Jika Saya Seorang Pegawai Pajak...



Pajak lagi pajak lagi, ga ada tema yang lain apa?.. J. Dengan niat yang ikhlas mengharapkan Wajah Allah Ta’ala untuk saling berbagi, nasehat-menasehati dalam kebaikan dan takwa, kalaupun harus menulis dan mengulang seribu tema yang sama pun tidak jadi masalah. Menurut para ulama, menerangkan hukum sya’ri adalah perkara yang utama, karena dengan mengetahui hukum-hukum agama itu manusia bisa membedakan/ memisahkan mana yang haq dan mana yang bathil, yang halal, yang syubhat dan yang haram. Jika kita sekedar beramal saja tanpa mengetahui ilmunya, lalu bagaimana kita akan tahu dan yakin kalau amalan (yang kita kerjakan) tersebut benar?. Saking pentingnya ilmu, sampai-sampai Al-Imam al-Bukhari –raheemahullaahu- membuat sebuah judul bab pada kitab shahih-nya: “al-‘ilmu qabla al-qoul wal ‘amal: ilmu itu sebelum berkata dan beramal.” Begitu pula dengan masalah Pajak, sebelum berdalam-dalam di dunia tersebut, mengambil dan memakan harta dari sumber tersebut, sudah seharusnya kita mencari tahu hukum-hukumnya terlebih dahulu agar tidak menyesal di kemudian hari. Saya kutipkan penjelasan al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi –raheemahullaahu- terkait dengan Maks/Pajak/Bea Cukai dalam bab: المكاس. Namun sebelumnya, siapakah beliau?, Beliau adalah Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz at-Turkmany al-Fariqy ad-Dimasyqy asy-Syafi’i atau masyhur dengan sebutan al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi (w. 747 H), murid dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –raheemahullahu-. Beliau digelari Imamul Wujud Hifzhan (imamnya semua yang ada di hafalan), Syaikhul Jarhi wa Ta’dil (pakar dalam menilai ketsiqahan para perawi hadits) dan Rajul ar-Rijal fii Kulli Sabil (satu dari seribu orang dalam seluruh disiplin ilmu) oleh para ulama lain. Beliau juga seorang huffadz (hafal ribuan hadits i.e matan hadits beserta jalur-jalur periwayatannya, red) dengan banyak karya tulis terkenal semisal Mizanul I’tidal yang digunakan oleh para ahlul hadits sebagai rujukan dalam menilai ketsiqahan para perawi sanad. Berikut penjelasan beliau dalam kitabnya, al-Kabaair:

وهو داخل في قول الله تعالى إنما السبيل على الذين يظلمون الناس ويبغون في الأرض بغير الحق أولئك لهم عذاب أليم والمكاس من أكبر أعوان الظلمة بل هو من الظلمة أنفسهم فإنه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق ولهذا قال النبي المكاس لا يدخل الجنة وقال لا يدخل الجنة صاحب مكس رواه أبو داود وما ذاك إلا لأنه يتقلد مظالم العباد ومن أين للمكاس يوم القيامة أن يؤدي للناس ما أخذ منهم إنما يأخذون من حسناته إن كان له حسنات وهو داخل في قول النبي أتدرون من المفلس قالوا يا رسول الله المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع قال إن المفلس من أمتي من يأتي بصلاة وزكاة وصيام وحج ويأتي وقد شتم هذا وضرب هذا وأخذ مال هذا فيؤخذ لهذا من حسناته وهذا من حسناته فإن فنيت حسناته قبل أن يقضي ما عليه أخذ من سيئاتهم فطرحت عليه ثم طرح في النار

Perbuatan memungut pajak/cukai termasuk ke dalam firman Allah Ta’ala:

إنما السبيل على الذين يظلمون الناس ويبغون في الأرض بغير الحق أولئك لهم عذاب أليم

“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih”. (QS. Asy-Syura: 42)

Orang yang memungut pajak/cukai itu adalah orang yang paling besar bantuannya kepada orang-orang yang dzalim. Bahkan ia sendiri termasuk yang dzalim. Sebab, ia telah mengambil apa yang bukan menjadi haknya dan memberikannya kepada yang tidak berhak.

Nabi (Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) bersabda:

المكاس لا يدخل الجنة

“Pemungut pajak/cukai itu tidak akan masuk surga”

Beliau juga bersabda:

لا يدخل الجنة صاحب مكس رواه أبو داود

“Tidak akan masuk surga orang yang kerjanya memungut pajak/cukai” (HR. Abu Dawud)

Pemungut pajak/cukai itu memikul tanggung jawab penganiayaan terhadap manusia. Pada hari kiamat kelak mereka tidak akan mendapatkan sesuatu untuk membayar kembali hak orang yang sudah diambilnya. Sesungguhnya mereka akan membayarnya dengan diambilkan kebaikannya jika ia mempunyai kebaikan.

Rasulullah (Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) bersabda: “Tahukah kamu, siapakah orang-orang yang muflis/bangkrut itu?”, Sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, menurut kami orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki dirham atau kekayaan”, Rasulullah (Shallallaahu ‘alaihi wa sallama) menjelaskan, “Sebenarnya orang yang bangkrut dari ummatku itu adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa shalat, zakat, shiyam/puasa dan haji, namun ia datang dalam keadaan telah mencela si anu dan menumpahkan darah si anu. Maka kebaikannya diambil untuk si anu, diambil lagi untuk si anu. Apabila kebaikannya sudah habis sebelum habisnya kesalahannya terhadap orang-orang itu, maka diambillah kejahatan orang-orang itu lalu dipikulkan kepadanya, hingga akhirnya ia masuk neraka”... [al-Kabaair hal. 115, al-Hafidz adz-Dzahabi]

Pengutip: Salah satu alasan mengapa banyak orang yang tertarik untuk bekerja di sektor Perpajakan dan Bea Cukai adalah status sosial/ kedudukannya yang dianggap prestigeous di mata masyarakat dan pendapatannya (yang katanya) cukup besar. Namun bagi orang yang mengetahui hukum syariat seperti para ulama yang wara’ dan hanif, pekerjaan seperti itu tidaklah berfaidah sama sekali dan harus ditinggalkan. Mengapa demikian? Apa alasannya?. Kan prestigeous, kan gajinya gedhe, kan... kan.... Let’s take a look perkataan al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi berikut di dalam bab: “Memakan Barang Haram” (masih di dalam kitab yang sama i.e al-Kabaair), serem mas Bro..:

قال الله عز وجل ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل

Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil”. (QS. Al-Baqarah: 188)

قال ابن عباس رضي الله عنهما يعني باليمين الباطلة الكاذبة يقتطع بها الرجل مال أخيه بالباطل والأكل بالباطل على وجهين أحدهما أن يكون على جهة الظلم نحو الغصب والخيانة والسرقة والثاني على جهة الهزل واللعب كالذي يؤخذ في القمار والملاهي ونحو ذلك

Ibnu Abbas –radhiyallaahu ‘anhuma- berkata, “Maksudnya adalah dengan sumpah palsu, yang dengan sumpah palsu itu seseorang bisa mendapatkan harta saudaranya secara bathil.”

Memakan dengan cara yang bathil itu ada dua macam:

Pertama, Diperoleh dengan jalan kedzaliman seperti merampas, berkhianat atau mencuri.

Kedua, Diperoleh dengan cara bermain seperti berjudi, tempat-tempat hiburan dan lain-lain.

وفي صحيح البخاري أن رسول الله قال إن رجالا يتخوضونن في مال الله بغير حق فلهم النار يوم القيامة

Dalam shahih Bukhari disebutkan, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda:

“Sesungguhnya orang-orang yang menceburkan diri ke dalam harta Allah tanpa hak, maka bagi mereka disediakan Neraka pada hari kiamat.”

وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله الدنيا حلوة خضرة من اكتسب فيها مالا من حله وأنفقه في حقه أثابه الله وأورثه جنته ومن اكتسب فيها مالا من غير حله وأنفقه في غير حقه أدخله الله تعالى دار الهوان ورب متخوض فيما اشتهت نفسه من الحرام له النار يوم القيامة

Ibnu Umar -radhiyallaahu ‘anhuma- meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Dunia itu manis dan hijau. Barangsiapa berusaha di dalamnya secara halal lalu menafkahkannya pada jalan yang benar, niscaya Allah Ta’ala akan mengganjarnya dan mewariskan Surga baginya. Dan barangsiapa berusaha di dalamnya melalui cara yang haram dan membelanjakannya pada jalan yang tidak benar, niscaya Allah Ta’ala akan memasukannya ke tempat yang hina (Neraka). Berapa banyak orang yang menceburkan diri pada apa-apa yang haram yang disenangi hawa nafsunya, mengakibatkan ia masuk neraka pada hari Kiamat nanti”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab [5139] dari Ibnu Umar, ash-Shahih [3410])

وقال سفيان الثوري من أنفق الحرام في الطاعة كمن طهر الثوب بالبول والثوب لا يطهره إلا الماء والذنب لا يكفره إلا الحلال

Berkata Sufyan ats-Tsauri –Raheemahullaahu-, “Orang yang menafkahkan uang haram dalam perbuatan ta’at adalah ibarat orang yang mencuci baju dengan air seni. Padahal baju tidaklah dicuci kecuali dengan air, dan dosa tidaklah dihapus kecuali dengan yang halal.”.... [al-Kabaair hal. 118, al-Imam adz-Dzahabi]

Look!, al-Imam Sufyan ats-Tsauri (salah seorang ulama besar salafus shalih dari (salah satu) generasi terbaik Islam, tabi’ut tabi’in, red) saja menyamakan “uang haram” dengan “air seni” yang jelas-jelas najis dan tidak bisa digunakan untuk bersuci. Padahal itu ditujukan untuk kebaikan semisal menafkahi anak istri, shadaqah, menyantuni anak yatim dll, apatah lagi jika digunakan untuk keburukan/ kemaksiatan. Pertanyaannya; Jika Maks/Pajak/Bea Cukai dihukumi haram oleh para ulama berdasarkan nash-nash shahih karena mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak haq (syar’i), lantas bagaimana dengan penghasilannya?, bagaimana dengan daging yang tumbuh dari makanan yang dibeli dari uang tersebut?, bagaimana dengan doa dan ibadah dari orang yang mendapatkan harta dengan jalan tersebut?...

Sebenarnya tidak ada masalah dengan sisi prestigeousnya, begitu pula dengan pendapatannya yang besar, namun jangan sampai hal-hal membanggakan dan mengagumkan yang sifatnya fana dan hanya sementara itu mengalahkan perkataan/ hukum Allah dan RasulNya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Kemulian tidaklah diukur dengan banyak atau sedikitnya harta koq mas Bro, karena jika itu tolok ukurnya, tentu Fir’aun dianggap lebih mulia dari nabi Musa ‘Alaihissalam. Yang memandang mulia tidaknya seseorang dari banyak sedikitnya harta hanya mereka kaum kuffar sebagaimana penjelasan al-Imam al-Qurthubi, “..Sesungguhnya kemuliaan menurut orang kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang mukmin, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan kepada Allah dan bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah memberinya rizki di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya.” [Al-Jaami’ li Ahkamil Qur’an]

Jika saya seorang pegawai Pajak, maka tidak ada pilihan lain yang lebih baik bagi saya kecuali mengajukan pindah ke bagian lain atau resign dari pekerjaan tersebut (worst case jika ikhtiar pertama ditolak atasan, red) dan mencari pekerjaan lain yang lebih halal demi kebaikan saya sendiri dan keluarga... Wallaahu a’lam...



13 Respones to "Jika Saya Seorang Pegawai Pajak..."

Abdullah mengatakan...

alhamdulillah pendapatnya,, jikalau antum merasa bahwa pajak itu haram,, niscaya antum pastinya mengerti memakai sesuatu yang haram,, dan menikmati sesuatu yang haram tersebut pastinya antum pun akan berdosa,, sekarang saya tanya.. apakah selama antum hidup antum memakai jalan raya sebagai sarana perjalanan antum?? kalau memang antum merasa pajak haram,, silahkan jalan di jalan yang masih tanah dan belum dibangun oleh pemerintah,, lalu apakah antum masih merasakan subsidi pemerintah?? kalau masih,, cobalah berpikir ,, dosakah antum memakai dan menikmati sesuatu yang menurut antum adalah haram??? mohon penjelasan..


3 Juli 2013 pukul 21.24
Old Nakula mengatakan...

Apakah anda bisa memastikan bahwa fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah 100% berasal dari uang Pajak? Atau berasal dari harta yang bercampur (dari jalur Niaga -via BUMN dkk misalnya- + uang Pajak)?. Karena sejauh informasi yang saya ketahui bahwa Kas negara itu tidak hanya berasal dari sektor pajak saja, namun juga berasal dari berbagai macam sumber lain (baik melalui jalan yang halal seperti perniagaan maupun yang haram seperti pajak, riba dll). Dan membangun fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dari harta seperti ini -sejauh pengetahuan saya, wallaahu a'lam- diperbolehkan. Untuk memperkaya wawasan, silahkan anda membaca artikel lain di tempat yang lain yang membahas masalah "Hukum memanfaatkan uang haram".

Kembali lagi ke konteks pembahasan diatas bahwa yang dikritik oleh para ulama (pada artikel di atas, red) adalah pekerjaan haramnya (yang berimplikasi kepada harta yang ia makan, yang juga dikonsumsi oleh anak dan istrinya, red) bukan pemanfaatan hartanya.

Btw, anda bekerja di kantor Pajak ya?,.. saran saya berusahalah untuk keluar dari lingkaran pekerjaan tersebut dan mencari pekerjaan lain yang halalan thayyiban sebagai sikap wara', insyaAllah Allah Ta'ala akan memudahkan hamba-hambaNya yang menjaga diri dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.


4 Agustus 2013 pukul 21.01
Unknown mengatakan...

Waduh om dalil memperbolehkannya uang haram dari mana y? Saya jg td udh ikut baca yg disuruh yaitu "hukum memanfaatkan uang haram" referensi dr om. tp mlh yg saya dapetin kl dr memperolehnya aj udh hram pggunaannya sama aja. Berhubung saya org awam. Tolong donk kasih dalilny yg membolehkan. Setau saya yg mengharamkan pajak itu hanya ulama wahabi. Ulama lainnya justru menghalal kan. Skrg coba deh om yg googling lg tentang pajak haram gaknya. Krn setau saya pun. Mengharamkan suatu yg halal itu dosa. :)


1 September 2013 pukul 10.39
Old Nakula mengatakan...

Mohon dibaca baik-baik komentar saya sebelumnya ya Tante :), perhatikan kalimat berikut:

"Apakah anda bisa memastikan bahwa fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah 100% berasal dari uang Pajak? Atau berasal dari harta yang BERCAMPUR(dari jalur Niaga -via BUMN dkk misalnya- + uang Pajak)?. Karena sejauh informasi yang saya ketahui bahwa Kas negara itu TIDAK HANYA BERASAL dari sektor pajak saja, namun juga berasal dari berbagai macam sumber lain (baik melalui jalan yang halal seperti perniagaan maupun yang haram seperti pajak, riba dll). Dan membangun fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dari harta seperti ini -sejauh pengetahuan saya, wallaahu a'lam- DIPERBOLEHKAN."

