Berkata al-‘Allamah as-Sa’dy –semoga Allah Ta’ala merahmatinya- ketika menjelaskan QS. Al-‘Ashr: 2;
إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.”
والخسار مراتب متعددة متفاوتة قد يكون خسارًا مطلقًا، كحال من خسر الدنيا والآخرة، وفاته النعيم، واستحق الجحيم وقد يكون خاسرًا من بعض الوجوه دون بعض، ولهذا عمم الله الخسار لكل إنسان، إلا من اتصف بأربع صفات والتواصي بالحق، الذي هو الإيمان والعمل الصالح، أي: يوصي بعضهم بعضًا بذلك، ويحثه عليه، ويرغبه فيه
“Tingkatan orang yang rugi (itu) bermacam-macam; ada yang rugi secara mutlak seperti kondisi orang yang rugi di dunia dan akhirat. Ia tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak mendapatkan neraka Jahim. Ada yang rugi di sebagian sisi saja. Karena itu Allah Ta’ala menyebutkan kerugian untuk setiap manusia secara umum, kecuali orang-orang yang memiliki empat sifat (salah satunya adalah, red): ....Saling menasihati dengan kebenaran yang merupakan iman dan amal shalih, yakni sebagian orang menasihati sebagian yang lain dengan kebenaran, mendorong dan menganjurkannya.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7 juz. 30)
Tentunya konteks nasihat yang dimaksud oleh asy-Syaikh as-Sa’dy diatas adalah nasihat yang baik yang bersumber dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in. Perlu kita ketahui bahwa ketika kita menuliskan sesuatu kalimat (entah itu di forum, social networking dll) pada saat yang sama (disadari maupun tidak, red) sebenarnya kita sedang mengucapkan sesuatu tersebut. Sederhananya, ketika seseorang itu menuliskan kalimat yang (misalnya) bernada umpatan, celaan, kata-kata kotor dll, pada hakikatnya ia sedang mengucapkan kalimat umpatan, celaan atau kata-kata kotor (yang ia tulis) tersebut pada waktu yang bersamaan. Jika kalimat atau ungkapan yang kita tulis/ ucapkan itu baik dan berfaidah, insyaAllah pahala dari Allah yang akan kita dapat, sebaliknya jika kalimat atau ungkapan keji dan kotor yang kita ucapkan (meskipun hanya bermaksud bercanda atau bermain-main saja), maka dosa pula yang akan kita peroleh, wallaahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala menjaga lisan kita dari mengucapkan kata-kata kotor dan keji karena Dia telah berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (70
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)
Al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan ayat diatas;
يأمر تعالى المؤمنين بتقواه، في جميع أحوالهم، في السر والعلانية، ويخص منها، ويندب للقول السديد، وهو القول الموافق للصواب، أو المقارب له، عند تعذر اليقين، من قراءة، وذكر، وأمر بمعروف، ونهي عن منكر، وتعلم علم وتعليمه، والحرص على إصابة الصواب، في المسائل العلمية، وسلوك كل طريق يوصل لذلك، وكل وسيلة تعين عليه ومن القول السديد، لين الكلام ولطفه، في مخاطبة الأنام، والقول المتضمن للنصح والإشارة، بما هو الأصلح
“Allah Ta’ala memerintahkan kaum mukminin untuk bertakwa kepadaNya dalam seluruh kondisi mereka, lahir dan batin. Dari takwa itu Allah mengkhususkan dan menyunnahkan untuk berkata benar, yaitu perkataan yang sejalan dengan yang benar atau mendekati kebenaran di saat sesuatu yang meyakinkan itu udzur (sulit dipastikan), berupa bacaan, dzikir, amar ma’ruf, nahi munkar, mempelajari ilmu dan mengajarkannya, berupaya maksimal untuk memperoleh yang tepat dalam masalah-masalah ilmiah, dan menempuh setiap jalan yang dapat mengantarkan ke sana dan setiap sarana yang membantu untuknya. Dan termasuk perkataan yang benar adalah berkata lembut dan santun dalam berbicara kepada orang lain dan perkataan yang mengandung nasihat dan bimbingan kepada apa yang lebih mashlahat.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 5 juz. 22)
Begitu pula dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, beliau juga bersabda;
“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang tidak dia renungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6092)
Dalam hadits yang lain Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda:
“Sesungguhnya seorang hamba apabila berbicara dengan satu kalimat yang tidak benar, hal itu menggelincirkan dia ke dalam neraka yang lebih jauh antara timur dan barat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6091 dan Muslim no. 6988 dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu)
Al-Imam An-Nawawi –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan hadits diatas:
“Hadits ini (yakni hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) teramat jelas menerangkan bahwa sepantasnya bagi seseorang untuk tidak berbicara kecuali dengan pembicaraaan yang baik, yaitu pembicaraan yang sudah jelas maslahatnya dan kapan saja dia ragu terhadap maslahatnya, janganlah dia berbicara.” (Al-Adzkar hal. 280, Riyadhus Shalihin no. 1011)
dan mudah-mudahan kita tidak terjatuh pada kesalahan fatal akibat buruk ucapan lisan kita dan tidak terjerumus ke dalam Jahannam (yang merupakan seburuk-buruknya tempat kembali, red) karenanya.. amieen.
