Di negeri Sakura sana, konon
terdapat kepingan-kepingan baja yang memiliki nilai ekonomis dan historis tinggi
yang disebut Tamahagane (玉鋼:たまはがね) atau
“baja permata” (berasal dari kata i.e “tama” yang berarti jewel atau permata
dan “hagane” yang berarti steel atau baja, red). Para pengrajin pedang tradisional
Jepang tempo doeloe menggunakan logam ini sebagai bahan utama pembuat katana kelas
satu. Untuk mendapatkan senyawa kimia tersebut, para pandai besi harus memindahkan
berton-ton pasir besi pilihan ke dalam tatara (tungku persegi yang terbuat dari
tanah liat), mencampurnya dengan arang kayu dan membakarnya dengan api yang
bersuhu 2.500 derajat Fahrenheit selama tiga hari tiga malam. Setelah proses
pembakaran sempurna, tungku pembakaran dipecah untuk mengeluarkan gumpalan
besi berkadar karbon antara 0.5%-1.5% itu dari kerak tungku. Gumpalan besi tak
beraturan yang berkilauan bak permata itulah yang disebut dengan Tamahagane. Harga
logam tersebut sangat mahal, konon bisa mencapai belasan bahkan puluhan kali
lipat dibandingkan harga logam biasa di pasaran. Untuk menghasilkan bilah katana
berkualitas tinggi (i.e keras, liat dan tajam), masing-masing bahan Tamahagane
dengan kadar karbon yang berbeda itu harus dipanaskan, ditempa dan dilipat
berkali-kali sampai level kepadatan yang diinginkan dirasa sempurna, kemudian
dibersihkan (umumnya menggunakan sabut atau jerami, red) agar sisa-sisa kotoran
(i.e bijih besi) yang masih menempel pada permukaan baja tersebut hilang.
Tahapan ini dilakukan berkali-kali sampai permukaan baja benar-benar bersih.
Gabungan Tamahagane berkarakter keras dan liat itulah yang kemudian ditempa menjadi
bilah katana yang sangat kuat dan mematikan, menjadikannya (sebagai) salah satu
karya seni tradisional terbaik yang pernah ada. Konon, satu bilah katana
berkualitas tinggi dibandrol dengan harga USD 25.000 di balai
lelang!.
Harta yang kita simpan,
yang sudah mencapai syarat nishab (ukuran minimal harta yang wajib dizakati,
red) dan haul (sudah mencapai waktu satu tahun, red) itu ibarat tamahagane yang
mengendap di kerak tungku, memiliki nilai ekonomis dan bisa dimanfaatkan kapan
saja oleh pemiliknya. Namun meskipun sudah bernilai, harta tersebut masih harus
dibersihkan agar manfaatnya benar-benar terasa secara syar’i i.e dengan zakat. Ibarat tamahagane setengah
jadi (work in prosess good) yang juga harus ditempa dan dibersihkan permukaannya
dari sisa-sisa kotoran yang masih menempel demi mendapatkan bilah katana yang
kuat dan berkualitas. 2,5% harta yang dikeluarkan untuk zakat itu diibaratkan sebagai
kotoran yang menempel pada permukaan tamahagane yang harus dihilangkan.
Tidaklah menyisihkan (hanya)
2,5% harta simpanan yang kita punya akan membuat kita miskin –wahai saudaraku-,
tidaklah mengeluarkan harta minimal Rp. 923.125 (nishab emas = 70 gr [24
Karat]. 1 gr per 29/12/12 = Rp. 527.500. Maka nishab harta [kurang lebih] = Rp.
36.925.000, wallaahu a’lam) akan membuat kita melarat. Justru dengan
mengeluarkan zakat itulah, harta yang tersisa menjadi berkah, dan Allah ‘Azza
wa Jall akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih
baik. Dia berfirman;
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ
شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan barang apa saja yang
kamu nafkahkan, maka Dia akan menggantinya dan Dia-lah sebaik-baik Pemberi
rizki.” (QS. Saba’: 39)
al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman
bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H) menjelaskan firman Allah
Ta’ala di atas;
)وَمَا
أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ) نفقة واجبة, أو مستحبة, على قريب, أو جار, أو مسكين, أو
يتيم, أو غير ذلك، (فَهُوَ) تعالى (يُخْلِفُهُ) فلا تتوهموا أن الإنفاق مما ينقص الرزق,
بل وعد بالخلف للمنفق, الذي يبسط الرزق لمن يشاء ويقدر
“‘Dan barang apa
saja yang kamu nafkahkan’, nafkah yang wajib atau yang sunnah kepada
kerabat dekat, tetangga, orang miskin, anak yatim atau lain-lainnya, ‘maka Dia’
Ta’ala ‘akan menggantinya’, maka jangan kalian berpraduga salah bahwa
berinfak itu termasuk hal yang dapat mengurangi rizki. Malah Allah (Dzat Yang
melapangkan rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan)
menjanjikan akan memberi ganti kepada orang yang berinfak.” [Taiseer
al-Kareem ar-Rahman, 6/1422, cet. Daar Ibn al-Jawzee]
Jika kita memahami benar maksud
disyariatkannya zakat, maka kita –wahai saudaraku- akan merasa bahwa 2,5% itu hanyalah
nominal kecil yang tidak ada artinya bila dibandingkan dengan nikmat-nikmat
Allah Ta’ala lainnya yang jauh lebih besar. Dalam bab 3: Kitab Zakat, al-Imam
Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisy al-Hambali –raheemahullaahu Ta’ala- (w.
620 H) menjelaskan bahwa ada 3 perkara yang harus dipahami dari maksud zakat;
ابتلاء مدعى محبة
الله تعالى بإخراج محبوبه، والتنزه عن صفة البخل
المهل، وشكر نعمة المال
“[Pertama;] ujian kepada
orang yang mengaku mencintai Allah Ta’ala dengan mengeluarkan apa yang
dicintainya. [Kedua;] membersihkan dari sifat kikir yang mencelakakan. Dan [ketiga;]
mensyukuri nikmat harta.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 48, cet. al-Maktab
al-Islamiy]
Perlu kiranya diketahui
bahwa sikap “merasa kecil” itu sendiri merupakan bagian dari adab batin dalam zakat
yang harus kita –wahai saudaraku- perhatikan. Mengapa?, al-Imam Muwaffaquddin
Ibnu Qudamah al-Maqdisy al-Hambali –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 620 H) menjelaskan;
فإن المستعظم للفعل
معجب به . وقد قيل: لا يتم المعروف إلا بثلاث : بتصغيره، وتعجيله، وستره
“... karena orang yang
melakukan sesuatu dan dia merasa bahwa apa yang dilakukannya besar adalah orang
yang ‘ujub kepada dirinya. Ada yang berkata, ‘Kebaikan tidak sempurna kecuali
dengan tiga perkara; [pertama,] dengan merasakannya (sebagai sesuatu yang)
kecil, [kedua,] dengan menyegerakannya, dan [ketiga] dengan menutupinya’.” [Mukhtashar
Minhajul Qashidin, hal. 48, cet. al-Maktab al-Islamiy]
Jika kita termasuk orang-orang
yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan kelapangan dan kemudahan dalam perkara rizki,
maka wujudkanlah –wahai saudaraku- rasa syukur itu dengan berzakat. Mengapa?, al-‘Allamah
‘Abdullah bin ‘Abd ar-Rahman ‘alu Bassam –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1424 H) menjelaskan
(sekaligus hal ini menjadi perenungan kita bersama, red);
وهي من محاسن الإسلام، الذي جاء بالمساواة، والتراحم، والتعاطف،
والتعاون، وقطع دابر كل شرٍّ يهدد الفضيلة والأمن والرخاء، وغير ذلك
من مقومات البقاء لصلاح الدنيا والآخرة.
