Anda Seorang Pemimpin Atau Penguasa? Belajarlah Dari Kisah Dzulqarnain



Kalau saja para penguasa di negeri ini benar-benar mau membantu rakyatnya dengan ikhlas tanpa pamrih, tanpa syarat atau embel-embel “sesuatu” di belakangnya , “ya alhamdulillah”. Itu benar-benar luar biasa dan memang demikian seharusnya sikap seorang pemimpin itu, nggih to?. Namun apakah fakta di lapangan demikian?, wallaahu Ta’ala a’lamu. Coba perhatikan berita berikut, “Pungli Masih Marak, Pengusaha dan Buruh Jadi Korban.” Kalau memang niatnya ikhlas membantu pengusaha dan buruh agar perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di negeri ini maju dan sejahtera (dulu kan janjinya mau mensejahterakan rakyat, red), mengapa mereka masih diperah (baca: dipungut secara liar) lagi ya?, sudah dibebani pajak, masih dipalak pula. Sungguh memprihatinkan, bukankah demikian faktanya?. Atau coba anda baca judul berita yang satu ini, “Jaksa Pemeras Tersangka Rp 500 Juta Harus Diseret ke Pengadilan.” Nah kalau case yang satu ini (atau yang semisalnya) sudah menjadi rahasia umum (diketahui bersama, red) bahwa hal itu memang kerap terjadi. Kebetulan kasus semisal pernah menimpa salah seorang tetangga kami (di Bandung) yang keluarganya terjerat permasalahan hukum hingga harus berakhir di penjara. Beliau menceritakan (langsung ke kami) bahwa ia harus menyerahkan uang sejumlah sekian dan sekian ke pihak Lapas (sebagai institusi yang memberian penilaian terhadap perilaku terpidana selama di tahanan, atau report lah istilahnya, red) jika ingin saudaranya itu mendapatkan remisi. Semakin banyak uang yang diserahkan, semakin besar pula “diskon” remisi yang bisa diberikan pihak Lapas kepada saudaranya itu. Hanya saja, tidak semua pemimpin (di negeri ini) itu berperilaku buruk, maka dari itu case diatas tidak bisa digeneralisir person to person. Wallaahu a’lam..

Sepertinya para pemimpin masa kini (entah yang berada di Instansi Pemerintah, Instansi Swasta, atau Para Wakil Rakyat yang konon “terhormat” itu, red) perlu membaca dan mengkaji kembali kisah keteladanan para pemimpin Islam masa lalu yang ‘alim lagi shalih (bukan pemimpin yang dzahirnya terlihat baik, namun menghalalkan taqiyah [bermuka dua, berdusta], red) mengenai bagaimana seharusnya seorang pemimpin yang bijak itu menempatkan (memposisikan) dirinya di tengah-tengah rakyatnya/ masyarakatnya, khususnya yang terkait “tolong-menolong/ ta’awun tanpa pamrih”, sebagaimana kisah Dzulqarnain berikut.

Dalam Al-Qur’an dikisahkan bahwa tatkala Dzulqarnain mendapati suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan )di antara dua buah gunung(, kaum itu berkata kepadanya:

قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا (94

“Mereka berkata, ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka.’” (QS. Al-Kahfi: 94)

وقد أعطى الله ذا القرنين من الأسباب العلمية، ما فقه به ألسنة أولئك القوم وفقههم، وراجعهم، وراجعوه، فاشتكوا إليه ضرر يأجوج ومأجوج، وهما أمتان عظيمتان من بني آدم فقالوا: ( إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ) بالقتل وأخذ الأموال وغير ذلك. ( فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا) أي جعلا ( عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا ) ودل ذلك على عدم اقتدارهم بأنفسهم على بنيان السد، وعرفوا اقتدار ذي القرنين عليه، فبذلوا له أجرة، ليفعل ذلك، وذكروا له السبب الداعي، وهو: إفسادهم في الأرض

“Sungguh, Allah telah memberikan sebab kausalitas ilmiah bagi Dzulqarnain yang menyebabkannya sanggup memahami bahasa mereka dan memaklumi kondisi mereka, hingga Dzulqarnain bisa berkomunikasi dengan mereka, dan mereka pun dapat menjalin komunikasi dengannya. Mereka pun menyampaikan keluhan tentang gangguan dari Ya’juj dan Ma’juj. Mereka berkata, ( إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ) ‘sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi’, dengan tindakan pembunuhan, merampas harta (orang lain) dan tindakan buruk lainnya, ( فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا ) ‘maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu’, hadiah timbal balik, ( عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا )‘supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka.’ Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mampu membangun dinding sendiri dan mengetahui kemampuan Dzulqarnain. Maka mereka menyodorkan bayaran agar dia membuatnya disertai menyampaikan kepadanya tentang alasan yang mendorong mereka (meminta pertolongan), yaitu kerusakan yang ditimbulkan oleh kaum Ya’juj dan Ma’juj di bumi.” (Taisir al-Kareem ar-Rahman vo. 4, juz. 16)

Dalam kisah (yang Allah abadikan dalam firman-Nya) diatas dijelaskan bahwa suatu kaum menyampaikan uneg-uneg/ permasalahan kepada Dzulqarnain mengenai kejahatan yang dilakukan oleh Ya’juj dan Ma’juj (kepada mereka) dan mereka yang lemah meminta bantuan Dzulqarnain, seorang pemimpin yang shalih itu agar membangunkan dinding bagi mereka sebagai benteng perlindungan dan kemudian menawarkan imbalan kepadanya. Note: Dzulqarnain tidaklah meminta kaum itu untuk membayarnya, namun kaum itu sendirilah yang menawarkan upah kepadanya. Lantas bagaimana sikap Dzulqarnain?

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;

قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا (95

“Dzulqarnain berkata, ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.’” (QS. Al-Kahfi: 95)

فلم يكن ذو القرنين ذا طمع، ولا رغبة في الدنيا، ولا تاركا لإصلاح أحوال الرعية، بل كان قصده الإصلاح، فلذلك أجاب طلبتهم لما فيها من المصلحة، ولم يأخذ منهم أجرة، وشكر ربه على تمكينه واقتداره، فقال لهم: ( مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ) أي: مما تبذلون لي وتعطوني، وإنما أطلب منكم أن تعينوني بقوة منكم بأيديكم ( أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا) أي: مانعا من عبورهم عليكم

Dzulqarnain bukan tipe orang yang rakus dan gandrung terhadap dunia, dan bukan tipe orang yang enggan untuk memperbaiki keadaan rakyatnya. Bahkan orientasinya adalah melakukan perbaikan. Untuk itu dia menyambut permintaan mereka, karena mengandung kemashlahatan tanpa meminta timbal balik. Justru dia bersyukur kepada Allah atas kekuasaan dan kemampuan yang dimiliki. Dia berkata kepada mereka, ( مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ ) ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik’, maksudnya lebih baik daripada apa yang kalian kerahkan dan berikan kepadaku. Aku hanya meminta kalian membantuku dengan kekuatan fisik kalian melalui tangan tangan kalian, ( أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا ) ‘agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.’ Yaitu dinding yang akan menghalangi mereka menyeberang kepada kalian.” (Taisir al-Kareem ar-Rahman vo. 4, juz. 16)

Lihatlah, Dzulqarnain bukanlah hamba Allah Ta’ala yang tamak/ rakus terhadap dunia. Tidaklah ia pamrih atas usahanya dan ikhlas membantu rakyatnya tanpa meminta imbalan harta sepeser pun. Sungguh bertolak belakang sekali dengan perilaku (beberapa) pembesar kita saat ini yang justru memanfaatkan kekuasaan dan kedudukannya untuk meraih kemasyhuran, ketenaran, dan kekayaan duniawi, meski harus menggunakan cara-cara kotor sekalipun. Dzulqarnain tidak pernah meminta imbalan tatkala rakyatnya meminta bantuannya, justru ia mengorbankan apa yang ia miliki demi kebaikan rakyatnya. Coba bandingkan dengan kondisi (beberapa) pemimpin di zaman ini, begitu kontras (180 derajat) dengan potret (pemimpin) masa lalu. Sudah mafhum di telinga kita bahwa (beberapa) diantara mereka (justru sengaja) meminta imbalan, meminta jatah, meminta persenan (atau apalah namanya) kepada rakyat yang lemah atau yang mengadukan permasalahan hidupnya dengan alasan/ dalih-dalih yang tidak masuk akal, padahal kekayaan mereka sudah melimpah, bahkan kekuasaan juga sudah digenggamnya (atas kehendak Allah tentunya) untuk melakukan perubahan. Kalau saja mereka bersikap amanah, jujur, zuhud, wara’, tawadhu dan shalih, saya yakin setiap kali mereka membutuhkan bantuan rakyatnya, (tanpa banyak bertanya dan bicara) rakyat akan membantunya dengan sekuat tenaga, sebagaimana kaum Dzulqarnain yang dengan senang hati membantu pemimpinnya yang shalih itu.

