Koruptor Itu Kafir. Benarkah?



Jujur, kami baru mendengar kalau ternyata ada sebuah buku yang berjudul “Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama” (diterbitkan oleh penerbit syi’ah, Mizan, red). Di beberapa forum, buku ini banyak diperbincangkan, terlebih-lebih ketika ada seorang penulis sekaligus “intelektual muda NU” (demikian menurut penuturan wikipedia, red) bernama Zuhairi Misrawi (yang belakangan kami ketahui sebagai aktivis JIL lulusan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir jurusan Filsafat, red) berkicau di twitternya (tanggal 3 Februari 2013 yang lalu);




Maksud orang ini adalah merujuk kepada fatwa kedua organisasi Islam yang tercantum pada buku tersebut. Lantas kami bertanya dalam hati, “Apakah benar koruptor itu kafir, How come?”. Kemudian apakah benar buku tersebut merupakan hasil pengkajian resmi oleh dewan riset ilmiah kedua organisasi Islam terbesar di negeri ini atau hanya hasil telaah beberapa individu yang kemudian menisbatkan hasil kajian mereka kepada dua induk organisasi tersebut?, wallaahu a’lam. Sebelum mencari tahu status hukum para koruptor (apakah dia kafir atau tidak) dari kacamata syar’i, ada baiknya jika kita memahami definisi Korupsi terlebih dahulu. Berdasarkan keterangan dari wikipedia, istilah Korupsi berasal dari bahasa latin, i.e; corruptio, dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, menyogok. Adapun definisi korupsi secara lebih luas adalah tindakan pejabat publik, baik politisi atau pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal (ilegal) menyalahgunakan wewenang, jabatan atau kepercayaan publk yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak (baik untuk kepentingan pribadi maupun golongan, red). Dari sisi syar’i, tindak kejahatan ini termasuk dosa besar –kategori: mengkhianati amanah- [1] (sebagaimana riba, zina, durhaka kepada orang tua, mencuri, membunuh dll, red) yang pelakunya harus dihukum dengan hukuman ta’ziir. Apa itu ta’ziir?

al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Shalih ‘alu Bassam –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1424 H) menjelaskan dalam syarh-nya (kitab al-Huduud);

التعزير- لغة- هو مصدر (عزَّر) وأصل العز ر: المنع، فأخذ منه، لأنه يمنع من الوقوع في المعصية. وشرعاً: - التأديب على ذنب لا حد فيه ولا كفارة، كالاستمتاع من المرأة بما دون الفرج، أو السرقة من غيرِ حرز، والقذف بغير الزنا، والمعاصي التي لم يقدر لها حدود، هي الكثرة الغالبة.

“at-Ta’ziir menurut bahasa merupakan mashdar dari ‘azzara. Asal makna al-‘Azru ialah pencegahan. Dari makna inilah diambil kata ini (i.e ta’ziir), karena ia mencegah terjadinya kemaksiatan. Menurut syariat berarti pemberian pengajaran atau dosa yang tidak ada ketetapan hukumannya dan tidak ada pula penyebutan kafaratnya, seperti mencumbui wanita selain kemaluannya atau mencuri barang yang tidak disimpan dan dijaga, menuduh selain zina dan berbagai kemaksiatan yang tidak ada ketetapan hukumnya, yang jenisnya amat banyak sekali.” [Taisirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatul Ahkam, 2/379. Daar al-Maiman, Riyadh]

Bentuk hukuman ta’ziir sendiri diserahkan kepada hakim, imam atau penguasa suatu negeri dan merekalah yang menetapkannya sebagaimana penjelasan asy-Syaikh berikut ini;

فينبغي للحاكم ملاحظة الأحوال، والظروف، والملابسات، ليكون على بصيرة من أمره، ولتكون تعزيرا ته وتأديباته واقعة مواقعها، وافية بمقصودها، وهو راجع إ إلى رأي الحاكم، فقد يكون بالتوبيخ، وقد يكون بالهجر، وقد يكون بالجلد، وقد يكون بالحبس، وقد يكون بأخذ المال، وقد يكون بالقتل.

“Hakim atau imam harus mempertimbangkan kondisi, situasi dan berbagai faktor secara cermat tentang masalah yang dihadapi, agar ta’ziir yang ditetapkannya benar-benar efektif dan sesuai dengan sasarannya, karena ta’ziir ini dikembalikan kepada keputusannya. Adapun ta’zir itu bisa berupa teguran, pengucilan, dera, penjara, menahan harta dan bisa juga berupa hukuman mati.” [Taisirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatul Ahkam, 2/381. Daar al-Maiman, Riyadh]

Nah sekarang, bagaimana status hukum dari sang pelaku itu sendiri?. Jujur saja, kami pribadi belum pernah mendengar atau mengetahui ada fatwa ulama ahlus sunnah yang mengafirkan seorang koruptor, padahal kejahatan seperti ini sudah ada sejak zaman dahulu. Mencoba berhusnuzhan, mungkin penulis buku tersebut tidak bermaksud mengkafirkan para koruptor dari sisi aqidahnya –wallaahu a’lam- sebagaimana keterangan Sekjen Khatib ‘Am Nahdlatul Ulama, Malik Madani yang menyatakan bahwa seorang muslim yang melakukan korupsi belum kehilangan imannya atau menjadi kafir. Ia berkata, “Perbuatannya (i.e korupsi) kita kutuk keras, tapi ia tidak menyebabkan (pelakunya) kafir dari segi akidah”. Ia juga berkata, “(Status pelakunya masih) Islam, tapi imannya tidak beres.” Namun di lapangan tidak sedikit manusia yang memahami kata kafir (yang terdapat pada buku tersebut pasca membacanya tentunya, red) sebagai kafir i’tiqadi (yang mengeluarkan pelakunya dari dienul Islam). Berikut adalah salah satu contoh kongkretnya;

Salah seorang penulis resensi mengatakan; “Korupsi menjelma fakta dan realitas kejahatan yang multikompleks dan ironis. Dampak negatifnya, korupsi lebih dari segala bentuk kejahatan yang ada. Buku ini menjelaskan banyak unsur kejahatan kriminal yang menyatu dalam korupsi. Dari aspek kepemimpinan, korupsi dekat dengan suap (risywah). Dari praktek, korupsi dekat dengan pencurian (sariqah). Sementara dari segi penggelapan, ia lebih dekat  kepada ghulul (merampas harta rampasan perang atau baitul mal). Kerusakan yang ditimbulkan lebih luas daripada kerusakan para pelaku kejahatan perampokan (hirabah). (hlm. 127-133). Korupsi juga mengandung unsur merampas harta dengan jalan memaksa (mukabarah atau ghasab), menjambret (intikhab), mencopet atau mengutil (ikhtilas) dan merupakan tindakan mengambil sesuatu secara tidak sah dalam berbagai aspeknya (ahlu suht). (hlm. 29). Segenap unsur kandungan korupsi itulah yang membuat NU dan Muhammadiyah dengan tegas menyatakan para koruptor adalah kafir. Dosa besar korupsi tidak bisa diampuni, sama dengan dosa syirik (menyekutukan Tuhan).[2]

Penulis resensi di atas menyimpulkan bahwa dosa pelaku korupsi itu tak terampuni, sama besarnya dengan dengan dosa syirik. Bukankah ini merupakan takfir terhadap pelaku korupsi?. Judul buku yang menurut kami –CMIIW- tidak pas (karena terlalu umum. Jika diganti dengan fasiq barangkali lebih pas, red) yang bisa menggiring opini masyarakat terhadap pemahaman atau kesimpulan yang salah, yang -bisa jadi- tidak sejalan dengan pemahaman penulisnya (jika memang penulisnya tidak bermaksud mengkafirkan koruptor dari sisi i’tiqad-nya, red). Korupsi adalah perbuatan fasiq kecil yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari dienul Islam. Para ulama ahlul sunnah dari dulu hingga sekarang –faktanya- sepakat bahwa dosa besar selain syirik (fasiq kecil) itu tidak mengeluarkan seseorang dari agama ini. Pelaku tetap dianggap sebagai seorang muslim, hanya saja keimanannya tidak sempurna (akibat perbuatan maksiat/ dosa besar tersebut, red). Berikut kami nukilkan pernyataan para ulama ahlus sunnah sekaligus kritikan terhadap kesimpulan aneh sang penulis resensi –yang tergesa-gesa dalam menghukumi- di atas di antaranya;

al-Imam al-Hafizh Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawaawi asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H) menjelaskan dalam syarh-nya ketika menafsirkan hadits riwayat al-Imam Muslim berikut;

(لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ الْحَدِيثَ) وَفِي رِوَايَةٍ وَلَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ حِينَ يَغُلُّ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَفِي رِوَايَةٍ وَالتَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ

“Tidaklah seseorang melakukan perbuatan zina dan pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang mencuri pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman, dan tidaklah seseorang meminum khamr pada saat melakukannya ia dalam keadaan beriman.” Dalam riwayat lain, “Dan tidaklah salah seorang dari kamu berkhianat pada saat berkhianat dia dalam keadaan mukmin.” Dalam riwayat yang lain, “Dan (kesempatan) bertaubat dibentangkan setelah itu.”

Para ulama memperselisihkan makna hadits-hadits ini dan pendapat yang benar menurut para pentahqiq adalah janganlah seseorang melakukan perbuatan maksiat ini sedangkan ia beriman secara sempurna. Redaksi inilah yang dijadikan sandaran dalam peniadaan iman pada seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan peniadaan iman adalah peniadaan tentang kesempurnaannya sebagaimana seseorang yang mengatakan, “Tidak ada ilmu kecuali yang bermanfaat, tidak ada harta kecuali unta, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.”

Kami menafsirkannya seperti (keterangan) di atas karena berdasarkan hadits Abu Dzar –radhiyallaahu ‘anhu- bahwa, “Barang siapa yang mengucapkan Laa ilaha illallaah, maka ia masuk surga meskipun ia berzina dan mencuri.” Selain itu, hadits ‘Ubaidah bin ash-Shamit –radhiyallaahu ‘anhu- menjelaskan bahwa mereka berbai’at kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak bermaksiat dan seterusnya. Kemudian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berkata kepada mereka, “Maka barangsiapa di antara kamu yang memenuhinya maka ia mendapatkan pahala dari Allah, dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari perbuatan tersebut lalu ia dihukum di dunia, maka itu adalah penebusnya, dan barangsiapa yang melakukannya dan dia tidak dihukum maka urusannya kepada Allah, jika Dia menghendaki (untuk mengampuni) maka Dia akan mengampuninya dan jika Dia menghendaki (untuk mengadzab), maka Dia akan mengadzabnya.” Dua hadits shahih ini semakna dengan firman Allah ‘Azza wa Jall;

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لمن يشاء

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik) dan Dia mengampuni dosa yang selain itu (syirik) bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisaa: 48)

Kami juga berpedoman pada ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa pezina, pencuri, pembunuh dan selain mereka yang termasuk dosa besar selain syirik bahwa mereka tidak menjadi kafir karena melakukan perbuatan tersebut, tetapi mereka adalah orang yang tidak sempurna keimanannya. Jika mereka bertaubat, maka akan gugur hukumannya, jika mereka meninggal dalam keadaan terus melakukan dosa besar, maka (mereka) berada dalam kehendak Allah Ta’ala, jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuni mereka dan langsung memasukannya ke dalam surga, dan jika Allah Ta’ala mengendaki, maka Dia akan mengadzab mereka terlebih dahulu (di dalam neraka, red) kemudian memasukannya ke dalam surga.” [Syarh Shahih Muslim, 2/41-42. Daar Ihyaa at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut]

al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad bin Husain bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawiy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 516 H) menjelaskan dalam bab: “Barangsiapa mati dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun”;

قَالَ الإِمَامُ الْحُسَيْنُ بْنُ مَسْعُودٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: اتَّفَقَ أَهْلُ السُّنَّةِ عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَخْرُجُ عَنِ الإِيمَانِ بِارْتِكَابِ شَيْءٍ مِنَ الْكَبَائِرِ إِذَا لَمْ يَعْتَقِدْ إِبَاحَتَهَا، وَإِذَا عَمِلَ شَيْئًا مِنْهَا، فَمَاتَ قَبْلَ التَّوْبَةِ، لَا يُخَلَّدُ فِي النَّارِ، كَمَا جَاءَ بِهِ الْحَدِيثُ، بَلْ هُوَ إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ، وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ بِقَدْرِ ذُنُوبِهِ، ثُمَّ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ، كَمَا وَرَدَ فِي حَدِيثِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فِي الْبَيْعَةِ.

“al-Imam al-Husain bin Mas’ud –raheemahullaahu- berkata: Ahlus sunnah sepakat bahwa orang mukmin tidak akan keluar dari keimanan (baca: kafir) lantaran melakukan dosa besar bila dia tidak meyakini kehalalannya. Jika dia melakukan dosa besar tersebut lalu mati dan belum sempat bertaubat maka dia tidak akan kekal di dalam neraka sebagaimana yang diterangkan dalam hadits. Urusannya diserahkan kepada Allah, Jika Dia berkehendak, Dia bisa mengampuninya, namun jika tidak Dia bisa menghukumnya sesuai kada dosanya itu, kemudian dia akan dimasukkan ke dalam surga berdasarkan rahmat-Nya sebagaimana yang diterangkan oleh hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit tentang bai’at.” [Syarhus Sunnah Lil Baghawi, 1/103. al-Maktab al-Islamiy, Dimasyq]

Keponakan sekaligus murid dari al-Imam Isma’il bin Yahya bin Isma’il al-Muzani asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 264 H), al-Imam Hujjatul Islam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salimah bin ‘Abdul Malik ath-Thahawiy al-Hanafiy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 321 H) berkata;

وأهل الكبائر من أمة محمد صلى الله عليه وعلى آله وسلم في النار لا يخلدون، إذا ماتوا وهم موحدون وإن لم يكونوا تائبين، بعد أن لقوا الله عارفين "مؤمنين" وهم في مشيئته وحكمه، إن شاء غفر لهم وعفا عنهم بفضله، كما ذكر عز وجل في كتابه: (ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء) وإن شاء عذبهم في النار بعدله: ثم يخرجهم منها برحمته وشفاعة الشافعين من أهل طاعته: ثم يبعثهم إلى جنته

Para pelaku dosa-dosa besar dari ummat Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama masuk neraka, akan tetapi mereka tidak kekal (sebagaimana orang kafir, red), apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid. Jika mereka tidak bertaubat setelah (nanti) mereka bertemu Allah sebagai orang-orang yang mengetahui lagi beriman, dimana mereka berada di bawah kehendak (masy’iah) dan ketentuan hukum-Nya, maka jika Allah menghendaki, Dia (bisa) mengampuni mereka dengan karunia-Nya, sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jall sebutkan di dalam kitab-Nya, “Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu (syirik) bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa: 48). Dan jika Dia menghendaki, Dia (bisa) mengadzab mereka di dalam neraka dengan keadilan-Nya, kemudian Allah mengeluarkan mereka darinya (neraka, red) dengan rahmat-Nya dan syafa’at para pemberi syafa’at dari orang-orang yang ta’at kepada-Nya, lalu Allah akan mengirimkan mereka ke surga-Nya.”

asy-Syaikh DR. Shalih bin Fauzaan bin ‘Abdullah al-Fauzaan –hafizhahullaahu Ta’ala- menjelaskan dalam syarh-nya terhadap ucapan al-Imam ath-Thahawiy di atas; “Dosa-dosa besar adalah dosa-dosa selain syirik akan tetapi di atas dosa-dosa kecil. Prinsip dasar suatu dosa dikatakan dosa besar adalah: setiap dosa yang harus ditegakkan hukuman (had) atasnya, atau yang mendapatkan ancaman murka atau laknat Allah, atau neraka, atau Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama antipati terhadap orang-orang yang melakukannya. Inilah dosa besar, seperti misalnya sabda beliau;

غشنا فليس منا. أخرجه مسلم (رقم101)

“Barangsiapa yang menipu kami maka dia bukan dari kami.” (HR. Muslim, no. 101)

Juga sabda beliau;

من حمل علينا السلاح فليس منا أخرجه البخاري (رقم 6874) ومسلم (رقم 98، 100، 101).

“Barangsiapa yang membawa senjata untuk melawan kami, maka dia bukan dari kami.” (HR. al-Bukhari, no. 6874 dan Muslim, no. 98, 100, dan 101)

Semua poin prinsip dasar ini menunjukkan bahwa dosa bersangkutan adalah dosa besar, akan tetapi di bawah dosa syirik. Pelaku dosa-dosa besar tersebut tidak keluar dari iman (baca: kafir), akan tetapi dia tetap seorang mukmin yang kurang imannya, atau bisa juga dinamakan orang fasiq. Inilah pandangan ahlus sunnah wal jama’ah; mereka tidak mengkafirkan (seorang muslim) karena dosa-dosa besar selama dia bukan syirik, akan tetapi mereka juga tidak memberikan kepadanya iman secara mutlak. Mereka memberikannya iman kepadanya yang diberi batasan, sehingga dikatakan; ‘Dia mukmin dengan imannya, akan tetapi fasiq dengan dosa besarnya (i.e yang dilakukannya). Maka tidak dikatakan bahwa orang semacam ini adalah seorang mukmin dengan keimanan sempurna sebagaimana yang dikatakan golongan murji’ah. Tetapi juga tidak dikatakan bahwa dia keluar dari Islam (kafir) sebagaimana yang dikatakan oleh Khawarij dan Mu’tazilah.” [at-Ta’liqaatu al-Mukhtasharatu ‘ala Matni al-‘Aqidah ath-Thahaawiyyah hal. 154-155. Daar al-‘Ashimah Li an-Nashr wa at-Tawzi’, Riyadh]

Al-Imam Muwafaqquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisy ad-Dimasyqi ash-Shaalihi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 629 H) berkata dalam kitab aqidahnya;

ولا نكفر أحدا من أهل القبلة بذنب، ولا نخرجه عن الإسلام بعمل

Kita tidak (boleh) mengkafirkan seseorang pun dari ahli kiblat karena suatu dosa dan kita tidak mengeluarkannya dari Islam karena suatu perbuatan (dosa).” [Lum’atul I’tiqad, hal. 38]

al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin at-Tamimi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1421 H) menjelaskan ucapan al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy di atas di dalam syarh-nya;

أهل القبلة هم المسلمون المصلون إليها لا يكفرون بفعل الكبائر ولا يخرجون من الإسلام بذلك ولا يخلدون في النار

“Ahli kiblat adalah kaum muslimin yang shalat menghadap ke (arah) sana. Mereka tidak boleh dikafirkan karena melakukan dosa-dosa besar dan tidak boleh dikeluarkan dari Islam karena itu, dan tidak dinyatakan kekal di dalam neraka.” [Syarh Lum’atul I’tiqad al-Haadi ila Sabiil ar-Rasyad, hal. 149. Maktabah Adhwaa’ as-Salaf, Riyadh]

al-Hafizh Syaikhul Islam Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin ‘Abdullah bin al-Khidr bin Muhammad bin Taimiyyah an-Numairy al-Harani ad-Dimasyqi al-Hambaliy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 728 H) berkata ketika menjelaskan tentang Iman di dalam kitabnya, yakni;

قَوْلٌ، وَعَمَلٌ. قَوْلُ: الْقَلْبِ، وَاللِّسَانِ. وَعَمَلُ: الْقَلْبِ، وَاللِّسَانِ، وَالْجَوَارِحِ. وَأَنَّ الْإِيمَانَ: يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ، وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ. وَهُمْ مَعَ ذَلِكَ، لَا يُكَفِّرُونَ أَهْلَ الْقِبْلَةِ بِمُطْلَقِ الْمَعَاصِي وَالْكَبَائِرِ، كَمَا تَفْعَلُهُ «الْخَوَارِجُ» ، بَلْ الْأُخُوَّةُ الْإِيمَانِيَّةُ ثَابِتَةٌ مَعَ الْمَعَاصِي. كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي آيَةِ الْقِصَاصِ: {فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوف} [البقرة: 178] .

“Perkataan dan amal perbuatan, perkataan: hati dan lisan, amal perbuatan: hati dan lisan, serta anggota badan. Dan bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Namun demikian, mereka (ahlus sunnah wal jama’ah, red) tidak mengkafirkan ahlul kiblat dengan berbagai kemaksiatan dan dosa besar secara mutlak yang jelas-jelas ia lakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok khawarij; akan tetapi ukhwah imaniyyah tetap ada, sekalipun dengan adanya berbagai kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala di dalam ayat qishash, ‘Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang ma’ruf.’ (QS. al-Baqarah: 178).. dst.” [al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 113. Maktabah Adhwaa’ as-Salaf, Riyadh]

Dan masih banyak lagi ucapan para ulama ahlus sunnah yang lain yang senada dengan ucapan para ulama salaf di atas (meskipun mereka berbeda mahzab fiqh). Jika ada orang yang beropini bahwa orang fasiq (kecil) atau pelaku dosa besar selain syirik itu telah kafir atau keluar dari Islam (sebagaimana yang dikatakan oleh sekte khawarij, red), maka pendapat tersebut bertentangan dengan ijma’ as-salaf ash-shalih. Akhirnya, jangan sampai kebencian kita terhadap seseorang e.g para pelaku dosa besar (semisal koruptor) menimbulkan musibah lain yang justru menimpa diri kita sendiri (i.e fitnah takfir) akibat kejahilan kita terhadap ‘ilmu ad-dien. Tidak ada manusia yang sempurna dan maksum dari dosa kecuali Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, dan adalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.

__________
[1]. Klik sumbernya di sini
[2]. Klik sumbernya di sini


0 Respones to "Koruptor Itu Kafir. Benarkah?"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula