Esok hari, 1 October 2012 adalah akhir dari perjalanan karir nan panjang seorang pendidik, sekaligus hari terakhir ia mengajar murid-muridnya di sekolah dasar (secara formal). Tak terasa sudah
empat puluh tahun ia mengabdi kepada negeri ini, tak terhitung banyaknya ujian
hidup yang sudah ia lalui selama itu. Hampir 2/3 umurnya ia habiskan
untuk mendidik anak-anak desa nan lugu, membantu mereka mewujudkan cita-citanya
yang tinggi. He’s my great teacher, my beloved father, and my best partner. Ia
lahir di Yogyakarta, enam puluh tahun yang lalu, atau tujuh tahun setelah proklamasi
kemerdekaan. Ia lahir dan besar di tengah-tengah keluarga yang sangat sederhana,
menjadi anak yatim sejak belia. Ia merupakan anak tertua dari tiga bersaudara.
Kedua orang tuanya berprofesi sebagai petani, “Kerjo neng alas” kata orang
sana. Sepetak sawah yang tidak luas menjadi mata pencaharian utama kedua orang
tuanya. Diceritakan, jika mereka mempunyai rejeki lebih, mereka membeli ternak
untuk dipelihara. Seandainya suatu saat kebutuhan hidup sehari-hari tidak tercukupi
(karena musim paceklik misalnya, red) maka ternak-ternak itulah yang menjadi sumber
penghasilannya. Ternak adalah investasi yang paling berharga dan paling mudah
diliquidasi waktu itu. Cita-citanya sederhana, “menjadi seorang guru”. Puluhan
kilo meter harus ia tempuh setiap harinya demi mengejar impiannya itu. Ia
pernah bercerita bahwa bekerja keras adalah keharusan agar ia tidak putus
sekolah. Bisa dimaklumi karena tulang punggung utama keluarga (i.e ayahnya)
sudah lama tiada. Tidak ada namanya sepeda onthel atau sepeda motor, yang ada
hanyalah berjalan kaki!. Pengorbanannya tidak sia-sia, Allah Subhaanahu wa Ta’ala
menjawab dan mengabulkan doanya. Setelah lulus dari SPG (Sekolah Pendidikan
Guru, setingkat SMA, red) ia diterima sebagai guru (PNS). Waktu itu melamar
sebagai PNS tidak sesulit dan serumit masa sekarang. Ia ditempatkan di sebuah
daerah yang berjarak ratusan kilo meter dari tempat kelahirannya.
Setelah berkarir beberapa
tahun lamanya, berbekal keseriusan dan itikad baik untuk membangun sebuah keluarga yang
samara, ia memberanikan diri melamar seorang gadis cantik (versi ayah kami).
Pinangannya “tak bertepuk sebelah tangan” alias diterima. Kemudian mereka menikah. Dengan tabungan seadanya mereka memilih
hidup mandiri, menempati rumah sederhana yang agak jauh dari kedua orang tuanya.
Jangan dibayangkan kalau rumah-rumah di pedesaan waktu itu bertembok dan beralaskan
keramik, yang ada hanyalah bilik-bilik bambu dan lantai tanah. Tak lama berselang,
anak pertama mereka lahir (seorang perempuan, red), disusul anak kedua tiga
tahun kemudian (anak laki-laki, red).
Alhamdulillah, itulah kalimat
yang paling pantas saya ucapkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Azza
wa Jalla. “Segala puji bagi Allah”;
( الْحَمْدُ لِلَّهِ ) [هو]
الثناء على الله بصفات الكمال, وبأفعاله الدائرة بين الفضل والعدل, فله الحمد الكامل,
بجميع الوجوه
“Adalah pujian kepada Allah
dengan sifat kesempurnaan dan dengan perbuatan-perbuatanNya yang berkisar di
antara kemuliaan dan keadilan, bagiNya pujian yang sempurna dalam segala
bentuknya.” Demikian penjelasan al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Nasheer as-Sa’dee
–raheemahullaahu- dalam tafsirnya[1].
Dan Dia -Azza wa Jalla- adalah
Rabb yang memelihara keluarga kami, menjaga keluarga kami, memberikan rejeki
dan hidayah kepada keluarga kami.
هي
خلقه للمخلوقين, ورزقهم, وهدايتهم لما فيه مصالحهم, التي فيها بقاؤهم في الدني
“Dia menciptakan makhluk,
memberi rizki kepada mereka, memberi hidayah mereka kepada hal-hal yang berguna
bagi mereka yang merupakan sarana terpenting bagi mereka dalam mempertahankan
hidup di dunia.”[2]
Allah Ta’ala mentakdirkan
saya lahir dan besar di tengah-tengah mereka, bisa melihat, dan merasakan perjuangan
mereka dari bawah. Itulah salah satu nikmat (dunia) terbesar yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada saya yang dhaif ini. Sekedar mengenang moment-moment “indah” waktu kecil bersama keduanya; saya ingat
ketika Allah Ta’ala mengirimkan musibah (banjir) di pertengahan malam kepada kami (waktu itu saya berusia sekitar 6-7 tahun, red), arus air yang sangat deras
(setinggi pinggang orang dewasa) hampir saja merobohkan dan menghanyutkan gubuk kami. Seluruh perabotan terapung-apung, lantai rumah yang terbuat dari tanah itu tergerus habis dan hampir rata. Allah menyelamatkan kami dari bencana tersebut. Demikianlah, selalu ada hikmah dibalik musibah, keluarga kami cepat
berbenah, membangun kembali rumah permanen (yang jauh lebih kokoh) yang bertahan hingga hari ini. Saya mengalami masa dimana aliran listrik belum menjangkau desa kami.
Satu-satunya penerangan yang paling terang waktu itu adalah lampu petromak. Itu
pun hanya dinyalakan dari pukul 18.00 – 21.00, demi mengakomodasi waktu belajar
kami. Jika di waktu shubuh kami dibangunkan (oleh salah satu dari keduanya) untuk belajar, lampu tempel-lah yang setia menerangi. Satu-satunya moda transportasi yang ayah miliki waktu itu adalah
sepeda tua nan kokoh. Kendaraan inilah yang selalu setia mengantar kami berempat kemana
pun kami pergi. Qadarullah, “harta” berharga kami satu-satunya itu hilang dicuri
orang, namun beberapa tahun kemudian Allah Ta’ala menggantinya dengan sesuatu
yang lebih bermanfaat. Hiburan mingguan (baca: weekend) yang paling menarik hanyalah berkunjung/ bersilaturahmi ke tempat para kerabat atau ke rumah
guru-guru lain seprofesinya. Keluar kota?, bisa dihitung dengan jari. Ayah selalu mengunjungi rumah-rumah mereka yang terdapat anak kecil seusia kami agar kami tidak bosan. Hampir setiap minggu selalu begitu, entah itu dengan bersepeda
maupun berjalan kaki. Berangkat ba’da maghrib dan pulang sebelum tengah malam. Ayah kami dikenal sebagai sosok yang disiplin di sekolah, tidak pernah pilih kasih, tidak
pernah membeda-bedakan termasuk kepada anaknya sendiri. Pernah suatu ketika ia
mengajar mata pelajaran favoritnya (i.e matematika) di kelas; adalah saya, objek yang paling banyak dikritik
olehnya (di hadapan teman-teman). Porsi bermain yang lebih banyak daripada
belajar, menjadi alasan teguran keras waktu itu. Well, baginya, semua anak didiknya itu
sama. Jika mereka rajin ia puji, jika mereka malas ia tegur. Demikian salah satu uslub yang ia terapkan dalam mendidik. Ia lakukan secara turun-temurun kepada murid-muridnya, dari generasi ke generasi.
Seandainya tolok ukur
keberhasilan adalah kekayaan, niscaya hanya ada sedikit orang-orang yang dianggap
berhasil di dunia ini. Ayah kami bukanlah orang yang kaya harta (hingga hari
ini, red), tapi bagi kami ia adalah seorang panutan yang berhasil. Pengabdiannya
yang sangat panjang dalam mengentaskan kebodohan di pedesaan layak diapresiasi. Ia
membantu mencerdaskan anak-anak desa nan lugu, mengajarinya budi pekerti luhur dan
membuka wawasan baru tentang kehidupan. Sosok yang bertanggungjawab, mencintai istri
dan kedua anaknya. Bagi kami itu sudah lebih dari cukup, wallaahi.
Kini usianya tidak muda lagi, sebagian besar nama dan wajah anak didiknya terdahulu tidak bisa ia ingat kembali. Ada cerita yang menarik, Iedul Fithri yang
lalu ada seorang pemuda dan keluarganya (ia adalah seorang enterpreneur, red) yang datang
berkunjung ke rumah kami, ia bercerita bahwa sejak puluhan tahun yang lalu ia
tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah kelahirannya itu. Setelah mengunjungi sisa-sisa kerabatnya di desa, ia sempatkan diri untuk singgah ke rumah kami. Ia bertanya kepada
ayah kami waktu itu, “Apakah bapak masih ingat saya?. Saya dahulu yang demikian dan demikian itu Pak.” Ayah kami hanya
tersenyum dan berkata, “Yang mana ya, maaf, saya sudah lupa.”
Ada satu prinsip hidup yang
menjadi pegangan ayah kami dalam memimpin keluarganya (selama puluhan tahun itu), sebuah pepatah Jawa;
“Ngudi Kratoning Narimo
Nggayuh Swargo Tentrem”. Intinya adalah; Jalani hidup apa adanya, terima dan syukuri apapun dan berapapun rizki yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan, merasa cukup (qana’ah) terhadapnya,
tidak putus asa terhadap rahmatNya, dan bertawakal kepadaNya, sehingga beban
hidup yang terasa berat akan menjadi lebih ringan untuk dihadapi dan (hati) akan terasa lebih tentram. Hal ini sejalan dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala;
وَمَنْ
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang
bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.” (QS:
ath-Thalaq: 3)
(وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ) أي: في أمر دينه ودنياه، بأن يعتمد
على الله في جلب ما ينفعه ودفع ما يضره، ويثق به في تسهيل ذلك (فَهُوَ حَسْبُهُ) أي:
كافيه الأمر الذي توكل عليه به، وإذا كان الأمر في كفالة الغني القوي [العزيز] الرحيم،
فهو أقرب إلى العبد من كل شيء
“‘Dan barangsiapa yang
bertawakal kepada Allah,’ dalam urusan agama dan dunianya dengan bergantung
sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dengan maksud untuk mendapatkan apa-apa yang
bermanfaat dan menghindari apa-apa yang mudharat serta percaya sepenuhnya
kepada Allah Ta’ala bahwa ia akan diberi kemudahan, ‘niscaya Allah akan
mencukupkan keperluannya.’ Maksudnya, Allah Ta’ala akan mencukupi keperluan
yang disandarkannya kepada Allah Ta’ala. Dan ketika suatu urusan berada dalam
tanggungan Yang Mahakaya, Makakuat, Mahaperkasa lagi Mahapenyayang, maka Dia
paling dekat dengan hambaNya melebihi segala sesuatu.” Demikian penjelasan al-‘Allamah
‘Abd ar-Rahman bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu- dalam tafsirnya.[3]
Baginya, melihat
anak-anaknya sukses, berakhlak luhur, lebih baik daripada mengisi perabotan
rumahnya dengan barang-barang mewah tak berguna. Mesin jahit, lampu petromak, lampu
tempel, dan tumpukan buku-buku pelajaran sekolah dari kurikulum ke kurikulum, dari generasi ke generasi itu merupakan “saksi bisu” perjuangannya.
Mudah-mudahan Allah Azza wa Jall menjaganya (guru kami, ayah kami), memanjangkan umurnya, memperbaiki
agama dan amal shalihnya, menjadikan sisa hidupnya bermanfaat bagi dirinya,
keluarga, kerabat dan tetangga-tetangganya, amieen.
From your son and those who love and respect you.....
______________
[1].
Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 1, juz. 1, tafsir QS. al-Fatihah: 1
[2].
Idem
[3].
Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7, juz. 28, tafsir QS. ath-Thalaq: 3