Itu baru mencela salah seorang dari shahabat saja lo ya, lantas bagaimanakah jika ia mengkafirkan orang-orang yang
utama dari para shahabat seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar Ibnul Khaththab
dan Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhum?, atau para ahlul Badr? Atau
shahabat yang berbai’at di bawah pohon (Bai’at ar-Ridwan)? Atau shahabat yang
mengikuti perang Uhud? Dll. Ucapan yang tak kalah kerasnya datang dari Imamul
Muhaditsin, al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukharee –raheemahullaahu-, (w. 256
H) beliau berkata;
ماأبالى
صليت خلف الجهمى والرافضى أم صليت خلف اليهود والنصارى ولا يسلم عليه ولا يعادون
ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
“Bagi saya sama saja,
apakah aku sholat di belakang Jahmy atau Rofidhiy (i.e Syiah Rafidhah, Syiah
Imamiah Itsna Asyariyah, red) atau aku sholat di belakang Yahudi atau Nashrani.
Dan seorang Muslim tidak boleh memberi salam pada mereka, dan tidak boleh
mengunjungi mereka ketika sakit juga tidak boleh menikah dengan mereka dan
tidak (boleh) menjadikan mereka sebagai saksi, begitu pula tidak makan hewan
yang disembelih oleh mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibaad, 125)
Tapi bukan orang Syiah
Rafidhah namanya kalau tidak pandai berkelit dan pandai menciptakan syubhat.
Ketika dibawakan keutamaan shahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar
sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Hasyr: 8, QS. al-Hasyr: 9, QS.
At-Taubah: 100 atau hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang
shahih terkait balasan Surga terhadap mereka (baik yang disebutkan secara
khusus nama-namanya atau keumuman dari mereka) dan ampunan terhadap dosa-dosa
mereka dll, mereka (Syi’ah Rafidhah) berkata, “Keridhaan Allah terhadap mereka
hanya terjadi ketika Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama masih hidup saja,
atau ampunan Allah terhadap mereka hanya berlaku untuk dosa-dosa sebelum dan
pada saat Allah dan Rasul-Nya mengabarkan berita ampunan tersebut saja, seperti yang
terjadi pada ahlul Badr misalnya; ampunan itu hanya berlaku pada dosa saat
mereka melakukan perang Badr dan dosa sebelum-sebelumnya, adapun setelah
kejadian itu, mereka belum tentu diampuni dan belum tentu masuk Surga!.”
Bantahan untuk syubhat
diatas sebenarnya sudah sangat banyak dan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah
telah menerangkan syubhat-syubhat mereka secara tuntas. Pada kesempatan ini kami
hanya ingin menukilkan salah satu kisah shahih yang berkaitan dengan shahabat Nabi
bernama Hathib bin Abi Balta’ah radhiyallaahu ‘anhu (untuk membantah syubhat
diatas). Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Nabi yang paling diagungkan,
paling dihormati dan paling diterima ucapannya oleh Syi’ah Rafidhah i.e Ali bin
Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu. Jadi kalau mereka mendustakan hadits ini, sama
saja mendustakan berita dari orang yang dianggap maksum oleh mereka!.
Al-Imam al-Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan sanad
shahih:
بَعَثَنِي
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَا وَالزُّبَيْرَ وَالْمِقْدَادَ بْنَ
الْأَسْوَدِ قَالَ: انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا
ظَعِينَةً وَمَعَهَا كِتَابٌ فَخُذُوهُ مِنْهَا. فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا
خَيْلُنَا حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى الرَّوْضَةِ، فَإِذَا نَحْنُ بِالظَّعِينَةِ
فَقُلْنَا: أَخْرِجِي الْكِتَابَ. فَقَالَتْ: مَا مَعِي مِنْ كِتَابٍ. فَقُلْنَا:
لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَنُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ. فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ
عِقَاصِهَا فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِذَا فِيهِ مِنْ
حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى أُنَاسٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ
مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ
اللهِ، لاَ تَعْجَلْ عَلَيَّ، إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ
وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ
قَرَابَاتٌ بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ
إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا
يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي، وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا وَلَا ارْتِدَادًا وَلَا
رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: لَقَدْ صَدَقَكُمْ. قَالَ عُمَرُ: يَا
رَسُولَ اللهِ، دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ
شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى
أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallama mengutus saya dan Zubair serta Miqdad bin Al-Aswad, kata
beliau: “Berangkatlah hingga tiba di Raudhatu Khah, karena di sana ada seorang
wanita yang sedang dalam perjalanan membawa sepucuk surat. Ambillah surat itu
darinya.” Kami pun berangkat, dalam keadaan kuda-kuda kami berlari cepat hingga
kami tiba di Raudhah. Ternyata benar kami dapati seorang wanita sedang dalam
perjalanan. “Keluarkan surat itu!”, kata kami. Wanita itu berkata: “Tidak ada
surat apapun pada saya.” “Kamu keluarkan surat itu atau kami telanjangi kamu?”
