Ba’da shalat dhuhur di Masjid Basement, kami
bergegas menuju RS. Hasan Sadikin Bandung, meninggalkan workshop Area sejenak guna
menjenguk istri dari saudara kami, rekan kami, sekaligus senior kami di HQ yang
(menurut info by SMS) sedang terbaring kritis di Rumah Sakit. Di lobi bawah Rumah
Sakit kami bertemu dengannya, ia bercerita mengenai kondisi terakhir istrinya
(yang kebetulan tidak bisa kami jenguk karena harus dirawat intensif di ruang
ICU, red), hingga info mengenai penyakit dalam yang menyerang salah satu organ tubuhnya.
Mudah-mudahan kedatangan kami bisa menghibur kesedihannya, melecut optimismenya
dan menguatkan kesabarannya atas ujian berat dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang
sedang menimpanya. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kesembuhan kepada
istrinya, mengangkat penyakitnya, menggugurkan dosa-dosanya dan mengumpulkannya
kembali dengan anak-anaknya. Amieen...
Kami lantas melihat (kepada)
diri-diri kami (yang masih berikan kesehatan oleh Allah Ta’ala ini, red), membayangkan
bagaimana seandainya kami berada di posisi orang yang sedang sakit itu, merenungkan
bilamana nikmat besar itu (i.e kesehatan) Allah Ta’ala cabut dari diri-diri kami yang lalai ini.
Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;
حَدَّثَنَا
الْمَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ هُوَ ابْنُ
أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ
مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Telah menceritakan kepada
kami al-Makki bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Sa’id
yaitu Ibnu Abu Hind dari Ayahnya dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dia
berkata; Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda: “Dua kenikmatan yang
sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang.” (HR.
al-Bukhari No. 5933)
Kunjungan ini pada akhirnya mengingatkan
kami kepada kematian/ ajal, merecall ingatan kami kepada amal perbuatan kami yang
telah berlalu. Bagaimana jika Allah ‘Azza wa Jall benar-benar meniadakan nikmat
tersebut secara tiba-tiba (sesuai kehendakNya) dari diri hamba-hambaNya yang
sehat?, tidak tersisa lagi waktu untuk berbenah, waktu luang untuk mengerjakan amal
shalih, kesempatan untuk mengumpulkan bekal ke akhirat dll. Yang tersisa
hanyalah penyesalan tiada akhir akibat (sudah) menyia-nyiakan nikmat sehat dan
waktu luang itu sendiri, dan hanya bisa menunggu keputusan akhir (hisab) dari Allah
Subhaanahu wa Ta’ala tanpa mampu berbuat apapun. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama bersabda;
حَدَّثَنَا
عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا
أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِالْمَوْتِ كَهَيْئَةِ
كَبْشٍ أَمْلَحَ فَيُنَادِي مُنَادٍ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُونَ
فَيَقُولُ هَلْ تَعْرِفُونَ هَذَا فَيَقُولُونَ نَعَمْ هَذَا الْمَوْتُ وَكُلُّهُمْ
قَدْ رَآهُ ثُمَّ يُنَادِي يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُونَ فَيَقُولُ
هَلْ تَعْرِفُونَ هَذَا فَيَقُولُونَ نَعَمْ هَذَا الْمَوْتُ وَكُلُّهُمْ قَدْ رَآهُ
فَيُذْبَحُ ثُمَّ يَقُولُ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلَا مَوْتَ وَيَا أَهْلَ
النَّارِ خُلُودٌ فَلَا مَوْتَ ثُمَّ قَرَأَ { وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْحَسْرَةِ إِذْ
قُضِيَ الْأَمْرُ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ } وَهَؤُلَاءِ فِي غَفْلَةٍ أَهْلُ الدُّنْيَا
{ وَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Telah menceritakan kepada
kami ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats, telah menceritakan kepada kami bapakku, telah
menceritakan kepada kami al-A’masy, telah menceritakan kepada kami Abu Shalih
dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallama bersabda: “Kematian didatangkan pada hari kiamat seperti
kambing kelabu. Kemudian dikatakan: ‘Wahai penduduk surga!’, maka mereka
melihat dengan mendongak (kepada penyeru tersebut, red), lalu dikatakan; ‘Apa
kalian mengetahui ini?’, Mereka menjawab: ‘Ya, itu adalah kematian.’ Dan
semuanya telah melihatnya. kemudian dikatakan kepada penduduk neraka: ‘Wahai
penghuni neraka, apa kalian mengetahui ini?’, Mereka melihat dengan mendongak (kepada
penyeru tersebut, red), mereka menjawab: ‘Ya, itu adalah kematian.’ Dan
semuanya telah melihatnya. Lalu kematian itu disembelih. Setelah itu dikatakan:
‘Wahai penduduk surga, kekal tidak ada ada kematian dan wahai penduduk neraka,
kekal tidak ada kematian’.” Setelah itu beliau –Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama- membaca: “Dan berilah mereka peringatan tentang Hari Penyesalan,
(yaitu) ketika segala perkara telah diputus dan mereka dalam kelalaian dan
mereka tidak (pula) beriman.” (QS. Maryam: 39). Merekalah penduduk dunia yang
lalai dan mereka tidak beriman.” (HR. al-Bukhari No. 4361)
Berkata al-‘Allamah ‘Abd
ar-Rahman bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu- (w. 1376 H) berkaitan dengan QS.
Maryam: 39 (yang termaktub dalam hadits di atas, red) di dalam
tafsirnya;
الإنذار
هو: الإعلام بالمخوف على وجه الترهيب، والإخبار بصفاته، وأحق ما ينذر به ويخوف به العباد،
يوم الحسرة حين يقضى الأمر، فيجمع الأولون والآخرون في موقف واحد، ويسألون عن أعمالهم،.فمن
آمن بالله، واتبع رسله، سعد سعادة لا يشقى بعدها،.ومن لم يؤمن بالله ويتبع رسله شقي
شقاوة لا سعادة بعدها، وخسر نفسه وأهله،. فحينئذ
يتحسر، ويندم ندامة تتقطع منها القلوب، وتنصدع منها الأفئدة، وأي: حسرة أعظم من فوات
رضا الله وجنته، واستحقاق سخطه والنار، على وجه لا يتمكن من الرجوع، ليستأنف العمل،
ولا سبيل له إلى تغيير حاله بالعود إلى الدنيا؟! فهذا قدامهم، والحال أنهم في الدنيا
في غفلة عن هذا الأمر العظيم لا يخطر بقلوبهم،
ولو خطر فعلى سبيل الغفلة، قد عمتهم الغفلة، وشملتهم السكرة، فهم لا يؤمنون بالله،
ولا يتبعون رسله، قد ألهتهم دنياهم، وحالت بينهم وبين الإيمان شهواتهم المنقضية الفانية
فالدنيا
وما فيها، من أولها إلى آخرها، ستذهب عن أهلها، ويذهبون عنها، وسيرث الله الأرض ومن
عليها، ويرجعهم إليه، فيجازيهم بما عملوا فيها، وما خسروا فيها أو ربحوا، فمن فعل خيرا
فليحمد الله، ومن وجد غير ذلك، فلا يلومن إلا نفسه
“Kata الإنذار
bermakna pemberitahuan tentang hal-hal yang menakutkan dengan nada
mengancam dan menyampaikan tentang sifat-sifatnya. Dan obyek yang paling pantas
menjadi bahan peringatan dan ancaman bagi para hamba adalah Hari Penyesalan
(Kiamat), saat semua perkara diputuskan dan orang-orang terdahulu sampai generasi terakhir
dikumpulkan pada satu tempat. Mereka akan ditanya mengenai amal perbuatan
mereka. Maka barangsiapa beriman kepada Allah dan mengikuti para RasulNya,
niscaya akan menikmati kebahagiaan tanpa pernah mengalami penderitaan setelah
itu. Sedangkan orang yang tidak beriman serta tidak mengikuti para RasulNya,
niscaya akan merasakan hidup celaka tanpa akan pernah mengenyam kebahagiaan
setelahnya. Dia merugi atas diri dan keluarganya. Pada saat itu ia bersedih dan
menyesal dengan penyesalan yang membuat kalbu terputus (dari pengharapan) dan
menjadikan hati hancur tak karuan. Adakah kesedihan yang lebih besar daripada
kesedihan lantaran luput dari mendapatkan ridha dengan surga Allah, lalu
menerima kepastian murka Allah serta dimasukkan ke dalam neraka, dalam keadaan
yang tidak memiliki kemungkinan kembali (ke dunia lagi) untuk memulai amalan
baru dan tidak ada cara lain untuk merubah keadaan dirinya dengan kembali ke
dunia?, Inilah keadaan yang menyongsong mereka. Sementara di dunia, mereka
lalai dari persoalan besar ini. Masalah ini tidak terbetik dalam hati-hati
mereka. Kalaupun terngiang-ngiang, maka dalam suasana yang lalai. Kelalaian
menyelimuti mereka dengan merata dan keterlenaan telah menguasai diri mereka.
Mereka tidak beriman kepada Allah dan tidak mengikuti para Rasul. (Kenikmatan)
Dunia telah memperdayai mereka. Godaan-godaan syahwat yang akan sirna lagi fana
telah menjadi faktor penghalang antara mereka dan keimanan. Dunia beserta
isinya, dari permulaan sampai penghujungnya, akan pergi meninggalkan pemiliknya,
dan para penghuninya pun akan berpisah dengannya. Kemudian Allah mengambil alih
dunia dan semua isinya, mengembalikan mereka semua kepadaNya. Selanjutnya,
Allah memberikan balasan kepada mereka sesuai dengan amal perbuatan, baik
berupa kerugian maupun keuntungan mereka di dunia. Barangsiapa melakukan
perbuatan baik, hendaklah dia memuji Allah. Sedangkan orang yang menjumpai
amalan selain itu (amalan buruk), janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.”
(Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 16, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz
ash-Shumail)
Dalam makalahnya, al-Ustadzah
Ummu Ishaq al-Atsariyyah menjelaskan; “Mengingat mati akan melembutkan hati dan
menghancurkan ketamakan terhadap dunia. Karenanya, Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallama memberikan hasungan untuk banyak mengingatnya. Beliau
bersabda dalam hadits yang disampaikan lewat shahabatnya yang mulia Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَكْثِرُوْا
ذِكْرَ هَاذمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah kalian
mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).” (HR. at-Tirmidzi no. 2307, an-Nasa’i
No. 1824, Ibnu Majah No. 4258. al-‘Allamah al-Albani –rahimahullaahu-
berkata tentang hadits ini, “Hasan shahih.”)
Dalam hadits di atas ada
beberapa faedah: Disunnahkannya setiap muslim yang sehat ataupun yang sedang
sakit untuk mengingat mati dengan hati dan lisannya, serta memperbanyak
mengingatnya hingga seakan-akan kematian (berada) di depan matanya. Karena
dengannya akan menghalangi dan menghentikan seseorang dari berbuat maksiat
serta dapat mendorong untuk beramal ketaatan. Mengingat mati di kala dalam
kesempitan akan melapangkan hati seorang hamba. Sebaliknya, ketika dalam
kesenangan hidup, ia tidak akan lupa diri dan mabuk kepayang. Dengan begitu ia
selalu dalam keadaan bersiap untuk “pergi.” (Bahjatun Nazhirin, 1/634)[1]
Tidak ada satu pun makhluk di
dunia ini yang mengetahui secara pasti kapan ia akan “pergi” (baca: mati), dimana
“kepergian” itu terjadi dan dengan cara apa ia “pergi”. Satu hal yang pasti, yakni “kepergian”
atau kematian itu sendiri sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla;
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ (35
“Tiap-tiap yang bernyawa
akan merasakan mati.” (QS. al-Anbiya: 35)
al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman
bin Nasheer as-Sa’dee –raheemahullaahu- (w. 1376 H) menjelaskan;
وهذا
يشمل سائر نفوس الخلائق، وإن هذا كأس لا بد من شربه وإن طال بالعبد المدى، وعمّر سنين،
ولكن الله تعالى أوجد عباده في الدنيا، وأمرهم، ونهاهم، وابتلاهم بالخير والشر، بالغنى
والفقر، والعز والذل والحياة والموت، فتنة منه تعالى ليبلوهم أيهم أحسن عملا ومن يفتتن
عند مواقع الفتن ومن ينجو
“Pengertian ini mencakup
segenap nyawa para makhluk. Dan ajal ibarat gelas yang harus ditenggak oleh
setiap makhluk, kendati pun masa hidup seorang hamba lama dan dikaruniai umur
panjang. Akan tetapi Allah Ta’ala menciptakan para hambaNya di dunia untuk
diperintah dan dikekang dengan larangan. Serta untuk menguji mereka dengan
takdir yang baik maupun yang buruk, dengan kekayaan dan kemiskinan, dengan
kemuliaan dan kehinaan, dengan kehidupan dan kematian sebagai bentuk ujian dari
Allah Ta’ala;
ليبلوهم
أيهم أحسن عملا
“Supaya Kami menguji mereka
siapakah yang paling baik amalannya.” (QS. al-Kahfi: 7)
Siapa yang akhirnya terjebak dalam lubang-lubang fitnah dan siapa yang berhasil selamat.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 17, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)
Dan seseorang itu dikatakan
cerdas jika ia banyak mengingat mati, bukan (mengingat) dunia dan seisinya sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama ketika beliau ditanya oleh seorang laki-laki dari kalangan Anshar; ‘Mukmin
manakah yang paling cerdas?’
أَكْثَرُهُمْ
لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا, أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
“Orang yang paling banyak
mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati.
Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah No. 4259, dari shahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh al-‘Allamah al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1384)
al-Imam al-Qurthubi –raheemahullaahu-
(w. 671 H) berkata, “Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia
akan dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera untuk bertaubat, hati merasa
cukup, dan giat/semangat dalam beribadah. Sebaliknya, siapa yang melupakan mati
ia akan dihukum dengan tiga perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan
perasaan cukup dan malas dalam beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang
tertipu, yang merasa tidak akan dijemput kematian, tidak akan merasa
sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya. Cukuplah kematian sebagai pengetuk
hati, membuat mata menangis, memupus kelezatan dan menuntaskan angan-angan.
Apakah engkau, wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari
kematianmu dan perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?'.” (At-Tadzkirah,
hal. 9) [2]
Akhirnya, perkataan para salaf
ini menjadi penutup yang sempurna sebagai pengingat bagi kita semua;
اَلْوَقْتُ
كَالسَّيْفِ إِنْ لَمْ تُقَطِّعْهُ قَطَّعْكَ
Waktu itu bagaikan pedang,
jika engkau tidak memutusnya (mengisinya) maka dia yang akan memutusmu
(menghilangkan kesempatanmu). [3]
______
[1].
Majalah AsySyariah Edisi 037
[2].
Ibid
[3].
Buletin Manhaj Salaf, Edisi: 55/Th. II, tgl 21 Shafar 1426 H, penulis al-Ustadz
Muhammad Umar as-Sewed
Labels:
Ad-Dien
0 Respones to "Kepergian Itu Bukanlah Misteri"
Posting Komentar