Usaha para misionaris JIL dalam
“mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang
mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak” sepertinya
mulai berhasil, minimalnya di ruang lingkup kampus. Salah seorang korban
kaderisasi “sekte” ini -sebut saja MZH-, seorang mahasiswa jurusan tafsir hadits IAIN
Walisongo, Semarang menulis sebuah artikel yang “berbobot” berjudul,
“Memeluk Islam bukan Garansi Keselamatan” di web resmi milik JIL. Tentu
pernyataannya tersebut mengundang tanya, “Koq bisa demikian?”, lantas -secara
emosional- dia menjelaskan alasannya;
“Allah milik semua umat
manusia. Setiap umat manusia, apapun agama mereka, berhak memasuki surga yang
telah Allah janjikan bagi setiap manusia yang melakukan kebaikan. Apabila
Allah hanya milik orang Islam sehingga hanya mereka yang akan mendapat
kenikmatan surga di akhirat kelak, lalu dimana letak keadilan-Nya
sebagai Tuhan? Apakah bisa dikatakan adil kalau ada orang yang beragama
Islam yang selalu membuat kerusuhan dan kejahatan di dunia bisa masuk Surga,
sementara ada orang yang tak pernah melakukan sesuatu, kecuali hal tersebut
adalah suatu kebajikan, dalam setiap nafas kehidupannya kelak akan mendapat
siksa-Nya di akhirat, hanya karena Islam tidak menjadi agama pilihannya ketika
hidup di dunia?. Kalau kita mempercayai hal tersebut, berarti secara tidak
langsung kita telah melanggar agama kita sendiri dengan tidak percaya pada
keadilan Allah.” [MZH, Mahasiswa jurusan tafsir hadits IAIN Walisongo]
Intisari dari ucapan orang
ini adalah; pertama, Allah adalah milik semua umat i.e Islam, Yahudi,
Nashrani, Majusi dll, kedua, umat selain Islam yang melakukan amal
kebajikan berhak memasuki surga Allah, ketiga, jika orang Islam yang
semasa hidupnya kerap membuat kerusuhan dan kejahatan di dunia dimasukkan ke
dalam surga-Nya sementara orang selain Islam yang selalu berbuat kebajikan di
dunia dimasukkan ke dalam neraka-Nya, itu berarti Allah tidak adil, keempat,
jika kita percaya bahwa orang Islam (yang bertauhid) itu tetap akan masuk ke
dalam surga-Nya meskipun ia telah melakukan dosa-dosa besar, maka secara tidak
langsung kita telah melanggar prinsip agama kita sendiri (i.e Islam) dengan
tidak percaya pada keadilan Allah.
Poin yang pertama,
Orang-orang musyrik jaman dahulu ketika ditanya, siapa yang menciptakan
mereka?, siapa yang memberi rizki mereka?, siapa yang mengatur segala urusan? dan
seterusnya, mereka akan menjawab, “Allah”. Tapi hanya sebatas itu (i.e
rububiyyah-Nya) saja pengakuan mereka, adapun dalam urusan uluhiyyah (peribadatan),
mereka menyekutukan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Allah Ta’ala
berfirman;
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu
bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka akan
menjawab: ‘Allah’, maka bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah
Allah)?.” (QS. az-Zukhruf: 87)
Allah Ta’ala berfirman;
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم
مِّنَ ٱلسَّمَاءِ وَٱلْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَمَن
يُخْرِجُ ٱلْحَىَّ مِنَ ٱلْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ ٱلْمَيِّتَ مِنَ ٱلْحَىِّ وَمَن
يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: ‘Siapakah yang
memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan)
pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah’. Maka katakanlah ‘Mangapa kamu
tidak bertakwa kepada-Nya?’.” (QS. Yunus: 31)
al-Imam al-Hafizh Ibnu
Rajab al-Hambaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) menjelaskan;
(الإله) هو الذى يطاع فلا
يعصى ، هيبة له وإجلالاً ، ومحبة وخوفاً ورجاء ، وتوكلاً عليه ، وسؤالاً منه ودعاء
له ، ولا يصلح هذا كله إلا الله عز وجل ، فمن أشرك مخلوقاً فى شئ من هذه الأمور
التي هي من خصائص الإلهية كان ذلك قدحاً في إخلاصه فى قول (لا إله إلا الله) وكان
فيه من عبودية المخلوق بحسب مافيه من ذلك
“‘al-Ilaahu’ (Rabb) adalah yang ditaati sehingga dia tidak didurhakai karena rasa penghormatan, pengagungan, kecintaan (mahabbah), ketakutan (khauf), harapan (raja’), tawakkal, permintaan dan doa kepadanya. Semua itu hanya patut diberikan kepada Allah ‘Azza wa Jall. Siapa yang menyekutukan seorang makhluk dengan Allah dalam salah satu perkara-perkara ini yang merupakan keistimewaan ilahiyyah, maka hal itu merupakan penodaan terhadap keikhlasannya dalam mengucapkan laa ilaaha illallaah, dan sikap itu mengandung penghambaan kepada makhluk sebagaimana kadar apa yang ada padanya dari hal itu.” [Fathul Majeed Syarh Kitab at-Tauheed, hal. 61, cet. Muassasah Qurthubah]
Mereka mengakui
kerububiyyahan ‘Allah Azza wa Jall, namun pada waktu bersamaan mereka juga berpaling
dari menyembah Allah Ta’ala semata dengan menjadikan makhluk-Nya (seperti
para Nabi, Malaikat, Matahari, Bintang, hamba-hamba Allah yang shalih) sebagai
sekutu bagi-Nya dalam peribadatan. Bukankah pengakuan “Allah sebagai Rabb
mereka” (pada akhirnya) menjadi tidak berarti?.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala
berfirman;
فلا تجعلوا لله أنداداً وأنتم تعلمون
“Karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (QS.
al-Baqarah: 22)
al-Imad Ibnu Katsir
–raheemahullaahu Ta’ala- (w. 774 H) berkata dalam tafsirnya, “Abu al-Aliyah (w.
90 H) berkata, ‘Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah’,
yakni tandingan-tandingan dan padanan-padanan.’ Hal yang sama dikatakan oleh
ar-Rabi’ bin Anas (w. 139 H), Qatadah (w. 117 H), as-Suddy (w. 205 H), Abu
Malik, dan Ismail bin Abu Khalid.
Ibnu ‘Abbas –radhiyallaahu
‘anhu- berkata, “‘Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah.’ Yakni, jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, berupa
sekutu-sekutu yang tidak dapat mendatangkan manfaat dan tidak pula menolak
mudharat, sementara kalian mengetahui bahwa Dia adalah Rabb kalian yang tidak
ada Rabb selain-Nya, yang memberi rizki kepada kalian, kalian juga mengetahui
bahwa apa yang diserukan oleh utusan-Nya agar kalian mentauhidkan-Nya, adalah
kebenaran yang tidak ada keraguan padanya.”
Ucapan serupa dikatakan
oleh Qatadah (w. 117 H). Dari Qatadah dan Mujahid (w. 104 H), ‘Karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah’ yakni, “Tandingan-tandingan
dari kalangan manusia yang kalian taati dalam kemaksiatan kepada Allah.”
Ibnu Zaid berkata,
“Sekutu-sekutu adalah tuhan-tuhan yang mereka jadikan sama dengan Allah, mereka
mempersembahkan kepadanya apa yang mereka persembahkan kepada Allah.”
Mujahid (murid Ibnu ‘Abbas
–radhiyallaahu ‘anhu-, red) berkata, ‘Karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah.’ “Kalian mengetahui bahwa Dia adalah Rabb yang satu
sebagaimana disebutkan di dalam Taurat dan Injil.” Dia menyebutkan hadits
tentang makna ayat yang mulia ini, yaitu hadits dalam Musnad Imam Ahmad (Shahih,
4/130, 202, 344), dari al-Harits al-Asy’ari, bahwa Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallama bersabda;
إن الله أمر يحيى بن زكريا عليه السلام بخمس كلمات أن يعمل بهن وأن يأمر
بني إسرائيل أن يعملوا بهن ، وأنه كاد أن يبطيء بها . فقال له عيسى عليه السلام
: إن الله أمرك بخمس كلمات أن تعمل بهن
وتأمر بني إسرائيل أن يعملوا بهن فإما أن تبلغهن وإما أن أبلغهن ، فقال : يا أخي ،
إني أخشى إن سبقتني أن أعذب أو يخسف بي . قال : فجمع يحيى بن زكريا بني إسرائيل في
بيت المقدس ، حتى امتلأ المسجد وقعد على الشرف . فحمد الله وأثنى عليه ثم قال : إن
الله أمرني بخمس كلمات أن أعمل بهن وآمركم أن تعملوا بهن : أولاهن أن تعبدوا الله
ولا تشركوا به شيئاً : فإن مثل ذلك مثل رجل اشترى عبداً من خالص ماله بذهب أو ورق
، فجعل يعمل ويؤدي غلته إلى غير سيده ، فأيكم يسره أن يكون عبده كذلك ؟ وإن الله خلقكم
ورزقكم فاعبدوه ولا تشركوا به شيئاً
“Sesungguhnya Allah
memerintahkan Yahya bin Zakariya ‘alaihis salam dengan lima kalimat agar dia
mengamalkannya dan memerintahkan Bani Isra’il agar mengamalkannya. Akan
tetapi, hampir saja dia tidak segera melaksanakannya. Maka Isa ‘alaihis salam
berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkanmu dengan lima kalimat agar kamu
mengamalkannya dan memerintahkan Bani Isra’il agar mengamalkannya. Kalau kamu
tidak menyampaikan kepada mereka maka aku yang akan menyampaikan kepada mereka’.
Yahya menjawab, ‘Wahai saudaraku, jika kamu mendahuluiku maka aku takut akan
diazab atau dibenamkan di bumi’. Lalu Yahya mengumpulkan Bani Isra’il di Baitul
Maqdis sampai penuh dan ia didudukkan di tempat yang tinggi. Dia memuji Allah
dan menyanjung-Nya kemudian dia berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkanku
dengan lima kalimat agar aku mengamalkannya. Yang pertama, hendaklah kalian
menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan
sesungguhnya perumpamaan orang yang menyekutukan Allah adalah seperti seseorang
yang membeli hamba sahaya dari hartanya yang murni: emas atau perak, lalu hamba
sahaya itu bekerja dan menyerahkan penghasilannya kepada (orang) yang bukan
majikannya. Siapa di antara kalian yang ingin memiliki hamba sahaya seperti
itu?, sesungguhnya Allah menciptakan kalian dan memberi rizki kepada kalian,
maka sembahlah Dia dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun....” [lihat selengkapnya dalam kitab: Fathul
Majeed Syarh Kitab at-Tauheed, hal. 595-596, cet. Muassasah Qurthubah]
Pertanyaannya, “Siapakah
orang-orang yang menjadikan makhluk Allah e.g Nabi Isa ‘alaihis salam,
al-Latta, al-‘Uzza, ‘Uzair, para Malaikat, Matahari dan sebagainya sebagai
sekutu bagi Allah ‘Azza wa Jall dalam peribadatan?”, apakah kaum Muslimin?.
Apakah dengan mengklaim bahwa Allah adalah Rabb seluruh umat (tidak hanya
Rabb-nya umat Islam, red) lantas menjadikan mereka (kaum musyrikin dari kalangan ahli kitab dan selainnya) di atas kebenaran?
Poin yang kedua,
orang-orang yang berpemahaman seperti dirinya (i.e penulis artikel) dari kalangan misionaris JIL
kerap menggunakan ayat-ayat mutasyabihat sebagai sandaran pembenaran ide-ide
pluralis mereka. Tujuannya tidak lain –wallaahu a’lam- agar “penafsiran Islam yang memihak
kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan –sebagaimana klaim mereka-” itu
bisa terwujud [lihat http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil, poin. d].
Sebagai contoh adalah ayat berikut;
إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ
رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang
beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan orang-orang Sabi’in siapa
saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan
beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS.
al-Baqarah: 62)
Dengan ayat inilah sang
“ahli tafsir hadits” muda dari IAIN itu menyimpulkan, “Setiap umat manusia,
apapun agama mereka, berhak memasuki surga yang telah Allah janjikan bagi
setiap manusia yang melakukan kebaikan.” Konteks “umat” yang dimaksud sepertinya
tidak hanya terbatas pada masa atau era tertentu saja, artinya hak tersebut berlaku
untuk umat-umat terdahulu maupun umat-umat belakangan (dari kalangan ahli kitab dan selainnya, red).
Jika demikian
kesimpulannya, lantas dikemanakan firman Allah Ta’ala yang lain yang lebih muhkam
semisal;
وَقَالُوا لَنْ
يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan mereka (Yahudi dan
Nashrani) berkata, ‘Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nashrani.’
Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika
kamu adalah orang yang benar.’ (QS. al-Baqarah: 111)
Atau Firman-Nya;
إِنَّ الدِّينَ
عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ
“Sesungguhnya agama yang
ada di sisi Allah hanyalah Islam...” (QS. Ali Imran: 19)
Atau firman-Nya;
وَمَنْ يَبْتَغِ
غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
“Barangsiapa yang mencari
agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya...” (QS. Ali Imran: 85)
Mengapa tidak dikompromikan?. al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman
bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 1376 H) menjelaskan QS.
al-Baqarah: 62 di atas; “Allah mengabarkan bahwasannya kaum mukminin dari umat
ini, Yahudi, Nashrani, dan orang-orang shabi’in adalah orang yang beriman
kepada Allah di antara mereka, kepada Hari Akhir, dan mempercayai rasul-rasul
mereka; maka bagi mereka ganjaran yang besar, rasa aman dan tidak ada
kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Adapun
orang-orang yang kafir di antara mereka kepada Allah, rasul-rasul-Nya, dan Hari
Akhir, tentu berbeda dengan kondisi yang pertama, maka dia ditimpa rasa
kekhawatiran dan kesedihan.” Beliau juga mengatakan, “... Ini adalah kabar
tentang mereka sebelum diutusnya Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.” [Taiseer
al-Karim ar-Rahman, 1/62, cet. Daar Ibn al-Jawzee]
Jadi yang dimaksud dengan
orang-orang yang “menerima pahala dari Rabb mereka” dari Kalangan Yahudi,
Nashrani dan Sabi’in adalah mereka yang benar-benar beriman kepada Allah
Ta’ala (meninggalkan kesyirikan dan hanya menyembah Allah Ta’ala semata, red), kepada
Rasul-Nya dan Hari Akhir. Jika mereka hidup di jaman rasul-rasul terdahulu,
maka mereka akan mengimani dan membenarkan syariat agama yang dibawa oleh para rasul
tersebut, dan mengerjakan amal shalih. Adapun jika mereka hidup di zaman
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama atau di zaman setelahnya, maka
mereka akan mengimani risalah yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berupa syariat Islam dan menjalankannya dengan
baik dan benar. Jika hanya sekedar mengaku-ngaku (beriman kepada Allah, kepada
Rasul-Nya, kepada Hari Akhir) tanpa disertai dengan amal (e.g mengerjakan Shalat,
Puasa, Zakat, dll), maka pengakuan tersebut tidaklah diterima.
al-Imam al-Hafizh Abu
Muhammad bin Husain bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawi –raheemahullaahu Ta’ala-
(w. 510 H) berkata dalam “Kitab al-Iman” berkaitan dengan syarh hadits Jibril yang
panjang, “Beliau (i.e Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallama) mengabarkan
bahwa agama yang diridhai-Nya dan yang Dia terima dari para hamba hanyalah
Islam. Agama tidak akan diterima kecuali jika pembenaran dalam hati itu
dibarengi dengan amal.” [Syarhus Sunnah al-Baghawi, 1/11, cet. al-Maktab
al-Islamiy]
Penjelasan al-‘Allamah
as-Sa’dy dalam tafsir sebelumnya juga sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama berikut; “Tiga golongan yang pahalanya diberikan dua kali, seorang dari
ahli kitab yang beriman dengan nabinya dan dia mendapatkan Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallama lalu dia beriman kepadanya, mengikuti dan membenarkannya,..
dst.” (HR. al-Bukhari no. 97, 2547, Muslim no. 385, at-Tirmidzi no. 1116,
an-Nasaa’i no. 3344 dan Ibnu Majah no. 1956)
al-Imam al-Hafizh Muhyiddin
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawaawi asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala-
(w. 676 H) menjelaskan makna hadits di atas, “Terdapat keutamaan orang-orang
ahlul kitab (i.e Yahudi dan Nashrani) yang mengimani nabi kita, Muhammad
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bahwa baginya mendapat dua pahala; pertama,
karena keimanan dia kepada nabinya belum dihapus. Kedua, karena keimanan dia
kepada nabi kita, Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.” [al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 2/248, cet. Muassasah al-Qurthubah]
Dari Abu Hurairah, dari
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bahwasannya beliau bersabda; “Demi
Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya!, tidaklah seseorang mendengar dariku
dari umat ini baik dia orang Yahudi atau Nashrani, kemudian dia mati dalam
keadaan tidak beriman dengan apa yang aku telah diutus dengannya, melainkan dia
termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim no. 384)
al-Imam an-Nawaawi
–raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan hadits di atas dalam bab: باب
وُجُوبِ الْإِيمَانِ بِرِسَالَةِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِلَى جَمِيعِ النَّاسِ وَنَسْخِ الْمِلَلِ بِمِلَّتِهِ (Wajib
mengimani risalah Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi sallam oleh seluruh
manusia dan penghapusan seluruh bentuk agama oleh agama yang beliau bawa);
“‘Tidaklah seseorang mendengar dariku dari umat ini,’ maksudnya adalah
orang-orang yang mendengar risalah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama pada
masa hidup beliau dan sesudahnya sampai hari Kiamat. Oleh karena itu, semua
wajib mentaatinya (i.e syariat yang dibawa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama, red). Sedangkan disebutkannya orang-orang Yahudi dan Nashrani adalah sebagai
peringatan bagi umat selain keduanya. Selain itu, juga bahwa keduanya memiliki
kitab suci. Jadi, bagi mereka yang memiliki kitab suci saja harus mentaati Nabi
Muhammad –Shallallaahu ‘alaihi wa sallama- apalagi yang tidak memilikinya,
wallaahu a’lam.” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 2/248, cet.
Muassasah al-Qurthubah]
Pertanyaannya, “Benarkah
orang-orang Yahudi, Nashrani, dan selain mereka dari kalangan kaum musyrikin di
zaman ini beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya?”. Jika mereka benar-benar
beriman, tentunya sudah dari dulu mereka mengikuti syariat yang dibawa
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, dan memeluk agama Islam.
Poin ketiga dan
keempat, telah berlalu penjelasannya bahwa satu-satunya agama
yang Allah ridhai hanyalah Islam (terserah mereka i.e orang Yahudi dan Nashrani, mau percaya atau tidak), dan risalah yang beliau Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama bawa berimplikasi pada terhapusnya segala bentuk agama sebelumnya (yang dianut ahli kitab dan selainnya) dan merupakan kewajiban
bagi seluruh manusia untuk tunduk dan taat terhadap syariat yang beliau bawa.
Maka pertanyaan, “Apakah bisa dikatakan adil kalau ada orang yang beragama
Islam yang selalu membuat kerusuhan dan kejahatan di dunia bisa masuk Surga,
sementara ada orang yang tak pernah melakukan sesuatu, kecuali hal tersebut
adalah suatu kebajikan, dalam setiap nafas kehidupannya kelak akan mendapat
siksa-Nya di akhirat, hanya karena Islam tidak menjadi agama pilihannya ketika
hidup di dunia?.” Bisa dijawab dengan singkat sebagai berikut;
Apalah artinya amal
kebajikan jika ia dilandasi oleh kekufuran dan pendustaan. Lihatlah Abu Thalib,
paman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, bantuannya yang begitu besar terhadap perkembangan dakwah
beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama tidak mampu membantunya masuk surga. Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;
مَّثَلُ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ
كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لاَّ يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُواْ
عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلاَلُ الْبَعِيدُ
“Orang-orang yang kafir
kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin
dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat
mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia).
Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim: 18)
Dari al-Ma’rur bin Suwaid,
ia berkata, ‘saya mendengar Abu Dzar memberitahukan hadits dari Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bahwasannya beliau bersabda, “Jibril ‘Alaihissalam
telah mendatangiku, lalu ia memberikan kabar gembira bahwasannya barang siapa
yang mati dari umatmu dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu
pun, maka dia masuk surga.” Saya bertanya, “Meskipun dia berzina dan mencuri?.”
Ia berkata, “Meskipun ia berzina dan mencuri.” (HR. al-Bukhari no. 1180,
Muslim no. 268)
al-Imam al-Hafizh Muhyiddin an-Nawaawi
–raheemahullaahu Ta’ala- membuat judul bab: “Barangsiapa meninggal dalam
keadaan tidak meyekutukan Allah, maka akan masuk surga, dan barangsiapa yang
meninggal dalam keadaan menyekutukan-Nya, maka masuk neraka”. Beliau berkata; “Adapun
mengenai sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang mengatakan bahwa
orang yang mati dalam keadaan musyrik akan masuk neraka, sedangkan yang mati
dalam keadaan bertauhid akan masuk surga, maka kaum muslimin telah menyepakati
makna dari hadits tersebut. Berdasarkan keumuman hadits, maka orang musyrik
akan masuk neraka dan kekal di dalamnya baik dia orang ahli kitab; Yahudi,
Nashrani atau para penyembah berhala serta seluruh orang-orang kafir.
Menurut ahlul haq bahwa tidak ada bedanya antara kafir yang menentang dengan
selainnya, tidak juga antara orang yang menyelisihi ajaran Islam dengan orang
yang menisbatkan dirinya kepada Islam tapi dihukumi sebagai seorang yang kafir
karena sebab pengingkaran dan lainnya.
Adapun orang yang mati
dalam keadaan mentauhidkan Allah, maka ia akan masuk surga. Dalam hal ini tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama selama dia tidak mengerjakan
dosa-dosa besar selain syirik. Akan tetapi, jika dia pelaku dosa besar lalu
mati dalam keadaan terus menerus melakukan perbuatannya itu, maka dia berada di
bawah kehendak Allah; jika Dia berkehendak, maka Allah akan mengampuninya lalu
memasukannya ke dalam surga (secara) langsung, jika tidak maka dia disiksa
terlebih dahulu kemudian dikeluarkan dari neraka lalu (Dia) memasukannya ke dalam surga
secara kekal. Wallaahu a’lam.” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 2/128-129,
cet. Muassasah al-Qurthubah]
Dari keterangan di atas, masihkah engkau mempertanyakan keadilan Allah Ta’ala?. Dia berbuat sesuai kehendak-Nya dan tidaklah hal ini menunjukkan bahwa Dia adalah Dzat yang dzalim. Masihkah engkau menyangsikan bahwa memeluk Islam merupakan garansi keselamatan?. Saya pikir, hanya orang bodoh saja yang berpendapat demikian, wallaahu Subhaanahu
wa Ta’ala a’lamu.
Labels:
Ad-Dien
0 Respones to "JIL Bilang Memeluk Islam bukan Garansi Keselamatan"
Posting Komentar