Vacancy @PT. Microsoft Indonesia



Job Description

The Partner Sales Lead is responsible for the Partner Sales Revenue Planning, the Segmentation & Selection of the partners that are selected to be managed, the assignment of partner portfolio’s with targets per partner to Partner Account Managers, the business planning process with the managed partner documented in Partner Business Plans & Partner Sales Plans and the execution of pipeline management to manage the attainment of the agreed targets within the subsidiary.


Customer & Partner Satisfaction

· Monitor partner conditions of satisfaction attainment

· Meets regularly with Partner executives to support relationships and collect feedback

· Engages with customers through site visits, focus groups, events with partners

Knowledge, Skill and abilities

Proven success in leading a team that consistently achieved and frequently exceeds sales goals. Proven success in channel/partner sales, telesales, and sales management is required. The ideal candidate should also have strong industry, channel, and competitive knowledge including market trends and best practices, understanding of Microsoft's business, product, and technical strategies, and proven cross-group project leadership and management skills. Having immediate group impact including the ability to work independently and resolve complex problems effectively and without escalation is a must.

Additional Information

· Job Category: Sales

· Location: Jakarta, ID

· Job ID: 750990-37989

· Division: (Not Division Specific)

· Posted: March 28, 2011

· Type: Full-time

· Experience: Not Applicable

· Functions: Sales

· Industries: Computer Software

· Employer Job ID: 750990-37989

· Job ID: 1496143

Click this link to apply; http://www.linkedin.com/jobs?viewJob=&jobId=1496143&trk=rj_em


[Baca Selengkapnya...]


Berhati-Hati Dengan Kehidupan Dunia (Yang Fana)



Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman:

“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)

Berkata Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullaahu dalam Tafsir-nya, “Allah Subhaanahu wa ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhaanahu wa ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala. Adapun janji (pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh rahimahullaahu melanjutkan, “Kemudian Allah Subhaanahu wa ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita-cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhaanahu wa ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan-akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” [Taisir Al-Karimir Rahman Fii Tafsir Kalam Al-Mannan, hal. 841]

Jabir bin Abdillah radhiyallaahu ‘anhu berkisah, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata: “Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama pun pernah bersabda: “Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah Subhaanahu wa ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka Shallallaahu ‘alaihi wa sallama hidup di dunia dengan penuh kezuhudan dan memperingatkan para sahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhaanahu wa ta’ala sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallaahu ‘anhu, sambil memegang pundak iparnya ini: “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa sallama di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.” Adapun dalam perbuatan, beliau radhiyallaahu ‘anhu merupakan sahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallaahu ‘anhu.” [Siyar A’lamin Nubala’, hal. 3/211 karya Al-Hafidz Adz-Dzahabi]

Ibnu Baththal rahimahullaahu menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” [Fathul Bari, 11/282, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalany]

Al-Imam An-Nawawi rahimahullaahu berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” [Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105]

Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para sahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab: “Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullaahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab radhiyallaahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah [1].” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallaahu ‘anhu berkata kepada Nabinya: “Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia [2].” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda: “Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat.” (HR. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullaahu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” [Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Al-Hajjaj, 17/190]

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia tak kan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. [Bahjatun Nazhirin, 1/531]

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Sumber; www.asysyariah.com

_____________________________________

[1]. Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab rahiyallaahu ‘anhu: “Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka, –pent.) adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”

[2]. Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20)

[Baca Selengkapnya...]


Bagaimanakah Menyikapi Ketetapan Allah Tabaaraka wa Ta’ala?



Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menggambarkan kriteria seorang mukmin dalam menyikapi ketentuan Allah Subhanahu wata’ala, beliau bersabda :

عجباً لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ, فَكَانَ خَيْراً لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ ". رواه مسلم

“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya. Dan tidaklah didapatkan pada seorang pun hal tersebut melainkan pada diri seorang mukmin : Jika dia merasakan kesenangan maka dia bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika kesusahan menerpanya, maka dia bersabar. Dan itu lebih baik baginya.” (Riwayat Muslim)