Satu lagi, ketika suatu permasalahan terpecahkan atau kondisi yang (sebelumnya) buruk berangsur-angsur membaik, coba anda perhatikan: mereka saling berlomba-lomba, saling mengklaim satu sama lain di atas mimbar atau di depan khalayak ramai (rakyat) atas keberhasilan yang sudah diraih tersebut dengan mengatakan bahwa (semua itu) tidak terlepas dari usaha dan hasil kerja keras dirinya atau kelompoknya. Sikap ‘ujub yang muncul tersebut pada akhirnya menutup pintu rasa syukur dan pujian yang seharusnya ditujukan kepada Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Bandingkan dengan Dzulqarnain, ia justru berkata (ketika berhasil membangun dinding yang diminta rakyatnya, red):

هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي .... (98

“..Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku..” (QS. Al-Kahfi: 98)

أي: من فضله وإحسانه عليَّ، وهذه حال الخلفاء الصالحين، إذا من الله عليهم بالنعم الجليلة، ازداد شكرهم وإقرارهم، واعترافهم بنعمة الله كما قال سليمان عليه السلام، لما حضر عنده عرش ملكة سبأ مع البعد العظيم، قال: هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ بخلاف أهل التجبر والتكبر والعلو في الأرض فإن النعم الكبار، تزيدهم أشرا وبطرا.

كما قال قارون -لما آتاه الله من الكنوز، ما إن مفاتحه لتنوء بالعصبة أولي القوة- قال: إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي

“Maksudnya berasal dari keutamaan dan kebaikanNya yang tercurahkan bagiku. Inilah kondisi para khalifah (penguasa) yang shalih, saat mereka menerima kenikmatan yang agung dari Allah, niscaya rasa syukur, penetapan, dan pengakuan terhadap kenikmatan Allah semakin meningkat. Seperti yang dikatakan oleh Sulaiman ‘Alaihissalam ketika singgasana ratu Saba’ muncul di hadapannya, padahal jaraknya sangat jauh. Beliau berkata;

هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ

“Ini termasuk karunia Rabbku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmatNya).” (QS. An-Naml: 40)

Berbeda halnya dengan orang-orang yang sombong, takabur, dan congkak di atas bumi ini, kenikmatan-kenikmatan yang besar semakin menambah keburukan dan kesombongan mereka. Seperti yang dikatakan oleh Qarun tatkala dikaruniai perbendaharaan kekayaan yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sekumpulan orang-orang kuat. Dia berkata;

إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي

“Sesungguhnya aku hanya diberi harta karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78)”

(Taisir al-Kareem ar-Rahman vo. 4, juz. 16)

Ya,.. Qarun mengklaim apa yang didapatnya, apa yang berhasil dinikmati oleh dirinya dan orang lain tersebut adalah hasil dari kerja kerasnya dan ilmunya semata tanpa campur tangan Allah Subhaanahu wa Ta’ala sedikit pun. Sungguh bentuk kesombongan yang nyata. Mudah-mudahan Allah Ta’ala membukakan mata hati para pemimpin kita, menjadikan mereka orang-orang yang shalih dan amanah dan menujukki mereka dan kita jalan kebenaran yang hakiki, menganugerahi lisan yang baik (kepada kita) dan hati yang bersyukur yang jauh dari sifat sombong dan sifat tercela lainnya, amieen. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.



0 Respones to "Anda Seorang Pemimpin Atau Penguasa? Belajarlah Dari Kisah Dzulqarnain"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula