So, just
sami’na wa atha’na saja, mengimani dan menerima apa yang sudah Allah Ta’ala dan
RasulNya tetapkan dan jelaskan dengan lapang dada. Masak sih (dalil yang sangat terang dan jelas begitu) masih juga
kita ingkari, apalagi dibenturkan dengan akal kita yang kadang jernih dan kadang keruh itu. Atau barangkali sampeyan mempunyai dalil
lain yang lebih rajih selain hujjah “logika” yang sering dijadikan barometer
kebenaran oleh ahlul kalam (Filsafat) dan kaum Mu’tazilah itu?.. J. Hanya Allah Ta’ala dan si pelaku saja yang tahu, apakah dia bersungguh-sungguh dalam
bertaubat kepada Allah Ta’ala (dari tindakan korupsinya), bersungguh-sungguh dalam
melakukan amal shalih, atau hanya sekedar bermain-main dan hanya ingin
“mengakal-akali” syariat saja…. Kenapa kita harus sewot dan merasa aneh ketika
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mengabarkan bahwa amal shalih itu bisa menghapus dosa-dosa?..
:D. Itulah sisi ke-Mahabaikan Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya, sekalipun
mereka mempunyai dosa setinggi langit atau membawa dosa sebanyak isi bumi… sekarang
tinggal manusianya saja mau bersungguh-sungguh dalam bertaubat dan beramal shalih
apa tidak atau hanya sekedar bermain-main saja…. Wallaahu a’lam,…”
Kemudian
Mr. A mengkritisi ucapan kami seraya mengatakan, “Jangan remehkan logika,… dst”.
Barangkali ini adalah reaksi spontan darinya atas kritikan kami terhadap cara dia beristidlal
–wallaahu a’lam- i.e membenturkan atau menimbang dalil yang shahih dengan
logika, kemudian menganggapnya “aneh” jika bertentangan dengan logika. Kami mempunyai jawaban singkat terkait reaksinya tersebut –dengan beberapa
tambahan redaksi-;
“Kami tidak
mengabaikan peran logika (secara mutlak) Pak, namun hanya (sekedar) menempatkan
logika pada tempatnya. Yakni, tidak menjadikan logika sebagai tolok ukur dalam menilai kebenaran
suatu masalah di atas syariat yang shahih. Itu adalah manhaj para shahabat dan para aimmah yang mengikuti mereka dengan ihsan. Para pendahulu kita yang shalih lo ya yang mengatakannya, bukan kami yang jahil ini, atau mutaakhirin yang sering anda quote kata-katanya di wall itu. Jika logika/akal kita sejalan
dengan syariat yang shahih dalam menilai keabsahan sesuatu, maka memang demikianlah
seharusnya. Tapi jika logika kita bertentangan dengan nash yang shahih, ya jangan
mengedepankan logika di atas nash karena bisa berkonsekuensi pada penolakan khabar shahih
tersebut (sebagaimana kaum Mu’tazilah menolak hadits-hadits shahih yang tidak sejalan
dengan logika mereka, red). Coba simak ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu
‘anhu berikut;
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا حَفْصٌ
يَعْنِي ابْنَ غِيَاثٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ
لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ
خُفَّيْهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ قَالَ
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ الْأَعْمَشِ بِإِسْنَادِهِ
بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ مَا كُنْتُ أَرَى بَاطِنَ الْقَدَمَيْنِ إِلَّا أَحَقَّ
بِالْغَسْلِ حَتَّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَمْسَحُ عَلَى ظَهْرِ خُفَّيْهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا
حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ لَوْ كَانَ
الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ بَاطِنُ الْقَدَمَيْنِ أَحَقَّ بِالْمَسْحِ مِنْ
ظَاهِرِهِمَا وَقَدْ مَسَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
ظَهْرِ خُفَّيْهِ وَرَوَاهُ وَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ بِإِسْنَادِهِ قَالَ كُنْتُ
أَرَى أَنَّ بَاطِنَ الْقَدَمَيْنِ أَحَقُّ بِالْمَسْحِ مِنْ ظَاهِرِهِمَا حَتَّى
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى
ظَاهِرِهِمَا قَالَ وَكِيعٌ يَعْنِي الْخُفَّيْنِ وَرَوَاهُ عِيسَى بْنُ يُونُسَ
عَنْ الْأَعْمَشِ كَمَا رَوَاهُ وَكِيعٌ وَرَوَاهُ أَبُو السَّوْدَاءِ عَنْ ابْنِ
عَبْدِ خَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ عَلِيًّا تَوَضَّأَ فَغَسَلَ ظَاهِرَ قَدَمَيْهِ
وَقَالَ لَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin al-‘Ala telah menceritakan kepada kami
Hafsh bin Ghiyats dari al-A’masy dari Abu Ishaq dari ‘Abdu Khair dari Ali radhiyallaahu
‘anhu dia berkata; “Seandainya agama (Islam) itu berdasarkan hasil pikiran
(logika, red), niscaya bagian bawah sepatu lebih pantas untuk diusap daripada
bagian atasnya, dan sungguh saya telah melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama mengusap bagian atas kedua khufnya”. Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam dia berkata;
Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abdul Aziz dari al-A’masy dengan
isnadnya, dengan hadits ini, dia (Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu)
berkata; “Saya tidak pernah membayangkan kecuali bahwa bagian bawah kedua
telapak kaki itu lebih pantas untuk dibasuh, sampai saya melihat Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama mengusap bagian atas kedua khuf beliau.”
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-‘Ala telah menceritakan kepada
kami Hafsh bin Ghiyats dari al-A’masy dengan hadits ini, dia (Ali bin Abi
Thalib radhiyallaahu ‘anhu) berkata; “Seandainya agama (Islam) itu berdasarkan
hasil pikiran (logika), tentulah bagian dalam kedua kaki lebih pantas untuk
diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama telah mengusap bagian atas kedua khufnya”. Dan diriwayatkan oleh Waki’
dari al-A’masy dengan isnadnya, dia (Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu)
berkata; “Saya pernah berpendapat bahwa bagian bawah telapak kaki itu lebih
pantas untuk diusap daripada bagian atasnya, hingga saya melihat Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama mengusap bagian luar (atas) keduanya.”
Waki’ berkata; Maksudnya sepasang khuf. Dan diriwayatkan oleh Isa bin Yunus
dari al-A’masy sebagaimana diriwayatkan oleh Waki’ dan diriwayatkan oleh Abu
as-Sauda dari Ibnu ‘Abdi Khair dari ayahnya dia berkata; ‘Saya pernah melihat
Ali berwudhu, dia membasuh bagian luar (atas) kedua telapak kakinya dan
berkata, “Seandainya bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallama,… lalu dia menyebutkan hadits tersebut.” (HR. Abu Dawud
No. 162, al-Baihaqi 1/292. Ad-Daruquthni 1/75, ad-Darimi 1/181, al-Baghawi No.
239 dan Ahmad No. 934 dan 970 dari berbagai jalan dan dinyatakan shahih oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish
al-Kabir 1/160)
Perhatikan
apa yang kami garis bawahi di atas Pak. Menurut akal, seharusnya bagian bawah khuf (yang mungkin terkontaminasi oleh najis atau kotoran) lebih layak untuk diusap atau dibersihkan daripada bagian
atasnya (yang tidak menempel langsung ke tanah). Demikian logika shahabat Ali bin Abi
Thalib radhiyallaahu ‘anhu sebelum beliau melihat langsung praktek
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam hadits di atas. Bukankah demikian Pak?, Tapi anehnya, pemahaman yang benar justru sebaliknya. Nah itulah yang saya maksud dengan “jangan mengedepankan logika” diatas wahyu,
apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan permasalahan syariat. Sayangnya cara pandang ini terjadi pada case anda (diatas). Saya coba kutip lagi ya –barangkali lupa-, “Kalau begitu logikanya maka korupsi
bisa dibersihkan dengan sholat,...”, kemudian anda meringis (tertawa/tersenyum) seolah-olah hal
tersebut aneh. Padahal sangat jelas dan terang (menurut syariat) bahwa amal baik itu bisa menghapus amal buruk
jika seseorang itu bertaubat (kalau dosanya dosa besar) dan melakukan amal shalih dengan sungguh-sungguh,..”
Komentar inilah yang terakhir kami posting dan sempat muncul di wall-nya -sebelum beberapa menit
kemudian- (status
beserta seluruh komentar-komentarnya)
dihapus olehnya,
Great,.....
Sebagai
penutup kami kutip beberapa nasihat [buat kami pribadi -yang dhaif lagi jahil
ini- terkhusus Mr. A (yang sepertinya aqlaniy)] dari para Imam ahlus sunnah wal jama’ah terdahulu terkait ahlu ra’yi (orang-orang yang menuhankan akal) dan peringatan terhadap bahayanya
orang-orang yang lebih mengedepankan akal diatas wahyu (al-Qur’an dan
as-Sunnah) agar kita tidak menjadi bagian darinya atau terjebak di dalamnya;
Amirul
Mukminin Umar Ibnul Khaththab radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ahli Ra’yi telah menjadi musuh-musuh Sunnah. Hadits-hadits
Nabi telah menjadikan mereka tidak mampu memahaminya, dan tidak dapat
meriwayatkannya, sehingga mereka pun bergegas menuju pendapat akal.” (Jaami’
Bayan al-‘Ilmi hal. 975 bab; ‘al-Farqu Baina at-Taqliidi wal Ittibaa’,
al-Hafizh Ibnu Abdil Barr. Kami nukil dari Syarh Ushul as-Sunnah: Walid bin
Muhammad Nubaih)
Mudah-mudahan Mr. A bisa mengubah ushlubnya dalam memandang sesuatu (i.e tidak mengedepankan logika, perasaan di atas nash), karena dikhawatirkan akan terjebak dalam posisi sebagai musuh sunnah secara tidak sadar. Jika demikian keadaannya, tentu merupakan musibah dan kerugian yang besar bagi dirinya. Wallaahu a’lam
Berkata
asy-Syaikh al-Imam Abul Muzhaffar ‘Abdul Malik bin Ali bin Muhammad al-Hamdani –raheemahullaahu-
dengan sanadnya (bisa rekan-rekan lihat di Syarh Ushul as-Sunnah, red) hingga
‘Abdus bin Malik al-Aththar, dia berkata, “Aku mendengar Abu ‘Abdillah Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal berkata, “Pondasi ahlus sunnah menurut kami adalah:
(salah satunya) ... as-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan dan tidak
dapat diukur dengan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan ittiba’
(mengikuti petunjuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dengan ikhlas, red) dan
meninggalkan hawa nafsu.” (Ushul as-Sunnah, al-Imam Ahmad bin
Hanbal. Kami kutip dari Syarhnya)
Demikian
pula dengan al-Imam asy-Syafi’i, beliau –raheemahullaahu Ta’ala- berkata; “Sesungguhnya
anggapan baik dengan akal adalah menuruti selera nafsu.” (ar-Risalah,
hal. 507. Kami nukil dari Ilmu Ushul al-Fiqh al-Bida’)
Sebenarnya
masih banyak perkataan para ulama salafush shalih terkait larangan mendahulukan akal di atas
nash yang shahih. Tapi nukilan perkataan diatas kami kira sudah mencukupi.
Wallaahu Ta’ala a’lamu.
Note: Artikel ini tidak kami buat untuk menjatuhkan
kredibilitas Mr. A yang kami hormati. Kami dan dia bukanlah person-person yang
ma’shum. Seorang yang sangat ahli dan mumpuni dalam ilmu dunia seperti ilmu teknik atau yang
memiliki pendidikan yang tinggi (seperti dirinya) pun sangat mungkin terjatuh dalam
kesalahan, entah itu karena kejahilan atau pun hawa nafsu. Dan kami tidak
merasa kami lebih pandai atau lebih mengetahui darinya, oleh karenanya kami nukilkan
perkataan para ulama yang faqih dalam hal ini agar lebih objektif. - Wallaahu a’lam-
_________
Rujukan:
(1). Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 1, juz. 3, tahqiq:
Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail
(2). Syarh Ushul as-Sunnah: Walid bin Muhammad Nubaih
(3). Ilmu Ushul al-Fiqh al-Bida’: Ali Hasan al-Halabi
(4). www.ustadzaris.com
(5). http://118.98.214.82/hadisonline/hadis9
Labels:
Ad-Dien
0 Respones to "Wahyu Vs Logika: Catatan Kecil Untuk Mr. A (Bag. 2)"
Posting Komentar