Bahwa lisan itu tidak bertulang adalah suatu fakta. Apabila keliru menggerakkannya akan mencampakkan kita dalam murka Allah yang berakhir dengan neraka-Nya. Lisan akan memberikan ta’bir (mengungkapkan) tentang baik-buruk pemiliknya. Inilah ucapan beberapa ulama salaf tentang bahaya lisan:
1). Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu: “Segala sesuatu akan bermanfaat dengan kadar lebihnya, kecuali perkataan. Sesungguhnya berlebihnya perkataan akan membahayakan.”
2). Abu Ad-Darda’ radhiyallaahu ‘anhu: “Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang yaitu orang yang diam namun berpikir atau orang yang berbicara dengan ilmu.”
3). Al-Fudhail bin Iyadh –raheemahullaahu-: “Dua perkara yang akan bisa mengeraskan hati seseorang adalah banyak berbicara dan banyak makan.”
4). Sufyan Ats-Tsauri –raheemahullaahu-: “Awal ibadah adalah diam, kemudian menuntut ilmu, kemudian mengamalkannya, kemudian menghafalnya lantas menyebarkannya.”
5). Al-Ahnaf bin Qais –raheemahullaahu-: “Diam akan menjaga seseorang dari kesalahan lafadz (ucapan), memelihara dari penyelewangan dalam pembicaraan, dan menyelamatkan dari pembicaraan yang tidak berguna, serta memberikan kewibawaan terhadap dirinya.”
6). Abu Hatim: “Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya. Bila dia ingin berbicara, dia mengembalikan ke hatinya terlebih dulu, jika terdapat (maslahat) baginya maka dia akan berbicara. Dan bila tidak ada (maslahat) dia tidak (berbicara). Adapun orang yang jahil (bodoh), hatinya berada di ujung lisannya sehingga apa saja yang menyentuh lisannya dia akan (cepat) berbicara. Seseorang tidak (dianggap) mengetahui agamanya hingga dia mengetahui lisannya.”
7). Yahya bin ‘Uqbah –raheemahullaahu-: “Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata: ‘Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, tidak ada sesuatu yang lebih pantas untuk lama dipenjarakan dari pada lisan’.”
8). Mu’arrifh Al-‘Ijli –raheemahullaahu-: “Ada satu hal yang aku terus mencarinya semenjak 10 tahun dan aku tidak berhenti untuk mencarinya.” Seseorang bertanya kepadanya: “Apakah itu wahai Abu Al-Mu’tamir?” Mua’arrif menjawab: “Diam dari segala hal yang tidak berfaidah bagiku.”
(Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala karya Abu Hatim Muhamad bin Hibban Al-Busti, hal. 37-42)
Mudah-mudahan kita semua bisa mengambil faidah dari nasihat para pendahulu kita yang shalih diatas dan mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, amieen. Wallaahu Ta’ala a’lamu.
__________
Referensi:
1). Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan, al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu-
2). Lidah Tak Bertulang, Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi –hafizhahullaahu-, www.asysyariah.com