Al-Mufaqqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –semoga Allah Azza wa Jalla merahmati beliau- (seorang ‘alim yang mendalam ilmunya, wara’, zuhud, dan tawadhu’. Sungguh saya (penukil artikel ini) mengagumi kecerdasan, sifat, akhlak dan kepribadian beliau -rahimahullaahu- yang mulia), menerangkan tentang hadits di atas : (Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya), maksudnya : “Sesungguhnya Rasul ‘alaihis sholatu wassalam menampakkan kekaguman beliau dengan pandangan kebaikan (terhadap perkara seorang mukmin), (yakni) : “terhadap urusannya.” Maka sesungguhnya seluruh urusan itu (dianggap) baik baginya dan tidak terdapat hal tersebut kecuali pada diri seorang mukmin. Kemudian Rasul ‘alaihisholatu wassalam memberikan rincian tentang perkara kebaikan tersebut dengan sabdanya : (Jika dia merasakan kesenangan maka dia bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika kesusahan menerpanya, maka dia bersabar. Dan itu lebih baik baginya). Beliau (Asy-Syaikh Al-Utsaimin) berkata : “Ini adalah keadaan seorang mukmin. Setiap manusia berada dalam ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Dan manusia dalam menyikapi ujian dan cobaan ini terbagi menjadi dua golongan : mukmin dan non mukmin (kafir).”

Adapun golongan Mukmin; menganggap baik segala ketentuan Allah baginya. Jika kesusahan itu menimpanya, maka dia bersabar atas ketentuan-ketentuan Allah dan senantiasa menanti pertolongan-Nya serta mengharapkan pahala Allah –Tabaaraka wa Ta’ala-. Semua itu merupakan perkara yang baik baginya dan dia memperoleh ganjaran kebaikan selaku orang-orang yang bersabar. Jika kesenangan itu mendatanginya, baik berupa kenikmatan agama ; seperti ilmu, amalan sholih dan kenikmatan dunia; seperti harta, anak-anak dan keluarga, maka dia bersyukur lagi menjalankan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, seorang mukmin memperoleh dua kenikmatan, yaitu : kenikmatan agama dan dunia. Kenikmatan dunia diperoleh dengan kesenangan dan kenikmatan agama diperoleh dengan bersyukur. Maka inilah kondisi seorang mukmin.

Adapun golongan non mukmin; (Sungguh) berada dalam kejelekan, wal’iyyadzubillah. Jika kesusahan itu menimpanya, maka dia tidak sabar, berkeluh kesah, mencemooh, mengutuk, mencerca masa (waktu) bahkan mencela Allah Azza wa Jalla. Jika kesenangan menghampirinya, dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan ini akan menjadi balasan siksaan di akhirat. Maka kondisi orang kafir tetap jelek, baik mendapatkan kesusahan maupun kesenangan. Berbeda halnya dengan orang mukmin yang senantiasa dalam kebaikan dan kenikmatan.

Ada beberapa faedah (yang bisa kita ambil) dari hadits ini :

[1]. Adanya dorongan (untuk tetap kokoh) diatas keimanan. Dan seorang mukmin senantiasa dalam kebaikan dan kenikmatan.

[2]. Adanya dorongan untuk sabar atas kesusahan yang menimpa. Karena (sabar) merupakan perangai keimanan. Apabila anda sabar dalam menghadapi kesusahan dan diiringi dengan menanti (pertolongan) Allah agar dibebaskan dari (kesusahan tersebut). Kemudian mengharap pahala Allah Subhanahu wata’ala, maka hal tersebut merupakan tanda keimanan.

[3]. Adanya dorongan untuk bersyukur tatkala (memperoleh) kesenangan. Jika seorang bersyukur kepada Rabbnya atas nikmat yang diperoleh. Maka ini adalah taufiq dari Allah dan termasuk salah satu sebab bertambahnya kenikmatan, Sebagaimana Allah berfirman :

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim : 7).

Jika Allah memberi taufiq kepada seorang hamba untuk bersyukur kepadanya, maka ini adalah suatu nikmat yang patut untuk disyukuri untuk kedua kalinya. Dan apabila dia diberi taufik lagi, maka itu adalah suatu nikmat yang patut disyukuri untuk ketiga kalinya. Demikian seterusnya. Sedikit sekali manusia yang mensyukuri nikmat-Nya. Oleh karena itu, jika Allah menganugerahkan kepada anda rasa syukur dan memberikan pertolongan kepada anda, maka ini adalah nikmat.


Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah sya’ir :

Jika rasa syukur terhadap nikmat Allah itu adalah sebuah nikmat

Maka yang semisalnya (nikmat tersebut) wajib pula disyukuri

Tidak akan sampai rasa syukur itu melainkan dengan keutamaan-Nya

Walaupun hari-hari (masanya) panjang dan umur pun (masih) menyertai


[Syarah Riyadhus Sholihin hal 95-96 cet Darul Aqidah, karya Al-‘Allamah Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin]

Dinukil dari www.darussalaf.or.id

[Baca Selengkapnya...]


Belajar dari kisah Abu Qilabah



Sungguh, betapa sedikitnya orang shalih seperti beliau di jaman ini, seorang yang begitu tawadhu’, sabar lagi pandai bersyukur atas apapun yang Allah anugerahkan dan ujikan kepada beliau. Sudah selayaknya kita belajar dan mengambil pelajaran dari apa yang menimpa beliau, termasuk bagaimana menyikapi setiap takdir Allah Tabaaraka wa Ta’ala yang datang kepada kita. Berikut kisahnya, semoga bermanfaat;

Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi (nama kunyahnya adalah; Abu Qilabah, red) salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits –radhiallahu ‘anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdulmalik.

Abdullah bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya terdapat seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satupun anggota tubuhnya yang bermanfaat (bisa digunakan, red) baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan”.

Abdullah bin Muhammad berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya?. Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan”, maka nikmat manakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut?, dan kelebihan apakah yang telah Allah anugrahkan kepadamu hingga engkau mensyukurinya?”

Orang itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh Robku kepadaku?, demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)-ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya maka tolonglah, carikan kabar tentangya –semoga Allah merahmati engkau-.” Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya -yang (karenanya) ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah-, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang seperti engkau”. Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gudukan pasir, tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan di makan oleh binatang buas, akupun mengucapkan inna lillah’ wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut?”. Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalam. Tatkala aku menemui orang tersebut maka akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku berkata, “Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?”. Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihissalam?”, ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ‘alaihissalam”, aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”, orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”, ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya”, ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?”, ia berkata, “Iya”, aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-.” Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”. Orang itu berkata, “Alhamdulillah -Segala puji bagi Allah- yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi roji'uun, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia. Aku berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun”, besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis. Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai Abdullah, ada apa denganmu?, apa yang telah terjadi?”. Maka akupun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, “Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!”, maka akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, “Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur”. Aku bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?”, mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu, ia sangat cinta kepada Allah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan. Tatkala tiba malam hari akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah;

}سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ{ (الرعد:24)

“Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:24)

Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”, ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua”, ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam kaeadaan di depan khalayak ramai.” [Ats-Tsiqoot, vol. 5 hal. 3, karya Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hibban]

Subhanallah, Maha suci engkau yaa Allah Azza wa Jall, Rabb semesta alam…..

Sumber; www.firanda.com dengan sedikit gubahan.

[Baca Selengkapnya...]


Smoor, Pindah Kantor Dan Competency Assessment



Tidak banyak tugas yang harus saya kerjakan (di kantor) hari ini. Mungkin karena sebagiannya sudah saya selesaikan saat lembur di hari Sabtu (12/03/11) kemarin, jadi konsekuensinya hari ini tersisa banyak waktu luang. Suasana kantor memang sedikit agak berbeda, tidak lagi terlihat meja-meja besar para Spv di ruangan kecuali hanya satu atau dua saja. Space kantor yang dari dulunya memang sudah luas itu, kini terasa lebih luas dan longgar. Tumpukan kardus-kardus besar berisi dokumen kantor tersebar dan berserakan di sekeliling ruangan. Ya, bulan depan Divisi Commerce Jabar memang akan resmi menempati gedung baru milik perseroan di Jl. Soekarno-Hatta Bandung. Sebelumnya Divisi Network Operation & Information Technology sudah terlebih dahulu merapat dan mengisi space kosong di gedung baru tersebut. Efisiensi adalah salah satu alasan utama mengapa kami harus segera pindah.

Agenda hari ini hanya menyelesaikan pekerjaan rutin, melakukan pengecekan data Local Area Code/ Cell Identity (LAC/CI) terbaru dan melakukan perubahan kecil terhadap data cluster Jabar. Sisanya? Browsing internet guna menambah wawasan dan memperkaya informasi terkini, atau ngobrol kesana kemari dengan rekan kerja yang lain dalam rangka sosialisasi, konsolidasi dan mempererat tali silaturahmi (beuh bahasanya berat..hehe). Ngobrol sambil membaca memang mengasyikan, dan herannya kedua-duanya bisa berjalan tanpa hambatan. Barangkali akan beda ceritanya jika kita ngobrol sambil mengolah atau menganalisa data (misalnya), mungkin tidak akan merasakan nikmat sama sekali :D. Yang ada malah berhamburannya ide-ide yang sudah terekam di kepala, atau hilangnya konsentrasi seketika.

Tema obrolan kami berkisar tentang penilaian kompetensi karyawan oleh intern-division partner atau cross-division partner yang kebetulan harus difinalisasi oleh kami hari ini sesuai dengan tenggat waktu yang sudah ditetapkan perseroan dan dituangkan officially melalui nota dinas. Singkatnya, kita diminta HRD menuliskan nama-nama partner yang sudah kita kenal dengan baik, yang berhubungan langsung dengan job desk kita sehari-hari, dan yang mengetahui performansi dan kompetensi kita selama semester sebelumnya. Kemudian nama-nama yang sudah ditunjuk itu akan dimintai pendapatnya (oleh HRD) mengenai beberapa kompetensi assessee (pribadi yang dinilai, red) selama satu semester terakhir. Hasilnya? Bisa jadi menggambarkan kinerja assessee secara objectif atau bisa pula malah subjectif, tergantung preferensi dan sudut pandang assessor (si penilai) atau atasan structural assessee. Nah sambil membahas tema tersebut, sesekali saya buka tabloid yang berada tepat di depan meja rekan saya. Gak jauh-jauh, halaman yang pertama saya cari adalah “Culinary”. Di salah satu sudut halaman, saya temukan sebuah ulasan singkat dan menarik mengenai “Semur”. Kemudian saya coba lempar sebuah pertanyaan ke salah satu rekan saya terkait asal-usul culinary tersebut. Dan sesuai dugaan, ia pun menggelengkan kepala sebagai tanda bahwa ia tidak tahu jawabannya. Jujur, saya pribadi juga baru tahu hari ini…hehe. Semur yang merupakan salah satu masakan favorit saya itu ternyata berasal dari negeri kincir angin alias Belanda alias Netherland alias Londo. Semur sendiri merupakan kata serapan dari kata “Smoor” [Belanda] yang artinya “sebuah masakan yang direbus dengan tomat dan bawang secara perlahan.” [Nova Mingguan No. 1203/XXIV, hal.7]. Banyak sekali kata serapan asing yang sudah sangat familiar di telinga kita sejak jaman penjajahan dahulu seperti “Spoor” yang dilafalkan dan ditulis oleh orang Indonesia dengan “Sepur” [artinya Kereta Api], atau “Brugh” yang dibaca “Brug” oleh orang-orang pribumi [yang artinya jembatan] dan sebagainya. Konon semur ini merupakan makanan yang dijadikan menu utama dalam budaya perjamuan bangsa Belanda tempo doeloe. Seiring berjalannya waktu, Semur diadaptasi di Indonesia dengan menambahkan kecap manis yang merupakan salah satu warisan kuliner leluhur dan kemudian terus berkembang menjadi tradisi bangsa Indonesia yang banyak dihidangkan di berbagai perhelatan adat dan jamuan. Saya pribadi mempunyai cerita dan pengalaman tersendiri mengenai masakan ini. Beberapa tahun yang lalu, tepatnya ketika masih bekerja di Jakarta saya pernah bereksperimen membuat olahan daging kambing dan sapi menggunakan teknik semur. “Masakan accidental”, lebih tepatnya demikian mengingat waktu itu saya mendapatkan bagian daging kurban dari tetangga sebelah dan tidak tahu harus dibuat apa. Tidak mungkin jika daging-daging itu semuanya disate karena jumlahnya banyak. Namun kemudian saya terinspirasi oleh masakan semur dari warung tempat saya biasa mengisi perut. Pada akhirnya resep rumah menjadi pelengkap dan guidance memasak waktu itu. Rasanya? Not bad lah bagi lidah sang koki.. :P.

Semur sendiri tergolong masakan yang unik dengan bumbu rempah yang sangat komplit, bahkan tidak hanya untuk daging, sayuran pun bisa dijadikan objek pengganti (daging) bagi mereka yang menghindari masakan hewani dan lebih menyukai sayuran (i.e kaum vegetarian) seperti jengkol, petai, terong dan lain-lain. Jangan lihat tampilannya, karena dijamin tidak menarik. Cukup dinikmati saja, pasti anda akan merasakan sensasinya. Nah sebagai penutup, berikut saya kutipkan resep masakannya dan selamat mencoba!

Bahan Dasar:

§ 500 gr daging sapi

§ 5 sdm kecap manis

§ 250 ml air

§ 2 cm lengkuas, memarkan

§ 2 lbr daun salam

§ 2 btg serai, memarkan

§ 2 sdm minyak

§ Bawang Goreng untuk taburan

Tambahan dari saya (CMIIW):

§ Gula jawa secukupnya

§ Merica 6 butir

§ Ketumbar 5 butir

§ 2 cm Jahe

§ Kunyit 1 ruas

Haluskan:

§ 6 bh bawang merah

§ 3 siung bawang putih

§ Merica & Ketumbar

§ 1 ruas Kunyit

§ 2 cm Jahe

§ 3 btr kemiri goreng

§ ¼ sdt terasi

Taburan:

§ 1 sdt lada, sangrai, haluskan

§ 1 sdt jinten sangrai, haluskan

Cara membuat:

1. Siapkan wajan, masukkan daging dan bumbu halus. Selanjutnya gula jawa, kecap manis, lengkuas, daun salam, minyak, dan serai. Remas-remas daging sampai terlumuri dengan bumbu.

2. Jerangkan di atas api kecil, tambahkan sisa air masak sampai semur matang dan empuk. Bila semur daging belum empuk dapat ditambahkan air panas secukupnya.

3. Setelah semur matang, tambahkan bumbu jinten dan lada yang sudah disangrai sebanyak ½ sendok teh, aduk rata. Sajikan dengan taburan bawang goreng.

Untuk 6 orang

Tips:

Lumuri daging dengan bumbu terlebih dahulu, diamkan sebentar agar bumbu benar-benar meresap.

[Baca Selengkapnya...]


Ikhlas Merupakan Sebab Diampuninya Dosa



Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama :

“Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu.” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)

Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah berkata, “Apa yang ada di hati wanita pezina (ketika) melihat seekor anjing yang sangat kehausan hingga menjilat-jilat tanah. Meskipun tidak ada alat, tidak ada penolong, dan tidak ada orang (di sekelilingnya) yang bisa ia perlihatkan amalannya, keteguhan hatinya (tauhid dan keikhlasan-pen) mendorong dirinya untuk turun ke sumur dan memenuhi sepatunya dengan air, tanpa mempedulikan dirinya celaka atau tidak, lalu membawa sepatu (yang penuh dengan air tersebut) menggunakan mulutnya agar memungkinkan dirinya memanjat sumur. Selain itu, (ini merupakan sikap) tawadhu’ wanita pezina tersebut terhadap makhluk yang biasanya dipukul oleh manusia. Lalu ia pun memegang sepatu tersebut dengan tangannya lalu menyodorkannya ke mulut anjing tanpa mengharapkan balas jasa atau rasa terima kasih sedikitpun (dari anjing yang ditolongnya). Maka sinar tauhid yang ada di hatinya tersebut pun membakar dosa-dosa zina yang pernah dilakukannya, maka Allah Azza wa Jall pun mengampuninya.” (Madaarijus Saalikiin 1/280-281):

Berkata Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hanbali, “Jika sempurna tauhid seorang hamba dan keikhlasannya kepada Allah dalam tauhidnya serta ia memenuhi seluruh persyaratan tauhid dengan hatinya dan lisannya serta anggota tubuhnya, atau hanya dengan hatinya dan lisannya tatkala akan meninggal maka hal itu akan mendatangkan pengampunan terhadap seluruh dosa yang telah lalu dan akan mencegahnya sehingga sama sekali tidak masuk neraka.” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam hal 398)

Namun tentunya tidak semua orang yang mengucapkan kalimat tauhid “laa ilaah illallah” dan yang memberi minum kepada seekor anjing akan meraih apa yang telah diraih oleh wanita pezina tersebut berupa ampunan Allah yang sangat luas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Tidaklah semua hasanah (kebaikan) akan menghapuskan seluruh sayyiah (keburukan), akan tetapi terkadang menghapuskan dosa-dosa kecil dan terkadang menghapuskan dosa-dosa besar ditinjau dari keseimbangannya (yaitu apakah hasanah tersebut nilainya besar seimbang dengan nilai dosa tersebut?-pen). Satu jenis amalan terkadang dikerjakan oleh seseorang dengan model yang sempurna keikhlasannya dan peribadatannya kepada Allah maka dengan sebab tersebut Allah mengampuni dosa-dosa besarnya. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dalam sunan At-Thirmidzi, Ibnu Majah, dan selain keduanya dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama bahwasanya beliau bersabda :

“Pada hari kiamat dipanggillah seseorang dari umatku di hadapan seluruh khalayak, lalu dibeberkan kepadanya 99 lembaran catatan amal. Setiap lembaran tersebut (besarnya/panjangnya-pen) sejauh mata memandang. Kemudian Allah Azza wa Jalla berkata kepadanya, “Apakah ada sesuatu yang engkau ingkari dari catatan-catatan ini?”, ia berkata, “Tidak wahai Robku”. Allah berkata, “Apakah para malaikat pencatat amal telah menzolimi engkau (karena salah mencatat-pen)?”, ia berkata, “Tidak”. Allah berkata, “Apakah engkau punya udzur?, apakah engkau memiliki kebaikan?”. Maka iapun menjadi takut dan berkata, “Tidak”. Allah berkata, “Bahkan engkau memiliki kebaikan-kebaikan di sisi Kami, dan engkau tidak akan didzolimi pada hari ini”. Maka dikeluarkanlah baginya sebuah kartu yang terdapat tulisan أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. Iapun berkata, “Wahai Tuhanku apa nilainya kartu ini dibandingkan lembaran-lembaran catatan-catatan amal tersebut?”. Allah berkata, “Engkau tidak akan didzolimi”. Maka diletakkanlah lembaran-lembaran catatan amal tersebut di daun timbangan dan diletakkan juga kartu tersebut di daun timbangan yang satunya maka ringanlah lembaran-lembaran tersebut dan lebih berat kartu tersebut.” (HR Imam Ahmad dalam musnadnya 11/571 no 6994, At-Thirmidzi no 2639, dan Ibnu Maajah no 4300)

Kondisi seperti ini adalah kondisi (yang dialami oleh) orang yang mengucapkan syahaadat dengan ikhlas dan sungguh-sungguh sebagaimana yang diucapkan oleh orang diatas. Karena para pelaku dosa besar yang masuk ke dalam neraka semuanya juga mengucapkan (kalimat) Laa ilaaha illaallaah.” (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/219)

Banyak hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas, yaitu hadits-hadits yang menunjukkan sedikitnya amalan akan tetapi jika dibangun di atas keikhlasan yang tinggi maka akan mendatangkan maghfiroh (ampunan) Allah Ta’ala. Diantaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama;

“Tatkala ada seseorang berjalan di sebuah jalan maka ia mendapati dahan berduri di tengah jalan, maka iapun manjauhkan dahan tersebut maka Allahpun membalasnya dan memaafkan dosa-dosanya.” (HR Al-Bukhari no 652 dan Muslim no 1914)

Oleh karenanya benarlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama; “Janganlah engkau menyepelakan kebaikan sedikitpun, meskipun hanya senyuman tatkala bertemu dengan saudaramu.” (HR Muslim no 2626)

Jika senyuman tersebut dibangun di atas keikhlasan yang tinggi dari lubuk hati yang paling dalam maka bisa jadi merupakan sebab datangnya maghfiroh dari Allah Azza wa Jall. Al-Imam Ibnul Mubarok pernah berkata: “Betapa banyak amal yang kecil menjadi bernilai besar karena niat, dan betapa banyak amalan besar yang menjadi bernilai kecil karena niat.” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam hal 13)

Oleh karenanya jangan sampai kita salah menafsirkan, yakni tatkala membaca hadits di atas (i.e tentang kisah wanita pezina yang diampuni dosa-dosanya hanya karena memberi minum kepada seekor anjing, red) lantas menyangka bahwa siapa saja yang memberi minum kepada seekor anjing maka dosa-dosanya akan terampuni, demikian pula halnya (bahwa), tidaklah semua orang yang memindahkan duri dari tengah jalan maka otomatis terampuni dosa-dosanya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Wanita (pezina) ini memberi minum kepada seekor anjing dengan keimanan yang murni yang terdapat dalam hatinya maka iapun diampuni (oleh Allah), tentu saja tidak semua pezina yang memberi minum kepada seekor anjing maka akan diampuni. Demikian pula lelaki yang menjauhkan dahan berduri dari tengah jalan, tatkala ia melakukannya dengan keimanan yang murni dan keikhlasan yang memenuhi hatinya, (maka) ia pun diampuni karenanya. Sebab sesungguhnya amalan-amalan (itu) bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keimanan dan keikhlasan yang ada di hati. Sesungguhnya ada dua orang yang berdiri dalam satu shaf sholat akan tetapi pahala sholat mereka jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya seperti jauhnya jarak antara langit dan bumi. Dan tidak semua orang yang memindahkan dahan berduri dari tengah jalan otomatis diampuni dosa-dosanya.” (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/221-222)

Source: www.firanda.com dengan sedikit pengeditan.

[Baca Selengkapnya...]


Vacancy @PT. Total E&P Indonesie



TOTAL is the world’s fifth-largest international oil and gas company and a world-class chemical manufacturer which employs more than 110,000 people in over 130 countries worldwide.

TOTAL E&P INDONESIE is a 100% Indonesian Subsidiary of the Paris based TOTAL Group, having its Head Office in Jakarta and operational sites in East Kalimantan. Due to the high-level development activities to meet the increasing hydrocarbon production commitment, TOTAL E&P INDONESIE invites highly qualified professionals to apply for the following positions:


TELECOMMUNICATION ENGINEER (OPERATION & MAINTENANCE) (IST 1102) (10016084)

Job description

include but not limited to :

Responsible for operation and maintenance of assigned system

Review, monitor and issue related report of the system performance in periodic basis

Lead troubleshooting of any level 1 problem and define the root cause for escalation to level 2

Propose improvement / development of the system

Update documentation on configuration and architecture

Perform daily coordination of technicians and contracted resources

Involve in procurement process including issuance of related documentation for procurement

Monitor the implementation of Government regulations and policies in his system domain

Required skills

Bachelor Degree in Telecommunication Engineering/ Electrical Engineering/ other Engineering major that related with Telecommunication

Experience Minimum 3 years of experience in related field.

Skills;

a. data communication and infrastructure

- IP networking (Cisco certified will be an advantage)

- wireless transport (BWA, Wireless WAN/LAN),

- Satellite transmission (VSAT),

- terrestrial infrastructure (microwave)

- telemetry and telecontrolling

b. voice communication

- radio (conventional, trunking, aero and maritime),

- PABX - telephony (analog and digital / IP)

- PAGA

c. video communication

- digital and analog surveillance system / cctv,

- SMATV, DVB

d. cabling installation and standard (copper and fiber optic)

Having experience of managing a small team (3 - 5 people)

Fluent in English (verbal and written)

Famliliar with all Office Standard Softwares


Interested applicants could apply to : www.careers.total.com (select country: Indonesia) or to

ep-id-drh.recruitment@total.com (indicating the position applied in the email subject)

General Requirement: willing to be relocated to Balikpapan (Balikpapan base)

[Baca Selengkapnya...]


 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula