Pelajaran Berharga Dari Wanita Bani Isra’il



Nasihat berharga selalu datang dari ad-dien yang mulia ini, dari Allah Tabaaraka wa Ta’ala dan rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, dan tidak dari selain keduanya. “Addienun Naashihah (agama adalah nasihat)”, begitu kata beliau. Dan berikut ini adalah sebuah nasihat yang bisa menjadi bahan perenungan bagi kita semua (terlebih-lebih saya yang bodoh ini) dari kisah wanita Bani Israil. Mudah-mudahan bermanfaat.

Diriwayatkan dalam al-Muwaththa’ (karya al-Imam Malik bin Anas -raheemahullaahu-, red), dari al-Qasim ibn Muhammad, dia berkata bahwa istrinya meninggal dunia, lalu Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi datang bertazkiyah kepadanya. Al-Qurazhi kemudian menuturkan:

Alkisah, di kalangan Bani Israil ada seorang laki-laki yang faqih, ahli ibadah, ‘alim, dan suka berjihad. Dia memiliki seorang istri yang sangat dia sukai. Ketika istrinya meninggal dunia, dia sangat berduka cita, menyendiri di suatu rumah dan menguncinya, serta tidak mengizinkan siapapun masuk menemuinya.

Kemudian seorang wanita Bani Israil mendengar tentang keadaannya, lalu dia mendatanginya lalu berkata, “Aku memiliki keperluan untuk meminta fatwa darinya, yang apabila dia tidak mengizinkanku masuk ke rumahnya maka aku tidak akan mengetahui jawabannya.”

Orang-orang pun mengantarkan wanita itu kepadanya. Setelah mengetuk pintu, mereka memberitahukan kepadanya (mengenai) keinginan wanita itu. Dia pun (akhirnya) mengijinkan wanita itu masuk. Wanita itu berkata, “Aku meminta fatwa kepadamu tentang suatu perkara.”

“Apakah itu?”, tanyanya.

Wanita itu berkata, “Aku meminjam perhiasan dari tetangga perempuanku. Aku lalu memakainya dan meminjamnya dalam waktu yang lama, kemudian tiba-tiba dia menyuruh seseorang datang kepadaku untuk memintanya, apakah aku harus mengembalikannya?”

“Ya, tentu saja”, jawabnya.

Wanita itu bertanya lagi, “Tapi demi Allah, perhiasan itu telah lama ada padaku?”

“Itu sudah menjadi haknya untuk engkau kembalikan”, jawabnya tegas.

Wanita itu berkata, “Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala merahmatimu, apakah engkau juga tidak mau mengembalikan apa yang telah Allah pinjamkan kepadamu (i.e istrinya), yang kini sudah Dia ambil darimu, dan Dia memang lebih berhak darimu?”

Laki-laki itupun tersadar akan kealfaannya selama ini. Allah Tabaaraka wa Ta’ala telah memberikan manfaat dari kata-kata wanita itu”. [Al-Muwaththa’ vol. 2, hal. 237]


Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah diatas adalah:

[1]. Sudah seharusnya kita sebagai hamba yang dha’if, faqir lagi bodoh ini ikhlas dan bersabar dalam menghadapi ujian dan musibah dari Allah Ta’ala. Apa yang Dia ambil dari sisi makhluk adalah mutlak milik-Nya dan Dia berhak melakukan apapun yang dikehendaki-Nya. Dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Usamah ibn Zaid, dia bercerita:

Putri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama mengutus orang kepada beliau untuk menyampaikan pesan, “Salah seorang putraku sedang menghadapi kematian maka datanglah kepada kami.”

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama kemudian mengutus seseorang untuk menyampaikan salam dan pesannya, “Adalah milik Allah Ta’ala apapun yang Dia ambil, dan milik-Nya pula apa pun yang Dia beri. Segala sesuatu di sisi-Nya telah ditentukan ajalnya. Maka hendaklah ia bersabar dan mengharapkan pahalanya.”

Putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama itu kemudian mengutus orang lagi kepada beliau dengan membawa pesan, bahwa dia bersumpah agar beliau mau datang ke rumahnya. Akhirnya beliau berangkat bersama Sa’ad ibn Ubadah, Mu’adz ibn Jabal, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit dan beberapa orang lainnya.

Anak kecil yang sedang menghadapi kematiannya itu diangkat kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan didudukkan di pangkuannya. Melihat anak itu bergerak lunglai, beliaupun meneteskan air mata.

Wahai Rasulullah, apakah artinya tangisan ini?”, tanya Sa’ad.

Beliau menjawab, “Inilah kasih sayang yang Allah sisipkan ke dalam hati hamba-hambaNya yang Dia kehendaki dan Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang.” [HR. Al-Bukhari No. 5655 dan Muslim No. 11 dalam al-Jana’iz]

[2]. Instrospeksi diri dan mengambil hikmah dari ujian/musibah tersebut.

Diriwayatkan dalam Jami’ At-Tirmidzi, dari seorang syaikh dari Bani Murrah, dia bercerita:

Setibaku di Kuffah, aku diberitahukan tentang Bilal ibn Abi Burdah, kemudian aku berkata (dalam hati), “Di dalam dirinya pasti terdapat sesuatu yang bisa dijadikan pelajaran.” Maka aku mendatanginya.

Ternyata dia sedang mengurung dirinya di rumah yang dulu terbangun indah, dan ternyata segala keadaannya telah berubah; tampak padanya seperti bekas siksaan dan pukulan dan dia seperti berada di tempat sampah.

Aku berkata kepadanya, “Segala puji bagi Allah. Wahai Bilal, aku dulu pernah melihatmu melintasi kami, sementara engkau memegang hidungmu tanpa ada debu yang menempel padamu, dan kini engkau dalam keadaan seperti ini. Bagaimana kesabaranmu sekarang?”

Dia bertanya, “Dari Bani apakah engkau?”

“Dari Bani Murrah ibn Ubbad”, jawabku.

Dia berkata, “Maukah engkau kuberi tahu tentang suatu perkataan, yang bisa jadi Allah Ta’ala memberimu manfaat darinya?”

“Katakanlah!”, tegasku.

Dia berkata, “Abu Burdah (ayahku) menceritakan kepadaku dari Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Seorang hamba tertimpa suatu musibah, atau yang lebih dari itu atau yang kurang dari itu, hanyalah akibat dari suatu dosa (yang telah ia perbuat). Dan dosa yang Allah ampuni adalah (sebuah karunia yang) lebih banyak (daripada musibah itu)”.

Kemudiaan Dia membacakan firman Allah Ta’ala, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. (QS. Asy-Syura: 30) [HR. At-Tirmidzi No. 3252]

Wallaahu a’lam.


Kisah diatas di-copas dari ‘Uddatush Shaabirin, karya al-Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.

Gd. TTC Soetta 1st Floor No. 707, Bandung, West Java.



0 Respones to "Pelajaran Berharga Dari Wanita Bani Isra’il"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula