Suatu ketika di ruang makan
kantor, 3rd Floor, kami berdiskusi lepas (dengan atasan kami)
seputar aktivitas sehari-hari yang biasa kami lakukan. Di tengah-tengah
pembicaraan itu ia lantas teringat sesuatu, “Ba’da shubuh tadi saya membaca al-Qur’an,
kemudian mendapati ayat berikut;
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي
مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (56
“Sesungguhnya kamu tidak
akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. al-Qashash: 56)
Ternyata, kalaupun kita sudah
berusaha sekuat tenaga menyampaikan ilmu, mengajak seseorang kepada kebaikan, atau
mengingatkan seseorang dari keburukan, belum tentu hidayah Allah Ta’ala itu diberikan
kepadanya (i.e berupa penerimaan seseorang itu terhadap nasihat yang baik, atau
berubahnya perilaku dan amalan seseorang itu sesuai petunjuk al-Qur’an dan
as-Sunnah).”
Kami berkata, “Betul sekali
Pak”, lantas salah seorang dari kami membawakan kisah Abu Thalib, paman Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang (ditakdirkan oleh Allah Ta’ala) meninggal
dalam keadaan kafir, padahal Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama begitu gigih
mengajaknya kembali kepada dienul Islam waktu itu.
Namun karena kejahilan dan keterbatasan
ilmu (yang ada pada diri kami) pada akhirnya kami tidak mampu menjelaskan secara
detail matan hadits (tentang kisah Abu Thalib, red) dan tafsir QS. al-Qashash:
56 dalam obrolan santai waktu itu. Nah, karena dirasa cukup besar (manfaatnya),
maka (pada kesempatan kali ini) akan kami coba hadirkan penjelasan para ‘alim
rabbani (yang berkompeten di bidangnya) secara lebih rinci sebagai berikut (mudah-mudahan
bermanfaat).
Dalam
kitab Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid (فتح المجيد شرح كتاب التوحيد) hal.
212, terdapat bab khusus yang berjudul; {باب: قول الله تعالى: إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ
اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ} i.e
bab; Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang
kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya”
Al-’Allamah ‘Abd ar-Rahman
bin Hasan ‘alu asy-Syaikh –raheemahullaahu- (w. 1285 H), i.e penulis kitab
Fathul Majid menjelaskan;
{ باب قول الله تعالى: إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ }
سبب نزول هذه الآية موت أبي طالب على ملة عبد المطلب، كما سيأتي
بيان ذلك في حديث الباب. وإنك لتهدي
قال ابن كثير - رحمه الله تعالى -: يقول تعالى لرسوله: إنك يا
محمد لا تهدي من أحببت، أي ليس إليك ذلك، إنما عليك البلاغ والله يهدي من يشاء. وله
الحكمة البالغة، والحجة الدامغة، كما قال تعالى: {لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ
اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}. وقال تعالى: {وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ} قلت: والمنفي هنا هداية التوفيق والقبول فإن أمر ذلك إلى الله، وهو
القادر عليه. وأما الهداية المذكورة في قول الله تعالى: {وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ} فإنها هداية الدلالة والبيان، فهو المبيِّن عن الله، والدالُّ
على دينه وشرعه
“Bab: ‘Sesungguhnya kamu
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk.’ (QS. al-Qashash: 56)
Sebab turunnya ayat ini
adalah wafatnya Abu Thalib dalam keadaan tetap berpegang pada agama Abdul
Muththalib sebagaimana penjelasan tetangnya akan hadir dalam hadits di bab ini.
(al-Hafizh) Ibnu Katsir –raheemahullaahu
Ta’ala- (w. 774 H) berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada RasulNya,
sesungguhnya kamu wahai Muhammad tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang
kamu cintai. Yakni, hal itu bukan wewenangmu, tugasmu hanyalah menyampaikan dan
Allah yang memberi petunjuk kepada siapa (saja) yang Dia kehendaki. Dia pemilik
hikmah yang mendalam dan hujjah yang kuat, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman;
{لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
“Bukanlah kewajibanmu
menjadikan mereka mendapatkan petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi
petunjuk (memberi taufik) kepada siapa yang dikehendakiNya.” (QS. al-Baqarah:
272)
Dan Allah Ta’ala berfirman;
{وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ}
“Dan sebagian besar manusia
tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf: 103).”
Saya (i.e penulis Fathul
Majid) berkata, hidayah yang dinafikan disini adalah hidayah taufik dan
penerimaan, karena perkara hidayah ini berada di Tangan Allah, hanya Dia yang
berkuasa atasnya. Adapun hidayah yang tercantum di dalam firman Allah Ta’ala;
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
“Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. asy-Syura: 52)
Maka, ia adalah hidayah
penjelasan dan bimbingan, karena Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama adalah
penjelas dari Allah, pembimbing kepada Agama dan SyariatNya.” (Fathul Majeed
Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 212)
Matan kisah Abu Thalib yang
diisyaratkan oleh al-’Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Hasan (pada syarh) di atas dijelaskan
oleh beliau pada penjelasan selanjutnya;
في الصحيح عن ابن المسيب عن أبيه قال: لما حضرت أبا طالب الوفاة
جاءه رسول الله صلي الله عليه وسلم وعنده عبد الله ابن أبي أمية وأبو جهل، فقال له:
يا عم قل: لا إله إلا الله، كلمة أحاج لك بها عند الله. فقالا له: أترغب عن ملة عبد
المطلب؟ فأعاد عليه النبي صلي الله عليه وسلم فأعادا. فكان آخرَ ما قال: هو على ملة
عبد المطلب، وأبى أن يقول لا إله إلا الله. فقال النبي صلي الله عليه وسلم: لأستغفرن
لك ما لم أُنْهَ عنك. فأنزل الله عز وجل {مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ}. وأنزل الله في أبي طالب {إِنَّكَ
لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
“Di dalam ash-Shahih dari
Ibnul Musayyab, dari bapaknya, beliau berkata, “Pada saat ajal datang kepada
Abu Thalib, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama datang menjenguknya,
sementara di sisinya terdapat Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal. Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallama bersabda kepadanya, “Wahai Paman, ucapkanlah, ‘Laa ilaha
illallaah,” sebuah kalimat yang dengannya aku bisa membelamu di hadapan Allah.’
Maka keduanya berkata, “Apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?”, Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallama mengulang ucapannya, keduanya juga mengulang ucapan mereka.
Maka ucapan yang diucapkan oleh Abu Thalib adalah bahwa dia tetap berada di
atas agama Abdul Muththalib, dia menolak mengucapkan Laa ilaha illallaah, maka
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Demi Allah, aku akan meminta
ampun untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya.” Maka Allah ‘Azza wa
Jalla menurunkan, ‘Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabatnya.” (QS. at-Taubah: 113). Dan Allah Ta’ala
menurunkan tentang Abu Thalib, ‘Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk.’ (QS. al-Qashash: 56).” [HR. al-Bukhari No. 4772]
Beliau (Al-’Allamah ‘Abd
ar-Rahman bin Hasan) menjelaskan dalam syarhnya;
ومِن حِكمةِ الربِّ تعالى في عَدَمِ هِدايةِ أبي طالبٍ إلى الإِسلامِ
لِيُبَيِّنَ لعِبادِه أنَّ ذلك إليه، وهو القادِرُ عليه دونَ مَن سِواهُ، فلو كانَ
عندَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الذي هو أَفْضَلُ خَلْقِه-من هِدايةِ
القُلوبِ وتَفريجِ الكُروبِ؛ ومَغفِرَةِ الذُّنوبِ، والنجاةِ من العَذابِ، ونحوِ ذلك
شيءٌ؛ لكانَ أحقَّ الناسِ بذلك وأَوْلاَهُمْ به عَمُّه الذي كان يَحُوطُه ويَحمِيهِ
ويَنْصُرُه ويُؤْوِيهِ، فسُبحانَ مَن بَهَرَتْ حِكمتُه العقولَ، وأَرْشَدَ العِبادَ
إلى ما يَدُلُّهُمْ على مَعرِفَتِه وتَوحيدِه، وإخلاصِ العملِ له وتَجريدِه
“Di antara hikmah Allah Ta’ala dengan tidak memberi Abu Thalib
hidayah kepada Islam adalah untuk menjelaskan kepada hamba-hambaNya bahwa
perkara hidayah ada di Tangan Allah, Dialah Yang Mahakuasa atasnya bukan
selainNya, seandainya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang merupakan
makhluk paling mulia mempunyai sedikit wewenang dalam memberi hidayah kepada
hati manusia, mengangkat kesulitan-kesulitan, mengampuni dosa-dosa,
menyelamatkan dari siksa dan yang sepertinya, niscaya manusia yang paling patut
dan paling berhak mendapatkannya adalah pamannya yang selama ini melindungi,
menjaga, membela, dan membantunya. Mahasuci Allah yang hikmahNya mencengangkan
akal manusia dan membimbing hamba-hambaNya kepada apa yang membawa mereka untuk
mengetahuiNya dan mengetahui tauhidNya serta mengikhlaskan amal dan
memurnikannya kepadaNya.” (Fathul Majeed Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 214-215)
Beliau juga mengatakan pada
akhir penjelasan beliau terkait bab ini;
وفيه تحريم الاستغفار للمشركين وموالاتهم ومحبتهم; لأنه إذا حرم
الاستغفار لهم فموالاتهم ومحبتهم أولى
“Di dalamnya terkandung haramnya memohon ampunan untuk
orang-orang musyrik, berwala’ (berloyalitas) dan mencintai mereka. Jika memohon
ampunan diharamkan, maka berwala’ dan mencintai lebih patut untuk diharamkan.” (Fathul
Majeed Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 217)
Namun jangan pula
disalahartikan bahwa jika hidayah itu berada di Tangan Allah Ta’ala lantas kita
mencukupkan diri dengan bersikap pasrah saja atau berdiam diri saja tanpa mau melakukan
ikhtiar (berbuat sesuatu, red) untuk kebaikan kita dan orang lain. Simaklah
hadits shahih berikut;
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ لِزُهَيْرٍ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و
قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كُنَّا فِي جَنَازَةٍ فِي بَقِيعِ
الْغَرْقَدِ فَأَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَعَدَ
وَقَعَدْنَا حَوْلَهُ وَمَعَهُ مِخْصَرَةٌ فَنَكَّسَ فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِمِخْصَرَتِهِ
ثُمَّ قَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا وَقَدْ كَتَبَ
اللَّهُ مَكَانَهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلَّا وَقَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةً
أَوْ سَعِيدَةً قَالَ فَقَالَ رَجَلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَمْكُثُ عَلَى كِتَابِنَا
وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَقَالَ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى
عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى
عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَقَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ
فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ
لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
Telah menceritakan kepada
kami ‘Utsman bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim lafazh
ini milik Zuhair. Ishaq berkata; Telah mengabarkan kepada kami. Sedangkan yang
lainnya berkata; Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Sa’ad
bin ‘Ubaidah dari Abu ‘Abdur Rahman dari ‘Ali dia berkata; “Kami pernah
menguburkan jenazah di pemakaman Baqi Al Gharqad. Tak lama kemudian, Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama datang kepada kami. Lalu beliau duduk dan kami
pun duduk mengelilingi beliau. Setelah itu Rasulullah memegang sebuah batang
kayu pendek dan beliau menggaris-gariskan dan memukul-mukulkannya diatas tanah
seraya berkata: ‘Tidaklah seseorang diciptakan melainkan Allah telah menentukan
tempatnya di surga ataupun di neraka, serta ditentukan pula sengsaranya atau
bahagianya.’ Ali bin Abu Thalib berkata; ‘Kemudian seseorang bertanya; ‘Ya
Rasulullah, kalau begitu apakah sebaiknya kami berdiam diri saja tanpa harus
berbuat apa-apa?’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama menjawab: ‘Barang
siapa termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung, maka ia pasti akan
mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sebaliknya barang siapa
termasuk dalam golongan orang-orang yang sengsara, maka ia pasti akan
mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.’ Selanjutnya Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda: ‘Berbuatlah! Karena
masing-masing telah dipermudah untuk berbuat sesuai dengan ketentuan sengsara
dan bahagianya. Orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang
berbahagia akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang
beruntung. Dan orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang sengsara
akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.’
Setelah itu Rasulullah pun membacakan ayat Al Qur’an: ‘Adapun orang yang
memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala
yang terbaik (surga), maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
Adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya
pahala yang terbaik, maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.’ (QS.
Al-Lail: 5-10). [HR. Muslim No. 4786]
Akhirnya kami tutup dengan sebuah syair (Fathul Majeed Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 473);
وما بك من تقي فيها وخير
فتلك مواهب الرب الجليل
وليس لها ولا منها ولكن
من الرحمن فاشكر للدليل
Ketakwaan dan kebaikan yang
tertanam di dalam jiwamu
Adalah hasil pemberian Rabb
Yang Mahamulia
Bukan miliknya dan bukan
darinya, akan tetapi Karunia dari Allah ar-Raheem
Maka bersyukurlah kepada
Dzat yang telah membimbingmu
__________
Referensi:
Fathul
Majeed Syarh Kitab at-Tauhid, al-‘Allamah ‘Abd ar-Rahman bin Hasan ‘alu
asy-Syaikh
Labels:
Ad-Dien
0 Respones to "Hidayah Itu Di Tangan Allah تعالى"
Posting Komentar