Apakah rezeki yang terbaik itu adalah yang banyak jumlahnya (kuantitasnya, red)?, ternyata bukan guys. Rezeki yang terbaik itu adalah yang seukuran dengan kecukupan hamba. Rezeki itu tidak kurang sehingga tidak membahayakan hamba tersebut dan tidak pula berlebih sehingga tidak membuatnya ghuluw (melampaui batas) dan terlalaikan (dari kewajibannya terhadap Allah Subhaanahu wa Ta’ala, red).
Al-Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, Ibnu Mahdi menceritakan kepada kami, Hammam menceritakan kepada kami dari Qatadah, dari Khalid al-Ashri, dari Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama beliau bersabda, “Setiap kali matahari terbit pastilah dua malaikat diutus (untuk berada) di kanan dan kirinya. Mereka berseru keras sehingga terdengar oleh seluruh penduduk bumi selain bangsa jin dan manusia, ‘Wahai manusia, marilah menuju Rabb kalian. Karena apa yang sedikit tetapi mencukupi jauh lebih baik daripada banyak tetapi melalaikan.” (HR. Ahmad vol. V hal. 197 dan Al-Bukhari No. 1442 yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dengan ringkas)
Al-Imam Ahmad bin Hambal berkata, Waki’ menceritakan kepada kami, Usamah ibn Zaid menceritakan kepada kami dari Muhammad ibn Abdurrahman ibn Abi Labibah, dari Sa’ad ibn Malik radhiyallaahu ‘anhu yang berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Rezeki terbaik adalah yang mencukupi dan zikir terbaik adalah dengan suara pelan.” (HR. Ahmad vol. I, hal 172)
Penulis ‘Uddatus Shabirin mengatakan, “Renungkanlah penyatuan yang terdapat dalam hadits tersebut antara rezeki hati serta badan dan rezeki dunia serta akhirat, juga pernyataan bahwa rezeki terbaik adalah yang tidak melampaui batas. Dan cukuplah mengucapkan dzikir dengan suara pelan. Karena apabila dzikir itu diucapkan dengan suara yang terlampau keras maka dikhawatirkan pelakunya berbuat riya’ dan takabur.”
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama merasa iri dengan orang yang kekurangan harta namun beliau tidak pernah merasa iri dengan orang yang kaya (harta).
Al-Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, Waki’ menceritakan kepada kami, Ali ibn Shalih menceritakan kepada kami dari Abu Muhallab, dari ‘Ubaidillah ibn Zahr, dari Ali bin Yazid, dari Qasim, dari Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Sungguh orang yang membuatku iri di antara waliku adalah orang mukmin yang ringan bebannya, rajin shalatnya, beribadah kepada Rabbnya Azza wa Jalla dengan sebaik-baiknya, tidak terkenal sehingga tidak ditunjuk orang, disegerakan kematiannya, sedikit warisannya, dan sedikit orang yang menangisinya.” (HR. At-Tirmidzi No. 2347 dan Ahmad vol. V, hal. 252. Al-Imam At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan.”)
Penulis ‘Uddatus Shabirin mengatakan, “Penjagaan yang dilakukan Allah Subhaanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya dari dunia itu tidak lain merupakan anugerah kecintaan dan pemuliaan baginya (i.e hamba tersebut).”
Al-Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan, Abu Sa’id menceritakan kepada kami, Sulaiman Ibn Bilal menceritakan kepada kami dari Amir Ibn Abi ‘Amr, dari Ashim ibn Umar ibn Qatadah, dari Mahmud ibn Labid radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Allah Tabaaraka wa Ta’ala menjaga hamba-Nya yang beriman dari dunia. Dia mencintai hamba itu sebagaimana kalian menjaga orang-orang yang sakit di antara kalian dari makanan dan minuman yang kalian khawatirkan akan mereka konsumsi.” (HR. At-Tirmidzi No. 2036 dan Ahmad vol. V, hal. 328. Al-Imam At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan.”)
Ada yang menganggap bahwa dunia (harta benda, anak-anak, dll) yang diberikan kepada seseorang itu merupakan bentuk kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya, padahal tidaklah demikian. Al-Imam Ibn Al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Jarang sekali ada anugerah berupa kelapangan harta bagi seseorang. Yang sering adalah kelapangan harta itu merupakan istidraj[1] dari Allah Ta’ala, bukan pemuliaan dan bentuk kecintaan bagi orang yang bersangkutan.”
Al-Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, Yahya ibn Ghailan menceritakan kepada kami, Rasyidin ibn Sa’ad menceritakan kepada kami dari Harmalah ibn Imran at-Tujaibi, dari ‘Uqbah ibn Muslim, dari ‘Uqbah ibn ‘Amr radhiyallaahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bahwa beliau bersabda, “Apabila engkau melihat Allah Ta’ala memberikan dunia kepada seseorang dan juga hal yang dia sukai padahal dia gemar bermaksiat maka itu adalah istidraj.” Kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama membacakan firman Allah Tabaaraka wa Ta’ala, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu kesenangan untuk mereka…” (QS. Al-An’am: 44)
Karena kehinaan dunia di sisi Allah ta’ala itulah, Dia tidak memberikan dunia pada sebagian besar wali-wali dan para kekasih-Nya.
Al-Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, Abu Mua’awiyah menceritakan kepada kami, al-A’masy menceritakan kepada kami dari Salim ibn Abi Ja’d yang berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Di antara umatku benar-benar ada orang yang seandainya dia mendatangi rumah seseorang untuk meminta dinar kepadanya, niscaya orang itu tidak memberikannya. Seandainya ia meminta uang, niscaya orang itu tidak akan memberikannya. Namun seandainya ia meminta Surga kepada Allah Ta’ala, niscaya Allah memberikannya. Dan seandainya ia meminta dunia kepada Allah, niscaya Allah tidak memberikannya. Allah tidak memberikan dunia kepadanya karena kehinaan dunia itu di sisi-Nya.” (HR. At-Tirmidzi No. 3854, Ibnu Majah No. 4115 dan Ahmad vol. III hal. 145 dan vol. V hal. 408)
Penulis ‘Uddatush Shaabirin mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa Allah Tabaaraka wa Ta’ala tidak memberikan dunia kepada hamba itu dan mencegahnya darinya karena kehinaan dunia itu di sisi-Nya, bukan karena kehinaan hamba itu di sisi-Nya. Karena itulah, Allah Ta’ala memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik dan lebih agung nilainya daripada dunia. Allah Ta’ala memberikan dunia bagi orang yang Dia cintai dan juga kepada orang yang tidak Dia cintai, namun Ia hanya memberikan akhirat kepada orang yang Ia cintai saja.”
Diintisarikan seluruhnya dari ‘Uddatush Shaabirin wa Dzakiratus Syakirin, al-Imam ibn al-Qayyim al-Jauziyyah
Gd. TTC Soetta 1st Floor No.707, Bandung
____________________
[1]. Istidraj adalah pelimpahan harta atau kelapangan hidup kepada seseorang yang secara lahir tampak sebagai kenikmatan, namun pada hakikatnya adalah bencana yang mengakibatkan orang itu semakin banyak berbuat dosa dan semakin jauh dari Allah Tabaaraka wa Ta’ala.
0 Respones to "Rezeki Yang Terbaik"
Posting Komentar