya marah terhadap takdir, berarti dia tidak bersabar.[7]
Ibnu Abi Dunya berkata, Muhammad bin Ja’far ibn Mahran menceritakan kepadaku seorang wanita Quraisy bersyair,
Demi yang tiada keabadian selain Zat-Nya
Dan yang tidak ada persamaan dalam kebesaran-Nya yang kokoh
Jika memulai kesabaran itu pahit rasanya
Maka buah yang akan dipetiknya akan manis rasanya
== Selesai kutipan ==
Di-“copy-paste” oleh al-faqir ilallah
TTC Soetta Bandung 1st Floor
___________________________________________
[1]. Jika dirupiahkan, 100.000 dirham setara dengan Rp. 234.607.779 (http://www.mataf.net/en/currency/converter-AED-IDR)
[2]. ‘Uddatush Shaabirin hal. 209. Banyak manusia (saat ini) yang bersikap sebagaimana laki-laki yang berbicara dengan Yunus Ibn ‘Ubaid pada kisah diatas. Allah Ta’ala telah memberikan limpahan rezeki dan nikmat dunia yang begitu banyak kepada mereka, namun tetap saja masih merasa kurang dan (mengeluh) kesusahan.
[3]. ‘Uddatus Shaabirin hal. 192
[4]. Ibid
[5]. ‘Uddatus Shaabirin hal. 195
[6]. Ibid
[7]. ‘Uddatus Shaabirin hal. 154
0 Respones to "Lagi, Seputar Syukur dan Sabar"
Posting Komentar