Dari penjelasan al-Hafizh adz-Dzahabiy -raheemahullaahu- dalam bab: Maks atau Pajak (pada artikel) di atas, maka saya meyakini akan haramnya pajak secara mutlak (Dalilnya jelas, silahkan baca kembali artikel di atas, kecuali dalam kondisi yang darurat, seperti kosongnya kas negara dll, red). Kemudian saya bertanya; Apakah harta yang digunakan oleh pemerintah untuk membangun fasilitas umum itu seluruhnya berasal dari Pajak?? (ini adalah pertanyaan saya kepada komentator sebelumnya sebagai counter balik kepada ybs akan sinismenya dia terhadap penjelasan al-Hafzih adz-Dzahabiy, red). Perhatikan kalimat yang saya CAPSLOCK diatas, i.e kalimat "Harta Bercampur", dan inilah yang saya maksud hukumnya "boleh". Adapun seseorang yang mendapatkan upah dari pekerjaan yang haram, maka uang yang didapatkannya juga haram. Namun apakah orang lain yang menerima uang haram tersebut (melalui proses jual beli misalnya, red) atau dalam bentuk yang lain otomatis akan dikatakan "telah memperoleh harta yang haram"? atau dilarang menerima uang tersebut?.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ يَهُوْدِيَّةً أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ، فَأَكَلَ مِنْهَا . . . الْحَدِيْثَ

“Bahwasanya seorang wanita Yahudi mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seekor domba yang telah dibumbui racun, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya…. ” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim no. 2190)

Merupakan sesuatu yang diketahui bersama bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani banyak memakan harta riba dan tidak menjaga diri dari penghasilan yang haram. Mereka menghasilkan harta dengan cara yang halal dan haram. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan untuk memakan sembelihan mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan sembelihan mereka. Oleh karenanya muncul kaidah ushul fiqh:

أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqa’ Al Bab Al Maftuh)

Dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Zirr bin Abdillah, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَهُ فَقَالَ: إِنَّ لِيْ جَارًا يَأْكُلُ الرِّباَ وَإنَِّهُ لاَ يَزَالُ يَدْعُوْنِي. فَقَالَ: مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ

“Bahwasanya seorang lelaki bertanya kepadanya dengan berkata: ‘Sesungguhnya aku mempunyai tetangga yang memakan riba dan senantiasa mengundangku untuk makan di rumahnya.’ Maka Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Nikmatnya untukmu dan dosanya atas dirinya’. [Mushannaf 'Abdurrazaq (no. 14675) dan dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal]

Dan dalil tentang haramnya Pajak itu jelas, maka tidakkah engkau takut pula mengikuti pendapat yang menghalalkannya (yang artinya menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah)?, atau dirimu tidak membaca dengan teliti mengapa sebagian ulama menghalalkannya?. Silahkan dipikirkan,..


1 September 2013 pukul 20.20
Abdullah mengatakan...

JAKARTA (Pos Kota) – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin menyatakan haram hukumnya gerakan memboikot pajak karena membayar pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah.

“Saya memahami kekecewaan masyarakat terkait adanya pegawai pajak yang menjadi makelar pajak. Namun, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk memboikot membayar pajak,” tutur Ma’ruf di Kantor MUI, Jakatar, Rabu (7/4).

Ia mengatakan hukum pajak adalah wajib berdasarkan hukm syariah untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Karena pajak itu untuk untuk kemaslahatan kita semua, di mana uang pajak itu masuk ke kas negara yang nantinya dipergunakan untuk membangun berbagai fasilitas yang akan digunakan oleh rakyat.

Maruf menyebutkan, membayar pajak itu wajib berdasarkan hukum syariah. Hal itu mencontoh penerapan kebijakan serupa dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab usai Nabi wafat.

“Saat itu, kekhalifahan Islam telah memiliki banyak pegawai dan tentara yang bertugas melayani dan melindungi masyarakat. Namun, dana baitulmal bersumber zakat tidak mencukupi. Terlebih, dana zakat hanya bisa digunakan untuk delapan golongan saja. Karena tidak cukup dari Baitulmal makanya ada pajak yang dikenal dengan istilah darb,’’ kata Ma’ruf.