فقد جعلها الله طهرة لصاحبها من
رذيلة البخل، وتنمية حسية ومعنوية من آفة النقص، ومساواة بين خلقه بما خوَّلهم من
مال، وإعانة من الأغنياء لإخوانهم الفقراء، الذين لا يقدرون على ما يقيم أودهم من
مال، ولا قوة لهم على عمل . وتحقيقا للسلام، الذي لا يستقر بوجود طائفة جائعة، ترى
المال المحرومة منه، وتأليفا للقلوب، وجمعاً للكلمة حينما يجود الأغنياء على
الفقراء بنصيب من أموالهم . وبمثل هذه الفريضة الكريمة يُعْلَمُ : أن الإسلام هو دين العدالة الاجتماعية، الذي يكفل
للفقير العاجز العيش والقوت، وَلِلغني حرية التملك مقابل سعيه وكدحه.
وهذا هو المذهب المستقيم
الذي به عمارة الكون، وصلاح الدين والدنيا. فلا شيوعية متطرفة، ولا رأسمالية
ممسكة شحيحة. وقد حذر الله من منع الزكاة في نصوص كثيرة، وتوعد على ذلك بالعذاب الشديد، فمن ذلك قوله تعالى: {ولا يحسبن الذين يبخلون بما آتاهم الله من فضله هو خيرا لهم، بل هو
شر لهم، يطوقون ما بخلوا به يوم القيامة}.
وجاء في صحيح البخاري أن
النبي صلى الله عليه وسلم قال: " من آتاه الله مالا فلم
يؤد زكاته مثل له يوم القيامة شجاعا أقرع ، يطوقه يوم القيامة ثم يقول : أنا
مالك أنا كنزك ".
“Zakat termasuk
kebaikan-kebaikan Islam, yang datang dengan membawa persamaan hak, kasih
sayang, tolong menolong dan memutus setiap jalan keburukan yang dapat mengancam
keutamaan, keamanan, kelapangan dan lain sebagainya dari berbagai sendi-sendi
kemaslahatan akhirat.
Allah menjadikan zakat
sebagai penyucian bagi pelakunya dari kehinaan kekikiran, sekaligus untuk
menumbuhkan moral dan material dari bencana kekurangan, juga sebagai persamaan
hak di antara makhluk-makhluk-Nya, sebagai pertolongan dari orang-orang kaya
bagi saudara-saudaranya yang miskin, yaitu mereka yang tidak memiliki kemampuan
mencari harta dan tidak mempunyai kekuatan untuk bekerja. Zakat mampu
merealisir kesejahteraan, yang tidak tetap dengan keberadaan segolongan
orang-orang kelaparan, sementara mereka hanya bisa melihat harta yang tidak
bisa diraihnya. Zakat juga mampu menyatukan hati banyak orang dan menghimpun kalimat,
ketika orang-orang kaya bermurah hati kepada orang-orang miskin dengan
menyerahkan sebagian dari harta mereka.
Dengan kewajiban yang mulia
ini dapat diketahui bahwa Islam adalah agama keadilan sosial, yang memberikan
jaminan bagi orang fakir yang lemah dalam mendapatkan bahan makanannya, dan
jaminan kebebasan bagi orang-orang kaya untuk memiliki harta benda sesuai
kemampuannya dalam berusaha.
Hal ini merupakan pendapat
yang lurus untuk memakmurkan dunia, mendatangkan kemashlahatan agama dan juga
dunia, sehingga tidak ada komunisme yang kekiri-kirian dan tidak ada pula
kapitalisme yang ketat dan kikir. Allah telah memperingatkan orang yang menolak
mengeluarkan zakat di berbagai nash dan mengancamnya dengan siksaan yang pedih.
Firman-Nya;
“Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di hari Kiamat.” (QS. ‘Ali Imran: 180)
Telah disebutkan dalam
Shahih al-Bukhari (no. 1403), Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama
bersabda; “Barangsiapa diberi harta oleh Allah lalu dia tidak mengeluarkan
zakatnya, maka diserupakan baginya pada hari Kiamat dengan seorang pemberani
gundul yang menindihnya pada hari Kiamat, kemudian berkata, ‘Aku adalah
hartamu, aku adalah simpananmu’.” [Taiseer al-‘Alam Syarh ‘Umdah al-Ahkam,
1/459-460, cet. Daar al-Maiman]
Hisablah hak-hak orang lain
yang terdapat dalam harta-harta kita sebelum Allah ‘Azza wa Jall, Dzat Yang
Mahakaya menghisab diri-diri kita kelak di akhirat. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala
a’lamu