Meminta Tolong Kepada Penghuni Kubur



Seseorang “’alim” bercerita (dalam biografinya); Tatkala ia berada dalam ketidakpastian hidup, ia menangis dan mencurahkan berbagai persoalan hidup yang dihadapinya kepada ‘wali Allah’ di depan pusaranya (kuburnya, red). Ia berkata, “Walhasil dalam tangis itu saya juga berkata dalam hati, wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yg shalih disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang..”. Ketika dalam masa perenungannya itu, tiba-tiba datanglah serombongan teman-teman majelisnya (yang berkunjung ke tempat yang sama) dan mentraktirnya makan, kemudian ia teringat sesuatu; “Saya langsung teringat ini berkah saya beradab di makam wali Allah..” (http://toxxxxxsyafii.blogspot.com)

Demikian sebaris kalimat yang tertulis di pertengahan biografi sang “’alim”. Ini merupakan bentuk dari istighatsah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –raheemahullaahu- (w. 728 H) berkata, “Istighatsah adalah meminta ghouts (keselamatan), yaitu mengangkat kesulitan, seperti istinshar yang berarti meminta bantuan dan isti’anah yang berarti meminta pertolongan.” [Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘alu asy-Syaikh]

Pertanyaan pertama; Syar’ikah istighatsah semacam itu?. Just sharing apa yang penulis ketahui –wallaahu a’lam-, Allah Ta’ala berfirman;

وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyembah (berdoa) kepada apa-apa yang tidak bisa memberi manfaat dan (tidak pula) melimpahkan mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Yunus: 106)

Al-‘Allamah Shun’ullah al-Halabi al-Makki al-Hanafi -raheemahullaahu- (w. 1117 H) berkata, “Jika seseorang memanggil apa yang tidak bisa memberi manfaat dan mudharat, baik dia itu Nabi atau wali atau selainnya, dalam rangka meminta pertolongan kepadanya, maka dia telah mempersekutukan Allah, karena yang bisa menolak hanyalah Allah dan tidak ada kebaikan kecuali kebaikanNya.” [Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘alu asy-Syaikh]

Allah Ta’ala berfirman;

 وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah mengendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang menolak karuniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya, dan Dialah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Yunus: 107)

Al-‘Allamah As-Sa’dy –raheemahullaahu- (w. 1367 H) menjelaskan ayat diatas di dalam tafsirnya;

هذا من أعظم الأدلة على أن الله وحده المستحق للعبادة، فإنه النافع الضار، المعطي المانع، الذي إذا مس بضر، كفقر ومرض، ونحوها ( فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ ) لأن الخلق، لو اجتمعوا على أن ينفعوا بشيء، لم ينفعوا إلا بما كتبه الله، ولو اجتمعوا على أن يضروا أحدا، لم يقدروا على شيء من ضرره، إذا لم يرده الله، ولهذا قال: ( وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ ) أي: لا يقدر أحد من الخلق، أن يرد فضله وإحسانه، كما قال تعالى: 
 مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ  

“Ini termasuk dalil paling besar bahwa hanya Allah yang berhak untuk disembah karena Dia yang mendatangkan manfaat dan mudharat, yang memberi dan tidak memberi, yang mana jika ada kesulitan menimpa seperti kemiskinan, penyakit dan lain-lain, “maka tidak ada yang menghilangkannya kecuali Dia.” Karena jika seluruh makhluk berkumpul untuk memberi manfaat, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kecuali apa yang telah ditulis oleh Allah, jika mereka hendak memudharatkan seseorang maka mereka tidak akan mampu melakukannya jika Allah tidak berkehendak. Oleh karena itu Allah berfirman, “Dan jika Allah mengendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang menolak karuniaNya.” Maksudnya,  tak seorang makhluk pun mampu menolak kebaikan dan karuniaNya sebagaimana firmanNya;

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ 

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskannya sesudah itu.” (QS. Fathir: 2). [Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3, juz. 11 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail]

Pertanyaan selanjutnya; Mengapa (mereka) tidak langsung saja mengarahakan permintaan atau permohonan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Memberi dan Dzat Yang Mengabulkan Segala Permohonan dengan menyeru namaNya seperti “Ya Allah” atau “Ya Rahman” (misalnya) sebagaimana firmanNya;

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

“Katakanlah; ‘Serulah Allah atau serulah ar-Rahman, dengan nama mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asma’ul Husna (nama-nama yang terbaik).’” (QS. al-Isra’: 110)

Berkata al-Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah –rahemahullaahu- (w. 751 H) tentang ayat diatas, “Doa ini adalah doa permohonan menurut pendapat yang masyhur.” [Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘alu asy-Syaikh]

Mengapa mereka (malah) menyeru kepada ahli kubur; “Wahai wali Allah”? bukan kepada Allah Ta’ala secara langsung?. Barangkali jawabannya adalah sebagai berikut (wallaahu a’lam), “Mereka (orang-orang yang sudah wafat itu, red) adalah orang-orang shalih yang memiliki manzilah/keutamaan/kedudukan di sisi Allah. Sesungguhnya dia hanyalah perantara saja (di sisi kami) agar ia mendekatkan kami kepada Allah dan menyampaikan permohonan kami kepadaNya. Sesungguhnya orang-orang shalih itu tidaklah mati, ia tetap hidup di sisi Allah.”

Jika kita membuka al-Qur’an al-Kareem, ternyata hal senada juga pernah diucapkan oleh orang-orang Arab Jahiliyyah zaman dahulu yang mengambil pelindung selain Allah Ta’ala sebagaimana firmanNya;

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatNya.” (QS. az-Zummar: 3)[1]

Allah juga berfirman;

هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)

Al-‘Allamah As-Sa’dy –raheemahullaahu- (w. 1367 H) menjelaskan ayat diatas di dalam tafsirnya;

أي: يعبدونهم ليقربوهم إلى الله، ويشفعوا لهم عنده، وهذا قول من تلقاء أنفسهم، وكلام ابتكروه هم، ولهذا قال تعالى -مبطلا لهذا القول-: ( قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأرْضِ ) أي: الله تعالى هو العالم، الذي أحاط علما بجميع ما في السماوات والأرض، وقد أخبركم بأنه ليس له شريك ولا إله معه، أفأنتم-يا معشر المشركين- تزعمون أنه يوجد له فيها شركاء؟ أفتخبرونه بأمر خفي عليه، وعلمتوه؟ أأنتم أعلم أم الله؟ فهل يوجد قول أبطل من هذا القول، المتضمن أن هؤلاء الضلال الجهال السفهاء أعلم من رب العالمين؟ فليكتف العاقل بمجرد تصور هذا القول، فإنه يجزم بفساده وبطلانه: ( سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ ) أي: تقدس وتنزه أن يكون له شريك أو نظير، بل هو الله الأحد الفرد الصمد الذي لا إله في السماوات والأرض إلا هو، وكل معبود في العالم العلوي والسفلي سواه، فإنه باطل عقلا وشرعا وفطرة

“Mereka menyembahnya agar bisa mendekatkannya kepada Allah dan memberi syafaat (pertolongan) kepada mereka di sisiNya. Inilah ucapan yang mereka ada-adakan dari diri mereka sendiri, ucapan yang mereka buat-buat. Oleh karena itu Allah berfirman membatalkan ucapan tersebut; “Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahuiNya, baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’”, maksudnya Allah Maha Mengetahui dengan ilmu yang meliputi apa yang ada di langit dan di bumi, Dia telah mengabarkan kepadamu bahwa Dia tidak memiliki sekutu dan bahwa tidak ada Rabb (lain) bersamaNya. Kamu wahai orang-orang musyrik mengklaim bahwa Dia memiliki sekutu di alam ini, apakah kamu menyampaikan berita yang samar padahal kamu mengetahuinya? Siapa yang lebih mengetahui, Allah ataukah kamu? Adakah ucapan yang lebih bathil daripada ucapan yang mengandung kesimpulan bahwa orang-orang bodoh lagi sesat itu lebih tahu daripada Allah Rabbul ‘Alamin?. Cukuplah bagi orang yang berakal dengan hanya membayangkan pendapat ini, karena dipastikan ia bathil dan rusak. “Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).” Maksudnya, Mahasuci Allah, Dia tidak memiliki partner atau sekutu, akan tetapi Dia adalah Maha Esa, tempat bergantung para makhluk, tiada Rabb di langit dan di bumi (yang berhak diibadahi) melainkan Dia, semua yang disembah di langit dan di bumi selainnya adalah bathil secara akal, syara’ dan fitrah.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3, juz. 11 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail]

Al-‘Allamah Shun’ullah al-Halabi al-Makki al-Hanafi -raheemahullaahu- (w. 1117 H) berkata; “Orang-orang musyrik Arab (dahulu) berdoa kepada mereka (i.e illah selain Allah, red) agar mereka memberi syafa’at bagi mereka dan mendekatkan mereka kepada Allah. Mereka berkata dalam talbiyah mereka, ‘Kami penuhi panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMu kecuali sekutu milikMu, Engkau memilikinya dan dia tidak memilikiMu.’ Adapun orang-orang yang melakukan kesyirikan (di zaman) sekarang, maka mereka meyakini apa yang lebih besar dari itu pada penghuni kubur dan altar-altar persembahan. Orang-orang musyrik ini memberi mereka hak untuk bertindak dan mengatur, orang-orang itu menjadikan mereka tempat berlindung dalam harapan dan kecemasan, “Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).’” [Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘alu asy-Syaikh]

Ada penjelasan lain yang jauh lebih ilmiah, dan berpuluh-puluh kali lipat lebih berbobot dibandingkan tulisan sederhana ini yang bisa anda baca untuk menambah wawasan anda tentang istighatsah kepada penghuni kubur [klik disini]. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.

Mudah-mudahan bermanfaat.


Dicopy-paste dari:
(1). Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘alu asy-Syaikh, Baabu minasyirki an yastaghiitsa bighairillaahi auyad’u ghairahu.
(2). Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 3, juz. 11 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail.
_______

Footnote
[1]. Pada kesempatan lain, mudah-mudahan bisa mencopy-pastekan tafsir QS. Az-Zumar: 3 diatas.


5 Respones to "Meminta Tolong Kepada Penghuni Kubur"

zonjonggol mengatakan...

Kami kutip bagian yang dikutip

Ketika dalam masa perenungannya itu, tiba-tiba datanglah serombongan teman-teman majelisnya (yang berkunjung ke tempat yang sama) dan mentraktirnya makan, kemudian ia teringat sesuatu; “Saya langsung teringat ini berkah saya beradab di makam wali Allah"


Pertanyaannya adalah

Apakah ahli kubur yang menggerakkan teman-teman majelisnya untuk mentraktir makan ?

Apakah ahli kubur yang mengabulkan permintaannya ?


6 September 2012 pukul 21.07
zonjonggol mengatakan...

Adz-Dzahabi; dalam karyanya; Siyar A’lam an-Nubala’, jld. 9, cet. 9, tentang biografi Imam Ma’ruf al-Karkhi; beliau adalah Abu Mahfuzh al-Baghdadi. Dari Ibrahim al-Harbi berkata: “Makam Imam Ma’ruf al-Karkhi adalah obat yang paling mujarab”. Adz-Dzahabi berkata: “Yang dimaksud ialah terkabulnya doa di sana yang dipanjatkan oleh orang yang tengah kesulitan, oleh karena tempat-tempat yang berkah bila doa dipanjatkan di sana akan terkabulkan, sebagaimana terkabulkannya doa yang dipanjatkan di waktu sahur (sebelum subuh), doa setelah shalat-shalat wajib, dan doa di dalam masjid-masjid……”.


6 September 2012 pukul 21.08
zonjonggol mengatakan...

Siyar A’lam an-Nubala’, jld. 12, cet. 14, tentang biografi Imam al-Bukhari (penulis kitab Shahih); beliau adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Bukhari, dalam menceritakan tentang wafatnya. simak tulisan adz-Dzahabi berikut ini: “Abu ‘Ali al-Gassani berkata: “Telah mengkhabarkan kepada kami Abu al-Fath Nasr ibn al-Hasan as-Sakti as-Samarqandi; suatu ketika dalam beberapa tahun kami penduduk Samarqand mendapati musim kemarau, banyak orang ketika itu telah melakukan shalat Istisqa’, namun hujan tidak juga turun. Kemudian datang seseorang yang dikenal sebagai orang saleh menghadap penguasa Samarqand, ia berkata: “Saya punya pendapat maukah engkau mendengarkannya? Penguasa tersebut berkata: “Baik, apa pendapatmu?”. Orang saleh berkata: “Menurutku engkau harus keluar bersama segenap manusia menuju makam Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, makam beliau berada di Kharatnak, engkau berdoa meminta hujan di sana, dengan begitu semoga Allah menurunkan hujan bagi kita”. Sang penguasa berkata: “Aku akan kerjakan saranmu itu”. Maka keluarlah penguasa Samarqand tersebut dengan orang banyak menuju makam Imam al-Bukhari, banyak sekali orang yang menangis di sana, mereka semua meminta tolong kepada Imam al-Bukhari. Kemudian Allah menurunkan hujan yang sangat deras, hingga orang-orang saat itu menetap di Kharatnak sekitar tujuh hari, tidak ada seorangpun dari mereka yang dapat pulang ke Samarqand karena banyak dan derasnya hujan. Jarak antara Samarqand dan Kharatnak sekitar tiga mil”


6 September 2012 pukul 21.09
zonjonggol mengatakan...

Para Sahabat , bertawassul dan bertabarruk ke makam Rasulullah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu katsir dalam kitab tarikhnya 7/105: “Berkata al hafidz Abu Bakar al Baihaqi, telah menceritakan Abu Nashar bin Qutadah dan Abu bakar al Farisi, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Umar bin Mathor, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ali Addzahli, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar Ia berkata, “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan berkata “Ya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya” (Sanadnya shahih adalah penetapan dari Ibnu katsir. Malik adalah Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintahan Umar,ia adalah tsiqoh)


6 September 2012 pukul 21.09
Old Nakula mengatakan...

Mungkin akan lebih berfaidah jika Ustadz Zon bisa menjelaskan kepada saya mengenai derajat riwayat-riwayat yang ustadz bawakan diatas berikut komentar para muhadditsin tentangnya. Tafadhal Ustadz,.. Jazzakallaahu khair,..


7 September 2012 pukul 00.04

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula