Blusukan, Why Not?



Kalau anda mencari kata “blusuk” atau “blusukan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), niscaya anda tidak akan (pernah) menemukannya. Kata ini bukanlah kata serapan sebagaimana kata-kata asing yang populer di telinga masyarakat semisal; aplikasi (serapan kata dari application: Inggris), kabar (dari kata khabar: Arab), besuk (dari kata bezoek: Belanda), bendera (dari kata bandeira: Portugal) dan seterusnya. Kata blusuk atau blusukan (baca: blusu-an) berasal dari bahasa jawa yang artinya masuk. Secara ‘istilah’ blusukan bermakna mengunjungi tempat-tempat tertentu (umumnya daerah pedalaman yang jarang sekali dikunjungi seseorang) demi tujuan dan kepentingan tertentu. Bisa jadi (dilakukan) demi menyelesaikan masalah yang sedang bergejolak di wilayah tersebut, menyampaikan hajat politik (mencari dukungan suara misalnya, red), mendengarkan aspirasi dan keluhan masyarakat, menjalin hubungan personal yang baik dengan masyarakat, menyalurkan donasi (bantuan) dan sebagainya. Istilah blusukan semakin dikenal setelah salah seorang pejabat publik (asal Solo) mempopulerkannya dan menjadikannya sebagai salah satu agenda tetapnya. Pro kontra pun muncul, sebagian kalangan menganggapnya sebagai bentuk pencitraan (karena sering diliput media masa), dan sebagian lainnya menganggapnya sebagai bentuk tindakan nyata dan bentuk empati seorang pemimpin sejati terhadap rakyatnya yang harus diteladani. Terlepas dari mana yang benar dari dua opini tersebut (yang melekat pada diri sang pejabat), terjun ke lapangan, berinteraksi dengan rakyat, masuk ke pedalaman demi membantu dan memecahkan kesulitan masyarakat merupakan aktivitas rutin yang dilakukan orang-orang terbaik kaum muslimin di masa lampau. Blusukan yang disertai dengan tindakan nyata tak diragukan lagi merupakan bentuk kepedulian seorang pemimpin sejati. Ngga percaya?,...

Simaklah kisah pemimpin umat yang mulia dari kalangan bangsa Quraisy ini, yang namanya masyhur di kalangan kaum muslimin dan ahlul kitab dari zaman ke zaman, yang kebaikan dan keutamaannya tak tertandingi oleh orang-orang setelahnya, yang Allah Azza wa Jall menjanjikannya surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang Allah jadikan ia sebagai sahabat sejati kekasih-Nya (i.e Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama), dan... dan,... masih banyak lagi keutamaan-keutamaan beliau –radhiyallaahu ‘anhu- yang lain. Siapakah dia?

Berkata al-Imam al-Hafizh ‘Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi as-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 774 H), seorang ahli tafsir al-Qur’an kenamaan, ahlul hadits dan ahli sejarah terpercaya, murid para huffazh di zamannya semisal al-Hafizh Jamaluddin Abu al-Hajjaj al-Mizzi, al-Hafizh Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah al-Harrani, al-Hafizh Ibnu az-Zamlakani asy-Syafi’i, al-Hafizh al-Kabir Abu al-Qasim Ibnu Asakir, al-Hafizh adz-Dzahabi ad-Dimasyqi –raheemahumullaahu Ta’ala- dll dalam kitab tarikhnya mengenai shahabat yang mulia ini;

وَهُوَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُرْطِ بْنِ رُزَاحَ بْنِ عَدِيِّ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضِرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ إِلْيَاسَ بْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعْدِّ بْنِ عَدْنَانَ، الْقُرَشِيُّ، أَبُو حَفْصٍ الْعَدَوِيُّ، الْمُلَقَّبُ بِالْفَارُوقِ، قِيلَ: لَقَّبَهُ بِذَلِكَ أَهْلُ الْكِتَابِ. رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ الزُّهْرِيِّ.

“Dia adalah Umar bin al-Khaththab bin Nufail bin ‘Abdul Uzza bin Riyah bin ‘Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adiyyin bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr Ibnu Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan, al-Qurasyi, Abu Hafsh al-‘Adawi, yang dijuluki al-Faruq (yang tegas memisahkan antara yang haq dan yang batil). Menurut riwayat (dikatakan), orang ahli kitab yang menjulukinya dengan nama tersebut. Nasab tersebut diriwayatkan dari az-Zuhriy.” [al-Bidayah wan-Nihayah, 10/180, Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

وَقَالَ الْوَاقِدِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو حَرْزَةَ يَعْقُوبُ بْنُ مُجَاهِدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي عَمْرٍو قَالَ: «قُلْتُ لِعَائِشَةَ: مَنْ سَمَّى عُمَرَ الْفَارُوقَ؟ قَالَتِ: النَّبِيُّ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

al-Waqidi menuturkan (Tarikh ath-Thabari 4/195), Abu Hazrah Ya’kub bin Mujahid menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Ibrahim, dari Abu Amr, dia berkata, ‘aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah, “Siapa yang memberi Umar nama al-Faruq?”, Dia menjawab, “Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.”’ [al-Bidayah wan-Nihayah, 10/188, Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

al-Imam al-Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan;

وَكَانَ مُتَوَاضِعًا فِي اللَّهِ، خَشِنَ الْعَيْشِ، خَشِنَ الْمَطْعَمِ، شَدِيدًا فِي ذَاتِ اللَّهِ، يُرَقِّعُ الثَّوْبَ بِالْأَدِيمِ، وَيَحْمِلُ الْقِرْبَةَ عَلَى كَتِفَيْهِ، مَعَ عِظَمِ هَيْبَتِهِ، وَيَرْكَبُ الْحِمَارَ عُرْيًا، وَالْبَعِيرَ مَخْطُومًا بِاللِّيفِ، وَكَانَ قَلِيلَ الضَّحِكِ لَا يُمَازِحُ أَحَدًا، وَكَانَ نَقْشُ خَاتَمِهِ: كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا يَا عُمَرُ.

“Dia adalah orang yang senantiasa merendahkan diri di hadapan Allah, kehidupannya serba kekurangan, makanannya kasar, serta sangat mencintai Allah. Dia menambal kainnya dengan kulit yang telah disamak, memikul bejana tempat air di pundaknya, sekalipun tinggi wibawanya, keluar naik keledai yang terbuka dan onta yang dibungkam dengan tali dari ijuk. Dia orang yang sedikit tertawa, tidak suka bersenda gurau dengan siapapun. Dan dia mengukir cincinnya dengan kata-kata; ‘Cukuplah kematian sebagai (sesuatu) yang menasihati wahai Umar’.” [al-Bidayah wan-Nihayah, 10/182, Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

Subhaanallah, seorang khalifah yang mulia (yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan petunjuk), pemimpin umat yang banyak berjihad di jalan-Nya, menaklukan banyak wilayah-wilayah penting di jazirah Arab dan sekitarnya demi menegakkan kalimatut tauhid seperti Syam, Mesir, Yordan, Palestina, Aljazair, Irak, termasuk juga negara Majusi (yang kini dikuasai oleh sekte pembangkang dan pengkhianat bernama Syi’ah Rafidhah al-Majusi) Persia (sekarang bernama Iran) itu ternyata serba kekurangan hidupnya (saking qana’ahnya terhadap dunia), jangankan mobil Hummer, jam Rolex, rumah atau villa mewah (kalau dahulu barangkali emas, perak, tanah yang luas dan rumah yang mewah, red), makanan yang beliau -radhiyallaahu ‘anhu- makan sehari-hari saja kasar (baca: berkualitas rendah), kain yang beliau kenakan saja beliau tambal sendiri, bejana airnya saja beliau pikul sendiri dll. Kalau ada yang bilang, “Jangan pernah engkau samakan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab -radhiyallaahu Ta’ala ‘anhu- dengan pemimpin-pemimpin masa kini”, maka jawabannya, “Benar,  memang -mohon maaf- tidak layak dibandingkan, baik itu dari sisi ibadahnya, kecintaannya kepada Allah Azza wa Jall dan Rasul-Nya, ketaatannya kepada syariat-Nya, ittiba’-nya kepada sunnah Nabinya, amar ma’ruf nahi munkarnya, khoufnya, jihadnya, kesederhanaannya, qana’ahnya, kedermawanannya, dll.” La wong setengah mud infak-nya para shahabat radhiyallaahu ‘anhum saja masih lebih baik (di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala) dibandingkan infak emas sebesar gunung uhud yang kita keluarkan koq. Tapi minimal kebaikan-kebaikan beliau radhiyallaahu Ta’ala ‘anhu masih bisa kita contoh dan teladani. Wallaahu a’lam.

