Sebagai bahan renungan saja bagi
mereka yang gemar berhutang namun enggan menunaikan kewajibannya (i.e melunasi hutang-hutangnya)
atau yang gemar menunda-nunda pengembalian hutang tanpa alasan yang jelas dalam
kondisi ia (sebenarnya) sangat mampu menyelesaikan kewajibannya tepat waktu
(i.e sesuai kesepakatan) baik dengan cara tunai (cash) maupun kredit
(mengangsur, tergantung kebaikan dan kelapangan hati orang yang meminjaminya, red).
al-Imam al-Hafizh Muhyiddin
Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H)
membawakan firman Allah ‘Azza wa Jalla dan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama dalam kitab haditsnya yang masyhur, Riyadhus Shalihin hal. 437-438, Daar
ar-Rayyan Lit-Turats;
Allah Ta’ala berfirman;
قَالَ
الله تَعَالَى: {إنَّ اللهَ يَأمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى
أهْلِهَا} [النساء: 58]
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS.
an-Nisaa’: 58)
Allah Ta’ala berfirman;
وقال
تَعَالَى: {فَإن أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ
أمَانَتَهُ} [البقرة: 283]
“Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS. al-Baqarah: 283)
وعن أَبي
هريرة - رضي الله عنه: أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: «مَطْلُ الغَنِيِّ
ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَع» . متفق عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama
bersabda, “Penangguhan pembayaran hutang oleh orang kaya termasuk kezhaliman.
Jika ada seseorang di antara kalian yang disuruh untuk menagih hutangnya kepada
orang lain (dialihkan pembayarannya), maka terimalah.” (HR. al-Bukhari no.
2287, Muslim no. 1563)
al-‘Allamah al-Mufassir asy-Syaikh
Abd ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H)
menjelaskan makna QS. al-Baqarah: 283 di atas;
ومنها:
أنه يجوز التعامل بغير وثيقة، ولا شهود، لقوله: {فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ}
ولكن في هذه الحال يحتاج إلى التقوى والخوف من الله، وإلا فصاحب الحق مخاطر في
حقه، ولهذا أمر الله في هذه الحال، من عليه الحق، أن يتقي الله ويؤدي أمانته.
“Bahwasannya boleh
bermuamalah tanpa ada pencatatan (dokumentasi) maupun saksi-saksi atas dasar
firman Allah Ta’ala, ‘Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya).’ Namun dalam kondisi yang seperti ini dibutuhkan
sifat ketakwaan dan takut kepada Allah. Karena jika tidak demikian, maka
pemilik hak (i.e orang yang meminjami) dalam posisi dapat dirugikan karena
haknya. Oleh karena itu dalam kondisi seperti ini Allah memerintahkan orang
yang menanggung hak orang lain untuk bertakwa kepada Allah dan menunaikan
amanat yang ditanggungnya.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman, 1/204-205, Daar Ibn al-Jawzee, Riyadh]
Fenomena inilah yang sering
terjadi di tengah-tengah kita pada hari ini. Itikad baik dari orang-orang yang
meminjami (i.e merelakan sebagian harta yang dimilikinya untuk dipinjamkan
kepada saudaranya yang membutuhkan demi meringankan bebannya, menjaga perasaan
saudaranya dengan tidak mendokumentasikan hutang-hutangnya, sebagaimana yang
terdapat dalam kisah sebatang kayu, red) kerap disalahartikan, disalahgunakan, dan
dijadikan celah (oleh peminjam) untuk berbuat dzalim!. Tidak berarti jika orang
yang meminjaminya itu adalah saudaranya, sahabatnya, atau partnernya lantas
ia bisa seenaknya sendiri melanggar perjanjian (kesepakatan) yang sudah
disepakati bersama. Amanah tetaplah amanah, tidak berubah statusnya meskipun orang
yang meminjaminya itu tergolong orang yang mampu. Ada baiknya ia merenungkan; Bagaimana
kiranya jika ia (berada) di posisi orang yang meminjami? Bagaimana pula perasaannya
jika ia diperlakukan sedemikian rupa oleh orang yang berhutang?.
al-Imam al-Hafizh Muhyiddin
Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 631 H)
menjelaskan;
قَوْلُهُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ) قَالَ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ الْمَطْلُ مَنْعُ قَضَاءِ مَا
اسْتُحِقَّ أَدَاؤُهُ فَمَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَحَرَامٌ
“Sabda Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, ‘Penangguhan
pembayaran hutang oleh orang kaya termasuk kezhaliman.’ al-Qadhi [i.e al-Imam
al-Fudhail bin Iyadh –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 187 H), red] dan lainnya
mengatakan, ‘Kata مطل (menunda
pembayaran hutang) maksudnya enggan melunasi apa yang harus ditunaikan. Dengan
demikian, menunda pembayaran hutang oleh orang yang kaya adalah kedzaliman dan
dilarang.” [Syarh Shahih Muslim, 10/227, Daar Ihya at-Turats al-‘Araby, Beirut]
al-Mufaqihul ‘Ashr al-‘Allamah
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin ‘Utsaimin al-Wuhaiby at-Tamimi –raheemahullaahu
Ta’ala- (w. 1421 H) menjelaskan dalam syarhnya terhadap hadits yang terdapat
dalam kitab Riyadhus Shalihin di atas;
“Penulis (i.e al-Imam
an-Nawaawi –raheemahullaahu Ta’ala-) telah mencantumkan dalam kitabnya Riyadhus
Shalihin, ‘Bab Larangan Menunda-nunda Pembayaran Hutang.’ Maksudnya dalam hal
(membayarkan kewajibannya) terhadap orang lain. Menunda-nunda artinya
mengakhirkannya. Perbuatan ini merupakan kedzaliman. Apabila engkau meminjamkan
uang kepada seseorang, tetapi setiap kali engkau menagihnya, ia selalu
mengulur-ulur dan menunda-nundanya. Maka perbuatannya ini adalah salah satu
bentuk kedzaliman, hukumnya haram dan bisa menimbulkan permusuhan.
Contohnya seperti yang dilakukan oleh seorang atasan terhadap bawahannya,
seperti dengan menunda-nunda (pembayaran gaji bawahannya), melakukan intimidasi dan
hak-hak karyawan tidak diberikan. Seorang bawahan yang miskin, meninggalkan
keluarga dan kampungnya hanya demi sesuap nasi, ia harus menunggu empat, lima
bulan atau lebih, sedangkan sang atasan terus menunda-nunda (pembayaran
gajinya) dan mengancamnya, jika ia membuka mulut (maksudnya menceritakan kepada
orang lain, red), maka ia akan dipulangkan ke kampung halamannya.
Tidakkah orang-orang yang
berbuat demikian mengetahui bahwa Allah Mahakuasa, Mahatinggi dibandingkan
mereka?, sungguh mungkin bagi Allah menyuruh seseorang untuk menyakitinya
sebelum ajal menjemput (semoga kita diselamatkan) karena mereka itu adalah
orang-orang miskin. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama telah bersabda
di dalam hadits qudsinya, ‘Ada tiga golongan yang akan
menjadi musuh-Ku di hari Kiamat kelak. Orang yang berjanji atas nama-Ku lalu ia
tidak menepati janjinya.’ Maksudnya ia telah berjanji atas nama Allah,
lalu ia mengingkarinya. ‘Dan seorang yang menjual orang
merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan seseorang yang mempekerjakan
seorang buruh, lalu setelah ia menyelesaikan tugasnya, sang majikan tidak mau
memberikan upahnya.’ (HR. al-Bukhari no. 2227 dan 227 dari Abu
Hurairah radhiyallaahu Ta’ala ‘anhu), maka mereka-mereka itulah yang akan
menjadi musuh Allah di hari Kiamat kelak.
Perbuatan mereka ini adalah
kedzaliman. Hari-harinya hanya diisi dengan kedzhaliman sehingga jaraknya
dengan Allah semakin jauh. Sedangkan kezhaliman adalah kegelapan di hari Kiamat
kelak.
Betapa banyaknya
orang-orang yang didatangi untuk segera melunasi pembayaran hutang atau gaji,
ia hanya berkata, ‘besok atau lusa’. Padahal uangnya sangat banyak tersimpan di
brankasnya, ia telah dipermainkan setan. Seolah-olah uangnya tersebut akan
beranak pinak jika terus berada di rumahnya. Ia tidak mau uangnya berkurang
karena diambil oleh orang-orang yang memang berhak untuk menerimanya. Orang-orang
bodoh dan sesat seperti mereka ini sangat mengherankan. Apa mereka mengira
bahwa jika mereka menunda-nunda pembayarannya, maka kewajibannya akan gugur atau
berkurang?, kewajibannya tetap ada pada dirinya, dibayarkan
hari ini, sepuluh hari atau sepuluh tahun kemudian. Mereka adalah orang-orang
yang dipermainkan oleh setan. Padahal Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama bersabda, ‘Penangguhan pembayaran hutang oleh
orang kaya termasuk kezhaliman.’ Hadits ini menunjukkan bahwa jika
seorang yang miskin menunda-nunda (pembayaran hutang) tidak dikatakan dzalim
(karena ketiadaan atau minimnya harta yang ada pada dirinya, red), sebaliknya
orang yang menagih hutangnyalah yang telah berbuat dzalim. Oleh karena itu
apabila temanmu serba kekurangan, maka engkau harus menangguhkan penagihan
utangnya dan tidak menagihnya. Allah Ta’ala berfirman;
لقول
الله تعالى {وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة}
“Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tanguh sampai dia berkelapangan.”
(QS. al-Baqarah: 280)
Allah Ta’ala mewajibkan
kita untuk menangguhkannya sampai datang kemudahan.” [Syarh Riyadhus Shalihin,
6/302-304, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]
al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdullah
bin ‘Abdurrahman bin Shalih ‘alu Bassam –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1424 H)
menjelaskan dalam kitab al-Buyu’, di dalam syarhnya terhadap kitab ‘Umdatul
Ahkam karya al-Imam al-Hafizh ‘Abdul Ghani al-Maqdisy –raheemahullaahu Ta’ala-
(w. 600 H);
مطل
الغنى: أصل " المطل " المد. تقول: مطلت الحديدة أمطلها، إذا مددتها
لتطول. و المراد تأخير ما استحق أداؤه بغير عذر. و" مطل " مصدر مضاف.
إلى فاعله، والتقدير: مطل الغنى غريمه، ظلم.
في هذا
الحديث الشريف أدب من آداب المعاملة الحسنة. فهو صلى الله عليه وسلم يأمر
المدين بحسن القضاء، كما يرشد الغريم إلى حسن الاقتضاء. فبين صلى الله عليه
وسلم أن الغريم إذا طلب حقه، أو فهم منه الطلب بإشارة أو قرينة، فإن تأخير
حقه عند الغنى القادر على الوفاء، ظلم له، للحيلولة دون حقه بلا عذر.
“مطل
الغنى
Lafazh
المطل (al-Mathlu)
berarti memanjangkan. Jika dikatakan; مطلت الحديدة أمطلها
berarti aku mengulurnya hingga menjadi panjang. Yang dimaksudkan disini adalah
menunda-nunda kewajibannya untuk memenuhi hak tanpa ada alasan.
Di dalam hadits yang mulia
ini terkandung adab muamalah yang baik. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama menyuruh orang yang berhutang untuk segera melunasi hutangnya,
sebagaimana beliau memberi petunjuk kepada orang yang memberi hutang untuk
menagih hutangnya dengan baik. Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama menjelaskan
bahwa jika orang yang memberi hutang meminta haknya, maka ia bisa menagih
hutangnya dengan isyarat atau penyerta. Penundaan pelunasan hutang oleh orang
yang kaya yang mampu melunasinya, merupakan kedzaliman tanpa alasan.” [Taisirul ‘Alaam
Syarh ‘Umdatul Ahkam, 2/107, Daar al-Maiman, Riyadh]
Kami ambil penjelasan
asy-Syaikh ‘alu Bassam –rahemahullaahu Ta’ala- di dalam kitab syarhnya di atas sebagai
penutup;
a). Pengharaman penundaan
pembayaran hutang oleh orang kaya dan keharusan melunasi hutangnya terhadap
orang yang memberi hutang.
b). Pengharaman (tersebut) dikhususkan
bagi orang kaya yang memungkinkan melunasi hutang. Adapun orang miskin atau
orang yang lemah karena alasan-alasan tertentu, maka dia dimaafkan.
Terakhir, mari kita
renungkan sejenak nasihat asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –raheemahullaahu
Ta’ala- berikut (i.e terkait hutang);
وأنه لا ينبغي للإنسان أن يتساهل به، ومع الأسف أننا في عصرنا الآن
يتساهل الكثير منا في الدين، فتجد البعض يشترى الشيء وهو ليس في حاجة إليه، بل هو
من الأمور الكمالية، يشتريه في ذمته بالتقسيط أو ما أشبه ذلك، ولا يهمه هذا الأمر.
وقد تجد إنساناً فقيراً
يشترى سيارة بثمانين ألفاً أو يزيد، وهو يمكنه أن يشتري سيارة بعشرين ألفاً، كل
هذا من قلة الفقه في الدين، وضعف اليقين، احرص على ألا تأخذ شيئاً بالتقسيط، وإن
دعتك الضرورة إلى ذلك فاقتصر على أقل ما يمكن لك، الاقتصار عليه بعيداً عن الدين.
نسأل الله أن يحمينا وإياكم مما يغضبه، وأن يقضي عنا وعنكم دينه ودين عباده.
“Tidak sepantasnya seseorang
menganggap remeh al ini (i.e hutang). Namun sangat disayangkan, di zaman
sekarang ini kita begitu meremehkan masalah hutang. Banyak kita temukan
sebagian orang membeli sesuatu yang sebenarnya ia tidak begitu membutuhkannya,
bahkan hanya sebagai barang pelengkap saja, ia membelinya dengan tanggungan
kredit (plus dengan bunganya, red) atau lain sebagainya, dan ia tidaklah
memperhatikan hal ini. Terkadang kita menemukan seseorang yang fakir membeli
mobil dengan harga delapan ribu riyal atau lebih (sepertinya yang dimaksud oleh
Syaikh di sini adalah secara kredit, wallaahu a’lam, red), padahal bisa saja ia
membeli mobil dengan harga dua puluh ribu riyal (secara cash, wallaahu a’lam,
red). Semua ini terjadi karena rendahnya pemahaman dalam agama dan lemahnya
keyakinan (iman, red). Jagalah, jangan sampai membeli sesuatu dengan jalan
kredit, walaupun kita sangat memerlukannya. Hematlah sehemat mungkin agar
terjauh dari hutang. Kita meminta kepada Allah agar menjaga kita dari hal-hal
yang di murkai-Nya dan melepaskan kita dari hutang kepada-Nya dan kepada
hamba-Nya.” [Syarh Riyadhus Shalihin, 2/527, Daar al-Wathan Lin-Nashr, Riyadh]
Wallaahu Subhaahu wa Ta’ala
a’lamu.