Beliau
adalah seorang ‘alim dalam bidang fiqh dan ushul fiqh, al-‘Allamah asy-Syaikh
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin al-Wahib at-Tamimi (w. 1421 H),
murid senior dari penulis kitab tafsir al-Qur’an; Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii
Tafsir Kalam al-Mannan, al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –semoga
Allah Ta’ala merahmati mereka berdua- (w. 1376 H). Beliau dikenal (di kalangan thalibul
‘ilm dan ulama) sebagai sosok yang sederhana (zuhd), qana’ah, wara’ (hati-hati), tawadhu’
(rendah hati), dan bersungguh-sungguh
dalam ittiba’ terhadap sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallama. “Bagai ilmu padi, semakin tua semakin merunduk”, sepertinya ungkapan itu sangat cocok untuk
menggambarkan kedalaman ilmu dan ketawadhu’an seorang Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Suatu ketika,
seorang moderator seminar
ilmiah kedokteran membacakan biografi beliau (di hadapan para dokter, red).
Sang moderator berkata (setelah membuka acara dan memberikan kalimat sambutan, red), “Sungguh hari ini kita berbahagia atas kehadiran seorang yang mulia dan agung. Tamu yang mulia. Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberinya umur yang panjang untuk berhikmad kepada agama Allah dan perbaikan masyarakatnya. Seorang yang senantiasa mendakwahi saudara-saudaranya kaum
muslimin sesuai dengan ilmu dan (kadar) kepahaman yang Allah berikan kepadanya untuk
menuju jalan kebenaran dan kebaikan, al-Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin, mudah-mudahan Allah Ta’ala memanjangkan umurnya…”. Sebelum
moderator melanjutkan kalimatnya, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –raheemahullaahu- memotong
ucapan sang moderator dengan berkata; “…untuk beramal shalih”. Kemudian
sang moderator melanjutkan, “Dan mengaruniainya kesehatan yang sempurna dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.” (Syaikh –raheemahullaahu- berkata,
“amieen”). Kemudian ketika ucapan moderator sampai pada kalimat, “asy-Syaikh
al-‘Utsaimin adalah anggota Haiah Kibarul ‘Ulama..”, beliau langsung memotong, “cukup, cukup,
cukup.” Sang moderator berkata, “Saya tahu kata-kata saya membuat anda tidak senang ya Syaikh, tapi teman-teman (i.e para dokter peserta seminar, red) ingin mengenal anda lebih jauh.” asy-Syaikh berkata, “Tidak perlu.” Akhirnya sang moderator
menutup sambutannya, “Baarakallaahu feek –ya Syaikh-, mudah-mudahan Allah
membalas usaha anda dan saya tahu bahwa anda mengharap pahala dari Allah ‘Azza wa
Jall. Dan dalam menunggu (nasihat anda), kami sama sekali tidak akan merasa tergesa-gesa atau merasa sempit (bosan), baik saya pribadi atau teman-teman yang lain.
Mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan membalas usaha anda. Dan mudah-mudahan Allah
memberikan manfaat kepada kami melalui ilmu anda yang luas.” Dan Syaikh
menimpali, “Dan mudah-mudahan juga kepada anda yang mengatakan dan kepada yang
mendengarkan.”. Itulah salah satu sisi ketawadhu’an beliau. Tidaklah beliau melakukan
hal itu kecuali hanya untuk menghindari pujian-pujian yang tinggi yang bisa membuat
seseorang hamba itu lalai, ‘ujub atau berbangga diri di hadapan orang lain,
wallaahu a’lam.
Berikut
ini adalah nasihat beliau –raheemahullahu- kepada para Dokter di
sebuah forum ilmiah kedokteran di Riyadh, KSA, mudah-mudahan bermanfaat (khususnya
bagi anda yang berprofesi sebagai seorang dokter, red).
Beliau
–raheemahullaahu- berkata (ketika menutup taushiahnya kepada para Dokter, red),
“Terakhir, ada sedikit nasihat untuk saudara-saudara sekalian.
Pertama; Mengikhlaskan niat dalam pekerjaan saudara-saudara.
Bukan (sekedar) untuk mendapatkan gaji atau upah, penghormatan dan lain-lain
(semata). Tapi saudara bekerja untuk menghilangkan sakit (pasien) –dengan
takdir Allah ‘Azza wa Jall- melalui usaha saudara-saudara dan dengan tujuan
berbuat baik kepada orang-orang yang saudara-saudara obati. Dengan niat yang
ikhlas inilah pekerjaan (yang saudara-saudara lakukan, red) akan memberikan
hasil yang baik.
Kedua; Bersungguh sungguh mengingatkan pasien untuk
bertaubat, beristighfar (memohon ampun), memperbanyak dzikir, membaca
al-Qur’an; terlebih untuk mengucapkan dua kalimat yang telah disebutkan oleh
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, “Ada dua kalimat yang ringan (untuk
diucapkan) di lidah, tapi berat timbangannya (di akhirat), dan dicintai oleh
ar-Rahman (yaitu): Subhaanallaahi wa bihamdih, subhaanallaahil ‘adzim” [1].
Orang yang sakit (pasien) tidak akan kesulitan dalam mengucapkan dua kalimat
ini. Doronglah dia untuk menggunakan waktu (sebaik-baiknya).
Ketiga; Apabila telah ditakdirkan pasien anda menjemput ajalnya,
maka kewajiban dari saudara-saudara adalah mentalqinnya dengan kalimat syahadat
“Laa ilaha Illallaah”, karena Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda,
“Bimbinglah orang yang akan meninggal diantara kalian (untuk mengucapkan) Laa
ilaha Illallah.” (HR. Muslim). Tapi (yang perlu diperhatikan), hendaklah
talqin itu dilakukan dengan lembut. Apakah anda (akan) mengatakan kepadanya;
“Wahai fulan ucapkanlah Laa ilaha illallaah karena (sebentar lagi) ajal akan
menjemputmu!.” Jawablah wahai saudara-saudara, “Tidak”. Jangan katakan seperti
itu karena kesusahan yang dia rasakan barangkali (akan menyebabkannya)
mengatakan, “Tidak mau.” Mungkin cara yang baik (dalam mentalqin) adalah; Anda
berdzikir disampingnya (dengan membaca) Laa ilaha illallaah. Apabila anda
berdzikir kepada Allah disampingnya, niscaya dia akan ingat (dan mengikutinya).
Memang, seandainya si pasien adalah orang kafir, maka anda katakan kepadanya,
“Katakanlah, Laa ilaha illallaah.” Karena Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama
berkata kepada pamannya –Abu Thalib- tatkala ajal menjemputnya, “Wahai pamanku,
katakanlah, ‘Laa ilaha illallah’ (tiada illah yang berhak disembah kecuali
hanya Allah Ta’ala semata, red), satu kalimat yang akan aku jadikan alasan
(hujjah) untuk membelamu di hadapan Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama juga melakukan hal yang sama kepada
seorang pemuda Yahudi di Madinah, tatkala beliau Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama menjenguknya saat ajal (akan) menjemputnya. Beliau menawarkan agama
Islam kepadanya, maka pemuda itu menoleh kepada bapaknya, seakan-akan (ingin) meminta
ijin. Maka bapaknya berkata, “Taatilah Abul Qasim (Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama)”. Akhirnya pemuda itupun masuk Islam. Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama bersabda, الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ بِي مِنْ النَّارِ “Segala
puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari Neraka.”[2]. Lihat!, Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama memuji Allah tatkala pemuda itu berpindah dari (al-Yahudiyah
ila al-Islam) agama Yahudi kepada Islam!.
Selain
itu, anda tanyakan pula bagaimana shalatnya? Bersucinya?, anda ajarkan kepada
dia sesuai dengan (kadar) ilmu yang anda kuasai. Karena sebagian pasien tidak
bersuci sebagaimana mestinya, karena sebagian pasien terdapat najis di
pakaiannya dan (mereka) berkata, “Apabila Allah telah menyembukanku, maka
(barulah) aku akan bersuci dan shalat!.” Sebagai pasien menqashar shalat,
padahal dia berada di kotanya. Dia mengira bahwasanya jika (seseorang) boleh
menjamak, (maka) berarti (dia juga) boleh menqashar. Hal ini tidaklah benar!.
Qashar hanya boleh dilakukan untuk siapa?, untuk musafir saja. Apabila pasien
adalah penduduk Riyadh misalnya (dan dia dirawat di Riyadh), maka kita katakan
kepadanya, “Anda boleh menjamak antara dua shalat, apabila anda merasa
kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya masing-masing.” Tidak boleh
baginya untuk menqashar. Tapi seandainya pasien tersebut berasal dari kota lain
dan dia berobat di Riyadh, maka kita katakan kepadanya, “Silahkan qashar dan
jamaklah (shalat anda)”
Keempat; pesan saya untuk saudara-saudara sekalian. Apabila
pasien (anda) adalah lawan jenis, dalam arti: apabila tertuntut oleh keadaan yang
darurat sehingga seorang dokter pria mengobati pasien wanita (atau sebaliknya,
red), waspadalah terhadap fitnah ini. Maka janganlah membuka tubuhnya kecuali
sesuai kebutuhan saja. Dan dengan mengurangi obrolan-obrolan atau penanganan karena
“Syaithan berjalan di dalam tubuh anak Adam (melalui) jalan darahnya”[3].
Terkadang anda akan berkomentar dalam keadaan seperti ini; “Tidak mungkin
seseorang (i.e dokter, red) akan tergoda syahwatnya.” Atau komentar-komentar
semisalnya. Maka kita jawab, “Itu benar. Itulah asalnya. Tapi apa pendapat anda
apabila syaithan berjalan di dalam tubuh manusia (di dalam) jalan darahnya?.
Bukankah mungkin sekali dia (syaithan, red) akan menyesatkan orang ini?.”
Jawabnya, “Ya. Mungkin, mungkin sekali!.”
Juga
wasiat (pesan) saya kepada saudara-saudara (para dokter); untuk
bersungguh-sungguh menghadapkan si pasien ke arah kiblat tatkala shalat,
semampu mungkin. Kalau perlu dengan cara memutar ranjangnya. Jika memungkinkan,
maka lakukanlah. Jika tidak mungkin, maka katakanlah kepada pasien anda,
“Bertakwalah kepada Allah bagaimanapun keadaanmu.” Allah ‘Azza wa Jall
berfirman;
وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ وَاسِعُ عَلِيمُ {115
(Artinya):
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun pun kamu menghadap,
disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmatNya) lagi
Mahamengetahui” (QS. al-Baqarah: 115)
Allah
‘Azza wa Jall juga berfirman;
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا {286
(Artinya):
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS.
al-Baqarah: 286)
[Berlanjut ke volume 2]
[Berlanjut ke volume 2]
0 Respones to "Nasihat Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Kepada Para Dokter (vol. 1)"
Posting Komentar