Sebelum masuk kepada kisah keteladanan beliau radhiyallaahu ‘anhu melalui aksi “blusukan” yang beliau lakukan dari satu rumah kaum muslimin ke rumah kaum muslimin yang lainnya, kami paparkan terlebih dahulu kezuhudan Amirul Mukminin terhadap dunia –secara ringkas- dan khouf beliau terhadap Allah Subhanaahu wa Ta’ala meskipun Allah telah menjaminnya dengan Surga (sebagaimana dua orang pendahulunya yang mulia, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu) sebagai berikut;

Al-Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan;

وَكَانَ عُمَرُ إِذَا اسْتَعْمَلَ عَامِلًا كَتَبَ لَهُ عَهْدًا، وَأَشْهَدَ عَلَيْهِ رَهْطًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ، وَاشْتَرَطَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَرْكَبَ بِرْذَوْنًا، وَلَا يَأْكُلَ نَقِيًّا، وَلَا يَلْبَسَ رَقِيقًا، وَلَا يُغْلِقَ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَاتِ، فَإِنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةُ

“Umar, ketika itu dia mengangkat seorang pejabat, dia selalu menulis pesan kepadanya, mempersaksikan pengangkatannya di hadapan sekelompok orang dari kaum Muhajirin, menyampaikan persyaratan kepadanya agar tidak pergi naik kuda penarik beban (birdzaun), tidak mengkonsumsi makanan yang bersih, tidak mengenakan pakaian yang halus, tidak mengunci pintunya di hadapan orang-orang yang memiliki kebutuhan yang mendesak, jika satu dari semua itu dilakukannya, maka pasti hukuman akan dijatuhkan kepadanya.

Umar, padahal dia khalifah, tetap mengenakan jubah dari bulu domba, yang sebagiannya ditambal dengan kulit yang telah disamak. Dia berkeliling ke sejumlah pasar, sedang kumparan ada di pundaknya, memberikan pelajaran kepada orang-orang (mengenai cara) menggunakannya,..

وَقَالَ أَنَسٌ: كَانَ بَيْنَ كَتِفَيْ عُمَرَ أَرْبَعُ رِقَاعٍ، وَإِزَارُهُ مَرْقُوعٌ بِأَدَمٍ. وَخَطَبَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَعَلَيْهِ إِزَارٌ فِيهِ اثْنَتَا عَشْرَةَ رُقْعَةً، وَأَنْفَقَ فِي حَجَّتِهِ سِتَّةَ عَشَرَ دِينَارًا، وَقَالَ لِابْنِهِ: قَدْ أَسْرَفْنَا.

Anas menuturkan (sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd 588, Ibnu Qutaibah dalam ‘Uyunul Akhbar 1/297), di antara kedua bahu Umar ada empat buah tambalan, kain sarungnya ditambal menggunakan kulit yang telah disamak. Dia pernah berkhutbah di atas mimbar, dan dia mengenakan kain sarung yang di dalamnya terdapat dua belas tambalan. Dia mengeluarkan infaq sebesar enam belas dinar untuk urusan hajinya, dan dia berkata kepada putranya, ‘Sungguh kita sudah melampaui batas.’

Dia tidak pernah berteduh menggunakan apapun kecuali dia menaruh pakaiannya di atas pohon dan berteduh di bawahnya, dan dia tidak memiliki tenda, tidak pula kemah (pavilliun).

Dia selalu menjadi imam shalat Isya berjama’ah dengan sejumlah kaum muslimin, lalu dia masuk ke kamarnya, lalu dia meneruskan shalatnya hingga fajar tiba. Dia tidak meninggal hingga dia menjalani puasa secara berturut turut. Dan pada masa bencana kemarau panjang (ar-ramadah) terjadi, dia tidak mengkonsumsi makanan kecuali roti dan minyak zaitun, hingga kulitnya berubah menghitam dan dia berkata;

بِئْسَ الْوَالِي أَنَا إِنْ شَبِعْتُ وَالنَّاسُ جِيَاعٌ

‘Seburuk-buruknya penguasa adalah aku jika aku makan dengan kenyang, sedang orang-orang dalam keadaan kelaparan.’

Di wajahnya terdapat dua guratan hitam akibat sering menangis. Pernah dia mendengar sebuah ayat al-Qur’an, lalu dia jatuh pingsan, lalu dia dibawa ke rumahnya dalam kondisi jatuh pingsan, dan kejadian itu terulang kembali beberapa hari lamanya, dia tidak menderita sakit apapun kecuali rasa takut (kepada Allah Azza wa Jall).” [Diringkas dari al-Bidayah wan-Nihayah, 10/183-185, Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

Demikianlah ibadah, akhlak, sifat khouf, dan kezuhudan amirul mukminin Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu secara ringkas, masih sangat banyak keutamaan-keutamaan beliau yang lainnya yang tidak mungkin dituliskan secara lengkap dalam bentuk artikel, silahkan anda merujuk ke kitab al-Bidayah wan-Nihayah karya al-Imam al-Hafizh Ibnu Katsir –raheemahullaahu Ta’ala- dan Syarh Shahih Muslim karya al-Imam al-Hafizh an-Nawaawi –raheemahullaahu Ta’ala- pada bab: Di Antara Keutamaan Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.

Adapun kisah “blusukannya” amirul mukminin dijelaskan oleh al-Imam al-Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir ad-Dimasyqi –raheemahullaahu Ta’ala- sebagai berikut;

“Thalhah bin Ubaidillah –radhiyallaahu ‘anhu- menuturkan (sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam Sirah Umar hal. 58), pada suatu malam Umar keluar di tengah kegelapan malam, lalu dia menyelinap masuk ke sebuah rumah. Keesokan harinya aku pergi mendatangi rumah tersebut, ternyata ada wanita tua yang buta dan lumpuh, lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa masalahnya laki-laki itu (maksudnya Umar, red) mendatangimu?’ Lalu dia menjawab, ‘Sesungguhnya dia selama ini selalu merawatku ini dan itu, dia datang menemiku dengan sesuatu yang menopang hidupnya dan mengeluarkan kesulitan dari diriku.’ Lalu aku (maksudnya Thalhah, red) berkata pada diriku sendiri, ‘Ibumu telah ditinggal mati anaknya wahai Thalhah, karena kamu selalu mencari-cari kesalahan Umar!’

Aslam budak yang telah dimerdekakan oleh Umar menuturkan (sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat 3/301, al-Hafizh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq hal. 303, 304 dari Ibnu Umar), rombongan pedagang tiba di madinah, lalu mereka singgah di tempat shalat, lalu Umar berkata kepada Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Apakah kamu mau bersama-sama kami menjaga mereka malam ini?’, Abdurrahman pun mengiyakannya. Akhirnya mereka berdua begadang menjaga mereka. Tiba-tiba Umar mendengar tangisan seorang anak, lalu dia pergi ke arah dimana tangisan itu berada, lalu dia berkata pada ibu sang anak tersebut, ‘Takutlah kepada Allah dan berbuat baiklah kepada anakmu.’

Kemudian Umar kembali ke posisinya semula, lalu dia mendengar kembali tangisannya dan dia pun kembali menemui ibu sang anak tersebut. Kemudian ia berkata kepadanya dengan kata-kata yang sama seperti saat pertama kali menemuinya, lantas dia kembali ke posisinya semula. Tatkala waktu malam hampir habis, dia mendengar kembali tangisan anak tersebut, kemudian dia menemui ibu sang anak dan berkata kepadanya, ‘Celaka kamu, kamu sesungguhnya ibu yang sangat buruk, apa yang membuatku melihat anakmu tidak pernah berhenti menangis sejak malam tadi?’, lalu dia menjawab, ‘Hai hamba Allah, aku sesungguhnya sedang sibuk menyediakan makanan untuknya. Lalu tangisan itu pun datang.’ Umar bertanya, ‘Mengapa?’, Dia menjawab, ‘Karena Umar tidak memberikan santunan kecuali anak yang sudah disapih.’ Umar bertanya, ‘Berapa umur anakmu ini?’, Dia menjawab, ‘Sekian bulan’. Lalu Umar berkata, ‘Celaka kamu!, jangan tergesa-gesa meyapihnya.’ Lalu tatkala dia mengerjakan shalat shubuh, dan bacaannya tidak terdengar jelas oleh orang-orang karena menangis, dia berkata, ‘Alangkah buruknya perbuatan Umar, berapa banyak dia membunuh sejumlah anak kaum muslimin.’ Kemudian dia menyuruh juru penyerunya, lalu dia mengeluarkan seruan, ‘Janganlah kalian tergesa-gesa menyapih anak-anak kalian, karena kami telah menetapkan santunan bagi setiap anak yang terlahir di lingkungan Islam.’ Dia pun mengirim surat mengenai hal tersebut ke segala penjuru wilayah Islam.

Aslam menuturkan (sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam Sirah Umar hal. 73, 74 dari Anas), pada suatu malam aku keluar mendampingi Umar ke luar kota Madinah, lalu tampak oleh kami sebuah rumah tenda, kami menghampirinya, ternyata di dalamnya terdapat seorang perempuan yang akan melahirkan sambil menangis. Kemudian Umar menanyakan kondisinya kepadanya, dan dia menjawab, ‘Aku adalah perempuan pengembara, aku sudah tidak memiliki apa-apa.’ Lalu Umar menangis, dan dia segera pulang menuju rumahnya, lantas bertanya kepada istrinya Ummi Kultsum binti ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Apakah kamu menginginkan pahala yang akan Allah berikan kepadamu?’, lantas ia mengiyakannya. Kemudian dia memikul tepung dan minyak di punggungnya, dan Ummi Kultsum membawa perlengkapan layak (pakai) untuk proses persalinan, dan mereka berdua datang. Lalu Ummi Kaltsum masuk menemui perempuan tersebut, sementara Umar duduk menunggu di luar bersama suaminya –dan Umar tidak mengenalnya- sambil berbincang-bincang.

Kemudian perempuan tersebut melahirkan bayi laki-laki, dan Ummi Kultsum berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, sampaikan kabar gembira kepada kawanmu tentang kelahiran bayi laki-laki.’ Lalu tatkala orang itu mendengar ucapannya, maka dia menganggap bahwa hal itu merupakan tindakan yang sangat luar biasa, dan segera mengemukakan alasan kepada Umar, kemudian Umar berkata, ‘Tidak apa-apa bagimu.’ Lantas Umar memberikan biaya hidup kepada mereka dan perlengkapan yang layak buat mereka, dan Umar pun pulang.

Aslam menuturkan (sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Fadha’il ash-Shahaabah 382 dengan sanad hasan), pada suatu malam aku keluar bersama Umar menuju tanah bebatuan Waqim, hingga ketika kami berada di Shirar, tiba-tiba kami melihat cahaya api, lalu Umar berkata, ‘Hai Aslam di sana ada kafilah, malam telah membuat mereka kelelahan, bawalah kami untuk menemui mereka.’ Kemudian kami mendatangi mereka, dan ternyata ada seorang perempuan bersama beberapa anaknya, sedang periuk nasi terpasang di atas api, sementara anak-anaknya menangis (meminta makan). Lantas Umar berkata, ‘Assalamu’alaykum wahai orang-orang yang menyalakan cahaya penerangan.’ Dia menjawab, ‘Wa’alaykum salam.’ Umar berkata, ‘Apakah aku boleh mendekat?’, dia menjawab, ‘Mendekat atau pergi (sama saja).’ Lalu Umar mendekat, dan bertanya, ‘Bagaimana keadaan kalian?’ Dia menjawab, ‘Malam dan udara dingin telah membuat kami kelelahan.’ Umar bertanya, ‘Lalu bagaimana keadaan anak-anak yang menangis tersebut?’ Dia menjawab, ‘Karena lapar.’ Lalu Umar bertanya, ‘Apa yang dimasak di atas api?’ Dia menjawab, ‘Air. Aku mengelabuhi mereka dengan air ini hingga mereka tertidur, Allah ada di antara kami dan Umar!.’ Lalu Umar menangis, dan bergegas pulang kembali menuju tempat penyimpanan tepung dan sekantong minyak, dan berkata, ‘Hai Aslam, taruhlah di punggungku,’ Lalu aku (Aslam) berkata, ‘Aku memikulnya menggantikanmu.’ Lalu Umar berkata, ‘Kamu mau memikul dosaku pada hari Kiamat!.’, Lalu Umar memikulnya sendiri di punggungnya, kami pun pergi menemui perempuan tersebut, lalu dia menurunkannya dari punggungnya, dan dia memasukan sebagian tepung ke dalam priuk, lalu dia menaruh sebagian minyak di atasnya, segera dia meniup-niupkan api di bawah priuk, dan sesaat asap menyelinap di sela-sela jenggotnya. Kemudian dia mengentaskannya dari api dan berkata, ‘Berikan aku piring’, lalu dia segera menyuguhkannya di hadapan anak-anak tersebut dan berkata, ‘Makanlah kalian semua.’ Mereka makan hingga kenyang -dan perempuan itu memanggilnya dan dia tidak mengenal Umar- lalu Umar tetap berada di sisi mereka, hingga anak-anak kecil itu tertidur. Kemudian dia memberi mereka biaya hidup dan dia pun pulang, lalu dia berkata, ‘Hai Aslam, rasa laparlah yang membuat mereka tidak bisa tidur dan menangis.’” [Diringkas dari al-Bidayah wan-Nihayah, 10/185-187, Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

Demikianlah kepedulian Umar Ibnul Khaththab radhiyallaahu ‘anhu terhadap kaum muslimin, dia ada tatkala mereka membutuhkan bantuannya, dia ada tatkala mereka memerlukan bimbingan dan nasihatnya. Perkara-perkara yang dianggap remeh oleh pemimpin masa kini yang barangkali cukup dikerjakan dan diwakilkan kepada ajudannya, ditangani langsung oleh Amirul Mukminin di masanya, dengan tangannya sendiri, dengan pundaknya sendiri. Hal ini tidak lain karena beliau takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang telah menitipkan amanah berat bernama kepemimpinan di pundaknya!, beliau takut jika Allah Ta’ala memanggilnya (secara tiba-tiba), sedangkan ia dalam keadaan menzhalimi rakyatnya!. Bahkan tatkala seekor onta zakat lepas, dia sendirilah yang keluar mencarinya!, subhanallah.

وَقِيلَ إِنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، رَأَى عُمَرَ وَهُوَ يَعْدُو إِلَى ظَاهِرِ الْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهُ: إِلَى أَيْنَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ؟ فَقَالَ: قَدْ نَدَّ بَعِيرٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ فَأَنَا أَطْلُبُهُ. فَقَالَ: قَدْ أَتْعَبْتَ الْخُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِكَ!

Menurut sebuah riwayat, bahwasannya ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu pernah melihat Umar belari ke luar kota Madinah, lalu dia bertanya kepadanya, ‘Hendak kemana wahai Amirul Mukminin?’, Lantas dia menjawab, ‘Seekor onta dari onta zakat melarikan diri, jadi aku hendak mencarinya.’ Lalu ‘Ali berkata, ‘Sungguh engkau telah mempersulit para khalifah sesudahmu!.’ [al-Bidayah wan-Nihayah, 10/185-187, Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

Adakah pemimpin (yang) seperti ini di masa kini?... Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.


0 Respones to "Blusukan, Why Not?"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula