Bagi kita kaum muslimin, Hajar
Ummu Isma’il bukanlah nama yang asing di telinga kita, beliau (adalah) seorang
wanita shalihah di zamannya, begitu pula dengan Isma’il ‘alaihissalam. Mereka
berdua merupakan istri dan putra Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam. Ada apakah dengan
mereka?.
Suatu ketika salah seorang
kawan senior saya berkata (secara makna, red), “Tidaklah mudah menjalankan perintah
Allah Ta’ala dan (sunnah) Nabi-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama (dalam sebuah
keluarga) jika orang-orang terdekat di sekelilingnya tidak memiliki pemahaman
yang baik (tentang ilmu ad-dien), tidak memberikan support dan tidak pula memiliki
semangat yang sama untuk menjalankannya.” Jika kita menilik fakta di lapangan,
maka ucapan (kawan saya) di atas ada benarnya. Fakta menunjukkan; tidak sedikit
dari para pemimpin keluarga yang memilih untuk “mengalah” (entah terpaksa atau
tidak, red) ketika ayah, ibu, istri atau anak tercintanya menuntut sesuatu darinya
sekalipun hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip syariat yang hanif. Kemudian kami teringat
firman Allah Ta’ala yang berbunyi;
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ
فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang beriman,
sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka …” (QS. at-Taghabun: 14)
Berkata al-Imam al-Hafidz
Ibnu Katsir asy-Syafi’i –raheemahullahu- tentang ayat tersebut, “Allah
Subhaanahu wa Ta’ala memberitahukan ikhwal istri dan anak bahwa di antara
mereka ada yang merupakan musuh bagi suami dan ayah. Artinya, bahwa di antara
mereka itu ada yang menyebabkannya lalai dari mengerjakan amal shalih. Hal ini
sebagaimana firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa
yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” Itulah
sebabnya disini Allah Ta’ala berfirman, “Maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka”, yaitu dalam memelihara agamamu. Dikatakan oleh Mujahid, ‘“Sesungguhnya
di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu”,
yaitu seorang laki-laki dapat menyeret kepada pemutusan tali kekeluargaan atau
kepada kedurhakaan terhadap Rabbnya. Dan laki-laki itu tidak mampu berbuat
apa-apa karena hatinya dikuasai rasa cinta kepada seseorang selain menuruti
semua yang diinginkannya’.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir vol. 4).
Apa yang dikatakan oleh
al-Imam Mujahid –raheemahullaahu- (beliau adalah murid Ibnu Abbas radhiyallaahu
‘anhu, ahli tafsir di kalangan shahabat, red) sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Katsir diatas adalah realita yang
terjadi di tengah-tengah manusia sejak zaman dahulu hingga zaman sekarang. Sungguh berbahagia dan bersyukur seorang Nabiyullah Ibrahim
‘alaihissalam, Allah Ta’ala telah menganugerahkan seorang istri yang shalihah kepadanya serta
mengabulkan doanya, “Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak)
yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ash-Shafat: 100), sehingga apapun perintah Allah Ta’ala yang beliau kerjakan selalu
mendapatkan dukungan dari keluarganya. Simaklah penuturan Hajar Ummu Isma’il. Ketika
beliau ditinggalkan berdua dengan putranya Isma’il ‘alaihissalam di dekat
Baitullah, beliau mengikuti suaminya seraya berkata, “Wahai Ibrahim, kamu hendak
pergi kemana?. Apakah kamu meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang
manusia dan tidak ada sesuatu apapun ini”. Ummu Isma’il terus saja
mengulang-ulang pertanyaannya berkali-kali hingga akhirnya Ibrahim tidak
menoleh lagi kepadanya. Akhirnya Ummu Isma’il bertanya; “Apakah Allah yang
memerintahkan kamu atas semuanya ini?”. Ibrahim menjawab: “Ya”. Ummu Isma’il
berkata; “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.” (HR.
al-Bukhari No. 3113). Demikianlah kisah teladan dari Hajar Ummu Isma’il.
Ketika beliau mengetahui bahwa apa yang dilakukan suaminya itu merupakan
perintah Allah Ta’ala, maka beliau pun ridha’ (sami’na wa atha’na) meskipun kondisi mereka pada waktu itu sedang sulit. Begitu pula dengan putranya Isma’il
‘alaihissalam, ketika ayahnya Ibrahim ‘alaihissalam berkata: “Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!”, Ia menjawab: “Hai bapakku, lakukanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102). Subhanallah, demikianlah sosok-sosok
teladan ummat ini yang Allah abadikan kisahnya dalam kitabNya agar manusia mau memikirkan
dan mengambil pelajaran.
Bercermin dengan kisah (dalam
prolog) diatas, maka firman Allah Ta’ala yang hendak kami kutip tafsirnya berikut
ini juga tidak mudah diimplementasikan (oleh sebuah keluarga) jika orang-orang
terdekat di sekitarnya tidak aware, tidak memiliki ghirah (semangat) untuk meneladani kehidupan
para anbiya dan keluarganya yang shalih. Ayat ini sarat dengan nasihat dan peringatan.
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mampu mengambil pelajaran, amieen. Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;
وَلا تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَنًا
قَلِيلا إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(95) مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ
صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (96) مَنْ عَمِلَ صَالِحًا
مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (97
“Dan janganlah kamu tukar
perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa
yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apa
yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan
sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Barangsiapa yang
mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 95-97)
Al-‘Allamah ‘Abdul
ar-Rahman bin Nashir as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan dalam tafsirnya;
يحذر
تعالى عباده من نقض العهود والأيمان لأجل متاع الدنيا وحطامها فقال: ( وَلا تَشْتَرُوا
بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلا ) تنالونه بالنقض وعدم الوفاء ( إِنَّمَا عِنْدَ
اللَّهِ ) من الثواب العاجل والآجل لمن آثر رضاه، وأوفى بما عاهد عليه الله ( هُوَ
خَيْرٌ لَكُمْ ) من حطام الدنيا الزائلة ( إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ )
فآثروا
ما يبقى على ما يفنى فإن الذي عندكم ولو كثر جدا لا بد أن ( يَنْفَدُ ) ويفنى، ( وَمَا
عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ ) ببقائه لا يفنى ولا يزول، فليس بعاقل من آثر الفاني الخسيس
على الباقي النفيس وهذا كقوله تعالى: بَلْ
تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِلأَبْرَارِ
“Allah Ta’ala
memperingatkan para hambaNya dari (tindakan) membatalkan janji-janji dan sumpah-sumpah
karena (ingin mendapatkan) kenikmatan
dunia. Allah berfirman, “janganlah kamu tukar
perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah)”, yaitu
kalian mendapatkan dunia (ditukar) dengan membatalkan dan tidak menepatinya. “Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah”,
berupa balasan segera (di dunia) dan ganjaran menyusul (di akhirat) adalah bagi
orang yang lebih mengutamakan ridha Allah Ta’ala dan menepati apa yang telah ia
tetapkan kepada Allah. “itulah yang lebih baik
bagimu”, daripada kenikmatan yang fana, “Jika
kamu mengetahui”.
Maka utamakanlah kenikmatan
yang lestari diatas kenikmatan yang fana. Sesungguhnya, “Apa yang di sisimu”, meskipun berjumlah banyak
sekali, pasti akan lenyap dan hilang, “dan apa
yang ada di sisi Allah adalah kekal”, dengan keabadian yang Allah
tetapkan baginya, tidak hilang dan tidak sirna. Maka bukanlah insan yang cerdik
orang yang lebih mengedepankan barang yang (akan) sirna lagi bernilai rendah
diatas kenikmatan yang lestari lagi bernilai tinggi. Pengertian ini sejalan
dengan kandungan firman Allah;
بَلْ
تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Tetapi kamu (orang-orang
kafir) lebih mengutamakan kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah
lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la: 16-17)
وَمَا
عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِلأَبْرَارِ
“Dan apa yang di sisi Allah
adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali Imran: 198)
وفي
هذا الحث والترغيب على الزهد في الدنيا خصوصا الزهد المتعين وهو الزهد فيما يكون ضررا
على العبد ويوجب له الاشتغال عما أوجب الله عليه وتقديمه على حق الله فإن هذا الزهد
واجب ومن الدواعي للزهد أن يقابل العبد لذات الدنيا وشهواتها بخيرات الآخرة فإنه يجد
من الفرق والتفاوت ما يدعوه إلى إيثار أعلى الأمرين وليس الزهد الممدوح هو الانقطاع
للعبادات القاصرة كالصلاة والصيام والذكر ونحوها بل لا يكون العبد زاهدا زهدا صحيحا
حتى يقوم بما يقدر عليه من الأوامر الشرعية الظاهرة والباطنة ومن الدعوة إلى الله وإلى
دينه بالقول والفعل فالزهد الحقيقي هو الزهد فيما لا ينفع في الدين والدنيا والرغبة
والسعي في كل ما ينفع ( وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا ) على طاعة الله وعن معصيته
وفطموا نفوسهم عن الشهوات الدنيوية المضرة بدينهم ( أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ ) الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف إلى أضعاف كثيرة فإن الله لا يضيع
أجر من أحسن عملا
Padanya terdapat himbauan
dan anjuran untuk bersifat zuhd di dunia, terutama sifat zuhd yang sudah
semestinya ditempuh. Yaitu zuhd dari perkara-perkara yang akan menjadi bahaya
pada seorang hamba dan menimbulkan kesibukan seorang hamba sehingga melupakan
hal-hal yang diwajibkan Allah atas dirinya dan mendahulukannya atas hak Allah.
Sesungguhnya zuhd inilah yang mesti ada.
Di antara faktor pendorong
untuk zuhd adalah hendaknya seorang hamba membandingkan kenikmatan-kenikmatan
dunia dan godaan syahwatnya dengan kebaikan-kebaikan di akhirat. (Dengan itu)
dia akan menjumpai perbedaan dan jenjang yang berpotensi mengajaknya untuk
lebih mengutamakan perkara paling luhur dari dua perkara itu. Bukanlah termasuk
zuhd yang terpuji, yaitu dengan mengasingkan diri untuk beribadah saja dengan
ibadah qashirah (yang bermanfaat bagi dirinya sendiri), seperti shalat, puasa,
dzikir dan lainnya. Bahkan seorang hamba tidak disebut zuhd dengan cara yang benar,
sampai dia mengerjakan perintah-perintah agama yang mampu dia kerjakan, yang
zhahir dan batin, berdakwah kepada Allah dan kepada agamaNya melalui ucapan dan
tindakan. Zuhd yang sebenarnya adalah merasa tidak butuh kepada sesuatu yang
tidak bermanfaat bagi agama dan dunia, dan berkeinginan serta berusaha berbuat
(sesuatu) yang bermanfaat. “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang sabar” atas ketaatan kepada Allah dan bersabar dari maksiat
kepadaNya dan mengekang jiwa-jiwa mereka dari jeratan syahwat dunia yang berbahaya
bagi agamanya, “dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan”, satu kebaikan dibalas dengan
sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat, sampai penggandaan hitungan
yang banyak sekali. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang
berbuat baik.
ولهذا
ذكر جزاء العاملين في الدنيا والآخرة فقال ( مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ ) فإن الإيمان شرط في صحة الأعمال الصالحة وقبولها بل لا تسمى
أعمالا صالحة إلا بالإيمان والإيمان مقتض لها فإنه التصديق الجازم المثمر لأعمال الجوارح
من الواجبات والمستحبات فمن جمع بين الإيمان والعمل الصالح ( فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً ) وذلك بطمأنينة قلبه وسكون نفسه وعدم التفاته لما يشوش عليه قلبه ويرزقه
الله رزقا حلالا طيبا من حيث لا يحتسب ( وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ ) في الآخرة ( أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ) من أصناف اللذات مما لا عين رأت ولا أذن سمعت
ولا خطر على قلب بشر فيؤتيه الله في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة
Oleh karena itu Allah
menyebutkan balasan bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia dan akhirat, “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman”, sesungguhnya keberadaan
iman menjadi syarat sah dan diterimanya amalan shalih. Bahkan tidak bisa disebut
amal shalih kecuali disertai dengan keimanan, (karena) iman menuntut (adanya)
amal shalih. Sesungguhnya iman adalah pembenaran yang teguh lagi membutuhkan
amalan-amalan badan, baik perbuatan yang wajib maupun sunnah. Barangsiapa (yang) telah mengkombinasikan
antara iman dan amal shalih, “maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik”. Hal tersebut
dengan pemberian ketentraman dalam hati dan ketenangan jiwa serta tiada menoleh
kepada objek yang mengganggu hatinya, dan Allah memberi rezeki lagi halal lagi
baik dari arah yang tidak disangka-sangkanya, “dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka” di akhirat, “dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” Berupa aneka kenikmatan (surgawi) yang tidak pernah
dilihat oleh pandangan mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak
pernah terbetik di dalam hati manusia. Maka Allah memberinya kebaikan di dunia
dan di akhirat.” (Taiseer al-Kareem ar-Rahman, vol. 4, juz. 14 tahqiq: Sa’ad
bin Fawwaz ash-Shumail)
Pelajaran yang bisa
kita ambil al:
(1). Kita dilarang
membatalkan janji-janji dan sumpah-sumpah demi mendapatkan kenikmatan dan
kekayaan dunia sebagaimana FirmanNya, “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu
dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah).”
(2). Kita diperintahkan
agar mengutamakan dan bersemangat dalam mengejar kenikmatan yang lestari diatas kenikmatan yang fana karena “apa yang ada
di sisi Allah adalah kekal” i.e dengan memperbanyak amal shalih di dunia
(3). Kita dianjurkan untuk
hidup zuhd, sederhana (qana’ah). Merasa tidak butuh kepada sesuatu yang tidak
bermanfaat bagi agama dan dunia, dan berkeinginan serta berusaha berbuat
(sesuatu) yang bermanfaat. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda,
“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah
dan jangan lemah.” (HR. Muslim No. 4816)
(4). Allah Ta’ala berjanji
akan memberikan kehidupan yang baik dan pahala yang melimpah jika kita
bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shalih.
Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala
a’lamu.
_______
Maraji’
[1]. Mukhtashar
Tafsir Ibnu Katsir vol. 4 (softcopy)
[2]. Taiseer
al-Kareem ar-Rahman vol. 4, tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail
[3]. www.asysyariah.com
[4]. Ensiklopedi Kitab
9 Imam Hadits (online)
Labels:
Ad-Dien
1 Respones to "Keteladanan Keluarga Ibrahim ‘Alaihissalam Dan Tafsir QS. An-Nahl: 95-97"
Menarik dan penting untuk dicamkan oleh setiap Muslim. Terimakasih. Wassalam
14 Juni 2015 pukul 23.28
Posting Komentar