Keteladanan Keluarga Ibrahim ‘Alaihissalam Dan Tafsir QS. An-Nahl: 95-97



Bagi kita kaum muslimin, Hajar Ummu Isma’il bukanlah nama yang asing di telinga kita, beliau (adalah) seorang wanita shalihah di zamannya, begitu pula dengan Isma’il ‘alaihissalam. Mereka berdua merupakan istri dan putra Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam. Ada apakah dengan mereka?.

Suatu ketika salah seorang kawan senior saya berkata (secara makna, red), “Tidaklah mudah menjalankan perintah Allah Ta’ala dan (sunnah) Nabi-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama (dalam sebuah keluarga) jika orang-orang terdekat di sekelilingnya tidak memiliki pemahaman yang baik (tentang ilmu ad-dien), tidak memberikan support dan tidak pula memiliki semangat yang sama untuk menjalankannya.” Jika kita menilik fakta di lapangan, maka ucapan (kawan saya) di atas ada benarnya. Fakta menunjukkan; tidak sedikit dari para pemimpin keluarga yang memilih untuk “mengalah” (entah terpaksa atau tidak, red) ketika ayah, ibu, istri atau anak tercintanya menuntut sesuatu darinya sekalipun hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip syariat yang hanif. Kemudian kami teringat firman Allah Ta’ala yang berbunyi;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka …” (QS. at-Taghabun: 14)

Berkata al-Imam al-Hafidz Ibnu Katsir asy-Syafi’i –raheemahullahu- tentang ayat tersebut, “Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberitahukan ikhwal istri dan anak bahwa di antara mereka ada yang merupakan musuh bagi suami dan ayah. Artinya, bahwa di antara mereka itu ada yang menyebabkannya lalai dari mengerjakan amal shalih. Hal ini sebagaimana firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” Itulah sebabnya disini Allah Ta’ala berfirman, “Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka”, yaitu dalam memelihara agamamu. Dikatakan oleh Mujahid, ‘“Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu”, yaitu seorang laki-laki dapat menyeret kepada pemutusan tali kekeluargaan atau kepada kedurhakaan terhadap Rabbnya. Dan laki-laki itu tidak mampu berbuat apa-apa karena hatinya dikuasai rasa cinta kepada seseorang selain menuruti semua yang diinginkannya’.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir vol. 4).

Apa yang dikatakan oleh al-Imam Mujahid –raheemahullaahu- (beliau adalah murid Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu, ahli tafsir di kalangan shahabat, red) sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Katsir diatas adalah realita yang terjadi di tengah-tengah manusia sejak zaman dahulu hingga zaman sekarang. Sungguh berbahagia dan bersyukur seorang Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam, Allah Ta’ala telah menganugerahkan seorang istri yang shalihah kepadanya serta mengabulkan doanya, “Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ash-Shafat: 100), sehingga apapun perintah Allah Ta’ala yang beliau kerjakan selalu mendapatkan dukungan dari keluarganya. Simaklah penuturan Hajar Ummu Isma’il. Ketika beliau ditinggalkan berdua dengan putranya Isma’il ‘alaihissalam di dekat Baitullah, beliau mengikuti suaminya seraya berkata, “Wahai Ibrahim, kamu hendak pergi kemana?. Apakah kamu meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apapun ini”. Ummu Isma’il terus saja mengulang-ulang pertanyaannya berkali-kali hingga akhirnya Ibrahim tidak menoleh lagi kepadanya. Akhirnya Ummu Isma’il bertanya; “Apakah Allah yang memerintahkan kamu atas semuanya ini?”. Ibrahim menjawab: “Ya”. Ummu Isma’il berkata; “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.” (HR. al-Bukhari No. 3113). Demikianlah kisah teladan dari Hajar Ummu Isma’il. Ketika beliau mengetahui bahwa apa yang dilakukan suaminya itu merupakan perintah Allah Ta’ala, maka beliau pun ridha’ (sami’na wa atha’na) meskipun kondisi mereka pada waktu itu sedang sulit. Begitu pula dengan putranya Isma’il ‘alaihissalam, ketika ayahnya Ibrahim ‘alaihissalam berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”, Ia menjawab: “Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102). Subhanallah, demikianlah sosok-sosok teladan ummat ini yang Allah abadikan kisahnya dalam kitabNya agar manusia mau memikirkan dan mengambil pelajaran.

Bercermin dengan kisah (dalam prolog) diatas, maka firman Allah Ta’ala yang hendak kami kutip tafsirnya berikut ini juga tidak mudah diimplementasikan (oleh sebuah keluarga) jika orang-orang terdekat di sekitarnya tidak aware, tidak memiliki ghirah (semangat) untuk meneladani kehidupan para anbiya dan keluarganya yang shalih. Ayat ini sarat dengan nasihat dan peringatan. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mampu mengambil pelajaran, amieen. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;

وَلا تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلا إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (95) مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (96) مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (97

“Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 95-97)


Al-‘Allamah ‘Abdul ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan dalam tafsirnya;

يحذر تعالى عباده من نقض العهود والأيمان لأجل متاع الدنيا وحطامها فقال: ( وَلا تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلا ) تنالونه بالنقض وعدم الوفاء ( إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ ) من الثواب العاجل والآجل لمن آثر رضاه، وأوفى بما عاهد عليه الله ( هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ) من حطام الدنيا الزائلة ( إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ )
فآثروا ما يبقى على ما يفنى فإن الذي عندكم ولو كثر جدا لا بد أن ( يَنْفَدُ ) ويفنى، ( وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ ) ببقائه لا يفنى ولا يزول، فليس بعاقل من آثر الفاني الخسيس على الباقي النفيس وهذا كقوله تعالى:   بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى     وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِلأَبْرَارِ 

“Allah Ta’ala memperingatkan para hambaNya dari (tindakan) membatalkan janji-janji dan sumpah-sumpah karena  (ingin mendapatkan) kenikmatan dunia. Allah berfirman, “janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah)”, yaitu kalian mendapatkan dunia (ditukar) dengan membatalkan dan tidak menepatinya. “Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah”, berupa balasan segera (di dunia) dan ganjaran menyusul (di akhirat) adalah bagi orang yang lebih mengutamakan ridha Allah Ta’ala dan menepati apa yang telah ia tetapkan kepada Allah. “itulah yang lebih baik bagimu”, daripada kenikmatan yang fana, “Jika kamu mengetahui”.

Maka utamakanlah kenikmatan yang lestari diatas kenikmatan yang fana. Sesungguhnya, “Apa yang di sisimu”, meskipun berjumlah banyak sekali, pasti akan lenyap dan hilang, “dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal”, dengan keabadian yang Allah tetapkan baginya, tidak hilang dan tidak sirna. Maka bukanlah insan yang cerdik orang yang lebih mengedepankan barang yang (akan) sirna lagi bernilai rendah diatas kenikmatan yang lestari lagi bernilai tinggi. Pengertian ini sejalan dengan kandungan firman Allah;

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la: 16-17)

وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِلأَبْرَارِ

“Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali Imran: 198)

وفي هذا الحث والترغيب على الزهد في الدنيا خصوصا الزهد المتعين وهو الزهد فيما يكون ضررا على العبد ويوجب له الاشتغال عما أوجب الله عليه وتقديمه على حق الله فإن هذا الزهد واجب ومن الدواعي للزهد أن يقابل العبد لذات الدنيا وشهواتها بخيرات الآخرة فإنه يجد من الفرق والتفاوت ما يدعوه إلى إيثار أعلى الأمرين وليس الزهد الممدوح هو الانقطاع للعبادات القاصرة كالصلاة والصيام والذكر ونحوها بل لا يكون العبد زاهدا زهدا صحيحا حتى يقوم بما يقدر عليه من الأوامر الشرعية الظاهرة والباطنة ومن الدعوة إلى الله وإلى دينه بالقول والفعل فالزهد الحقيقي هو الزهد فيما لا ينفع في الدين والدنيا والرغبة والسعي في كل ما ينفع ( وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا ) على طاعة الله وعن معصيته وفطموا نفوسهم عن الشهوات الدنيوية المضرة بدينهم ( أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ) الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف إلى أضعاف كثيرة فإن الله لا يضيع أجر من أحسن عملا

Padanya terdapat himbauan dan anjuran untuk bersifat zuhd di dunia, terutama sifat zuhd yang sudah semestinya ditempuh. Yaitu zuhd dari perkara-perkara yang akan menjadi bahaya pada seorang hamba dan menimbulkan kesibukan seorang hamba sehingga melupakan hal-hal yang diwajibkan Allah atas dirinya dan mendahulukannya atas hak Allah. Sesungguhnya zuhd inilah yang mesti ada.

Di antara faktor pendorong untuk zuhd adalah hendaknya seorang hamba membandingkan kenikmatan-kenikmatan dunia dan godaan syahwatnya dengan kebaikan-kebaikan di akhirat. (Dengan itu) dia akan menjumpai perbedaan dan jenjang yang berpotensi mengajaknya untuk lebih mengutamakan perkara paling luhur dari dua perkara itu. Bukanlah termasuk zuhd yang terpuji, yaitu dengan mengasingkan diri untuk beribadah saja dengan ibadah qashirah (yang bermanfaat bagi dirinya sendiri), seperti shalat, puasa, dzikir dan lainnya. Bahkan seorang hamba tidak disebut zuhd dengan cara yang benar, sampai dia mengerjakan perintah-perintah agama yang mampu dia kerjakan, yang zhahir dan batin, berdakwah kepada Allah dan kepada agamaNya melalui ucapan dan tindakan. Zuhd yang sebenarnya adalah merasa tidak butuh kepada sesuatu yang tidak bermanfaat bagi agama dan dunia, dan berkeinginan serta berusaha berbuat (sesuatu) yang bermanfaat. “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar” atas ketaatan kepada Allah dan bersabar dari maksiat kepadaNya dan mengekang jiwa-jiwa mereka dari jeratan syahwat dunia yang berbahaya bagi agamanya, “dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat, sampai penggandaan hitungan yang banyak sekali. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.

ولهذا ذكر جزاء العاملين في الدنيا والآخرة فقال ( مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ ) فإن الإيمان شرط في صحة الأعمال الصالحة وقبولها بل لا تسمى أعمالا صالحة إلا بالإيمان والإيمان مقتض لها فإنه التصديق الجازم المثمر لأعمال الجوارح من الواجبات والمستحبات فمن جمع بين الإيمان والعمل الصالح ( فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ) وذلك بطمأنينة قلبه وسكون نفسه وعدم التفاته لما يشوش عليه قلبه ويرزقه الله رزقا حلالا طيبا من حيث لا يحتسب ( وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ ) في الآخرة ( أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ) من أصناف اللذات مما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر فيؤتيه الله في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة

Oleh karena itu Allah menyebutkan balasan bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia dan akhirat, “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman”, sesungguhnya keberadaan iman menjadi syarat sah dan diterimanya amalan shalih. Bahkan tidak bisa disebut amal shalih kecuali disertai dengan keimanan, (karena) iman menuntut (adanya) amal shalih. Sesungguhnya iman adalah pembenaran yang teguh lagi membutuhkan amalan-amalan badan, baik perbuatan yang wajib maupun sunnah.  Barangsiapa (yang) telah mengkombinasikan antara iman dan amal shalih, “maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik”. Hal tersebut dengan pemberian ketentraman dalam hati dan ketenangan jiwa serta tiada menoleh kepada objek yang mengganggu hatinya, dan Allah memberi rezeki lagi halal lagi baik dari arah yang tidak disangka-sangkanya, “dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka” di akhirat, “dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Berupa aneka kenikmatan (surgawi) yang tidak pernah dilihat oleh pandangan mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbetik di dalam hati manusia. Maka Allah memberinya kebaikan di dunia dan di akhirat.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman, vol. 4, juz. 14 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail)


Pelajaran yang bisa kita ambil al:

(1). Kita dilarang membatalkan janji-janji dan sumpah-sumpah demi mendapatkan kenikmatan dan kekayaan dunia sebagaimana FirmanNya, “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah).”

(2). Kita diperintahkan agar mengutamakan dan bersemangat dalam mengejar kenikmatan yang lestari diatas kenikmatan yang fana karena “apa yang ada di sisi Allah adalah kekal” i.e dengan memperbanyak amal shalih di dunia

(3). Kita dianjurkan untuk hidup zuhd, sederhana (qana’ah). Merasa tidak butuh kepada sesuatu yang tidak bermanfaat bagi agama dan dunia, dan berkeinginan serta berusaha berbuat (sesuatu) yang bermanfaat. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim No. 4816)

(4). Allah Ta’ala berjanji akan memberikan kehidupan yang baik dan pahala yang melimpah jika kita bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shalih.

Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu.


_______
Maraji’
[1]. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir vol. 4 (softcopy)
[2]. Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 4, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail
[3]. www.asysyariah.com
[4]. Ensiklopedi Kitab 9 Imam Hadits (online)


1 Respones to "Keteladanan Keluarga Ibrahim ‘Alaihissalam Dan Tafsir QS. An-Nahl: 95-97"

Anonim mengatakan...

Menarik dan penting untuk dicamkan oleh setiap Muslim. Terimakasih. Wassalam


14 Juni 2015 pukul 23.28

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula