Masih terkait dengan tema
sebelumnya i.e istighatsah kepada para penghuni kubur, artikel kali ini akan membahas tafsir QS. az-Zumar: 2-3 yang pernah kami singgung sebelumnya (mengenai) keadaan para pelaku kesyirikan di zaman jahiliyyah dahulu yang menyangkal
telah melakukan penyembahan, meminta pertolongan dan berharap kepada illah
selain Allah ‘Azza wa Jall dengan berargumentasi; “Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya.” Mereka yakin bahwa berhala-berhala yang
mereka sembah, yang mereka ambil sebagai pelindung di sisi-sisi mereka itu mampu
mendekatkan diri-diri mereka, atau menyampaikan harapan-harapan mereka kepada
Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Padahal berhala-berhala tersebut tidak mampu
memberikan manfaat atau madharat sedikit pun kepada mereka. Jika kita
bandingkan antara penyembahan/ pengagungan thoghut-thoghut oleh para pelaku
kesyirikan di zaman dahulu dengan zaman sekarang (menggunakan akal sehat kita yang
jernih) sekilas ada kemiripan. Bedanya orang-orang jahiliyyah pada zaman dahulu
menyembah/ mengagungkan orang-orang shalih seperti al-Latta dan
Uzza (i.e pembuat sawiq [adonan gandum] bagi jamaah haji, red)[1] atau
Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr[2] (mereka adalah orang-orang shalih dari
kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam, red) dalam bentuk patung-patung sedangkan pelaku kesyirikan di zaman ini
menyembah/ mengagung-agungkan secara ghuluw kuburan-kuburan orang-orang shalih
beserta penghuninya.
Allah Tabaaraka wa Ta’ala
berfirman;
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (2) أَلا لِلَّهِ الدِّينُ
الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا
لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا
هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ (3
“Maka sembahlah Allah dengan
memurnikan keta’atan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang
bersih. Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka
tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk orang-orang yang pendusta lagi sangat ingkar.” (QS. az-Zumar: 2-3)
al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin
Nashir as-Sa’dy –rahemahullaahu-menjelaskan tafsir ayat diatas sebagai berikut;
قال:
( فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ ) أي: أخلص للّه تعالى جميع دينك، من
الشرائع الظاهرة والشرائع الباطنة: الإسلام والإيمان والإحسان، بأن تفرد اللّه وحده
بها، وتقصد به وجهه، لا غير ذلك من المقاصد
Allah berfirman; “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan
kepadaNya.” Maksudnya, ikhlaskan kepada Allah Ta’ala seluruh
agamamu, baik berupa syariat yang nampak dan syariat yang tidak nampak, yaitu
Islam, Iman, dan Ihsan, dengan cara mengesakan Allah Ta’ala dengannya dan
dengan niat mengharapkan wajahNya, bukan niat apapun yang lainnya.”
( أَلا
لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ) هذا تقرير للأمر بالإخلاص، وبيان أنه تعالى كما أنه
له الكمال كله، وله التفضل على عباده من جميع الوجوه، فكذلك له الدين الخالص الصافي
من جميع الشوائب، فهو الدين الذي ارتضاه لنفسه، وارتضاه لصفوة خلقه وأمرهم به، لأنه
متضمن للتأله للّه في حبه وخوفه ورجائه، وللإنابة إليه في عبوديته، والإنابة إليه في
تحصيل مطالب عباده وذلك الذي يصلح القلوب ويزكيها ويطهرها، دون الشرك به في شيء من
العبادة. فإن اللّه بريء منه، وليس للّه فيه شيء، فهو أغنى الشركاء عن الشرك، وهو مفسد
للقلوب والأرواح والدنيا والآخرة، مُشْقٍ للنفوس غاية الشقاء، فلذلك لما أمر بالتوحيد
والإخلاص، نهى عن الشرك به، وأخبر بذم من أشرك به فقال
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih.” Ini adalah penegasan perintah ikhlas dan penjelasan bahwasannya Allah Ta’ala, sebagaimana halnya kepunyaanNya-lah semua kesempurnaan dan karunia atas hamba-hambaNya dari segala sisi, maka demikian juga hanya milikNya-lah agama yang bersih lagi bebas dari segala noda. Itulah agama yang diridhaiNya dan diridhai oleh manusia pilihanNya dan yang diperintahkan kepada mereka, sebab ia berisi mempertuhankan Allah dalam mencintaiNya, takut dan berharap kepadaNya, berinabah (kembali) kepadaNya dalam mencari segala kebutuhan hamba-hambaNya. Itulah yang bisa memperbaiki qalbu (hati), membersihkan dan menyucikannya; kecuali mempersekutukanNya dalam ibadah apapun, karena Allah Ta’ala anti darinya dan persekutuan itu tidak layak bagi Allah. Sebab, Dia adalah Rabb yang paling tidak membutuhkan syirik (persekutuan) dan syirik itu merusak kalbu, ruh, dunia dan akhirat dan sangat menyengsarakan jiwa dengan kesengsaraan yang paling menyakitkan.
Maka dari itu, setelah Allah
memerintahkan tauhid dan ikhlas, Allah melarang syirik kepadaNya
(mempersekutukanNya) dan Dia menginformasikan celaan terhadap siapapun yang
mempersekutukanNya, seraya berfirman;
وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ) أي: يتولونهم بعبادتهم ودعائهم، معتذرين عن
أنفسهم وقائلين )
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah”, maksudnya berlindung kepada mereka dengan menyembah dan berdoa kepada mereka, sambil mengemukakan pembelaan terhadap diri mereka dan berkata;
( مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى ) أي:
لترفع حوائجنا للّه، وتشفع لنا عنده، وإلا فنحن نعلم أنها، لا تخلق، ولا ترزق، ولا
تملك من الأمر شيئا أي: فهؤلاء، قد تركوا ما أمر اللّه به من الإخلاص، وتجرأوا على
أعظم المحرمات، وهو الشرك، وقاسوا الذي ليس كمثله شيء، الملك العظيم، بالملوك، وزعموا
بعقولهم الفاسدة ورأيهم السقيم، أن الملوك كما أنه لا يوصل إليهم إلا بوجهاء، وشفعاء،
ووزراء يرفعون إليهم حوائج رعاياهم، ويستعطفونهم عليهم، ويمهدون لهم الأمر في ذلك،
أن اللّه تعالى كذلك وهذا القياس من أفسد الأقيسة، وهو يتضمن التسوية بين الخالق والمخلوق،
مع ثبوت الفرق العظيم، عقلا ونقلا وفطرة، فإن الملوك، إنما احتاجوا للوساطة بينهم وبين
رعاياهم، لأنهم لا يعلمون أحوالهم. فيحتاج من يعلمهم بأحوالهم، وربما لا يكون في قلوبهم
رحمة لصاحب الحاجة، فيحتاج من يعطفهم عليه [ويسترحمه لهم] ويحتاجون إلى الشفعاء والوزراء، ويخافون منهم، فيقضون
حوائج من توسطوا لهم، مراعاة لهم، ومداراة لخواطرهم، وهم أيضا فقراء، قد يمنعون لما
يخشون من الفقر وأما الرب تعالى، فهو الذي أحاط علمه بظواهر الأمور وبواطنها، الذي
لا يحتاج من يخبره بأحوال رعيته وعباده، وهو تعالى أرحم الراحمين، وأجود الأجودين،
لا يحتاج إلى أحد من خلقه يجعله راحما لعباده، بل هو أرحم بهم من أنفسهم ووالديهم،
وهو الذي يحثهم ويدعوهم إلى الأسباب التي ينالون بها رحمته، وهو يريد من مصالحهم ما
لا يريدونه لأنفسهم، وهو الغني، الذي له الغنى التام المطلق، الذي لو اجتمع الخلق من
أولهم وآخرهم في صعيد واحد فسألوه، فأعطى كلا منهم ما سأل وتمنى، لم ينقصوا من غناه
شيئا، ولم ينقصوا مما عنده، إلا كما ينقص البحر إذا غمس فيه المخيط وجميع الشفعاء يخافونه،
فلا يشفع منهم أحد إلا بإذنه، وله الشفاعة كلها فبهذه الفروق يعلم جهل المشركين به،
وسفههم العظيم، وشدة جراءتهم عليه ويعلم أيضا الحكمة في كون الشرك لا يغفره اللّه تعالى،
لأنه يتضمن القدح في اللّه تعالى، ولهذا قال حاكما بين الفريقين، المخلصين والمشركين،
وفي ضمنه التهديد للمشركين
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Maksudnya, agar mereka mengajukan segala kebutuhan kami kepada Allah dan menjadi pemberi syafa’at bagi kami di sisiNya, kalau bukan demikian, maka sesungguhnya kami mengetahui bahwasannya berhala-berhala itu tidak bisa menciptakan sesuatu, tidak memberi rizki dan tidak memiliki sesuatu apapun. Maksudnya, orang-orang musyrik itu telah mengabaikan apa yang telah Allah Ta’ala perintahkan, yaitu ikhlas (tauhid), dan mereka dengan lancang telah melakukan perbuatan haram yang paling besar, yaitu syirik.
Mereka mengkiaskan Rabb yang
tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya, Yang Maharaja nan Mahaagung dengan
raja-raja (penguasa). Mereka beranggapan berdasarkan akal mereka yang rusak dan
pikiran mereka yang sakit, bahwasanya para raja tidak mungkin bisa
langsung ditemui kecuali melalui orang-orang terdekatnya, orang-orang kepercayaannya,
dan para menterinya yang mengajukan berbagai kepentingan (tuntutan) rakyatnya,
dan membujuknya untuk mengasihani rakyatnya serta memudahkan segala
permasalahan dalam hal tersebut, maka demikian juga (dengan) Allah Ta’ala.[3]
Analogi (qiyas) seperti ini adalah
analogi yang paling rusak, karena mengandung makna penyetaraan sang Khaliq
(Pencipta) dengan makhluq, padahal sudah pasti terdapat perbedaan yang sangat
besar antara keduanya secara akal, syar’i dan fitrah. Para raja membutuhkan
perantara (pembantu) yang menghubungkan mereka dengan rakyatnya, sebab mereka
tidak mengetahui kondisi rakyat, maka dibutuhkan orang yang (bertugas) memberitahu mereka
tentang kondisi rakyat secara langsung; dan barangkali tidak ada rasa kasih
sayang di dalam hati mereka kepada orang yang mempunyai keperluan (tuntutan),
sehingga dibutuhkan orang yang bisa membuat hati mereka kasihan kepada mereka.
Dan mereka membutuhkan para pembantu dan para menteri, dan rakyat takut kepada
mereka, sehingga para raja mau memenuhi kebutuhan orang-orang yang berperantara
kepada mereka demi menghormati dan menjaga perasaan mereka. Para raja itu juga
sebenarnya orang-orang fakir, kadang menahan sesuatu karena takut miskin.
Adapun Rabb, Allah Ta’ala, Dialah
yang pengetahuanNya meliputi segala sesuatu, baik perkara-perkara yang nampak
maupun yang tidak nampak. Dia tidak membutuhkan orang yang menginformasikan
kepadaNya tentang keadaan hamba-hambaNya, dan Dia juga (Dzat) Yang
Mahapengasih, Mahapemurah, tidak membutuhkan kepada salah seorang makhlukNya
untuk menjadikanNya mengasihi hamba-hambaNya. Bahkan Dia lebih (kasih) sayang
terhadap mereka daripada diri mereka sendiri dan daripada kedua orang tua
mereka. Dia-lah yang menghimbau dan mengajak mereka untuk melakukan sebab-sebab
yang dengannya mereka bisa mendapatkan rahmatNya, dan Dia menghendaki
kemashlahatan mereka yang tidak mereka kehendaki untuk diri mereka. Dia-lah
Yang Mahakaya, yang milikNya-lah kekayaan yang sempurna lagi absolut (mutlak),
yang jika sendainya seluruh manusia dari yang terdahulu hingga kemudian
terkumpul di satu tempat lalu semuanya memohon kepadaNya, kemudian Dia memberi
masing-masing permohonan dan harapannya, maka mereka tidak (akan) mengurangi
sedikitpun kekayaanNya dan mereka juga tidak mengurangi apa-apa yang ada di
sisiNya kecuali seperti berkurangnya samudera apabila sebilah jarum
ditenggelamkan ke dalamnya (lalu diangkat). Dan seluruh pemberi syafa’at takut
kepadaNya, sehingga tidak seorang pun di antara mereka dapat memberikan syafa’at
kecuali dengan izinNya, dan milikNyalah seluruh syafa’at.
