Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menggambarkan kriteria seorang mukmin dalam menyikapi ketentuan Allah Subhanahu wata’ala, beliau bersabda :
عجباً لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ, فَكَانَ خَيْراً لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ ". رواه مسلم
“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya. Dan tidaklah didapatkan pada seorang pun hal tersebut melainkan pada diri seorang mukmin : Jika dia merasakan kesenangan maka dia bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika kesusahan menerpanya, maka dia bersabar. Dan itu lebih baik baginya.” (Riwayat Muslim)
Al-Mufaqqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –semoga Allah Azza wa Jalla merahmati beliau- (seorang ‘alim yang mendalam ilmunya, wara’, zuhud, dan tawadhu’. Sungguh saya (penukil artikel ini) mengagumi kecerdasan, sifat, akhlak dan kepribadian beliau -rahimahullaahu- yang mulia), menerangkan tentang hadits di atas : (Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya), maksudnya : “Sesungguhnya Rasul ‘alaihis sholatu wassalam menampakkan kekaguman beliau dengan pandangan kebaikan (terhadap perkara seorang mukmin), (yakni) : “terhadap urusannya.” Maka sesungguhnya seluruh urusan itu (dianggap) baik baginya dan tidak terdapat hal tersebut kecuali pada diri seorang mukmin. Kemudian Rasul ‘alaihisholatu wassalam memberikan rincian tentang perkara kebaikan tersebut dengan sabdanya : (Jika dia merasakan kesenangan maka dia bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika kesusahan menerpanya, maka dia bersabar. Dan itu lebih baik baginya). Beliau (Asy-Syaikh Al-Utsaimin) berkata : “Ini adalah keadaan seorang mukmin. Setiap manusia berada dalam ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Dan manusia dalam menyikapi ujian dan cobaan ini terbagi menjadi dua golongan : mukmin dan non mukmin (kafir).”
Adapun golongan Mukmin; menganggap baik segala ketentuan Allah baginya. Jika kesusahan itu menimpanya, maka dia bersabar atas ketentuan-ketentuan Allah dan senantiasa menanti pertolongan-Nya serta mengharapkan pahala Allah –Tabaaraka wa Ta’ala-. Semua itu merupakan perkara yang baik baginya dan dia memperoleh ganjaran kebaikan selaku orang-orang yang bersabar. Jika kesenangan itu mendatanginya, baik berupa kenikmatan agama ; seperti ilmu, amalan sholih dan kenikmatan dunia; seperti harta, anak-anak dan keluarga, maka dia bersyukur lagi menjalankan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, seorang mukmin memperoleh dua kenikmatan, yaitu : kenikmatan agama dan dunia. Kenikmatan dunia diperoleh dengan kesenangan dan kenikmatan agama diperoleh dengan bersyukur. Maka inilah kondisi seorang mukmin.
Adapun golongan non mukmin; (Sungguh) berada dalam kejelekan, wal’iyyadzubillah. Jika kesusahan itu menimpanya, maka dia tidak sabar, berkeluh kesah, mencemooh, mengutuk, mencerca masa (waktu) bahkan mencela Allah Azza wa Jalla. Jika kesenangan menghampirinya, dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan ini akan menjadi balasan siksaan di akhirat. Maka kondisi orang kafir tetap jelek, baik mendapatkan kesusahan maupun kesenangan. Berbeda halnya dengan orang mukmin yang senantiasa dalam kebaikan dan kenikmatan.
Ada beberapa faedah (yang bisa kita ambil) dari hadits ini :
[1]. Adanya dorongan (untuk tetap kokoh) diatas keimanan. Dan seorang mukmin senantiasa dalam kebaikan dan kenikmatan.
[2]. Adanya dorongan untuk sabar atas kesusahan yang menimpa. Karena (sabar) merupakan perangai keimanan. Apabila anda sabar dalam menghadapi kesusahan dan diiringi dengan menanti (pertolongan) Allah agar dibebaskan dari (kesusahan tersebut). Kemudian mengharap pahala Allah Subhanahu wata’ala, maka hal tersebut merupakan tanda keimanan.
[3]. Adanya dorongan untuk bersyukur tatkala (memperoleh) kesenangan. Jika seorang bersyukur kepada Rabbnya atas nikmat yang diperoleh. Maka ini adalah taufiq dari Allah dan termasuk salah satu sebab bertambahnya kenikmatan, Sebagaimana Allah berfirman :
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim : 7).
Jika Allah memberi taufiq kepada seorang hamba untuk bersyukur kepadanya, maka ini adalah suatu nikmat yang patut untuk disyukuri untuk kedua kalinya. Dan apabila dia diberi taufik lagi, maka itu adalah suatu nikmat yang patut disyukuri untuk ketiga kalinya. Demikian seterusnya. Sedikit sekali manusia yang mensyukuri nikmat-Nya. Oleh karena itu, jika Allah menganugerahkan kepada anda rasa syukur dan memberikan pertolongan kepada anda, maka ini adalah nikmat.
Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah sya’ir :
Jika rasa syukur terhadap nikmat Allah itu adalah sebuah nikmat
Maka yang semisalnya (nikmat tersebut) wajib pula disyukuri
Tidak akan sampai rasa syukur itu melainkan dengan keutamaan-Nya
Walaupun hari-hari (masanya) panjang dan umur pun (masih) menyertai
[Syarah Riyadhus Sholihin hal 95-96 cet Darul Aqidah, karya Al-‘Allamah Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin]
Dinukil dari www.darussalaf.or.id
0 Respones to "Bagaimanakah Menyikapi Ketetapan Allah Tabaaraka wa Ta’ala?"
Posting Komentar