Diberitakan sebelumnya ide gerakan boikot pajak muncul lewat situs jejaring sosial facebook. Gerakan ini muncul atas kekecewaan dengan terjadinya kasus makelar pajak yang dilakukan Gayus Tambunan, pegawai pajak di Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki dana di rekeningnya sebesar Rp28 miliar.

sumber : http://poskota.co.id/berita-terkini/2010/04/07/mui-boikot-pajak-itu-haram


2 September 2013 pukul 04.50
Old Nakula mengatakan...

@Ruhiyat, Hehe,.. Hujjahnya kira-kira apa ya?, silahkan anda paparkan disini secara ilmiyah dari al-Kitab wa Sunnah bi fahmy as-Salaful ummah ya,..


2 September 2013 pukul 05.53
Anonim mengatakan...

Berarti boleh ya mengambil/memanfaatkan sesuatu yg sumbernya dari campuran halal+haram. Padahal kita tahu betul, bahwa itu berasal dari sesuatu yg bercampur halal+haram. Beneran nanya nih, soalnya kok beda banget dengan yg kutahu selama ini


17 Maret 2015 pukul 01.41
Anonim mengatakan...

membayar pajak haram tpi memanfaatkannya halal..?? gimana sih gak ngerti?? pembangunan di biayai oleh APBN sedangkan mayoritas APBN dari pajak 78% klo gak salah dan itu belum termasuk bea cukai, tidak termasuk Pajak bumi dan bangunan dan retribusi, jdi klo pajak haram besok2 berangkat kerja terbang aja jgn manfaatkan jalan yg di bangun pemerintah dari hasil pajak.. hahaha


6 Agustus 2015 pukul 01.53
METROJAYA mengatakan...

perlunya ijma ulama kalo pajak dan cukai sudah mendzolimi orang islam. kasihan pegawai pajak yang niatnya cuma kerja tapi nggak mengerti hukum syar'i.Dampaknya besar bagi negara makanya negara ini hutang melulu.padahal kalo zakat orang muslim dimaksimalkan bisa menjadi solusi buat negara.


1 Januari 2016 pukul 14.31
MeGoogle mengatakan...

Sayangnya kita banyak yang bangga, senang, menjadi harapan kerja yang ga ada beda sama sekali dengan rampok seperti ini…..mereka tidak sadar, begitu mendapat kerja di bagian rampok ini seolah-olah itulah penyelamat hidup mereka…
Mereka bisa menghidupi keluarganya, makan uang rampokan dari rakyat, menyekolahkan anak dari kerja memeras rakyat, seoalah hidupnya akan aman…menyelenggarakan kebutuhan dunia bahkan untuk akhirat dengan mengandalkan hasil rampokan…
Benar-benar tidak masuk di akal sehat, jika mereka memang berpikir (orang islam) dalam beragama islam, kecuali mereka berpikir yang orientasinya tidak jauh pemaksaan kehendak dari ketiadaan kemampuan atau lemah dalam berpikir bertahan hidup di dunia ini…


23 Agustus 2016 pukul 17.26
Anonim mengatakan...

yg ga setuju sama pajak... penunggak pajak ya?????? udah punya NPWP belum... hidup di dunia ibi mau gratisan.... malu dooong...


7 Oktober 2016 pukul 02.25
Old Nakula mengatakan...

@Anonim 7 Oktober 2016 02.25: Sungguh pertanyaan konyol,.. saya membayar pajak, saya tidak pernah menunggak pajak, saya punya npwp,.. masalah?


14 Oktober 2016 pukul 02.35
Unknown mengatakan...

Assalamu'alaykum akhi, maaf ikut menyimpulkan, dari kajian yang sudah saya dengar seperti Ustadz dr.Khalid Basalamah dan Ustadz dr.Erwandi Tarmizi setangkepnya saya yang haram itu bekerja di instansi pajak dan beacukainya , kalo membayar pajaknya insyaallah tidak haram, karena menaati peraturan yang ditetapkan oleh ulil amri, selain itu membayar pajaknya kita bisa niatkan shodaqoh untuk membantu pemerintah. Wallahu a'lam


26 Oktober 2016 pukul 19.55

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula