Sebagaimana
halnya racun yang merusak organ tubuh peminumnya, pekerjaan haram juga punya
efek serupa (hanya saja yang rusak adalah amal ibadahnya, red). Hal tersebut
sudah menjadi aksioma di sisi ahlul ‘ilmi (dari zaman dahulu hingga sekarang).
Namun terkadang, nada pesimistis masih sering kita dengar dari sebagian saudara-saudara
kita yang mengatakan, “La wong nyari pekerjaan yang haram saja sulit je,
apalagi yang halal rek!”, atau pernyataan, “Boro-boro nyari duit halal, la wong
nyari yang haram saja susah!” atau pernyataan sejenis lainnya. Ada dua
kemungkinan (yang menimpa orang-orang seperti ini, red), pertama; ia benar-benar belum
mengetahui, atau kedua; ia sudah mengetahui namun tidak mengimani firman Allah
Azza wa Jall –yang sering kita dengar di ceramah-ceramaah keagamaan- berikut;
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ
يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi rizki
dari arah yang tidak disangka-sangkanya dan barangsiapa bertawakkal kepada
Allah niscaya Allah mencukupkannya (i.e keperluannya).” (QS. ath-Thalaq:
2-3)
Atau sabda Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallama yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu
dari beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;
(( لَو أَنَّكُم تَوكَّلُون على اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ
لَرَزَقَكُمْ كَما يَرزُقُ الطَّيرَ ، تَغدُو خِماصاً ، وتَروحُ بِطاناً ))
“Jika kalian bertawakkal
kepada Allah dengan tawakkal yang hakiki, niscaya Dia memberikan kalian rizki seperti Dia memberi rizki kepada burung-burung yang keluar (pada) pagi hari dalam keadaan
lapar, kemudian pulang (pada) sore hari dalam keadaan kenyang.” (Diriwayatkan
oleh al-Imam Ahmad 1/20, 52, at-Tirmidzi no. 2344, an-Nasaa’i 8/79, Ibnu Majah no.
4164, Ibn al-Mubarak dalam az-Zuhdu no. 559, al-Baghaawi dalam Syarh as-Sunnah
hadits no. 4108. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban hadits no. 730 dan al-Hakim
4/318)
al-Imam al-Hafizh Ibnu
Rajab al-Hambaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) menjelaskan;
وحقيقة التوكّل : هو
صدقُ اعتماد القلب على الله U في استجلاب المصالح ، ودفعِ المضارِّ من أمور الدنيا والآخرة
كُلِّها ، وكِلَةُ الأمور كلّها إليه ، وتحقيق الإيمان بأنه لا يُعطي ولا يمنعُ
ولا يَضرُّ ولا ينفع سواه
“Hakikat tawakkal adalah
ketergantungan hati dengan jujur kepada Allah Azza wa Jall dalam mendatangkan
kemashlahatan dan menolak mudzarat dari seluruh urusan dunia dan akhirat.
Tawakkal juga berarti menyerahkan seluruh persoalan kepada Allah. Tawakkal juga
berarti merealisir iman bahwa tidak ada yang bisa memberi, menahan pemberian,
membuat mudzarat, dan mendatangkan kemashlahatan kecuali Allah.”
Beliau –raheemahullaahu Ta’ala-
juga mengatakan;
واعلم أنَّ تحقيق
التوكل لا يُنافي السَّعي في الأسباب التي قدَّر الله سبحانه المقدورات بها ، وجرت
سُنَّته في خلقه بذلك ، فإنَّ الله تعالى أمر بتعاطي الأسباب مع أمره بالتوكُّل ،
فالسَّعيُ في الأسباب بالجوارح طاعةٌ له ، والتوكُّلُ بالقلب عليه إيمانٌ به ، كما قال الله تعالى
“Ketahuilah bahwa realisasi
tawakkal tidak bertentangan dengan upaya mencari sebab-sebab yang ditakdirkan
Allah dan merupakan ketentuan-Nya di makhluk, karena Allah Ta’ala memerintahkan
mengambil sebab-sebab sekaligus memerintahkan tawakkal. Jadi, upaya mencari
sebab-sebab dengan organ tubuh adalah bentuk ketaatan kepada-Nya, sedangkan
tawakkal dengan hati ialah iman kepada-Nya, seperti yang difirmankan oleh Allah
Ta’ala;
}
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ {
“Hai orang-orang yang
beriman, bersiapsiagalah kalian.” (QS. an-Nisa’: 71)
Allah Ta’ala berfirman;
وقال : }
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ {
“Dan siapkan untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat.” (QS. al-Anfal: 60)
Allah Ta’ala berfirman;
وقال : }
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ
اللهِ {
“Apabila shalat telah
ditunaikan, maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” (QS. al-Jumu’ah:
10)
وقال سهل التُّستَرِي
: من طعن في الحركة - يعني : في السعي والكسب - فقد طعن في السُّنة ، ومن طعن في
التوكل ، فقد طعن في الإيمان ، فالتوكل حالُ النَّبيِّ r ، والكسب سنَّتُه ، فمن عمل
على حاله ، فلا يتركنّ سنته
Shahl at-Tusturi berkata, ‘Barangsiapa
mencela kerja, sungguh ia mencela sunnah. Barangsiapa mencela tawakkal, sungguh
ia mencela iman.’ Karena tawakkal adalah kondisi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama dan kerja adalah sunnah beliau. Oleh sebab itu, barangsiapa beramal
seperti kondisi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, ia jangan sekali-kali
meninggalkan sunnah beliau.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/496-497, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]
Kerja yang dimaksud di atas
tentunya pekerjaan yang halal. Maka dari itu sangatlah aneh jika ada di antara kita
yang khusyu’ bertawakkal kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala (khususnya ketika
membutuhkan sesuatu), namun secara bersamaan memilih sebab-sebab yang bertentangan
dengan syariat-Nya dalam mencari rizki. Baiklah, mari kita fokus kembali kepada
topic utama artikel ini, i.e mengenai bahayanya harta yang diperoleh dari
pekerjaan haram (atau harta yang diperoleh dengan cara yang haram) terhadap
dunia dan akhirat seseorang. Dalam sebuah hadits shahih dijelaskan; Dari Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama bersabda;
(( إنَّ الله طَيِّبٌ لا يَقْبَلُ إلاَّ طيِّباً ، وإنَّ الله
تعالى أمرَ المُؤْمِنينَ بما أمرَ به المُرسَلين ، فقال : }
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ
الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحا {
، وقال تعالى : }
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُم {
، ثمَّ ذكَرَ الرَّجُلَ يُطيلُ السَّفرَ : أَشْعَثَ أَغْبَرَ ، يمُدُّ يدَيهِ إلى
السَّماءِ : يا رَب يا رب ، وَمَطْعَمُهُ حَرامٌ ، ومَشْرَبُهُ حَرامٌ ،
وَمَلْبَسُهُ حرامٌ ، وَغُذِّيَ بالحَرَامِ ، فأنَّى يُستَجَابُ لِذلكَ ؟))
“Sesungguhnya Allah baik
dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan
kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul, ‘Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
shalih.’ (al-Mukminun: 51). Allah Ta’ala berfirman, ‘Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada
kalian.’ (al-Baqarah: 172).” Kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan
menengadahkan kedua tangan ke langit seraya berkata, “Ya Rabbku, Ya Rabbku,” sedangkan
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kebutuhannya dipenuhi
dengan sesuatu yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?.” (HR. Muslim
no. 1015, at-Tirmidzi no. 2989, Imam Ahmad 2/328, dan ad-Darimi 2/300)
al-Imam al-Hafizh Ibnu
Rajab al-Hambaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) menjelaskan hadits di atas;
“Maksudnya, Allah Ta’ala tidak menerima sedekah kecuali sedekah yang berasal
dari pendapatan yang baik dan halal. Ada yang mengatakan, maksud hadits
yang sedang kita bahas, yaitu hadits, ‘Allah tidak menerima kecuali yang baik,’
itu lebih luas, maksudnya yaitu Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali
amal perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang
merusaknya seperti riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali
harta yang baik dan halal. Jadi kata, ‘baik/ suci’ itu disifatkan pada amal
perbuatan, perkataan dan keyakinan. Ketiga hal tersebut terbagi ke dalam dua
bagian; baik dan buruk.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/259, cet. Muassasah
ar-Risalah, Beirut, 1419 H]
Beliau –raheemahullaahu Ta’ala-
menjelaskan; “Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi
orang Mukmin adalah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal.
Dengan makanan yang baik, amalnya menjadi berkembang. Dalam hadits di atas
terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan
makanan yang halal dan bahwa makanan haram itu merusak amal dan membuatnya
tidak diterima. Setelah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Sesungguhnya
Allah tidak menerima kecuali yang baik,’ beliau bersabda bahwa Allah
memerintahkan kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul.
Allah Ta’ala berfirman;
}
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً {
‘Hai rasul-rasul, makanlah
dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.’ (al-Mukminun:
51)
Allah Ta’ala berfirman;
}
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ {
‘Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada
kalian.’ (al-Baqarah: 172).’
Maksudnya bahwa para rasul
dan umat mereka masing-masing diperintahkan (untuk) makan makanan yang baik
yang merupakan makanan yang halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika
makanannya halal, maka amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanannya
tidak halal, bagaimana amal bisa diterima?.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/260,
cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]
Beliau –raheemahullaahu Ta’ala-
menjelaskan;
وقال أبو عبد الله
الناجي الزاهد رحمه الله : خمسُ خصال بها تمامُ العمل : الإيمان بمعرفة الله U ، ومعرفةُ الحقِّ ، وإخلاصُ العمل للهِ ، والعمل
على السُّنَّةِ ، وأكلُ الحلالِ، فإن فُقدَتْ واحدةٌ، لم يرتفع العملُ ، وذلك
أنَّك إذا عرَفت الله U ، ولم تَعرف الحقَّ ، لم تنتفع ، وإذا عرفتَ الحقَّ ، ولم
تَعْرِفِ الله ، لم تنتفع ، وإنْ عرفتَ الله ، وعرفت الحقَّ ، ولم تُخْلِصِ العمل
، لم تنتفع ، وإنْ عرفت الله ، وعرفت الحقَّ، وأخلصت العمل ، ولم يكن على السُّنة
، لم تنتفع ، وإنْ تمَّتِ الأربع ، ولم يكن الأكلُ من حلال لم تنتفع
“Abu Abdullah an-Naji –raheemahullahu-
berkata, ‘Ada lima hal dimana dengannya amal menjadi sempurna; Pertama, Beriman
dengan mengenal Allah Azza wa Jall. Kedua, mengenal kebenaran. Ketiga,
mengikhlaskan amal karena Allah. Keempat beramal sesuai sunnah. Kelima, memakan
(makanan) halal. Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal
menjadi tidak naik. Jika engkau mengenal Allah Azza wa Jall namun tidak
mengenal kebenaran, engkau menjadi tak berguna. Jika engkau mengenal Allah dan mengenal
kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau
mengenal Allah, mengenal kebenaran dan mengikhlaskan amal namun tidak sesuai
dengan sunnah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi empat syarat
tersebut, namun makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak berguna.’” [Jami’ul
‘Ulum wal Hikam, 1/262-263, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1419 H]
Dari keterangan yang
panjang di atas anda bisa menarik benang merahnya sendiri, bagaimanakah kiranya
nilai sedekah seseorang (termasuk juga amal shalih yang lain e.g
memerdekakakan budak, membangun masjid, memperbaiki jalan dll yang manfaatnya dirasakan
oleh manusia, red) di sisi Allah ‘Azza wa Jall jika uang yang ia gunakan itu berasal
dari hasil pencurian, korupsi, mengambil harta orang lain dengan cara bathil
(e.g maks/ pajak/ bea cukai atau praktek ribawi), atau hasil perjudian, atau hasil
jual beli barang-barang haram (e.g daging babi, minuman keras, narkoba, rokok
dll)?. Akan-kah ia mendapatkan pahala?.
Dalam sebuah hadits berderajat
hasan yang diriwayatkan dari Diraj dari Ibnu Hujairah dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;
((
من كسب مالاً حراماً ، فتصدق به ، لم يكن له فيه أجرٌ ، وكان إصرُه عليه ))
“Barangsiapa mendapatkan
harta haram kemudian bersedekah dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di
dalamnya dan dosa menjadi miliknya.” (HR. Ibnu Hibban no. 3368)
Hadits ini sekaligus merupakan
jawaban yang gamblang terhadap pertanyaan di atas. Itu baru mengenai amal
shalih yang terkait langsung dengan harta (e.g sedekah dll), lantas bagaimanakah kiranya dengan doa-doa yang ternyata juga tidak dikabulkan oleh Allah ‘Azza wa Jall sekalipun
sebab-sebab terkabulnya doa melekat pada dirinya semisal safar dalam keadaan lusuh,
mengangkat tangan ketika berdoa, bertawassul dengan nama Allah dll (sebagaimana
redaksi akhir hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu di atas)?. Jika demikian pahitnya akibat yang bakal dirasakan (oleh seseorang) karena pekerjaan haram yang digelutinya, tentu orang yang berakal akan berpikir dua kali,
kemudian berkata, “Apalah artinya kedudukan yang tinggi, status sosial yang
membanggakan, kekayaan yang melimpah, popularitas yang memabukkan, namun harta
yang kami peroleh berasal dari perkerjaan yang haram atau dari jalan-jalan yang
haram. Lalu harta itu kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok diri-diri kami dan keluarga kami (i.e
anak dan istri kami) seperti makan, minum, pakaian, kendaraan, rumah, sedekah dll
yang ternyata dengannya amal ibadah menjadi tidak bernilai dan doa-doa tidak
terkabulkan.” Duhai ruginya orang-orang seperti ini,.. Bersyukurlah mereka
yang meskipun pendapatannya kecil, masih bisa hidup dari pekerjaan yang halal
dan baik.
Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala
a’lamu.
Labels: Ad-Dien
0 Respones to "Dampak Negatif Dari Pekerjaan Haram"
Posting Komentar