Dengan perbedaan-perbedaan ini
dapat diketahui (bagaimana) kebodohan orang-orang musyrikin, kedangkalan pikiran mereka dan
betapa lancangnya mereka kepada Allah. Dan juga diketahui hikmah kenapa syirik
itu tidak diampuni oleh Allah Ta’ala, yaitu karena syirik mengandung arti
melecehkan Allah Ta’ala. Maka dari itu Dia berfirman sembari memberi keputusan
antara kedua golongan; orang-orang yang bertahuid dan orang-orang musyrik, dan
di dalamnya terdapat ancaman bagi kaum musyrikin,
( إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ )
وقد علم أن حكمه أن المؤمنين المخلصين في جنات النعيم، ومن يشرك باللّه فقد حرم اللّه عليه الجنة، ومأواه النار
“Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya”. Sudah dimaklumi
bahwa keputusanNya adalah bahwa orang-orang yang beriman yang berlaku ikhlas
ditempatkan di dalam surga-surga kenikmatan, sedangkan siapa saja yang
mempersekutukan Allah, maka Allah telah mengharamkan surga bagiNya dan tempat
tinggalnya adalah neraka.
( إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي ) أي: لا يوفق للهداية إلى الصراط المستقيم
( مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ ) أي: وصفه الكذب أو الكفر، بحيث تأتيه المواعظ والآيات،
ولا يزول عنه ما اتصف به، ويريه اللّه الآيات، فيجحدها ويكفر بها ويكذب، فهذا أنَّى
له الهدى وقد سد على نفسه الباب، وعوقب بأن طبع اللّه على قلبه، فهو لا يؤمن؟
“Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk”, maksudnya, tidak membimbing menuju hidayah pada jalan
yang lurus, “orang-orang yang pendusta lagi sangat
ingkar.” Maksudnya, orang yang karakternya adalah dusta atau kufur,
dimana nasihat-nasihat dan ayat-ayat sampai kepadanya, maka apa yang menjadi
karakternya tidak pernah hilang darinya. Dan Allah memperlihatkan kepadanya
tanda-tanda (mukjizat) namun ia mengingkari, kafir dan mendustakannya. Maka
orang yang seperti ini, bagaimana mungkin bisa mendapatkan petunjuk, karena dia
telah menutup pintu rapat-rapat atas dirinya sendiri, dan ia dihukum dengan
ditutup oleh Allah akan hatinya, maka dari itu ia tidak beriman.” [Taiseer
al-Kareem ar-Rahman vol. 6, juz. 23 dengan tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz
ash-Shumail]
Demikianlah tafsir QS. az-Zumar:
2-3 secara lengkap, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu Ta’ala a’lamu.
Dicopy-paste dari:
Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan vol 6,
juz. 23 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail.
______
Footnote
[1]. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Hafizh Ibnu
Jarir ath-Thabari dengan sanadnya dari Sufyan dari Manshur dari Mujahid tentang
firmanNya; “Maka apakah patut wahai orang-orang musyrik menganggap Latta dan
Uzza?”, Dia berkata, “Dia mengaduk sawiq, ketika dia mati mereka mendatangi
kuburannya.” Hal yang sama dikatakan oleh Abu al-Jauza’ dari Ibnu ‘Abbas
–radhiyallaahu ‘anhu-, “Dia membuat sawiq bagi jama’ah haji.” [Fathul Majid
Syarh Kitabut Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘alu asy-Syaikh]
[2]. Al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan dalam
tafsirnya;
وهذه أسماء رجال صالحين لما ماتوا زين الشيطان
لقومهم أن يصوروا صورهم لينشطوا -بزعمهم- على الطاعة إذا رأوها، ثم طال الأمد، وجاء
غير أولئك فقال لهم الشيطان: إن أسلافكم يعبدونهم، ويتوسلون بهم، وبهم يسقون المطر،
فعبدوهم، ولهذا أوصى رؤساؤهم للتابعين لهم أن لا يدعوا عبادة هذه الآلهة
“Ini sebenarnya adalah nama-nama orang shalih, dan ketika
mereka meninggal dunia, syaithan menghiasi kaum mereka agar membuat patung
mereka demi menyulut semangat mereka untuk beribadah ketika melihat
patung-patung itu sesuai anggapan mereka. Masa pun berlalu dan datanglah
generasi yang lain, syaithan berkata kepada mereka, “Para pendahulu kalian
menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai wasilah (perantara), dengan
mereka para pendahulu kalian meminta hujan, mereka menyembah patung-patung itu.
Karena itulah, para pemimpin mereka berpesan untuk tidak meninggalkan
penyembahan berhala-berhala ini.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7, juz.
29 dengan tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail]
[3]. Analogi inilah yang sering mereka kemukakan tatkala ditanya,
“Mengapa engkau menjadikan para penghuni kubur itu sebagai wasilah terhadap doa
atau permohonan-permohonanmu?”. Cocok sekali dengan apa yang dijelaskan oleh
al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu- diatas