Coba kita ingat-ingat
kembali peristiwa (yang terjadi) di masa lampau, tatkala kita masih kanak-kanak,
atau ketika kita mulai beranjak dewasa. Berapa banyak seruan atau nasihat dari kedua
orang tua, terutama ibu, yang dahulu (atau bahkan hingga hari ini, red) kita bantah
dan abaikan?. Sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Apakah perbuatan tersebut
salah dan tercela?, -InsyaAllah- hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam
Muslim –raheemahullaahu Ta’ala- berikut bisa menjawab pertanyaan tersebut;
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ،
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ هِلَالٍ،
عَنْ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ قَالَ: كَانَ جُرَيْجٌ
يَتَعَبَّدُ فِي صَوْمَعَةٍ، فَجَاءَتْ أُمُّهُ. قَالَ حُمَيْدٌ: فَوَصَفَ لَنَا
أَبُو رَافِعٍ صِفَةَ أَبِي هُرَيْرَةَ لِصِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّهُ حِينَ دَعَتْهُ، كَيْفَ جَعَلَتْ كَفَّهَا فَوْقَ
حَاجِبِهَا، ثُمَّ رَفَعَتْ رَأْسَهَا إِلَيْهِ تَدْعُوهُ، فَقَالَتْ: يَا
جُرَيْجُ أَنَا أُمُّكَ كَلِّمْنِي فَصَادَفَتْهُ يُصَلِّي، فَقَالَ: اللهُمَّ
أُمِّي وَصَلَاتِي، فَاخْتَارَ صَلَاتَهُ، فَرَجَعَتْ، ثُمَّ عَادَتْ فِي
الثَّانِيَةِ، فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ أَنَا أُمُّكَ فَكَلِّمْنِي، قَالَ:
اللهُمَّ أُمِّي وَصَلَاتِي، فَاخْتَارَ صَلَاتَهُ، فَقَالَتْ: اللهُمَّ إِنَّ
هَذَا جُرَيْجٌ وَهُوَ ابْنِي وَإِنِّي كَلَّمْتُهُ، فَأَبَى أَنْ يُكَلِّمَنِي،
اللهُمَّ فَلَا تُمِتْهُ حَتَّى تُرِيَهُ الْمُومِسَاتِ. قَالَ: وَلَوْ دَعَتْ
عَلَيْهِ أَنْ يُفْتَنَ لَفُتِنَ. قَالَ: وَكَانَ رَاعِي ضَأْنٍ يَأْوِي إِلَى
دَيْرِهِ، قَالَ: فَخَرَجَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الْقَرْيَةِ فَوَقَعَ عَلَيْهَا
الرَّاعِي، فَحَمَلَتْ فَوَلَدَتْ غُلَامًا، فَقِيلَ لَهَا: مَا هَذَا؟ قَالَتْ:
مِنْ صَاحِبِ هَذَا الدَّيْرِ، قَالَ فَجَاءُوا بِفُئُوسِهِمْ وَمَسَاحِيهِمْ،
فَنَادَوْهُ فَصَادَفُوهُ يُصَلِّي، فَلَمْ يُكَلِّمْهُمْ، قَالَ: فَأَخَذُوا
يَهْدِمُونَ دَيْرَهُ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ نَزَلَ إِلَيْهِمْ، فَقَالُوا لَهُ:
سَلْ هَذِهِ، قَالَ فَتَبَسَّمَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَ الصَّبِيِّ فَقَالَ: مَنْ
أَبُوكَ؟ قَالَ: أَبِي رَاعِي الضَّأْنِ، فَلَمَّا سَمِعُوا ذَلِكَ مِنْهُ
قَالُوا: نَبْنِي مَا هَدَمْنَا مِنْ دَيْرِكَ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، قَالَ:
لَا، وَلَكِنْ أَعِيدُوهُ تُرَابًا كَمَا كَانَ، ثُمَّ عَلَاهُ
Syaiban bin Farukh
memberitahukan kepada kami, Sulaiman bin al-Mughirah memberitahukan kepada
kami, Humaid bin Hilal telah memberitahukan kepada kami, dari Abu Rafi’, dari
Abu Hurairah bahwa ia berkata, “Juraij sedang shalat di sebuah tempat
peribadatan, lalu datanglah ibunya memanggil.” Humaid berkata, “Abu Rafi’
menjelaskan kepadaku bagaimana Abu Hurairah menirukan gaya Ibu Juraij ketika
memanggil anaknya itu, sebagaimana yang dia lihat dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama, yaitu dengan meletakkan telapak tangan di atas alis matanya dan
mengangkat kepala ke arah Juraij untuk memanggil. Lalu ibunya berkata, ‘Hai
Juraij, aku ibumu, bicaralah denganku!.’ Saat itu Juraij berkata kepada dirinya
sendiri dengan penuh kebimbangan, Ya Allah, ibuku atau shalatku. Kemudian Juraij
memilih meneruskan shalatnya. Maka pulanglah perempuan tersebut. Tidak beberapa
lama (kemudian) perempuan itu kembali lagi untuk yang kedua kali. Ia memanggil,
‘Hai Juaraij, aku ibumu, bicaralah denganku!’, kembali Juraij berkata kepada
dirinya sendiri, Ya Allah, ibuku atau shalatku. Lagi-lagi dia lebih memilih
meneruskan shalatnya. Karena kecewa, akhirnya perempuan itu berkata, ‘Ya Allah,
sesungguhnya Juraij ini adalah anakku, aku sudah memanggilnya berulang kali,
namun ternyata dia enggan menjawabku. Ya Allah, janganlah Engkau matikan dia
sebelum Engkau perlihatkan kepadanya perempuan-perempuan pelacur.’ Perawi berkata,
‘Seandainya sang ibu itu berdoa agar Juraij tertimpa fitnah, niscaya ia akan
mendapatkan fitnah yang besar.’ Perawi berkata, ‘Suatu hari seorang penggembala
kambing berteduh di tempat peribadatan Juraij. Lalu muncullah seorang perempuan
dari sebuah desa kemudian berzinalah penggembala kambing itu dengannya,
sehingga hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika ditanyakan
kepadanya (i.e perempuan pezina), ‘Anak dari siapakah ini?’, perempuan itu
menjawab, ‘Anak dari penghuni tempat peribadatan ini.’ Maka orang-orang
berbondong-bondong mendatangi Juraij. Mereka membawa kapak dan linggis. Mereka berteriak-teriak
memanggil Juraij dan mereka menemukan Juraij sedang melakukan shalat. Tentu saja
Juraij tidak menjawab panggilan mereka. Akhirnya mulailah mereka merobohkan
tempat peribadatannya. Mereka bertanya kepada Juraij, ‘Tanyakan kepada
perempuan ini!’, Juraij pun tersenyum, lalu mengusap kepala anak tersebut dan
bertanya, ‘Siapakah ayahmu?’, anak itu tiba-tiba menjawab, ‘Ayahku adalah si
penggembala kambing’. Mendengar jawaban dari bayi tersebut, mereka semua
berkata, ‘Kami akan membangun tempat ibadahmu yang telah kami robohkan ini
dengan emas dan perak. Juraij menanggapi, ‘Tidak usah. Buatlah seperti semula
dari tanah. Kemudian Juraij meninggalkannya.’” (HR. Muslim no. 6455)
al-Imam al-Hafizh Abu
Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawaawi asy-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w.
676 H) memberikan judul bab untuk hadits di atas: (باب تقديم الوالدين على التطوع بالصلاة
وغيرها) “Bab
Mengutamakan kebaktian kepada kedua orang tua daripada shalat sunnah dan
perkara sunnah lainnya.” Beliau –raheemahullaahu Ta’ala- menjelaskan;
فِيهِ
قِصَّةُ جُرَيْجٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنَّهُ آثَرَ الصَّلَاةَ عَلَى
إِجَابَتِهَا فَدَعَتْ عَلَيْهِ فَاسْتَجَابَ اللَّهُ لَهَا قَالَ الْعُلَمَاءُ
هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ كَانَ الصَّوَابُ فِي حَقِّهِ إِجَابَتَهَا لِأَنَّهُ
كَانَ فِي صَلَاةِ نَفْلٍ وَالِاسْتِمْرَارُ فِيهَا تَطَوُّعٌ لَا وَاجِبٌ وَإِجَابَةُ
الْأُمِّ وَبِرُّهَا وَاجِبٌ وَعُقُوقُهَا حَرَامٌ وَكَانَ يُمْكِنُهُ أَنْ
يُخَفِّفَ الصَّلَاةَ وَيُجِيبَهَا ثُمَّ يَعُودَ لِصَلَاتِهِ فَلَعَلَّهُ خَشِيَ
أَنَّهَا تَدْعُوهُ إِلَى مُفَارَقَةِ صَوْمَعَتِهِ وَالْعَوْدِ إِلَى الدُّنْيَا
وَمُتَعَلِّقَاتِهَا وَحُظُوظِهَا وَتُضْعِفُ عَزْمَهُ فِيمَا نَوَاهُ وَعَاهَدَ
عَلَيْهِ
“Hadits di atas berisi
tentang kisah Juraij –semoga Allah meridhainya- yang lebih mementingkan shalat
sunnah daripada memenuhi panggilan ibunya. Sehingga sang ibu marah dan Allah pun
mengabulkan doa buruknya itu.
Ulama berkata, ‘Kisah dalam
hadits ini menunjukkan bahwa semestinya dan yang benar bagi Juraij adalah
memenuhi panggilan ibunya, karena apa yang ia kerjakan hanyalah shalat sunnah;
meneruskan shalat sunnah hukumnya tetaplah sunnah, tidak dapat beralih status
menjadi wajib, sementara memenuhi panggilan ibu hukumnya wajib dan
mendurhakainya adalah perbuatan haram. Semestinya ia bisa mempercepat
shalatnya, lalau memenuhi panggilan ibunya, kemudian kembali lagi melaksanakan
shalatnya.
Besar kemungkinan Juraij
meneruskan shalatnya dan mengabaikan panggilan ibunya karena ia merasa takut
jika ibunya berusaha memisahkannya dari tempat ibadahnya dan menyeretnya ke
dalam urusan dunia, sehingga merontokkan keyakinannya dan merobohkan apa yang
telah ia jalani selama ini.” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj,
16/105, cet. Daar Ihya at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut, 1392 H]
Mengabaikan panggilan orang
tua ketika kita sedang melaksanakan shalat sunnah atau amalan-amalan sunnah
lainnya saja dianggap tidak tepat secara syar’i, apalagi sengaja mengabaikan
panggilan mereka dalam kondisi sedang tidak melaksanakan amal shalih. Lalu
bagaimana kiranya jika penolakan itu sampai pada tingkatan; mendebat mereka, atau
menolak perintah mereka dengan mengucapkan kata-kata yang kotor?. Hal semacam
ini tentunya akan lebih menyakitkan hati mereka. Adalah Ibu -dalam hal ini-,
orang yang paling banyak terdzalimi oleh tingkah laku serta ucapan-ucapan kita yang tidak santun karena beliau-lah orang yang paling banyak bertatap muka, paling sering
berinteraksi, dan paling banyak melayani dan membantu urusan kita selama ini.
Maka berbakti kepadanya merupakan prioritas utama dibandingkan kepada yang
lainnya.
al-Imam an-Nawaawi –raheemahullaahu
Ta’ala- mengatakan dalam bab; (بَاب بِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَأَنَّهُمَا
أَحَقُّ بِهِ)
“Berbakti
kepada kedua orang tua dan keduanya paling berhak menerima bakti anaknya”
وَأَنَّ
الْأُمَّ أَحَقُّهَمْ بِذَلِكَ ثُمَّ بَعْدَهَا الْأَبَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ
فَالْأَقْرَبَ قَالَ الْعُلَمَاءُ وَسَبَبُ تَقْدِيمِ الْأُمِّ كَثْرَةُ تَعَبِهَا
عَلَيْهِ وَشَفَقَتُهَا وَخِدْمَتُهَا وَمُعَانَاةُ الْمَشَاقِّ فِي حَمْلِهِ
ثُمَّ وَضْعِهِ ثُمَّ إِرْضَاعِهِ ثُمَّ تَرْبِيَتِهِ وَخِدْمَتِهِ وَتَمْرِيضِهِ
وَغَيْرِ ذَلِكَ
“Dan ibu-lah yang paling
berhak mendapatkan bakti dari seorang anak, kemudian ayah, kemudian sanak
saudara yang paling dekat, lalu yang dekat. Para ulama mengatakan, ‘Faktor
utama yang mengharuskan ibu diberi bakti lebih adalah karena banyaknya
pengorbanan seorang ibu demi anaknya, kasih sayang yang tercurah untuknya,
pelayanannya terhadap anak, beban berat yang tak tertanggungkan saat
mengandungnya, melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, merawatnya tatkala
sakit, dan lain-lain.’” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 16/102,
cet. Daar Ihya at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut, 1392 H]
Jangan sampai kita termasuk
orang yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam
hadits berikut karena kelalaian kita dalam melayani keduanya;
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ،
حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ
رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ» ، قِيلَ: مَنْ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ:
«مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ
يَدْخُلِ الْجَنَّةَ»
Syaiban bin Farukh telah
memberitahukan kepada kami, Abu Awanah telah memberitahukan kepada kami, dari
Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama beliau bersabda, “Celaka, celaka, celaka.” Dikatakan, “Siapa wahai
Rasulullah?”, Beliau menjawab, “Yaitu seseorang yang mendapati kedua orang
tuanya atau salah satunya saat tua renta tapi tidak dapat memasukannya ke
surga.” (HR. Muslim no. 6457)
al-Imam an-Nawaawi –raheemahullaahu
Ta’ala- menjelaskan; “Hadits di atas menganjurkan untuk berbakti kepada orang
tua dan pahalanya sangat besar. Artinya adalah, berbakti kepada kedua orang tua
saat keduanya sudah tua renta dan tidak berdaya dengan cara melayani, merawat,
memberi nafkah, atau yang lainnya merupakan faktor utama penyebab masuk surga.
Barang siapa yang tidak melakukan kebaikan ini maka luput darinya penyebab
masuk surga, dan dia telah merugi.” [al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin
al-Hajjaj, 16/109, cet. Daar Ihya at-Turaats al-‘Arabiy, Beirut, 1392 H]
Faidah yang bisa kita petik
dari hadits Juraij adalah;
عِظَمُ بِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَتَأَكُّدُ حَقِّ الْأُمِّ
(1). Keutamaan berbakti
kepada kedua orang tua, dan ibu-lah yang harus diutamakan.
دُعَاءَهَا مُجَابٌ
(2). Doa ibu pasti terkabul.
وَأَنَّهُ إذا تعارضت الامور بدئ بأهما
(3). Jika ada hal yang saling
mendesak untuk dilakukan, maka yang didahulukan adalah yang terpenting
وَأَنَّ
اللَّهَ تَعَالَى يَجْعَلُ لِأَوْلِيَائِهِ مَخَارِجَ عِنْدَ ابْتِلَائِهِمْ
بِالشَّدَائِدِ غَالِبًا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ يتق الله يجعل له مخرجا
وَقَدْ يُجْرِي عَلَيْهِمُ الشَّدَائِدَ بَعْضَ الْأَوْقَاتِ زِيَادَةً فِي
أَحْوَالِهِمْ وَتَهْذِيبًا لَهُمْ فَيَكُونُ لُطْفًا
(4). Allah Ta’ala senantiasa
memberi jalan keluar bagi para wali-Nya untuk bisa terhindar dari cobaan dan
rintangan. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya
Dia akan memberikan jalan keluar baginya.” (QS. ath-Thalaq: 2). Dan satu waktu
cobaan pun menerpa mereka, akan tetapi itu hanyalah satu tahapan untuk
peningkatan derajat mereka dan pembersih dari hal-al yang memalingkan mereka
dari Allah, sehingga cobaan itu bagi mereka adalah rahmat. [al-Minhaj Syarh
Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 16/108, cet. Daar Ihya at-Turaats al-‘Arabiy,
Beirut, 1392 H]
Wallaahu Ta’ala a’lamu.