Klusterisasi Dalam Bisnis Seluler



Apakah Hard Cluster itu?. Orang yang berkecimpung di dunia telekomunikasi tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah tersebut. Singkatnya, hard cluster atau klusterisasi merupakan kebijakan/startegi operator seluler yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan (availability) pulsa di pasaran, menjaga stabilitas harga sekaligus mendorong pengusaha lokal agar mampu mengembangkan dan mengoptimalkan potensi pasar seluler di wilayahnya. Selain itu, hard cluster juga bertujuan untuk mencegah dan memonitor penyalahgunaan distribusi barang yang berakibat pada kelangkaan pulsa dan disparitas (perbedaan, red) harga yang merugikan pelanggan operator yang bersangkutan. Secara teknis, kebijakan ini diterapkan dengan cara mengkotak-kotakan atau memetakan sebuah region ke dalam cluster-cluster (wilayah) yang lebih kecil kemudian menempatkan satu authorized dealer di masing-masing cluster sebagai kepanjangan tangan dari operator tersebut dalam mengatur distribusi (sirkulasi) barang (voucher, perdana) ke reseller, outlet maupun end-user di clusternya. Tidak itu saja, reseller atau outlet yang terdaftar di sebuah cluster tertentu juga tidak diperbolehkan menjual voucher keluar dari clusternya. Hal inilah yang memicu reaksi/ protes sebagian kalangan pengusaha pulsa termasuk server player yang hidup dari business ini. Mengapa mereka keberatan dengan kebijakan tersebut?.

Ada beberapa alasan yang menjadi pokok kekhawatiran mereka selama ini, yakni:

[1]. Mereka khawatir tidak bisa menghabiskan stock voucher yang mereka miliki (jika hanya diharuskan menjual) ke outlet-outlet di cluster yang mereka pegang. Sebelum hard cluster diberlakukan, mitra dealer bisa dengan leluasa menjual dan menghabiskan stock voucher keluar wilayah clusternya. Dengan menurunkan harga barang lebih rendah dari harga pasar, atau lebih rendah dari harga lead dealer yang memegang cluster yang dituju, stock voucher (yang tersisa) bisa lebih cepat terserap di cluster tetangganya disebabkan permintaan pasar yang tinggi. Bagi sebagian dealer, stock merupakan modal yang tertahan, apabila tidak segera dilikuidasi, maka mitra dealer tidak akan mendapatkan suntikan dana segar yang mencukupi (khususnya dealer-dealer kecil, red). Sedangkan para dealer wajib menyetorkan sejumlah modal (baca: initial cost) ke operator agar bisa mengambil voucher siap jual tiap minggunya.

[2]. Jika hard cluster diberlakukan, maka ruang gerak mereka yang selama ini luas dan bebas menjadi kian terbatas. Bagi mitra dealer, pelanggaran-pelanggaran yang nantinya dilakukan (seperti cross region, cross cluster dll, red) bisa menjadi boomerang dan bom waktu yang mengancam dan merusak eksistensi bisnis dan hubungan kemitraan dengan operator (yang terjalin dengan baik selama ini) meskipun -pada case-case tertentu- pihak operator masih mau mendengar dan bersedia memberikan toleransi/keringanan. Namun perlakuan khusus yang berbentuk toleransi ini tidak akan selamanya diberikan oleh operator, adakalanya punishment untuk kasus pelanggaran berat diterapkan, mulai dari teguran dan surat peringatan, diturunkannya nilai Key Performance Indicator (KPI), hingga (scenario terburuknya:) pemutusan ikatan kerjasama secara sepihak oleh operator. Jika worst case tersebut terjadi, apakah operator rugi dalam hal ini?, mungkin saja, namun opsi yang dimiliki operator nyatanya tetap melimpah, bisa saja operator memberikan cluster (yang ditinggalkan pemilik lama) ke mitra dealer lain yang (selama ini) memiliki kinerja yang mumpuni, atau bisa juga merangkul para calon mitra dealer baru yang rela mengantri agar bisa mengikat kerja sama dengan operator tersebut. Para mitra dealer itu tahu betul kalau bisnis (dalam bidang ini) sangat menguntungkan. Betapa tidak, dengan hanya menjual voucher seharga bandrol operator saja sudah untung, apalagi jika prosentase marginnya diperbesar. Bagi Multiserver, kebijakan ini dianggap “mencekik leher” mereka. Kenapa?, sebab stock melimpah yang biasanya bisa mereka dapatkan dari dealer, kuantitasnya semakin dibatasi (per A number) dan kebebasan mereka untuk melakukan recharge pulsa ke luar cluster/region pun ikut terbelenggu. Jika mau menambah stock, mereka harus rela membeli RS baru. Jika mau merecharge B number keluar cluster/region-nya, tidak ada pilihan yang lebih baik bagi mereka selain menggunakan jalur host-to-host (demi menghindari suspend, red). Demikian pula bagi outlet-outlet pulsa (khususnya mereka yang mengambil stock multichip dari multiserver, red). Jika stock server terbatas dan sulit didapatkan, maka mereka pun ‘terpaksa’ harus membeli stock A number langsung ke lead dealer agar dapur mereka tetap berasap, dan ‘terpaksa’ pula membeli hp baru untuk menanamkan chip A numbernya (jika frekuensi transaksi per harinya besar, red). Akibatnya cost semakin meningkat dan margin keuntungan yang didapat pun turut berkurang.

[3]. Terjadinya monopoli harga oleh Mitra Dealer di clusternya. Dulu, multiserver atau outlet masih bisa bebas mengambil stock dari dealer manapun yang mereka anggap cocok baik dari sisi harga maupun pelayanannya, tapi jika hard cluster diterapkan, multiserver dan outlet mau tidak mau harus mengambil stock dari lead cluster di wilayahnya sekalipun harga voucher yang dibandrol lead dealer tinggi. Mengapa?, karena dealer lain diluar clusternya tidak lagi berani menjual langsung A number (RS) beserta stocknya keluar clusternya (kecuali lewat host to host, red). Kalaupun mereka memaksakan diri menjual A number ke luar clusternnya, nomor RS tersebut juga tidak bisa digunakan (tapi saat ini sepertinya masih bisa, red). Jika masih membandel, operator dipastikan akan menghukum dealer yang bersangkutan (catatan: jika operator benar-benar konsisten dengan aturan yang dibuatnya, red). Namun kekhawatiran praktek monopoli ini bisa ditanggulangi dengan cara menyamakan/menyeragamkan harga transfer price (harga dealer ke outlet, red) dan menghukum dealer yang menaikan margin harga diluar batas kewajaran.

Namun demikian yang namanya kebijakan tentu tidak selamanya membahagiakan semua pihak sebagaimana prinsip dasar: “Tidak setiap kebijakan itu menguntungkan dan memuaskan semua pihak.” Ada yang pro dan ada pula yang kontra, ada plusnya ada pula minusnya. Beberapa alasan dasar mengapa hard cluster diberlakukan pun telah disampaikan operator (sebagaimana penjelasan sebelumnya, red) meskipun implementasinya terkadang masih tidak sesuai dengan harapan. Alasan lainnya (mengapa hard cluster ini diimplementasikan) antara lain:

[1]. Adanya jaminan dari operator akan ketersediaan pulsa bagi end-user di area manapun dengan harga yang lebih stabil atau tidak jauh berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya (poin ini masih menjadi titik lemah operator, red).

[2]. Mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat dalam penyediaan pulsa untuk masyarakat sebagai dampak dari terbangunnya mekanisme keseimbangan antara pasokan (supply) dan permintaan (demand) pulsa di satu wilayah/area. Terciptanya iklim usaha yang sehat juga akan mendorong semakin tumbuh dan berkembangnya para pengusaha kecil dan menengah dalam melakukan bisnis penjualan pulsa di wilayah operasional masing-masing.

[3]. Himbauan pemerintah bagi para pelaku usaha untuk dapat menjamin ketersediaan produk dan jasanya untuk masyarakat dimanapun mereka berada sesuai dengan wilayah operasional pelaku bisnis yang bersangkutan, dan lain-lain.

Sebagian dealer, pemain server dan outlet barangkali beranggapan bahwa operator seluler akan menemui kesulitan dalam mengontrol dan mengawasi pelaksanaan implementasi kebijakan mereka, khususnya operator yang membagi regionnya ke dalam beberapa cluster/wilayah kerja yang lebih kecil. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, “Apakah operator-operator itu mampu mendeteksi dealer, pemain server (multiserver) dan outlet yang melakukan pelanggaran transaksi (i.e recharge pulsa cross region dan cross cluster, red)?. Jawabannya bisa iya bisa pula tidak. Perhatikan gambar dibawah ini:


Gambar diatas merupakan capture-an BTS (Base Transceiver Station) beserta arah sector-sectornya di MapInfo (baik GSM, DCS maupun 3G). Perhatikan 3 bulatan putih di border berwarna hijau tua diatas. Itu merepresentasikan outlet yang terdaftar di cluster hijau tua. Dan perhatikan pula 3 bulatan putih di border berwarna kuning, itu merepresentasikan outlet yang terdaftar di cluster kuning. Contoh penerapan konsep hard cluster dalam hal ini adalah: System akan mendeteksi terjadinya pelanggaran apabila outlet yang terdaftar di cluster hijau tua membeli atau mengambil stock voucher/perdana kepada dealer penguasa (lead cluster, red) cluster kuning. Dalam prinsip hard cluster, outlet yang terdaftar di cluster kuning seharusnya membeli stock voucher/perdana kepada lead cluster kuning bukan kepada lead cluster hijau tua, begitu pula sebaliknya. Mengapa? Karena operator telah melakukan perhitungan stock di masing-masing cluster sekaligus buffernya secara seksama sesuai kebutuhan cluster dan historical penyerapan stock market tiap minggunya (di masing-masing cluster tersebut) sehingga apabila cross cluster/region dilakukan, maka dikhawatirkan stock market yang tersedia di pasar tidak mampu mencukupi atau bahkan melebihi kebutuhan cluster-cluster tersebut. Inilah yang kerap terjadi akhir-akhir ini. Prinsip lainnya adalah, jika outlet-outlet yang terdapat di cluster hijau tua (pemilik A number semisal M-Kios, Dompu, M-Tronik dll, red) merecharge pulsa customer (B number, red) yang ada di cluster wilayah kuning misalnya, system juga akan mendeteksi kasus ini sebagai pelanggaran. Yang benar adalah outlet cluster hijau hanya diperbolehkan mengisikan pulsa end-customer yang berada di wilayahnya (sebagaimana alasan diatas, red). Ini sudah menjadi kesepakatan antara operator pemilik produk dan mitra dealernya. Tujuan akhir keduanya pada prinsipnya sama, yakni bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya, namun pihak operator yang menjadi mata rantai utama bisnis ini memiliki ekspektasi besar yang lain, yakni tetap terkontrolnya supply and demand, terkontrolnya harga, serta tetap sehatnya persaingan para mitra bisnis yang berada dibawah chain-nya. Mitra dealer adalah ujung tombak dari operator, oleh karenanya operator berharap banyak pada kinerja positif mitra-mitranya. Yang diharapkan operator-operator itu adalah mitra dealer tidak hanya focus mengejar keuntungan belaka dengan hanya “membuang” atau menghabiskan stock voucher/perdana kemanapun ia mau (meskipun harus menjualnya ke luar clusternya, red), namun juga bisa menjadi partner yang baik dengan mengembangkan, memaksimalkan dan memaintain potensi clusternya sendiri. Perubahan pola bisnis ini memang dirasakan sulit oleh sebagian pihak (terutama server dan outlet, red) namun apabila semuanya berkomitmen untuk serius menjalankannya, kesulitan itu bisajadi akan berbuah manis di akhirnya.

Sedikit menyinggung masalah “buang-membuang stock” ke cluster/region lain, operator akan melakukan investigasi dengan cara menurunkan data transaksi end-customer (B number) dan data transaksi outlet (A number) secara detail dari BTS. Kemudian operator akan melakukan cross check berdasarkan data latitude dan Longitude outlet di setiap cluster untuk memastikan posisi fisik masing-masing outlet dan untuk mengetahui secara pasti oleh BTS manakah outlet tersebut dicover. Ketika outlet X yang terdaftar di cluster hijau tua misalnya, merecharge end-customer di cluster kuning, maka A number dari outlet X akan tercatat transaksinya di BTS yang berada di cluster kuning, tepatnya di BTS dimana end-customer tercover oleh signal salah satu sector BTS yang bersangkutan. “Sengaja dan tidak sengajanya” dealer, multiserver dan outlet melakukan transaksi lintas cluster bisa diketahui dari data ini, jadi tidak perlu kaget apabila operator/dealer melakukan suspend A Number (MKIOS, Dompu, M-Tronik dll) kepada server atau outlet tertentu yang terindikasi melakukan pelanggaran. Namun bisa saja ditemukan pengecualian di lokasi tertentu dimana beberapa server atau outlet yang (sebenarnya) sudah melakukan transaksi sesuai prosedur/aturan yang berlaku (i.e merecharge A number atau B number di clusternya) tertangkap di BTS cluster lain diluar clusternya (bukan di BTS cluster sendiri, red). Kejadian ini biasanya terekam di wilayah border sebagaimana ditunjukkan gambar diatas. Untuk case yang seperti ini biasanya dilakukan rekonsiliasi ulang oleh operator agar pihak mitra dealer, server maupun outlet tidak dirugikan (i.e diturunkannya nilai KPI untuk dealer yang berdampak pada pengurangan jatah voucher, disuspendnya nomer A number (MKIOS, Dompu, M-Tronik dkk) untuk multiserver dan outlet, red).

Mudah-mudahan coretan jelek diatas bermanfaat…




0 Respones to "Klusterisasi Dalam Bisnis Seluler"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula