Perjuangan Hidup Seorang Pemuda Jogja



Awal cerita dimulai dengan kalimat “Once upon a time” (sebagaimana cerita rakyat pada umumnya). Hidup seorang pemuda desa nan lugu di daerah “pedalaman” Yogyakarta, di daerah Kulon Progo (Persisnya dimana? plis jangan tanya, namanya juga cerita to, jadi sak karepe sing nulis wae.. :D). Dia adalah Brian (bukan nama sebenarnya, red), anak sulung dari tiga bersaudara pasangan petani. Koq keren, kayak nama orang bule, mana aksen jawanya? Katanya dari Jogja. Sebentar..sebentar, “Brian” itu adalah nama panggilannya, nama panjangnya (baca: sebenarnya) adalah Sabrianto (meskipun hanya sekedar samaran/rekaan). Kebetulan panggilan Sabri dan Yanto sudah dipatenkan (baca: dipakai) oleh tetangganya, jadilah nama Brian yang tersisa dan digunakan sebagai nama panggilan untuk membedakan dirinya dengan rekannya yang lain. Diceritakan bahwa ia adalah seorang anak yang baik, berbakti kepada kedua orang tuanya, dan mampu menjadi panutan bagi dua saudara kecilnya. Sebelum memasuki usia baligh, ia sudah ditinggal wafat oleh ayahnya. Jadilah ia anak yatim yang besar dibawah bimbingan Ibunya seorang. Kondisi tersebut tidak lantas membuat semangatnya surut (meskipun ia paham kondisi finansial keluarganya tidaklah mendukung), tekadnya masih tetap bulat, menjadi seorang Guru!. Bagi pemuda dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan seperti dirinya, profesi guru sangatlah prestigious. Tiap pagi sulung dari tiga bersaudara ini membawa sebongkah kayu balok, atau hasil bumi dari ladang peninggalan ayahnya untuk dijual di pasar. Uang yang ia dapatkan ia digunakan sebagai bekal perjalanannya menuju sekolah guru (di kotanya). Apabila bersisa, ia gunakan kembali sebagai bekal untuk hari berikutnya, dan demikian seterusnya. Suatu ketika kakak sepupu dan bibinya datang berkunjung dari pulau Sumatera. Dulunya mereka adalah transmigran, dan boleh dibilang mereka adalah transmigran yang sukses. Kehidupan mereka jauh lebih baik dari keluarga Brian. Kondisi ekonomi dan dukungan pendidikan yang lebih baik membuat sepupu brian tersebut bisa melanjutkan kuliahnya di UGM (kelak ia berkarir di Freeport McMoRan, Caltex & Pertamina hingga pensiun, red). Kunjungan tersebut sekaligus merupakan awal terjalinnya kembali tali silaturahmi yang sudah lama terputus karena jarak.

Beberapa tahun kemudian, Brian benar-benar mampu mewujudkan cita-citanya. Kerja kerasnya berbuah manis. Setelah lulus dari sekolah pendidikan guru, ia melamar menjadi tenaga pengajar. Waktu itu jumlah guru masih sangat terbatas seiring terbatasnya jumlah sekolah dan fasilitas pendidikan di wilayah pedesaan sehingga proses seleksi guru pun tidak terlalu susah/rumit (seperti sekarang). Namun demikian ada satu harapan yang (akhirnya) tak terwujud, i.e keinginannya mengajar di tempat kelahirannya. SK penempatan berkata lain, ia harus hijrah ke daerah (lain) yang jauh dari wilayahnya. Hal ini berarti pula bahwa ia harus meninggalkan Ibu dan kedua saudaranya.

Mengadu nasib, demikian istilah yang digunakan Brian menyikapi SK penempatannya. Ia berharap tempat barunya tersebut bersahabat. Ia beruntung memiliki saudara (yang juga perantau) di tempat barunya (sebut saja namanya Warto [bukan nama sebenarnya], red). Sungguh tak terhitung lagi jasa baiknya buat Brian. Ia diberikan tempat tinggal dan makanan gratis (ala kadarnya) selama di sana (sebelum ia berkeluarga, red). Baginya, Warto sudah ia anggap seperti orang tua ke-duanya. Gaji Brian tidaklah besar. Namun ia masih mampu menabung dan menyisihkan sebagian gajinya untuk membantu Ibu dan kedua saudaranya. Istilah Oemar Bakri sepertinya belum pupuler waktu itu, atau belum ada. Mungkin karena “pengkebirian” gaji pegawai negeri (baca: guru) sebagaimana yang disebutkan oleh lirik sebuah syair belum terasa. Atau sebenarnya sudah, hanya saja Brian, sang pemuda dari Jogja tersebut tidak pernah menghiraukannya. Hemm..entahlah. Hidup dan besar dalam sebuah keluarga yang sederhana membuat “segalanya yang terasa pahit bagi orang lain” terasa manis di sisi Brian. Mengapa?...karena kepahitan hidup adalah menu sehari-hari Brian sedari dulu, tidak ada yang berbeda dan tidak pula ada yang berubah. Pada suatu kesempatan Brian pernah berkata (mengenai prinsip hidupnya, red), “Ngudi kratoning narimo nggayuh swargo tentrem” yang maknanya (kurang lebih) bahwa menerima dengan ikhlas dan ridha terhadap pemberian Allah Tabaaraka wa Ta’ala, Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, akan membawa seseorang kepada ketentraman batin dan ketentaraman hidup (Itulah Qana’ah, red). Prinsip hidup yang selanjutnya ia ajarkan kepada anak-anaknya sebagai dasar/pondasi agar mereka mampu menghadapi kerasnya kehidupan beserta godaan-godaannya. Itulah cerita singkat seorang Brian, sang Oemar Bakri, pemuda lugu nan bersahaja dari Jogja….


Thanks to my father for his beautiful quote & story...



0 Respones to "Perjuangan Hidup Seorang Pemuda Jogja"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula