Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al-Marwazy Al-Baghdadi –raheemahullaahu- berkata, Abu Al-Mughirah menyampaikan kepada kami, Shafwan menyampaikan kepada kami dari Yazid ibn Maisarah, dia bercerita:
Di zaman dahulu, seorang laki-laki menimbun kekayaan dan menyimpannya (tanpa diinfakkan). Pada suatu hari, sewaktu sedang berada di tengah-tengah keluarganya, dia berkata kepada dirinya sendiri, “Aku bisa hidup enak bertahun-tahun lamanya (dengan harta sebanyak ini).”
Tidak lama kemudian, malaikat pencabut nyawa mengetuk pintu rumahnya dalam rupa orang melarat (miskin). Orang-orang rumah keluar menemuinya, lalu sang malaikat berkata, “Panggilkanlah tuan rumah untukku.”
Mereka menjawab, “Tuan kami sedang keluar rumah menemui orang sepertimu.”
Sang malaikat meninggalkannya sejenak, lalu kembali mengetuk pintu seperti tadi dan berkata, “Sampaikan kepadanya bahwa aku adalah malaikat pencabut nyawa.”
Mendengar hal itu si tuan rumah jatuh terduduk saking takutnya, lalu ia berbicara kepada orang-orang di rumahnya, “Bicaralah dengan halus kepadanya.”
Mereka (mulai) menawar, “Apakah ada orang yang engkau kehendaki selain tuan kami? Semoga Allah Azza wa Jalla memberkati anda.”
“Tidak.”, jawab sang malaikat maut.
Kemudian sang malaikat pencabut nyawa masuk menemuinya dan berkata, “Berdiri dan berwasiatlah karena aku akan mencabut nyawamu sebelum aku keluar dari sini.”
Lantas para penghuni rumah menjerit dan menangis. Si tuan rumah berkata kepada mereka, “Bukalah peti-peti harta.”
Mereka pun membuka semuanya. Kemudian si tuan rumah menghampiri harta kekayaannya itu dan mencaci makinya dengan berkata, “Engkau harta terlaknat!, engkaulah yang membuatku melupakan Rabbku dan membuatku terlalu sibuk untuk beramal (shalih) demi akhiratku sampai ajal menjemputku.”
Tiba-tiba harta kekayaan berbicara, “Jangan cela diriku! Bukankah engkau dahulu orang hina di mata manusia, lalu aku menolongmu?? Bukankah kamu dipandang orang karena pengaruhku?? Dengankulah engkau sampai di istana-istana para raja dan para pemimpin dan (akhirnya) kamu bisa masuk. Sementara hamba-hamba yang shalih juga sampai disana, namun mereka tidak bisa masuk. Dengankulah engkau melamar putri-putri raja dan para pemimpin, lantas kamu dikawinkannya. Sementara hamba-hamba Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang shalih juga melamarnya, namun mereka ditolak. Bukankah engkau membelanjakanku di jalan yang buruk lalu aku tidak bisa menentangmu?? Seandainya engkau membelanjakanku di jalan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, akupun tidak bisa menentangmu. Engkau lebih tercela daripada aku. Aku dan engkau wahai anak Adam, sama-sama makhluk yang diciptakan dari tanah, namun ada yang membawa pahala dan ada pula yang membawa dosa.” Demikianlah penuturan harta, maka waspadalah.
Sa’id ibn Musayyab berkata, “Tidak ada kebaikan dalam diri orang yang tidak mau mengumpulkan harta yang halal, yang dengannya dia bisa menghindari rasa malu (dari) meminta-minta kepada orang lain, (yang) dengannya ia bisa bersilaturahim dan dengannya ia bisa menunaikan haknya.”
Yusuf ibn Sibath berkata, “Harta yang tercela hanyalah harta yang diperoleh tidak sebagaimana mestinya (i.e dari sumber dan dengan cara yang tidak halal, red), yang dibelanjakan tidak pada tempatnya, yang memperbudak tuannya, yang menguasai hati dan melalaikannya dari Allah Azza wa Jalla dan negeri akhirat. Ia tercela karena merusak atau melalaikan tujuan-tujuan yang terpuji. Jadi, celaan itu ditujukan kepada subjek, bukan objek.
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Celakalah hamba dinar, celakalah budak dirham..” (HR. Al-Bukhari No. 6435). Beliau mengecam orang yang menjadi budak dinar dan dirham, bukan dinar atau dirham itu sendiri.”
=== Selesai kutipan ===
Di-“copas” dari ‘Uddatush Shaabirin hal. 415-417, karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah
Gd. TTC Soetta 1st Floor, No.707 Bandung.
0 Respones to "Kekayaan Yang Tercela"
Posting Komentar