Nikmat Yang Membawa Sengsara: Sebuah Renungan



Ada sembilan poin yang dipaparkan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah –semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala merahmatinya- ketika menjelaskan keadaan kekayaan dan harta yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an. Penukil dalam hal ini hanya akan menuliskan satu dari sembilan poin yang ada dalam kitab ‘Uddatush Shaabirin (i.e poin ke-delapan). Semoga bermanfaat.

Beliau rahimahullaahu berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa berlomba-lomba mengumpulkan harta dan lainnya dapat menyibukkan dan melalaikan manusia dari mengingat akhirat dan dari persiapan diri menuju ke sana. Allah Ta’ala mengecam hal yang demikian sebagaimana tercantum dalam firman-Nya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu mengunjungi kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat dari perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.” (QS. At-Takatsur: 1-4)

Allah Subhaanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa bermegah-megahan itu termasuk kesibukan yang melalaikan penghuni dunia dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Hari Akhir hingga maut menjemput mereka. Sehingga mereka mendatangi kuburan dalam keadaan masih belum terbangun dari kelalaian dalam sikap bermegah-megahan itu. Dalam ayat tersebut juga disebutkan bahwa mereka mengunjungi kuburan, hal ini mengisyaratkan bahwa mereka tidak akan menetap di alam kubur itu (selamanya). Alam kubur bukanlah akhirat bagi mereka. Mereka hanya sekedar berkunjung selama beberapa waktu lalu meninggalkannya. Hal ini seperti sewaktu mereka di dunia yang melakukan ziarah kubur (datang kemudian pergi, red). Adapun akhirat bagi mereka adalah surga atau neraka.”

Seperti apakah bermegah-megahan yang melalaikan itu?. Mari kita ikuti penjelasan beliau rahimahullaahu berikutnya.

“Dalam ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’ala tidak menyatakan dengan jelas bentuk kemegahan dan perlombaan di dunia. Hal ini bisa bermakna bahwa kecaman itu ditujukan kepada perlombaan dan bermegahan itu sendiri, bukan pada bentuk yang diperlombakan atau dibuat ajang bermegah-megahan[1]. Sebagaimana disebutkan, “Engkau disibukkan dengan permainan dan kelalaian.” Dalam redaksi ini tidak disebutkan permainan atau kelalaian apa yang dilakukan. Atau bisa juga dimaksudkan secara mutlak, yakni apa saja bentuk fasilitas duniawi berupa harta benda, jabatan, budak, bangunan, tanaman, ilmu yang tidak ditujukan untuk ridha Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan amal perbuatan yang tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, yang dilombakan dan dimegahkan. Ini semua termasuk bermegah-megahan yang melalaikan diri dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Hari Akhir.

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abdullah ibn Asy-Syakhir bahwa dia bercerita: ‘Aku datang pada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama ketika beliau sedang membaca surat al-haakum at-takaatsur. Beliau lalu bersabda, “Anak Adam mengatakan, ‘Hartaku…hartaku…’ Padahal adakah dari hartamu itu selain dari apa yang engkau sedekahkan kemudian engkau relakan, atau yang engkau makan yang kemudian engkau musnahkan, atau yang engkau pakai yang kemudian engkau lusuhkan?.” (HR. Muslim No. 3 dalam Az-Zuhd, At-Tirmidzi No. 2342, dan An-Nasa’I vol. 6, hlm. 238)

Kemudian Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang yang lalai oleh sikap bermegah-megahan itu dengan ancaman yang berat ketika menjelaskan bahwa bermegah-megahan seperti itu tidak ubahnya debu yang berterbangan. Dia juga menjelaskan bahwa dunia yang mereka jadikan perlombaan itu hanyalah tipuan dan bujukan belaka. Maka dia pun mendapati akibat dari bermegah-megahan itu merugikan dan tidak menguntungkan. Bermegah-megahan itu ternyata merugikan, sehingga apa yang dia dapati dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Sikap bermegah-megahan yang menjadikannya sibuk dari mengingat Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Hari Akhir itu merupakan salah satu sebab terbesar siksaan yang dialaminya. Maka diapun disiksa karena sikap bermegah-megahannya sewaktu di dunia. Akibat kelakuannya itu, dia disiksa di alam Barzakh lalu disiksa lagi di Hari Kiamat. Maka jadilah dia orang yang paling celaka disebabkan oleh bermegah-megahan itu.

Dia hanya mendapatkan kesengsaraan, bukan keberuntungan dan keselamatan. Dia pun menjadi orang yang merugi dan hina. Dia tidak lagi menjaga kekuasaannya sewaktu di dunia. Seperti itulah bermegah-megahan, betapa hinanya!, duhai bencana alangkah dahsyatnya!, duhai kekayaan yang mengantarkan pada segala kemelaratan!, duhai nikmat yang membawa sengsara ketika tabir disingkap, pelakunya akan berucap, “Alangkah baiknya, sekiranya aku (di dunia, sebelum kematianku) dahulu mengerjakan (bentuk-bentuk ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala) untuk kehidupanku (di akhirat) ini.”

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Wahai Tunanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan,’. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”. (QS. Al-Mu’minun: 99-100). Itu adalah kata-kata yang mereka ucapkan dan permintaan kembali yang tidak akan pernah dituruti.

Renungkanlah firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala tadi. Kata “Rabbi” (wahai Tuhanku) adalah ungkapan permohonan orang yang sengsara di akhirat kepada Rabbnya, namun Allah tidak bergeming. Kemudian dia berpaling kepada malaikat yang diperintahkan untuk menghadirkan dirinya dihadapan Rabbnya. Dia pun berkata kepada malaikat, “irji’uni” (kembalikanlah aku). Lalu disebutkan bahwa alasan dia memohon agar dikembalikan ke dunia adalah untuk melakukan amal shalih yang belum dia lakukan dengan hartanya, pangkat/jabatannya, kekuasaannya, kekuatannya, fasilitas atau sarana miliknya yang lain. Lantas dikatakan kepadanya, “kalla” (sekali-kali tidak); tidak ada jalan bagimu untuk kembali, engkau telah diberikan umur yang panjangnya sama dengan umur orang lain yang tidak lalai. Berhubung sifat Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang adalah memenuhi permohonan orang yang tulus dan melonggarkan waktu sekiranya dengan itu dia benar-benar insyaf, Allah Subhaanahu wa Ta’ala pun memberitahukan bahwa permohonan kembali (ke dunia) orang yang melampaui batas (ghuluw) itu hanyalah omong kosong belaka, bukan permohonan sesungguhnya. Sebab perangai aslinya adalah enggan beramal shalih. Seandainya permohonan itu dikabulkan sekalipun, dia tetap akan melakukan hal-hal yang dilarang Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Jadi dia termasuk orang-orang yang dusta dalam permohonannya.

Keputusan Allah yang Mahabijaksana, Kekuasaan, Pengetahuan dan Keterpujian-Nya (adalah) menolak memenuhi permohonannya tersebut. Permintaan itu tidak bermanfaat sama sekali. Jikalau dia dikembalikan, maka keadaannya yang kedua ini akan sama seperti keadaannya yang pertama, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, “Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, ‘Sekiranya kami dikembalikan (ke dunia), niscaya kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman’, Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka.” (QS. Al-An’am: 27-28)”.

--- Selesai kutipan ---


Sumber: ‘Uddatus Shaabirin hal. 296-298

____________________________

[1]. Persis seperti penjelasan Al-Imam Ibnu Muflih Al-Maqdisi rahimahullah, “Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi (dicela) karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi (dipuji) karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) radhiallahu ‘anhu dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu. Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan, serta kedekatan kepada-Nya….”. [Kitab Al-Aadaabusy Syar’iyyah (3/469)]



0 Respones to "Nikmat Yang Membawa Sengsara: Sebuah Renungan"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula