Rabu, 10 October 2012 pukul
13.00 WIB kami bertolak dari kantor kami di Jl. Soetta menuju Bandara Hussein
Sastranegara Bandung dalam rangka menghadiri undangan Workshop Channel HQ di
Yogyakarta (destinasi awal sebenarnya Denpasar Bali, namun karena suatu hal, acara
dialihkan ke Yogyakarta. Sempat juga dikabarkan akan dialihkan oleh Panitia ke Semarang
karena sebagian besar Hotel di Yogyakarta statusnya “Reserved”, “Booked”, i.e imbas
dari acara pelantikan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paduka Pakualam IX
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di Gedung Agung
(Jl. Ahmad Yani, Persimpangan kawasan Kilometer 0, Malioboro, Ngupasan,
Gondomanan, Yogyakarta) sehingga jumlah wisatawan dari dalam dan luar negeri (yang
sengaja datang untuk menyaksikan moment bersejarah tersebut) menjadi membludak berkali-kali
lipat –wallaahu a’lam-. Namun akhirnya salah satu Hotel dibawah Aston Group di Jl.
Kusumanegara No. 91 Yogyakarta mengokonfirmasi ketersediaan (availability)
space kamar dan ruang workshop kepada Panitia sehari sebelum acara workshop dikick-off.
Kali ini kami sengaja berangkat lebih awal agar kasus ketinggalan pesawat (seperti kejadian workshop
Batam satu bulan yang lalu) tidak terulang kembali J. Ini
adalah kali kedua bagi kami menghadiri undangan Channel HQ di kota Gudheg, Yogyakarta, sekaligus kali kedua bagi kami harus berangkat menggunakan
pesawat baling-baling yang paling dihindari oleh sebagian rekan-rekan kami di Regional,
Wings Air ATR 72-500!, i.e sebuah pesawat penumpang regional jarak pendek
bermesin twin-turboprop yang dibangun oleh perusahaan pesawat Perancis-Italia
ATR. Pada saat jam istirahat (sesaat sebelum keberangkatan), salah seorang
rekan kami di Basement bertanya, “Mau kemana bro?”, Saya
menjawab, “Ke Yogyakarta mas.” Terus dia bilang, “Pake pesawat baling-baling
ya?, Wah,.. lamun saya mah cukup sekali saja... gak mau lagi, ngeri euy.” Memang
benar, “sensasi” yang dirasakan oleh penumpang pada saat di udara sungguh luar biasa terutama
ketika pesawat ini take off dalam kondisi cuaca berawan atau angin kencang
(seperti kemaren). Yo piye maneh mas (ya mau gimana lagi mas, red), wong belum
ada pesawat (bermesin) Jet semisal Boeing atau Airbus yang melayani rute
Bandung-Yogyakarta je. Akhirnya “Sport Jantung” itu benar-benar berakhir setelah kami mendarat dengan selamat di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Sebenarnya ada
dua alternatif lain yang bisa kita pilih, pertama; Naik pesawat Boeing atau
Airbus (semisal Garuda, Lion Air, atau Air Asia) dari Bandara Soetta Cengkareng
rute Jakarta-Yogyakarta yang jadwalnya bervariasi itu, namun kita harus rela
menempuh perjalanan lebih lama dengan waktu tempuh 4,5 Jam dari Bandung,
atau kedua; Naik kereta Argo Wilis dari stasiun Bandung, namun harus rela bersabar,
duduk manis di dalam gerbong kereta besi itu selama (kurang lebih) 7 Jam. Pilih
mana?
Alhamdulillah, acara workshop
berjalan dengan lancar, bahkan bisa dibilang “sangat lancar”, ini semua tidak terlepas
dari sentuhan tangan dingin panitia yang sangat “kreatif”. Gimana gak dibilang
kreatif, lah wong Minute of Meetingnya (MoM) sendiri sudah dibuat jauh-jauh
hari sebelum workshop tersebut berlangsung koq,.. Hehe. Buktinya
peserta workshop cuma di tanya (waktu itu), “Dari Department Market Development
(MD) dan Service Quality Assurance (SQA) di masing-masing Regional, sepakat
tidak kalau waktu uploading data LAC-CI per Region kita majukan menjadi M+...?”
dan hebatnya lagi semua poin-poin kesepakatan itu sudah dicantumkan dalam 4
lembar MoM yang kami sendiri tidak pernah merasa mendiskusikannya (sebelumnya),
luar biasa... Hehe. No problemo lah, karena esensi dari workshop (i.e
percepatan waktu release Key Performance Indicator [KPI] Dealer) sendiri sudah dibahas
dan disepakati bersama oleh para peserta, yang terpenting adalah hasil kesepakatan
tersebut benar-benar diimpelementasikan sesuai dengan isi MoMnya.
Praktis jadwal “serius” hanya berlangsung satu hari saja, sisanya?, Panitia
sudah mempersiapkan acara lain yang ternyata tidak kalah menantangnya, bahkan bisa
dibilang lebih “menarik” daripada acara workshop itu sendiri, i.e Petualangan
bertajuk; “Merapi, Ring of Fire Expedition Jilid. I” (mengapa diberi embel-embel “Jilid. I” dibelakangnya?, karena semua peserta berharap akan ada petualangan
jilid-jilid berikutnya yang disiapkan oleh Panitia pada workshop-workshop mendatang...
maklum lah, terlalu banyak pekerjaan kantor yang harus diselesaikan, sehingga penyakit stress kadangkala datang... Hehe). Lagi pula workshop
sendiri bisa diplesetkan artinya menjadi “Work” dan “Shop”, i.e bekerja dan
berbelanja, atau bekerja dan refreshing, harapannya ketika para peserta sudah kembali ke meja kerjanya atau departemennya masing-masing, semangat kerja
mereka akan kembali terpacu... :D (Nglindur.Com)
Sesampainya di BaseCamp, kami disambut hangat oleh penduduk lokal dan pemandu setempat. Tak lupa mereka mengucapkan, “Sugeng Rawuh. Monggo dipun pilih kendaraanipun ingkang sekeco.”
Tanggal 12 October 2012,
ba’da shalat Jum’at di belakang Gedung Agung, tepatnya di Masjid Baitu ar-Raheem
Polresta Yogyakarta, Jl. Reksobayan No. 1 (Gondomanan), Yogyakarta, kami
berangkat menuju rumah makan “Mbah Jingkrak - Khas Jawa –“ Jalan Kaliurang Km
9.5 untuk makan siang sekaligus shalat ‘Ashr. Baru
setelah itu, rombongan yang terdiri dari 4 Mobil (kurang lebih 20-an orang) itu
bertolak menuju lereng Gunung Merapi, salah satu gunung berapi paling aktif di
Dunia, gunung yang juga sangat tersohor dengan “wedhus gembelnya” atau awan
panasnya (yang sudah memakan ribuan korban jiwa) itu. Sesampainya di BaseCamp,
kami disambut hangat oleh penduduk lokal dan pemandu setempat. Tak lupa
mereka mengucapkan, “Sugeng Rawuh. Monggo dipun pilih kendaraanipun ingkang
sekeco. (Selamat datang, silahkan anda dipilih kendaraannya).” Puluhan motor sport
ber-cc tinggi antara 150 – 250 cc itu berjejer rapi di pelataran BaseCamp. Satu
per satu dari kami menghampiri motor-motor itu, mengenakan sepatu pelindung
berplat besi dan helm (tak berkaca) yang disediakan Panitia. Sayangnya hanya
itu saja kelengkapan pengaman yang tersedia di BaseCamp, sarung tangan kulit
yang biasanya wajib digunakan oleh para rider otomotif ekstreem ternyata tidak
tersedia, pelindung lutut dan siku juga tidak ada. Kalau perlengkapan wajib
seperti itu saja tidak tersedia, maka jangan ditanya “Ada asuransi Jiwanya
ndak?”,..:D. Padahal rute perjalanan yang harus kami lalui itu berbatu terjal
dan berpasir. Tapi antusiasme peserta mampu mengalahkan kekhawatiran dan
ketakukan terhadap resiko fatal yang mungkin saja terjadi pada kami di
perjalanan. Buktinya?, beberapa peserta yang tidak pernah mengendarai motor
berkopling pun tetap nekat ikut, atau yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak
pernah mengendarai motor berkopling (seperti saya) juga nekat ikut, dan yang
lebih luar biasa lagi, salah salah seorang rekan kami dari SQA Jabotabek yang
“mohon maaf” secara berat badan sangat tidak memungkinkan untuk mengendarai motor
dalam medan berat nan berbahaya seperti ini dan bahkan mengaku sudah lama tidak
bersentuhan dengan sepeda motor juga nekat turut serta. Wes jan, do nekat kabeh
lah pokoke. Padahal panitia sudah menyediakan mobil off-road yang lebih safety bagi
mereka (yang tidak terampil) sebagai alternatif petualangan Merapi.
Starting awal di mulai dari
BaseCamp, benar saja, belum sampai 100 meter dari lokasi keberangkatan, sudah
ada satu peserta yang terjatuh dari motornya (i.e akibat licinnya jalan
berpasir yang kami lewati). Tapi tak lama kemudian ia segera berdiri dan bilang,
“Tidak apa-apa, Let’s go on buddy!”, padahal jalannya saja sudah tertatih-tatih..
:D. Perlahan tapi pasti, deru Kawasaki KLX 140 yang kami kendarai mulai berpacu
dengan debu vulkanik dan batu kerikil. Pemandu mengarahkan kami untuk turun ke
Jalur lahar dingin Kali Gendol, nama sungai yang tidak asing lagi di telinga para
pendengar berita erupsi Merapi tahun 2010. Pasir hitam kasar, batu kerikil, hingga batu-batu
besar muntahan Merapi seukuran badan Gajah bertumpuk menjadi satu di sungai
yang tak berair itu. Kondisi fisik sungai itu lebar dan dalam, sekitar 20 meter
(lebarnya) dan 15 meter (dalamnya). Ketika Merapi mengalami erupsi, sungai itu menjadi
jalur aliran lahar (lava) panas berwarna merah kekuningan bersuhu tinggi antara
1.100 sampai 1.300 derajat celcius. Cuaca sore itu mulai mendung dan gelap, hawa
dingin khas pegunungan mulai menusuk tulang, beruntunglah mereka (para peserta)
yang sedari awal mengenakan jaket pelindung karena suhu tubuh mereka tetap
hangat terjaga. Setiap sekian kilometer kami berhenti dan beristirahat,
menunggu teman-teman yang tertinggal di belakang sembari membayangkan
kedahsyatan erupsi Merapi yang meluluhlantakan kehidupan makhluk hidup di sekitarnya itu. Sesekali kami lihat beberapa orang mengangkut pasir dari Kali Gendol
untuk dijual. Konon, pasir Merapi termasuk material bangunan kelas satu yang
memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga banyak orang yang mencari. Rupanya bencana
Merapi tidak hanya meninggalkan kepedihan/kepiluan, namun juga keberkahan bagi
penduduk di sekitarnya. Semakin ke atas, medan yang kami lalui semakin berat,
terjal dan sepi. Sisa-sisa suasana erupsi masih kental terasa. Bangkai pohon-pohon
besar masih telihat di kanan dan kiri jalan, di sekelilingnya tumbuh
perdu-perdu baru yang masih segar. Hingga akhirnya perjalanan kami berhenti di
sebuah dusun mati yang tertimbun material panas Merapi sejak tahun 2010 yang
lalu. Dusun itu bernama Dusun Jambu, yang terletak di Desa Kepuhharjo,
Yogyakarta. Tidak ada satupun bangunan yang tersisa di sana, semuanya luluh
lantak dan rata dengan tanah. Di lokasi tersebut hanya terlihat gundukan tanah, bebatuan dan tulang
belulang binatang (i.e Sapi, Kerbau atau Kambing) yang menandakan bahwa beberapa
tahun yang lalu pernah ada kehidupan di dusun itu sebelum akhirnya hancur
terkena erupsi dahsyat Merapi, ada pula batu sebesar rumah yang mereka (i.e
penduduk setempat) namakan dengan Batu Alien (karena mirip wajah manusia). Dari
manakah asal batu ini?, darimana lagi kalau bukan dari perut Merapi. Bisa kita
bayangkan betapa mengerikannya erupsi Merapi waktu itu, batu sebesar
gajah berterbangan ke angkasa kemudian jatuh ke atap-atap rumah
penduduk setempat, atau ladang-ladang penduduk yang jauhnya puluhan Kilometer dari
puncak Merapi!, tidak hanya itu, aliran larva panas bersuhu ribuan derajat
celcius juga membanjiri dan membakar tempat itu!, tidak hanya itu, awan
panas bersuhu ratusan derajat celcius yang bergerak dengan kecepatan ratusan
Kilometer per Jam di udara juga menghanguskan apa saja yang dilewatinya, di tempat itu!.
Gerimis mulai turun dan
kabut mulai datang. Kami masih harus bergegas menuju atas i.e Dusun terakhir
sebelum gelap menghampiri. Dalam kondisi cuaca yang bersahabat, puncak Merapi bisa
terlihat jelas dari Dusun itu, demikian penuturan salah seorang Pemandu. Dahulu,
puncak Merapi sulit terlihat karena tertutup oleh pepohonan raksasa dan kabut,
namun kini sebagian besar pepohonan itu telah hangus menjadi bangkai, hanya menyisakan
kabut pekat yang menjadi satu-satunya penghalang jarak pandang. Kemudian kami melanjutkan
perjalanan, dalam suasana yang sudah gelap gulita itu, akhirnya kami berhasil menginjakkan
kaki di dusun yang dimaksud, i.e Dusun Kinahrejo, dusun terakhir di lereng gunung
Merapi yang dahulu pernah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Termasuk di dalamnya adalah “juru kunci”
Merapi yang ketika erupsi terakhir terjadi, enggan dievakuasi dan akhirnya
meninggal terkena sapuan awan panas alias wedhus gembel bersuhu 800 derajat
celcius, Mbah Maridjan. Sebagaimana dusun-dusun yang terletak di bawahnya e.g Dusun
Jambu, Dusun Kinahrejo juga hancur lebur tak bersisa, sepi ndhedhet, dan tidak
terlihat tanda-tanda kehidupan manusia di sana. Awalnya
petualangan “Ring of Fire” ini masih akan berlanjut hingga mendekati puncak
Merapi, namun karena cuaca di hari itu tidak bersahabat, plus medan menuju
puncak konon lebih ekstreem dan berbahaya, maka Panitia dan peserta memutuskan
untuk kembali ke BaseCamp.
Ada dua hal yang kami
dapatkan dalam ekspedisi Merapi kali ini; i.e Refreshing dan Spiritual Experience.
Pelajaran yang kami maksud adalah; tidaklah ‘Allah Azza wa Jall menurunkan
musibah yang maha dahsyat seperti itu kepada manusia tanpa sebab. Musibah itu terjadi
atas kehendak Allah Subhaanahu wa Ta’ala, tidak terjadi dengan sendirinya atau terjadi
secara kebetulan atau hanya sekedar gejala alam yang tidak ada kaitannya dengan
rububiyah Allah Ta’ala sebagaimana pemahaman kaum Qadariyah yang meyakini bahwa
setiap perbuatan (yang dilakukan oleh) makhluk itu murni karena kehendak
makhluk itu sendiri, tidak ada campur tangan Allah Ta’ala yang menciptakan
kehendak bagi makhluk dalam hal ini. Atau jika dikaitkan dengan bencana alam
seperti peristiwa erupsi gunung Merapi, maka kaum Qadariyah atau yang sejalan
dengannya dari kalangan Mu’tazilah dan lainnya meyakini bahwa meletusnya Merapi
itu murni karena gejala alam, tidak ada kaitannya dengan perbuatan syirik dan
maksiat yang dilakukan oleh makhluk (baca: penduduk) di sekitarnya (note: No offence, di
Yogyakarta masih banyak kita temukan praktik-praktik kesyirikan yang dilakukan
oleh sebagian masyarakatnya seperti menyembelih sesuatu bukan karena Allah Ta’ala
atau membuat sesajen (baca: sesajian) sebagai bentuk persembahan atau
pengagungan terhadap makhluk (e.g gunung Merapi, makam-makam keramat dll), mensakralkan
benda-benda tertentu yang dianggap bertuah dan bertabaruk dengannya dll, red) karenanya Allah Ta’ala
menurunkan azabNya di dunia. Padahal Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;
وَمَا
أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
(30
“Dan apa saja musibah yang
menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kamu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (kesalahan kalian).” (QS. asy-Syura: 30)
Al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman
bin Nasheer as-Sa’dee –rahemaahullaahu- (w. 1376 H) menjelaskan dalam
tafsirnya;
يخبر
تعالى، أنه ما أصاب العباد من مصيبة في أبدانهم وأموالهم وأولادهم وفيما يحبون ويكون
عزيزا عليهم، إلا بسبب ما قدمته أيديهم من السيئات، وأن ما يعفو اللّه عنه أكثر، فإن
اللّه لا يظلم العباد، ولكن أنفسهم يظلمون
“Allah Ta’ala mengabarkan
bahwa apa pun musibah yang menimpa hamba-hambaNya, pada jasad mereka, pada
harta atau pun anak-anak mereka dan pada apa saja yang mereka cintai lagi
sangat mereka sayangi, adalah akibat dosa-dosa yang mereka lakukan sendiri, dan
sesungguhnya yang dimaafkan oleh Allah Ta’ala lebih banyak dari itu. Sebab,
sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim terhadap hamba-hambaNya, akan tetapi
diri mereka sendirilah yang menzhalimi diri mereka sendiri.” (Taiseer
al-Kareem ar-Rahman vol. 6, juz. 25, Tahqiq; Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)
Adakah kezhaliman yang
lebih besar daripada perbuatan syirik kepada Allah, i.e menyekutukan Allah Subhaanahu wa Ta’ala
dalam peribadatan kepadaNya?. Ada dua kemungkinan yang terjadi pada seseorang
pasca ia tertimpa musibah. Bagi orang-orang yang berakal dan mampu mengambil
pelajaran, musibah itu akan semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala,
membuatnya bersabar atas segala ujianNya dan bersyukur atas segala nikmatNya.
Ia tinggalkan kezhaliman yang ia lakukan terhadap Allah Ta’ala dan bertaubat
karenanya. Adapun bagi orang-orang yang tersesat dan lemah akalnya, musibah itu
akan semakin menjauhkan dirinya terhadap rahmat Allah Ta’ala, dan semakin menenggelamkan
dirinya ke dalam lembah kesyirikan dan kemaksiatan. Wallaahu a’lam.
Labels:
My Notes
0 Respones to "Cerita Dari Lereng Merapi"
Posting Komentar