gertak kami. Akhirnya wanita itu mengeluarkannya dari gelungan rambutnya. Lalu
kami bawa surat itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama. Ternyata
isinya dari Hathib bin Abi Balta’ah kepada orang-orang musyrik Makkah. Dia
mengabarkan kepada mereka sebagian urusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallama. “Wahai Hathib, apa ini?”, kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallama. Hathib segera menyahut: “Wahai Rasulullah, janganlah terburu-buru
terhadapku. Sesungguhnya aku hanyalah seseorang yang menumpang di tengah-tengah
bangsa Quraisy dan bukan bagian dari mereka. Sedangkan kaum Muhajirin yang
bersama engkau, mereka di Makkah mempunyai kerabat yang akan melindungi
keluarga dan harta mereka. Maka karena saya tidak punya hubungan nasab dengan
mereka, saya ingin berbuat jasa untuk mereka agar mereka pun menjaga kerabatku.
Saya lakukan ini bukan karena kekafiran, bukan pula karena saya murtad, dan
bukan pula karena ridha dengan kekafiran sesudah Islam.” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallama berkata: “Sungguh, dia jujur kepada kalian.” ‘Umar berkata:
“Wahai Rasulullah, biarkan saya tebas leher orang munafiq ini.” Kata Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallama: “Sesungguhnya dia pernah ikut perang Badr.
Tahukah engkau, boleh jadi Allah telah memerhatikan ahli Badr, lalu Dia berfirman:
‘Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.” (Al-Bukhari
no. 4274 dan Muslim no. 2494)
Lihatlah, (tak diragukan
bahwa) Hathib telah melakukan dosa besar (sebagaimana penuturan ulama) karena telah membocorkan rahasia Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama kepada kaum kafir Quraisy (meskipun belum
sampai kepada mereka, red), namun beliau melarang Umar membunuhnya dengan sebab
ampunan Allah Ta’ala terhadap mereka yang pernah mengikuti perang Badr. Artinya, Hathib adalah seorang mukmin sejati (yang mulia) karena kedudukannya sebagai ahlul Badr dan dosa besar yang dilakukannya tidak membuatnya keluar dari barisan kaum mukminin, bahkan Allah Ta’ala mengampuninya. Jika
Hathib adalah seorang yang munafik dan murtad karena melakukan dosa besar dalam case
ini, tentu Nabi akan membiarkan Umar membunuhnya. Ini menunjukkan sekaligus
membantah “imajinasi” tanpa hujjah Syi’ah Rafidhah bahwa ampunan itu hanya
berlaku untuk dosa-dosa para ahlul Badr sebelum terjadinya perang Badr saja.
Al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalany –rahimahullaahu- (w. 852 H) menjelaskan
terkait makna ampunan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam hadits diatas:
“Artinya, dosa-dosa kalian (para ahlul Badr, red) itu diampuni oleh Allah
bagaimanapun terjadinya. Bukan berarti mereka tidak pernah berbuat dosa.” (Fathul
Bari, 8/635). Para shahabat adalah manusia biasa yang sangat mungkin
berbuat kesalahan dan dosa, mereka bukanlah makhluq yang maksum sebagaimana
para Rasul, namun keimanan, ketakwaan, jihad, hijrah, amal shalih dan jasa
mereka yang sangat besar terhadap tegaknya kalimat tauhid dan Islam di muka
Bumi bisa menghapus dosa-dosa mereka. Wallaahu ‘alam.
Sebagai penutup kami kutip
sikap ahlus sunnah terhadap para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in yang
diwakili oleh al-Imam al-Hafizh Abu Ja’far Ahmad Bin Muhammad ath-Thahawi –rahimahullahu,
(w. 321 H) beliau berkata : “Dan kita (ahlus Sunnah) mencintai para sahabat
Rasulullah –Shallallaahu ‘alaihi wa sallama- dan tidak berlebihan atau
melampaui batas dalam mencintai mereka. Sebagaimana tidak seorang pun dari
mereka yang kita berlepas diri darinya. Kita membenci orang-orang yang membenci
mereka dan menjelek-jelekkan mereka. Pendek kata kita tidaklah menyebut para
sahabat kecuali kebaikan. Kecintaan kepada mereka adalah (bagian Agama),
keimanan dan ihsan, sedangkan kebencian kepada mereka adalah (bagian dari)
kekufuran, kemunafikan, kezhaliman.” (al-Aqidah Ath-Athahawiyah bersama
syarahnya, al-Imam Ibnul Abil ‘Izzi al-Hanafi hal. 689).
--------
Referensi
(1).
Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7, juz. 28
(2).
Catatan kaki Syarh Ushul as-Sunnah al-Imam Ahmad bin Hambal, pensyarh:
asy-Syaikh Walid bin Muhammad Nubaih
(3).
www.asysyariah.com
(4).
www.muslim.or.id
(5).
www.darussalaf.or.id
(g).
www.almanhaj.or.id
(6).
http://118.98.214.82/hadisonline/hadis9
Labels:
Ad-Dien
0 Respones to "Membela Shahabat Nabi Dari Celaan Syiah Rafidhah (Bag. 2)"
Posting Komentar