Mencintai Shahabat Nabi Adalah Sunnah



Mungkin sebagian besar dari kita belum mengetahui kalau di belahan dunia  yang luas ini ada sebuah kelompok ekstreem yang menisbatkan dirinya kepada dienul Islam namun begitu membenci para shahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang mulia, bahkan mengkafirkan sebagian besar dari mereka radhiyallaahu ‘anhum. Siapakah mereka?, Mereka adalah Syiah Rafidhah atau Syiah Imamiyah atau Syiah Itsna Asyariah. Bahkan para imam besar kaum muslimin seperti al-Imam Malik bin Anas, al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad bin Hambal, al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukharee –semoga Allah Ta’ala merahmati mereka semua- menyatakan (baik secara tersirat maupun tersurat, red.) bahwa mereka bukanlah bagian dari kaum muslimin. Mungkin orang Syiah Rafidhah akan menyangkal, “Kami tidak pernah mengkafirkan para shahabat.” Tapi ucapan para imam-imam besar mereka, kitab-kitab hadits mereka, kitab tafsir mereka atau kitab aqidah mereka mengatakan demikian. Kelompok ini juga terkenal dengan kegemarannya berdusta atau bersikap munafik, khususnya di depan kaum muslimin. Mereka menamakannya dengan “taqiyah” (silahkan anda lihat contohnya pada LINK berikut). Tahukan anda kalau hukum taqiyah adalah wajib bagi penganut agama Syiah Rafidhah?. Jika anda tidak percaya, berikut kami nukilkan ucapan seorang ahlul hadits besar mutaqaddimin Rafidhah, Ibnu Babawaih al-Qummi (w. 381 H) yang mereka gelari dengan “Syaikh ash-Shooduq”. Dia berkata;

( اعتقادنا في التقية أنها واجبة , لا يجوز رفعها إلى أن يقوم القائم , ومن تركها قبل خروجه فقد خرج عن دين الإمامية , وخالف الله ورسوله والأئمة )

“Keyakinan kami tentang taqiyah ialah bahwa taqiyah itu wajib dan tidak boleh dihapus hingga datangnya al-Qaim (semacam al-Mahdi versi rafidhah). Barangsiapa meninggalkannya sebelum kedatangan al-Qaim, sungguh ia keluar dari agama Imamiyah, bertentangan dengan Allah, Rasul-Nya dan para imam.” (al-I’tiqadaat, Ibnu Babawaih al-Qummi, hal. 44. Dinukil dari at-Tashawuf al-Mansya wal-Mashadir hal. 179, asy-Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir –semoga Allah Ta’ala merahmatinya dan memberinya pahala syahid. Semasa hidup, kepala beliau –raheemahullaahu- dihargai USD 200.000 oleh Ayatussyaithan Khomaini ar-Rafidhi. Dan beliau wafat tanggal 1 Sya’ban 1407 H akibat ledakan Bom di pertemuan ilmiah ulama ahlul hadits di Jum’iyyah Ahl al-Hadits di Lahore, Pakistan pada saat beliau berceramah. Jasad beliau dimakamkan di pekuburan Baqi’, kota Nabi, Madinah al-Munawwarah, -wallaahu a’lam-)

Jadi kalau ada penganut sekte Syiah Rafidhah yang mengingkari wajibnya hukum taqiyah, maka secara tidak langsung ia sudah dianggap murtad dari agama Syiahnya (berdasarkan keterangan pendahulu-pendahulunya). Kesimpulannya, berdusta atau bersikap munafik itu hukumnya wajib di sisi agama Syiah Rafidhah. Wah, ngeri bener ya. Bagaimanakah kiranya jika aqidah seorang muslim dibangun diatas pondasi kedustaan seperti ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 728 H) (Imam ahlus sunnah yang sangat dibenci oleh sekte Syiah Rafidhah) berkata;


( النفاق والزندقة في الرافضة أكثر منه في سائر الطوائف , بل لا بد لكل منهم من شعبة نفاق , فإن أساس النفاق الذي بني عليه الكذب , وأن يقول الرجل بلسانه ما ليس في قلبه كما أخبر الله تعالى عن المنافقين : أنهم يقولون بألسنتهم ما ليس في قلوبهم . والرافضة تجعل هذا من أصول دينها وتسميه التقية , وتحكي هذا عن أئمة أهل البيت الذين برأهم الله عن ذلك حتى يحكوا ذلك عن جعفر الصادق أنه قال :  التقية ديني ودين آبائي , وقد نزّه الله المؤمنين من أهل البيت وغيرهم عن ذلك , بل كانوا من أعظم الناس صدقا وتحقيقا للإيمان , وكان دينهم التقوى , لا التقية )


“Kemunafikan dan kekafiran (zindiq) lebih banyak di temui di ar-Rafidhah daripada aliran-aliran lain, karena setiap orang dari mereka wajib mempunyai kemunafikan, sebab kemunafikan adalah prinsip bangunan kebohongan mereka dan setiap orang dari mereka harus mengatakan dengan lidahnya apa yang tidak ada di hatinya. Ini persis seperti (apa yang) difirmankan Allah Ta’ala tentang orang-orang munafik;

“Sesungguhnya mereka berkata dengan lidah-lidah mereka apa yang tidak ada di hati mereka”. (QS. Ali Imran: 167)

Sekte ar-Rafidhah menjadikan prinsip ini sebagai salah satu prinsip agamanya dan menamakannya taqiyah. Ini diriwayatkan oleh imam-imam ahlul bait, padahal Allah membebaskan mereka (i. para imam ahlul bait, red) darinya (i.e kemunafikan, red). Bahkan mereka meriwayatkannya dari Ja’far ash-Shadiq yang katanya berkata, “Taqiyah agamaku dan agama bapak-bapakku.” Padahal, Allah membersihkan kaum mukminin dari kalangan ahlul bait dan selain ahlul bait darinya. Justru, ahlul bait adalah orang yang paling jujur, merealisir iman, dan agama mereka adalah takwa, bukan taqiyah.” (Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, I/159, diterbitkan di Pakistan. Dinukil dari at-Tashawuf al-Mansya wal-Mashadir hal. 178, asy-Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir)

Demikian pembelaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –raheemahullaahu Ta’ala- terhadap ahlul bait Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dari kedustaan Syiah, mensucikan mereka dari penisbatan palsu dengan mengatakan; “ahlul bait adalah orang yang paling jujur, merealisir iman, dan agama mereka adalah takwa, bukan taqiyah”. Tapi anehnya, sekte Syiah Rafidhah ini malah menuduh balik Syaikhul Islam sebagai nashibi (pembenci ahlul bait). Lebih aneh lagi, sikap ini ditaqlidi oleh para pengekor hawa nafsu dari kalangan Sufi ekstreem yang tak kalah semangatnya menuduh beliau sebagai seorang nashibi, -wallaahu a’lam-.

Sering pula kita mendapati pernyataan sebagai berikut; “Ga usahlah saling mengkritik, ga usah pula saling memojokkan (Syiah). Mereka masih saudara kita, masih kaum muslimin juga. Lagi pula tidak ada satu pun ulama/kyai di Indonesia yang mengatakan mereka sesat menyesatkan. Apakah kita lebih ‘alim dari mereka?. Pikirkan hal-hal lain yang lebih besar, mari kita fokus terhadap agresivitas orang-orang kafir di luar sana, mereka adalah musuh kita bersama.”

Tidak atau belum adanya statement pengingkaran dari para ulama atau kyai di Indonesia bukanlah hujjah atau dasar bagi kita (meskipun sebenarnya sudah ada, red) untuk memberikan kelonggaran atau toleransi kepada sekte Syiah Rafidhah untuk menghujat, mencela dan mengkafirkan para shahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama radhiyallaahu ‘anhum. Takfir terhadap mereka berimplikasi terhadap diragukannya orisinalitas Kitabullah wa sunnatu ar-Rasul Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang kita pegang dan yakini serta syariat Islam secara keseluruhan yang kita anut, sebab dari merekalah kita mengetahui al-Islam. Tidakkah kita cemburu ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dituduh oleh kaum zindiq telah bersahabat dengan orang-orang kafir?. Kritikan tersebut dirasa perlu sebagai bentuk pembelaan terhadap kedudukan dan kehormatan para shahabat dan kaum muslimin, dan agar akidah yang kita imani selama ini tetap terjaga kemurniannya dari virus dan doktrin menyesatkan kaum Syiah Rafidhah. Apakah kita lebih ‘alim dari ulama di Indonesia?, pastinya tidak. Sebaliknya, apakah mereka lebih ‘alim dari para imamul muhaddistin semisal al-Imam Malik bin Anas, al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad bin Hambal, al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukharee dll –raheemahumullaahu Ta’ala- yang lebih dahulu menyatakan Rafidhah sesat dan bukan bagian dari Islam?. Jawabannya pasti juga tidak. Bagi mereka yang tidak memahami hakikat ahlus sunnah dan syiah atau yang memahami keduanya namun hanya sebatas kulitnya saja, atau yang mempunyai kepentingan politik dibalik kelunakannya, atau yang berambisi dan tamak terhadap kekuasaan meskipun sebenarnya mengetahui tentangnya, mungkin menganggap bahwa permasalahan sunni dan syiah hanyalah masalah furu’, tapi bagi mereka yang bersemangat dan tidak malas mengkaji agama ini dengan baik, yang memahami syariat ini dengan hati yang jernih tentu akan melihat bahwa permasalahan sunni dan syiah itu tidak sekedar masalah furu’ saja, tapi lebih jauh ke masalah ushul, dimana perbedaannya bagaikan langit dan bumi dan tidak mungkin bisa disatukan. Apakah Syiah Rafidhah berbahaya?, Bagi kaum muslimin di Palestina (mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan kesabaran, pertolongan, kekuatan dan pahala yang melimpah kepada mereka dan semoga Allah menghancurkan kaum Yahudi yang terlaknat), Yahudi adalah makhluq terkejam dan paling berbahaya yang hidup di muka bumi, tapi bagi kaum muslimin ahlus sunnah di negara majusi Iran, Syiah Rafidhah adalah makhluq terkejam dan paling berbahaya bagi mereka di muka bumi. Sudah tak terhitung lagi banyaknya ulama ahlus sunnah yang terbunuh dan diteror oleh mereka (silahkan anda dengarkan kesaksian salah seorang ulama sunni yang hidup di Iran kemudian hijrah dari negara Majusi tersebut pada LINK berikut, red.). Puluhan Sinagog Yahudi berdiri tegak tanpa gangguan di Teheran, tapi tahukah anda, tak ada satu pun masjid ahlus sunnah yang berdiri tegak di sana!, Sungguh Ironis...

Kembali ke konteks pembahasan inti, apakah benar mencintai para shahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama termasuk Sunnah?. Imam ahlus sunnah yang ‘alim, Syaikhul Islam Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah bin Miqdam bin Nashr bin Abdullah al-Maqdisi ad-Dimasyqi ash-Shalihi atau yang terkenal dengan nama al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 620 H) menjelaskan dalam kitab aqidah beliau yang masyhur, Lum’atul I’tiqad bab: محمد خاتم النبيين sebagai berikut;

ومن السنة تولي أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ومحبتهم وذكر محاسنهم ، والترحم عليهم ، والاستغفار لهم والكف عن ذكر مساوئهم وما شجر بينهم . واعتقاد فضلهم ومعرفة سابقتهم قال الله تعالى :

“Termasuk sunnah adalah bersikap loyal dan mencintai para shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, menyebut kebaikan-kebaikan mereka, memohon kepada Allah agar merahmati mereka, memohon kepada Allah agar mengampuni mereka, menahan diri dengan tidak mengungkit-ungkit keburukan dan perselisihan yang terjadi diantara mereka, meyakini keutamaan mereka dan mengakui kepeloporan mereka (dalam masuk Islam). Allah Ta’ala berfirman;

وَ الَّذينَ جاؤُ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنا وَ لِإِخْوانِنَا الَّذينَ سَبَقُونا بِالْإيمانِ وَ لا تَجْعَلْ في‏ قُلُوبِنا غِلاًّ لِلَّذينَ آمَنُوا رَبَّنا إِنَّكَ رَؤُفٌ رَحيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian (berada) dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (al-Hasyr: 10)

وقال تعالى : مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّا ءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَا ءُ بَيْنَهُمْ

Dan Allah Ta’ala berfirman, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (al-Fath: 29)

وقال النبي صلى الله عليه وسلم : لا تسبوا أصحابي فإن أحدكم لو أنفق مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Janganlah kalian mencaci para shahabatku, demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud niscaya ia tidak bisa menandingi infak satu mud atau bahkan setengah mud mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 2532)

ومن السنة : الترضي عن أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين المطهرات المبرآت من كل سوء ، أفضلهن خديجة بنت خويلد ، وعائشة الصديقة بنت الصديق ، التي برأها الله في كتابه ، زوج النبي صلى الله عليه وسلم في الدنيا والآخرة ، فمن قذفها بما برأها الله منه فقد كفر بالله العظيم

Termasuk sunnah adalah memohonkan keridhaan kepada Allah Ta’ala untuk istri-istri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, Ummahatul mukminin yang suci lagi disucikan dari segala keburukan, dimana yang paling utama dari mereka adalah Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah ash-Shiddiqah putri Abu Bakar ash-Shiddiq yang Allah bebaskan dari tuduhan keji dalam kitabNya, yang merupakan istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama di dunia dan di akhirat, maka barangsiapa menuduhnya dari apa yang Allah telah membebaskannya (seperti tuduhan sekte sesat Syiah Rafidhah yang menyatakan bahwa beliau adalah wanita pezina, wanita penghulu neraka, red.), maka dia telah kafir kepada Allah Yang Maha Agung.

ومعاوية خال المؤمنين ، وكاتب وحي الله ، أحد خلفاء المسلمين رضي الله عنهم

Mu’awiyah adalah paman orang-orang mukmin, penulis wahyu Allah dan salah seorang khalifah kaum muslimin, -semoga Allah meridhai mereka semua-.” (Lum’atul I’tiqad, Ibnu Qudamah, hal. 21-22)

Hukum mencaci para Shahabat terbagi menjadi 3 bagian sebagaimana yang dijelaskan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –raheemahullaahu Ta’ala – (w. 1421 H);

الأول: أن يسبهم بما يقتضي كفر أكثرهم، أو أن عامتهم فسقوا، فهذا كفر، لأنه تكذيب لله ورسوله بالثناء عليهم والترضي عنهم، بل من شك في كفر مثل هذا فإن كفره متعين، لأن مضمون هذه المقالة أن نقلة الكتاب أو السنة كفار، أو فساق

Pertama: Mencaci mereka dengan cacian yang mengandung konsekuensi bahwa kebanyakan (mayoritas) dari mereka adalah kafir atau mayoritas dari mereka adalah orang-orang fasik, maka cacian ini sendiri merupakan kekufuran; karena hal ini mendustakan Allah dan RasulNya yang telah menyanjung mereka dan meridhai mereka, bahkan barangsiapa yang meragukan kekufuran orang semacam ini, maka dia sendiri kafir, karena kandungan cacian mereka adalah bahwa para shahabat yang telah membawa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah orang-orang kafir atau fasik.

الثاني: أن يسبهم باللعن والتقبيح، ففي كفره قولان لأهل العلم وعلى القول بأنه لا يكفر يجب أن يجلد ويحبس حتى يموت أو يرجع عما قال

Kedua: Mencaci mereka dengan melaknat atau menjelek-jelekkan mereka. Apakah pelaku cacian yang kedua ini kafir?, Ada dua pendapat di kalangan para ulama, dan menurut pendapat yang berkata tidak kafir, maka dia harus dicambuk dan ditahan sampai dia mati atau bertaubat dari perkataannya.

الثالث: أن يسبهم بما لا يقدح في دينهم كالجبن والبخل فلا يكفر ولكن يعزر بما يردعه عن ذلك، ذكر معنى ذلك شيخ الإسلام ابن تيمية في كتاب "الصارم المسلول" ونقل عن أحمد قوله: (لا يجوز لأحد أن يذكر شيئاً من مساوئهم، ولا يطعن على أحد منهم بعيب أو نقص، فمن فعل ذلك أدب، فإن تاب وإلا جلد في الحبس حتى يموت أو يرجع)

Ketiga: Mencaci mereka dengan cacian yang tidak mencederai agama mereka, seperti mengatakan mereka bakhil atau penakut, maka pelakunya tidak dikafirkan, tetapi dihukum dengan hukuman yang membuatnya jera. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya ash-Sharim al-Maslul dan beliau menukil dari al-Imam Ahmad yang berkata, “Tidak boleh bagi siapa pun menyinggung sebagian dari keburukan mereka, menuduh salah seorang dari mereka dengan sesuatu kekurangan atau aib, siapa yang melakukan itu, maka dia harus diberikan pelajaran, jika dia bertaubat (maka itulah yang diharapkan), jika tidak, maka dia dicambuk dan ditahan sampai mati.” (Syarh Lum’atul I’tiqad al-Hadi Ila Sabil ar-Rasyad, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 152)

نسأل الله أن يعصمنا من البدع والفتنة ، ويحيينا على الإسلام والسنة ، ويجعلنا ممن يتبع رسول الله صلى الله عليه وسلم في الحياة ، ويحشرنا في زمرته بعد الممات برحمته وفضله آمين

“Kita memohon kepada Allah agar melindungi kami dari bid’ah-bid’ah dan fitnah, menghidupkan kita diatas Islam dan as-Sunnah, menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengikuti Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam kehidupan ini, membangkitkan kita dalam rombongan beliau setelah kematian dengan rahmat dan karuniaNya. Amieen.” (Lum’atul I’tiqad, Ibnu Qudamah, hal. 23)

Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.

Tambahan: Berikut contoh kelancangan penganut Syiah Imamiyah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ’anhu-, just open your eyes, your ear and your heart, LINK or this LINK


0 Respones to "Mencintai Shahabat Nabi Adalah Sunnah"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula