Jujur saja, sharing session
dengan Director of Human Capital Management kemarin pagi (Selasa, 14 August
2012) sedikit agak “datar”. Sebagian besar pertanyaan-pertanyaan kami (yang sebenarnya
hanya sekedar repetisi dari tahun ke tahun, dari satu periode management ke periode
management selanjutnya) dijawab dengan jawaban yang diplomatis dan bahasa yang general,
khas “Management”. Tapi tidaklah mengapa, yang penting aspirasi kami (yang ada di “kasta”
terbawah ini) sudah tersalurkan dengan uslub dan adab yang baik. Kami sangat menghargai,
percaya sekaligus berharap, terobosan-terobosan baru (break through) dari
Management kami dalam upayanya memperbaiki “jalan-jalan berlubang”
dan membersihkan “benalu-benalu” (yang masih banyak dijumpai dan menempel) dalam
tubuh perseroan kali ini mampu membawa harapan dan perubahan baru yang berarti. Never
lose hope!, begitu kira-kira kata orang bijak. Dan semoga Allah Ta’ala
memberikan kemudahan kepada mereka agar mampu menahkodai kapal besar yang sedang
kami tumpangi ini ke destinasi dan arah yang tepat, amieen.
Berbicara mengenai “harapan”
atau “berharap”, ba’da shalat dhuhur berjama’ah kemarin siang seorang ustadz
alumni al-Azhar Mesir yang sangat fasih dan merdu bacaan al-Qur’annya itu menuturkan
dalam taushiahnya bahwa suatu ikhtiar (yang dilakukan) tanpa diiringi dengan
doa yang ikhlas (karena Allah Ta’ala) disertai dengan raja’ (pengharapan)
kepadaNya tidaklah cukup untuk menggapai sesuatu. Ada kalanya seseorang yang sudah
mencoba berbagai macam ikhtiar, menjalankan sebab-sebabnya secara maksimal, mengerahkan
seluruh kemampuan (skill) yang ia miliki, tidak pernah berhasil meraih cita-cita
dan harapannya. Di dalam situasi seperti inilah doa yang ikhlas yang disertai
dengan pengharapan kepada Allah Ta’ala tadi seringkali mampu mengubah keadaan
yang secara akal dan fisik mustahil bisa terwujud (namun dengan kehendak Allah
Ta’ala bisa terwujud). Simaklah kisah Nabi Zakaria ‘Alahissalam (dalam
Kitabullah) yang dalam kondisi usia lanjut dan lemah itu masih belum
mendapatkan keturunan. Beliau berdoa;
قَالَ
رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ
بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ
امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ
آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (6
“Ia berkata, ‘Wahai Rabbku,
sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku
belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu, wahai Rabbku. Dan sesungguhnya aku
khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang
mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera. Yang akan
mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub, dan Jadikanlah ia, wahai
Rabbku, seorang yang diridhai.’” (QS. Maryam: 4-6)
Lantas apa jawaban Allah
Subhaanahu wa Ta’ala terhadap doa Nabi Zakaria ‘Alahissalam di atas?. Allah Ta’ala
berfirman pada ayat selanjutnya;
يَا
زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ
سَمِيًّا (7) قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا
وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا (8) قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ
هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا (9
“Hai Zakaria, sesungguhnya
Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (mendapatkan) seorang anak yang
namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa
dengan dia.” Zakaria berkata: “Ya Rabbku, bagaimana (mungkin) akan ada anak
bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri)
sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua”. Dia berfirman: “Demikianlah”.
Rabbmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku
ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.”
(QS. Maryam: 7-9)
Lihatlah keteladanan dari
Nabi Zakaria ‘Alahissalam. Kendati usia beliau sudah tua, tulang-tulangnya mulai
melemah dan rambutnya sudah beruban, ditambah lagi dengan keadaan isterinya
yang mandul, beliau ‘Alahissalam tidak pernah berhenti memohon, berdoa kepada
Allah Ta’ala dengan raja’ (pengharapan) agar beliau dikaruniai seorang putra
yang kelak dapat meneruskan estafet kenabiannya. Jika kita cerna berdasarkan akal
dan logika kita yang lemah, dengan umur yang sudah senja dan istri yang mandul,
sangat kecil kemungkinannya (kalau tidak mau dibilang mustahil, red) bagi
seseorang itu bisa mendapatkan seorang anak. Oleh karenanya Nabi Zakaria pun berkata;
رَبِّ
أَنَّى يَكُونُ لِي غُلامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ
عِتِيًّا (8
“Ya Rabbku, bagaimana (mungkin)
akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku
(sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua” (QS. Maryam: 8)
Al-‘Allamah Abdul ar-Rahman
bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan dalam tafsirnya;
فحينئذ
لما جاءته البشارة بهذا المولود الذي طلبه استغرب وتعجب وقال: ( رَبِّ أَنَّى يَكُونُ
لِي غُلامٌ )
والحال
أن المانع من وجود الولد، موجود بي وبزوجتي؟ وكأنه وقت دعائه، لم يستحضر هذا المانع
لقوة الوارد في قلبه، وشدة الحرص العظيم على الولد، وفي هذه الحال، حين قبلت دعوته،
تعجب من ذلك، فأجابه الله بقوله: ( كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ )
أي: الأمر مستغرب في العادة، وفي سنة الله في الخليقة، ولكن قدرة الله تعالى صالحة
لإيجاد الأشياء بدون أسبابها فذلك هين عليه، ليس بأصعب من إيجاده قبل ولم يكن شيئا
“Ketika itu, saat Nabi
Zakaria menerima kabar gembira (atas) kelahiran anak ini yang dimintanya, maka
beliau merasa aneh dan keheranan. Beliau mengatakan,
“Ya Rabbku, bagaimana (mungkin) akan ada anak bagiku” sementara
kondisinya bahwa faktor penghalang untuk mendapatkan anak ada pada saya dan
diri saya? Seakan-akan pada saat berdoa, beliau tidak menyadari keberadaan
faktor penghalang ini, lantaran keinginan kuat di hatinya dan hasrat yang besar
untuk mendapatkan anak. Dalam kondisi seperti ini, saat doanya dikabulkan, maka
beliau keheranan. Maka Allah menjawab keheranannya dengan firmanNya, “Demikianlah”. Rabbmu berfirman: “Hal itu adalah mudah
bagi-Ku.” Maksudnya masalah ini memang aneh menurut kebiasaan, dan
aneh pula menurut sunnatullah pada penciptaan makhlukNya. Akan tetapi kekuasaan
Allah Ta’ala memungkinkan penciptaan Yahya, tanpa melalui sebab-sebab (yang
lumrah) dan masalah ini ringan bagiNya. Tidak lebih sulit dari menciptakan
Zakaria sebelumnya, padahal sebelumnya beliau tidak ada sama sekali.” (Taiseer
al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 16 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)
Da’i lulusan Mesir itu juga
menceritakan kisah Maryam sebagai ibrah lain (dalam al-Qur’an al-Kareem) yang
bisa kita petik hikmahnya;
فَأَجَاءَهَا
الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ
نَسْيًا مَنْسِيًّا (23) فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ
تَحْتَكِ سَرِيًّا (24) وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ
رُطَبًا جَنِيًّا (25
“Maka rasa sakit akan
melahirkan anak (i.e Isa ‘Alahissalam, red) memaksa ia (bersandar) pada pangkal
pohon kurma, dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan
aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibril menyerunya
dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabbmu
telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu
ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”
(QS. Maryam: 23-25)
Di tengah-tengah ujian berat
yang harus di hadapi oleh Maryam karena didera rasa sakit menjelang melahirkan
putranya, pedihnya hati karena komentar miring dari kaumnya dan kecemasan
dirinya akan kemampuannya untuk bersabar, Allah Ta’ala mengutus Jibril agar
menenangkan rasa kekhawatirannya dan meneguhkan hatinya seraya berkata
kepadanya, “Janganlah kamu bersedih hati,
sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah
pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah
kurma yang masak kepadamu.” Jika kita cerna berdasarkan akal dan
logika kita yang terbatas ini, sangat mustahil bagi seorang wanita yang sedang
mengandung seorang anak itu mampu menggoyangkan pohon kurma yang berdiri kokoh
dengan kedua tangannya yang lemah dan menggugurkan buahnya. Tapi itulah faktanya,
sesuatu yang mustahil (menurut akal kita yang lemah dan terbatas) ternyata tidak
pernah berlaku bagi Allah Ta’ala. Jika Dia berkehendak, maka dalam sekejap
sesuatu yang impossible itu bisa berubah menjadi possible, cukup dengan
mengatakan “Kun”, maka sesuatu itu pasti terjadi (fayakun). BagiNya segala
sesuatu itu mungkin dan mudah. Oleh karenanya manusia tidak boleh hanya terpaku
kepada faktor penyebab sesuatu itu terjadi saja, namun juga tidak boleh
mengabaikan Dzat yang menakdirkannya dan menyebabkannya. Berkata al-‘Allamah
Abdul ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu- ketika menafsirkan ayat;
قَالَ
كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ (21
“Jibril berkata: “Demikianlah”.
Rabbmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami
menjadikannya suatu tanda bagi manusia.” (QS. Maryam: 21)
تدل
على كمال قدرة الله تعالى وعلى أن الأسباب جميعها لا تستقل بالتأثير وإنما تأثيرها
بتقدير الله فيري عباده خرق العوائد في بعض الأسباب العادية لئلا يقفوا مع الأسباب
ويقطعوا النظر عن مقدرها ومسببها
“Ini menunjukkan
kesempurnaan kekuasaan Allah Ta’ala dan menandakan bahwa semua faktor penyebab
itu tidak memberikan efek dengan sendirinya, akan tetapi yang memberikan
pengaruh adalah takdir Allah. Maka Allah memperlihatkan kepada hambaNya
pendobrakan kejadian-kejadian yang biasa pada sebagian hukum sebab akibat yang
biasa (terjadi) supaya mereka tidak hanya terpaku pada faktor penyebab saja,
tanpa peduli dengan Dzat yang menakdirkan dan menyebabkannya.” (Taiseer
al-Kareem ar-Rahman vol. 4, juz. 16 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)
Ketika seseorang sudah berikhtiar
dengan berbagai macam cara, sudah berdoa dengan gigih kepada Allah Ta’ala namun
belum juga mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, maka bersabar atas takdir
Allah adalah langkah selanjutnya yang harus dilakukan. Yakinlah bahwa Allah Ta’ala
telah memilihkan sesuatu yang terbaik untuk kita, demikian penjelasan yang saya
dengar dari al-Ustadz. Simaklah buah kesabaran dari seorang Ummu Salamah
radhiyallaahu ‘anha atas musibah dan takdir Allah Ta’ala berikut; Diriwayatkan
dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia mengatakan, “Aku pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak seorang hamba pun
yang tertimpa musibah lalu ia mengatakan;
إِنَّا
لِلّهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ اللّهُمَّ أْجُرْنِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلِفْ
لِيْ خَيْرًا مِنْهَا
“Sesungguhnya kami milik
Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami kembali. Wahai Allah, berikanlah
kami pahala dari musibah ini dan berilah ganti yang lebih baik darinya.” Kecuali
Allah akan memberikan ganjaran pahala karena musibah yang menimpanya dan
memberikan ganti yang lebih baik.’ Ummu Salamah berkata, “Ketika Abu Salamah
wafat, aku membacanya sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallama. Maka Allah memberikan ganti yang lebih baik dari Abu
Salamah, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama.” (HR. Muslim)
Demikian,... Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.
Ba’da Shubuh, Lengkong
Kecil, Bandung.
____
Maraji’ : Taiseer al-Kareem
ar-Rahman vol. 4, juz. 16 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail
Labels:
Ad-Dien
0 Respones to "Mustahil Bagi Kita, Tidak Bagi Allah Ta’ala"
Posting Komentar