Tabiat Buruk Manusia



Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut darinya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya ia akan berkata, ‘Telah hilang bencana-bencana itu dariku.’ Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud: 9-11)

Berkata al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala merahmatinya- tatkala menafsirkan ayat ini, “Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang tabiat manusia bahwa dia itu bodoh dan dzalim, bahwa jika Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan rahmat (nikmat) kepadanya seperti rezeki, kesehatan, anak keturunan dan lain-lain, kemudian Dia mengambil (rahmat/nikmat itu) darinya, maka dia menyerah dan tunduk kepada keputusasaan, tidak berharap pahala Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan tidak terlintas di benaknya bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan mengembalikannya atau (menggantinya dengan) yang sepertinya atau yang lebih baik darinya, dan jika Allah Subhaanahu wa Ta’ala melimpahkan rahmat (nikmat) setelah kesulitan yang menimpanya maka dia berbahagia, menyombongkan diri dan menyangka bahwa harta yang banyak itu akan langgeng seraya berkata, ‘Telah hilang bencana-bencana itu dariku’. Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga.’ Maksudnya, dia berbahagia dengan apa yang diberikan kepadanya yang sesuai dengan keinginan dirinya, bangga dengan nikmat Allah Subhaanahu wa Ta’ala kepada hamba-hambaNya. Hal itu membuatnya lupa diri, sombong (‘ujub), angkuh, takabur di hadapan manusia, menghina dan merendahkan mereka. Adakah cacat yang lebih berat dari ini?.”

Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- melanjutkan, “Ini adalah tabiat manusia itu sendiri, kecuali orang yang diberikan taufik oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan dikeluarkan dari perilaku buruk ini kepada perilaku baik, mereka itu adalah orang-orang yang sabar pada saat sulit, mereka tidak berputus asa karenanya, pada saat senang, mereka tidak sombong dan mengerjakan amal shalih yang wajib dan yang dianjurkan, ‘mereka itu memperoleh ampunan’ atas dosa-dosa mereka yang dengannya segala perkara yang dikhawatirkan lenyap dari mereka, ‘dan pahala yang besar’, maksudnya beruntung dengan meraih surga kekekalan yang berisi apa (saja) yang diinginkan oleh jiwa dan dinikmati oleh mata.” [Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Mannaan vol. 3, juz. 12]

Ternyata seperti itulah tabiat manusia pada umumnya, ketika mereka mendapatkan ujian dan musibah dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, mereka berputus asa dari rahmatNya, tidak bersabar dan berharap pahalaNya yang besar, dan ketika mereka mendapatkan limpahan nikmat dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, mereka lupa diri lagi bangga, sombong, angkuh dan takabur di hadapan manusia yang lain, dan tidak bersyukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala atasnya. Nikmat dunia kerap kali menutup mata dan hati sebagian besar manusia, mereka berlomba-lomba mengejarnya dan rela meninggalkan bekal sesungguhnya (yang bisa dibawanya kelak ke akhirat, red), yakni amal shalih. Padahal Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Barangsiapa yang mengendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16)

Kembali asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala merahmatinya- berkata di dalam kitab tafsirnya yang bermanfaat, “Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang mengendaki kehidupan dunia dan perhiasannya’, maksudnya segala keinginannya terbatas hanya pada kehidupan dunia berupa wanita, anak-anak, emas dan perak yang melimpah, kuda pilihan (kendaraan, red), ternak dan tanah pertanian (business, red), maka sungguh ia telah memfokuskan keinginannya, usahanya dan pekerjaannya pada hal-hal ini, dan tidak terbetik dalam keinginannya untuk alam akhirat sedikitpun, orang ini tidak lain melainkan orang kafir, karena jika ia adalah orang yang beriman, niscaya imannya menghalanginya untuk memberikan seluruh keinginannya kepada alam dunia, bahkan imannya itu sendiri dan amal perbuatan yang dilakukannya (itu) adalah salah satu tanda kalau dia itu menginginkan alam akhirat, akan tetapi orang yang sengsara ini (atau) yang sepertinya hanya diciptakan untuk dunia saja, ‘niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna’, maksudnya, Kami memberi mereka sesuatu yang telah dibagikan kepada mereka di Ummul Kitab berupa balasan dunianya, ‘dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan’, tidak sedikitpun dari sesuatu yang ditakdirkan untuknya akan dikurangi, akan tetapi ini adalah puncak nikmat mereka. ‘Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka’, mereka kekal didalamnya selama-lamanya (‘abada), azabNya tidak terputus, mereka tidak mendapatkan balasan yang mulia. ‘Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan didalamnya’, yakni di dunia, maksudnya batal dan lenyap rencana mereka untuk membuat makar bagi kebenaran dan bagi pengikutnya, begitu pula amal kebaikan yang tidak berdasar dan tidak terpenuhi syaratnya, yaitu iman.” [Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Mannaan vol. 3, juz. 12]

Wallaahu Ta’ala a’lamu...

Dicopas oleh seorang faqir ba’da Subuh, @Lengkong Kecil, Paledang



0 Respones to "Tabiat Buruk Manusia"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula