Oase Di Tengah-Tengah Perjalanan Pulang



Minggu lalu, tepatnya Sabtu sore, 22 Januari 2011, saya memutuskan pulang ke rumah dengan berjalan kaki menyusuri kota tua Bandung sambil berelaksasi, menghirup udara segar, sembari membuang “buih-buih dan benalu” yang menempel di kepala selama seminggu belakangan. Barangkali saja bisa mendapatkan spot yang bagus di perjalanan pikir saya. Sempat mampir (terlebih dahulu) ke Gramedia guna membaca beberapa buku referensi mengenai photography dan VBA serta ke BEC guna memeriksakan lensa saya yang sedikit bermasalah. Kebetulan cuaca di hari itu cukup cerah, dan bersahabat. Kali ini penelusuran dimulai dari Jl. Purnawarman, tepatnya dari warung nasi Ampera, sekitar pukul 15.30 WIB. Ibarat kendaraan bermotor, bahan bakar mesti diisi penuh terlebih dahulu agar tenaga yang dihasilkan maksimal, atau paling tidak diisi (secukupnya) sesuai kadar dan estimasi jarak yang akan ditempuh agar perjalanan tidak terganggu. Perut pun demikian.. :P. Selesai makan, saya beristirahat sejenak di Masjid Agung Al-Ukhuwah samping Balai Kota Bandung, Jl. Wastukencana untuk menunaikan shalat Ashar. Orang Bandung tentu sudah tidak asing lagi dengan masjid ini. Alhamdulillah –segala puji hanya milik Allah semata- saya masih bisa bergabung bersama kaum muslimin yang lain menjalankan shalat berjama’ah sore itu. Terakhir kali berkunjung ke masjid ini adalah ketika korporasi mengadakan event Customer Day di BIP satu tahun yang lalu. Puas beristirahat, saya kembali meneruskan perjalanan menelusuri Jl. Wastukencana dan berhenti di persimpangan Jl. Perintis Kemerdekaan. Ada dua gedung tua yang menarik perhatian saya di lokasi itu, i.e Gereja Bethel dan Gedung Bank Indonesia. Harap maklum, saya pencinta bangunan tua masalahnya. Kedua bangunan tersebut masih terawat dan berdiri kokoh, anggun, megah dan tentu saja artistik, khas bangunan kuno Belanda. Khusus Gereja Bethel, bangunan tua tersebut mengadopsi gaya Art Deco, hasil karya arsitek kenamaan Belanda, Professor Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker (July 25, 1882 – May 22, 1949). Dia adalah salah satu dari 3 arsitek besar di Hindia-Belanda (sebelum Perang Dunia II) waktu itu, bersama dengan Albert Aalbers dan Henri Maclaine Pont. Dia juga merupakan salah satu pioneer/pendiri Technische Hogeschool Bandoeng (ITB) sekaligus guru besar dari proklamator kemerdekaan dan Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno. Kebetulan saya tidak mempunyai lensa wide angle dan tidak pula membawa lensa kit pada hari itu sehingga urung mengabadikan kedua bangunan bersejarah tersebut.

Kembali saya melanjutkan perjalanan menyebarangi Jl. Perintis Kemerdekaan, kali ini saya menelusuri jalan yang konon paling terkenal dan paling bersejarah di kota Bandung, i.e Jl. Braga sebelum mengakhiri perjalanan saya (nanti) di Jl. Asia Afrika dan Masjid Raya Bandung di waktu maghrib. Ketika baru melangkahkan kaki 10 meter dari ujung jalan, kamera tele saya tertuju kepada sosok lelaki tua (sekitar 60 tahun, red) jauh di pinggir trotoar, duduk sambil mengusap peluh di dahinya. Sesekali ia menengok ke kanan dan ke kiri, mengamati mobil dan sepeda motor yang berlalu lalang di hadapannya, (seolah-olah) seperti berharap (agar) salah satu dari mereka berhenti. Apakah ia seorang pengemis? Bukan, bahkan jauh lebih mulia dari seorang pengemis. Disamping kirinya terdapat tumpukkan barang dagangan berupa peralatan rumah tangga dan sebuah tongkat penyangga. Beberapa menit kemudian ia mengemasi seluruh barang dagangannya, mengangkatnya ke pundaknya yang kurus. Ia mencoba berdiri dengan cara menopangkan badannya ke tongkatnya, kemudian berjalan dengan tertatih-tatih meninggalkan tempatnya semula menyusuri Jl. Braga. Subhanallah –Maha Suci Engkau ya Allah Azza wa Jall-, Engkau menciptakan berbagai macam makhluk di dunia, Engkau berikan rizqi kepada mereka tanpa terkecuali dengan cara yang Engkau kehendaki, Engkau uji mereka dengan berbagai macam ujian dengan cara yang Engkau kehendaki pula. Malulah diri ini yang kerap mengeluh, malulah hati ini yang kerap mendengki dan tidak pandai bersyukur, Astaghfirullaahal ‘adzim. Lihatlah lelaki tua itu, meskipun tidak sempurna anggota tubuhnya (cacat, red), tidak sempurna cara berjalannya, berat langkah kakinya (karena beban yang ada di pundaknya, red), lanjut usianya, tapi masih memiliki ghirah (semangat) untuk berikhtiar. Dzahirnya menunjukkan bahwa tidaklah ia menyikapi takdir dengan cara berdiam diri atau pasrah dengan keadaan semata, namun ia tetap menjalankan sebab-sebab (yang dengannya/melaluinya Allah mendatangkan rizqi kepada setiap hambaNya), meskipun terasa berat.


Oase di sore hari, itulah yang saya rasakan hari itu. Saya kembali teringat akan nasihat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, suri tauladan kita terkait urusan dunia antara lain;

Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu. Abu Dzar berkata, “Kekasihku (yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya): [1] Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, [2] beliau memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan (atau melihat perkara dunia kepada, red) orang yang berada di atasku. …” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa) [al kholq], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaniy –rahimahullaahu- mengatakan, “Yang dimaksud dengan al khalq adalah bentuk tubuh. Juga termasuk di dalamnya adalah anak-anak, pengikut dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan duniawi.” (Fathul Bari, 11/32)

Dan juga hadits mengenai Qana’ah; Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Al Munawi –rahimahullaahu- mengatakan, “Jika seseorang melihat orang di atasnya (dalam masalah harta dan dunia), dia akan menganggap kecil nikmat Allah yang ada pada dirinya dan dia selalu ingin mendapatkan yang lebih. Cara mengobati penyakit semacam ini, hendaklah seseorang melihat orang yang berada di bawahnya (dalam masalah harta dan dunia). Dengan melakukan semacam ini, seseorang akan ridha dan bersyukur, juga rasa tamaknya (terhadap harta dan dunia) akan berkurang. Jika seseorang sering memandang orang yang berada di atasnya, dia akan mengingkari dan tidak puas terhadap nikmat Allah yang diberikan padanya. Namun, jika dia mengalihkan pandangannya kepada orang di bawahnya, hal ini akan membuatnya ridho dan bersyukur atas nikmat Allah padanya.” (Lihat Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573). Wallaahu a’lam.



2 Respones to "Oase Di Tengah-Tengah Perjalanan Pulang"

@majid mengatakan...

artike yg bagus untuk mengingatkan kita agar selalu BERSYUKUR.. syukron :)


23 Januari 2011 pukul 22.56
Old Nakula mengatakan...

Nuhun mas majid. Baarakallaahu feek.. :)


23 Januari 2011 pukul 23.32

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula