Allah Luaskan dan Sempitkan Rezeki Kepada Siapa Saja Yang Dia Kehendaki



al-‘Allamah as-Sa’di –raheemahullaahu- menjelaskan dalam tafsirnya;

ولا ينبغي للإنسان أن يغتر بحالة الإنسان الدنيوية، ويظن أن إعطاء الله إياه في الدنيا دليل على محبته له وأنه على الحق ولهذا قال: ( فَلا يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلادِ ) أي: ترددهم فيها بأنواع التجارات والمكاسب، بل الواجب على العبد، أن يعتبر الناس بالحق، وينظر إلى الحقائق الشرعية ويزن بها الناس، ولا يزن الحق بالناس، كما عليه من لا علم ولا عقل له

“Maka hendaknya seseorang tidak terpedaya dengan kondisi duniawi seseorang, dan hendaknya ia tidak mengira bahwa pemberian Allah yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini adalah sebagai bukti atas cinta Allah kepadanya, dan dia berada dalam kebenaran!, Maka dari itu Allah berfirman ( فَلا يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلادِ ) “Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu.” Maksudnya, pulang pergi (bolak-balik) mereka di negeri ini dengan berbagai bentuk perniagaan dan usaha bisnis (jangan sampai membuatmu terlena). Malah yang wajib atas setiap orang adalah menilai orang lain dari sisi kebenarannya dan melihat dari sisi-sisi syariat (norma-norma agama) dan dengannya ia menilai manusia; jangan menilai kebenaran dengan manusia, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berilmu dan tidak berakal.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24)

Banyak orang yang seringkali tertipu dengan keadaan dunia seseorang. Tidaklah berarti bahwa orang yang Allah Ta’ala anugerahi harta yang melimpah atau kedudukan yang tinggi itu adalah orang-orang pilihanNya, tidak berarti pula bahwa orang-orang yang Allah Ta’ala sempitkan kehidupan dunianya menunjukkan kalau Allah Ta’ala menghinakannya. Ketahuilah bahwa itu semua adalah bentuk ujian dari Allah Ta’ala untuk melihat dan memilah mana hamba-hambaNya yang kufur dan mana hamba-hambaNya yang bersyukur. Ah sok tau lo!, Okay,..coba perhatikan firman Allah Ta’ala berikut:

ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ (49

“Kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah berdasarkan pengetahuan’. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 49)

Lihat kalimat yang digarisbawahi, bagaimana,.. iya kan?. Biar semakin jelas, saya tambahkan penjelasan al-‘Alim Rabbani al-‘Allamah as-Sa’di –raheemahullaahu- terkait ayat yang saya garis bawahi;

بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ ) يبتلي اللّه به عباده، لينظر من يشكره ممن يكفره )

( بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ ) “Sebenarnya itu adalah ujian”; yang dengannya Allah menguji hamba-hambaNya, agar Dia melihat siapa yang bersyukur kepadaNya dan siapa pula yang mengingakariNya.

وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ ) فلذلك يعدون الفتنة منحة، ويشتبه عليهم الخير المحض، بما قد يكون سببا للخير أو للشر )

( وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ ) “tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui”; maka dari itu mereka menganggap ujian itu sebagai pemberi kebaikan yang murni, dan tidak jelas bagi mereka antara yang jelas baik dengan apa-apa yang kadang bisa menjadi sebab bagi kebaikan dan bisa menjadi sebab keburukan.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24)

Coba perhatikan, mereka yang tidak mengetahui dan terlena itu malah berkata ( إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ ) ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah berdasarkan pengetahuan’, أي: علم من اللّه، أني له أهل، وأني مستحق له، لأني كريم عليه، أو على علم مني بطرق تحصيله ‘Maksudnya; pengetahuan Allah bahwasanya aku memang ahlinya dan aku berhak mendapatkannya, sebab aku sangat pemurah dengan harta tersebut; atau karena kepintaranku akan cara-cara memperolehnya’. (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24). Begitulah tabiat “default”nya manusia, sudah dikasih, tapi tidak tahu berterima kasih. Bukannya tawadhu’, malah menyombongkan diri. Akhirnya apa?.. Mereka dibinasakan!. al-‘Allamah as-Sa’di –raheemahullaahu- menjelaskan;

فما زالت متوارثة عند المكذبين، لا يقرون بنعمة ربهم، ولا يرون له حقا، فلم يزل دأبهم حتى أهلكوا

“Dan ia (i.e manusia yang mengklaim haknya dengan sombong itu, red) menjadi warisan bagi orang-orang yang mendustakan, mereka tidak mengakui nikmat Rabb mereka, dan mereka tidak meyakini hakNya (untuk diibadahi, disyukuri, red). Demikianlah kebiasaan dan tabiat mereka berlanjut hingga mereka dibinasakan kemudian.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24)

Padahal (coba kita ingat-ingat kembali, red) apa yang kita lakukan ketika kita merasa sudah tak berdaya dan tak kuasa lagi menanggung ujian dari Allah Ta’ala?. Yup,.. kita menangis tersedu-sedu di setiap doa yang kita panjatkan kepadaNya dan memohon kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar Dia menjauhkan kesempitan hidup yang sedang menimpa kita dan menggantinya dengan limpahan nikmat yang banyak, iya kan?. Saya yakin 100% iya karena Allah Ta’ala sendiri yang mengabarkan;

فَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا

“Maka apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami...” (QS. Az-Zumar: 49)

يخبر تعالى عن حالة الإنسان وطبيعته، أنه حين يمسه ضر، من مرض أو شدة أو كرب. ( دَعَانَا ) ملحا في تفريج ما نزل به

“Allah Ta’ala mengabarkan tentang kondisi dan tabiat manusia, yaitu apabila ia ditimpa hal yang membahayakan seperti penyakit, kesempitan atau kesusahan, ( دَعَانَا ) ‘ia menyeru Kami’ dengan merengek-rengek untuk membebaskan diri dari apa yang menimpanya.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24)

Dalam kondisi kritis seperti itu, tauhid rububiyyah kita -selaku hamba yang lemah- kembali normal dengan meyakini seyakin-yakinnya bahwasanya hanya ada satu Dzat yang mampu membebaskan kita dari segala macam masalah yakni Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Tapi ketika masalah tersebut dihilangkan (atas kehendak dan kebaikanNya), kita lupa bersyukur kepadaNya. Singkatnya, kelebihan dunia yang dimiliki oleh seseorang itu bukanlah tolok ukur kecintaan Allah Ta’ala kepadanya. Diluaskan dan disempitkannya rizki seseorang itu adalah kehedakNya, dan berlaku (secara general) kepada setiap orang. Ingat kisah Qarun?, disebutkan dalam al-Qur’an bahwa ia dianugerahi kekayaan dunia yang melimpah oleh Allah Ta’ala, namun akhirnya Allah cabut (nikmat tersebut) dalam sekejap dan Allah binasakan ia akibat kekufuran dan kesombongannya. Seandainya kekayaan itu adalah tolok ukur kecintaan Allah Subhaanahu wa Ta’ala kepada seorang hamba, tentu orang-orang seperti Qarun berhak dimuliakan (karena kekayaannya yang melimpah, red), namun kenyataannya tidaklah demikian. Allah Ta’ala berfirman;

أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (52

“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendakiNya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang beriman.” (QS. Az-Zumar: 52)

ولما ذكر أنهم اغتروا بالمال، وزعموا - بجهلهم - أنه يدل على حسن حال صاحبه، أخبرهم تعالى، أن رزقه، لا يدل على ذلك، وأنه ( يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ ) من عباده، سواء كان صالحا أو طالحا ( وَيَقْدِرُ ) الرزق، أي: يضيقه على من يشاء، صالحا أو طالحا، فرزقه مشترك بين البرية، والإيمان والعمل الصالح يخص به خير البرية. ( إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ) أي: بسط الرزق وقبضه، لعلمهم أن مرجع ذلك، عائد إلى الحكمة والرحمة، وأنه أعلم بحال عبيده، فقد يضيق عليهم الرزق لطفا بهم، لأنه لو بسطه لبغوا في الأرض، فيكون تعالى مراعيا في ذلك صلاح دينهم الذي هو مادة سعادتهم وفلاحهم، واللّه أعلم

Al-‘Allamah as-Sa’di menjelaskan; “Setelah Allah menjelaskan bahwasanya mereka terpedaya dengan harta benda dan mereka mengklaim berdasarkan kebodohannya bahwasanya (nikmat yang diberikan kepada mereka itu) membuktikan baiknya kondisi pemiliknya, maka Allah Ta’ala mengabarkan kepada mereka bahwa rizkiNya tidak menunjukkan kepada yang demikian, dan sesungguhnya Allah ( يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ ) ‘melapangkan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendakiNya’ di antara hamba-hambaNya, yang shalih ataupun yang durhaka, ( وَيَقْدِرُ ) ‘dan menyempitkan’ rizki, artinya menyempitkan rizki bagi siapa saja di antara hambaNya yang shalih atau yang durhaka. Jadi rizki Allah itu diberikan sama kepada semua manusia, sedangkan iman dan amal shalih diistimewakan hanya kepada manusia-manusia terbaik.

( إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ) ‘Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang beriman’. Maksudnya, Allah melapangkan rizki dan menahannya; karena mereka mengetahui bahwa semua itu kembali kepada hikmah (kebijaksanaan) dan rahmat(Nya); dan mengetahui bahwa Dia lebih mengetahui tentang kondisi hamba-hambaNya. Kadang-kadang Dia menyempitkan rizkiNya terhadap mereka karena sifat lembutNya kepada mereka, sebab kalau seandainya Dia melapangkannya, niscaya mereka akan berbuat congkak di muka bumi ini. Jika demikian, maka itu berarti Allah Ta’ala dalam memberikan rizki tersebut selalu memperhatikan kebaikan agama mereka yang merupakan materi dasar kebahagiaan dan keberuntungan mereka. Wallaahu a’lam.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 6 juz. 24)


­­­

___________________

Rujukan:

Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan



1 Respones to "Allah Luaskan dan Sempitkan Rezeki Kepada Siapa Saja Yang Dia Kehendaki"

pesanonline mengatakan...

mantap artikelnya sangat bermanfaat.

souvenir gelas murah di trenggalek


8 Januari 2016 pukul 02.45

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula