Dari sejak zaman kuliah
hingga hari ini, saya masih sering mendengar kata “ekstrim”, “ekstrimis” atau
kata lain yang semisal (dengan kata itu) disematkan kepada orang-orang tertentu
yang (bisa jadi) tidak layak menyandang predikat itu secara syar’i sebagai
bahan olok-olokan atau cap/stempel buruk. Bahkan jauh-jauh hari ketika saya
masih menimba ilmu di sekolah menengah dahulu (di Daerah Istimewa Yogyakarta), kata-kata
itu pun sering terdengar berulang kali dari lisan seorang Ibu yang hendak
memperingatkan saya dari bahayanya bergaul dengan salah seorang senior sekolah saya
waktu itu. Beliau berkata, “Mas, hati-hati yo, jangan dekat-dekat apalagi bergaul
dengan si Fulan, dia seorang ekstrimis!. Khawatirnya sampeyan nanti berubah.”
Bahkan (konon) saking ekstrimnya si Fulan ini, ia pernah membuat marah beberapa
aktivis Nashara (di sekolah kami) hingga harus dihadang oleh sejumlah aktivis dari
kalangan mereka di jalan dekat sebuah Gereja yang tidak jauh dari sekolah kami,
diancam oleh mereka agar tidak lagi berulah, bahkan sampai perlu dihadiahi bogem
mentah di wajahnya sebagai pelajaran. Seberapa “ekstrim”-kah dia sampai harus menyandang
label “ekstrimis”?. Yang jelas, dia adalah seorang aktivis sekolah laiknya
siswa sekolah pada umumnya, anggota sekaligus wakil ketua organisasi keagamaan
di sekolah kami. Namun tidak masuk akal rasanya jika karena (alasan) itu orang-orang
(baik di lingkup sekolah maupun di luar sekolah) mencapnya sebagai seorang ekstrimis.
Mengapa? Karena tidak ada seorang pun selain dirinya di dalam organisasi (sekolah)
tersebut yang mendapatkan label yang sama (termasuk penulis yang waktu itu
hanya duduk sebagai pelengkap di organisasi, red). Ia memang terkenal cukup vokal,
berani menerapkan prinsip al-wala’ wa al-bara fil Islam di lingkungan sekolah dan
bersungguh-sungguh dalam berittiba’ terhadap sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wa sallama. Ibu itu pernah mengatakan bahwa label ekstreem terhadap si Fulan
muncul karena dia memiliki tabiat atau pemahaman yang berbeda dengan keumuman
anak-anak di sekolah dalam berislam. Ketika anak-anak lainnya berisbal ria misalnya
(memanjangkan pakaiannya di bawah mata kaki, red), dia justru berbuat sebaliknya,
dan hal itu menurutnya merupakan perbuatan yang aneh, tidak lazim dan
menyimpang. Ibu itu menjadikan “keumuman” amalan yang lestari dan berkembang di
masyarakat sebagai tolok ukur kebenaran sehingga tatkala ia menemukan sesuatu
yang berbeda (pada amalan seseorang yang tidak sejalan dengan perbuatan manusia
pada umumnya), label “ekstreem” pun lantas disematkan padanya tanpa melihat
sedikit pun hujjah yang dijadikan dasar amalan oleh orang tersebut. Padahal jika
mau bersikap ilmiah, si Fulan sejatinya sedang mengamalkan sabda Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berikut;
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ :" ثَلَاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلٍيْمٌ",قَالَ
:فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ اللهِ ثَلاثَ مِرَارٍ .قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ :"خَابُوا وَ
خَسِرُوْا. مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :"المُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنْفِقُ
سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ"
Dari Abu Dzar dari Nabi,
beliau bersabda: “Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada
hari Kiamat dan tidak dilihat dan tidak (juga) disucikan dan bagi mereka adzab
yang pedih.” Abu Dzar menceritakan, “Rasulullah mengulanginya sampai tiga kali.”,
“Sungguh merugi mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah?”, tanya Abu Dzar.
Nabi menjawab: “Orang yang isbal (menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki,
red), orang yang mengungkit-ngungkit sedekahnya dan penjual yang bersumpah
palsu.” (HR. Muslim No. 106)
Apakah layak si Fulan dicap
sebagai ekstrimis lantaran kedalaman ilmunya (saat itu) (compared to teman-teman sebayanya) dalam memahami sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama?. Ia memandang bahwa meninggikan pakaian diatas mata kaki adalah
sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang harus diamalkan karena ia
khawatir dengan ancaman Allah Ta’ala atasnya.
Ada cerita lain terkait riwayat hidup si Fulan. Suatu ketika libur kenaikan kelas telah tiba. Di saat-saat seperti
itu biasanya pihak sekolah mengadakan study tour ke Bali (i.e untuk anak kelas
2 yang naik ke kelas 3, red). Sebagai anak kelas 3 yang baru naik, si Fulan
seharusnya ikut tour ke Bali sebagaimana teman-teman seangkatannya. Namun pada
akhirnya ia lebih memilih menyalahi “jumhur” dan menerima ajakan saya (yang
saat itu masuk ke tingkat 2, red) untuk ikut pulang kampung ke kota kelahiran
saya di Cilacap. Ketika saya tanya, “Mengapa anda tidak ikut study tour ke Bali?.”,
Ia justru bertanya balik, “Apa manfaat terbesar dari acara study tour
tersebut?.” Saya menjawab sekenanya, “Refreshing. Konon pantai disana sangat
indah i.e Kuta dan Sanur, tidakkah hal itu membuat anda tertarik?.” Ia
menjawab, “Saya sering sekali berkunjung ke pantai Glagah (i.e pantai di
sekitar tempat tinggalnya di Yogyakarta, red). Saya kira tidak ada bedanya
antara pantai-pantai di Bali dengan pantai-pantai di Yogyakarta. Justru akan lebih
bermanfaat jika saya pergi bersama anda karena saya bisa menyambung tali silaturahmi
dengan anda dan keluarga anda. Bukankah demikian?.” Itulah jawaban anak kelas 2
yang baru naik ke kelas 3 itu. Apakah karena sikapnya yang berbeda dengan
keumuman teman-temannya ini menjadikan dia layak menyandang label ekstrimis?,
padahal dia ingin mengamalkan hadits berikut; Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama, beliau bersabda;
مِنْ
حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan Islam
seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. at-Tirmidzi no.
2317 dan Ibnu Majah no. 3976. al-‘Allamah al-Albani mengatakan bahwa hadits
ini; shahih)
Berkata al-Imam al-Hafizh
Ibnu Rajab al-Hanbali –raheemahullaahu-; “Hadits ini mengandung makna bahwa di
antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat
baik berupa perkataan atau perbuatan.” (Jaami’ul ‘Ulum wa al-Hikam, 1/ 288)
Dan si Fulan memandang
bahwa liburan ke Bali tidak lebih bermanfaat baginya dibandingkan dengan menyambung
tali silaturahmi dengan keluarga saya di kampung halaman. Selama liburan di
rumah kami, setiap pagi sebelum adzan shubuh berkumandang, ia sudah terbangun
dari tidurnya. Di pagi hari dia duduk santai di teras rumah kami, menyibukkan
diri dengan aktivitas membaca. Ketika saya tanya, “Apa yang sedang anda baca?.”,
Ia menjawab, “Sebuah buku.”, Saya mohon ijin meminjamnya kemudian saya buka
halaman demi halamannya secara acak. Ternyata sebuah kitab kuning dengan rangkaian
huruf arab gundulnya itu. Saya tanya ke dia, “Apakah anda bisa membacanya?.”,
dia menjawab sembari tersenyum, “InsyaAllah bisa.” Subhanallah, itulah
aktivitas yang biasa dia lakukan untuk mengisi waktu-waktu senggangnya,
bercengkrama dengan buku, mengambil faidah ilmu dari kitab-kitab gundul para
ulama. Aktivitas yang sangat tidak lazim bagi keumuman teman-teman sebayanya
waktu itu. Kemampuan dan kefasihan anak kelas 2 yang baru saja naik ke kelas 3
dalam membaca kitab-kitab klasik “kelas berat” itu melebihi keumuman anak-anak
sebayanya, padahal dia tidak pernah duduk, bertalaqqi secara khusus di
pesantren!, bahkan saya yakin tidak ada satu pun anak sebayanya di sekolah kami
yang mampu berbahasa arab secara fasih seperti dirinya waktu itu!. Apakah aktivitas
kesehariannya yang “tidak umum” itu, yang tidak sejalan dengan kebiasaan teman-teman
sebayanya waktu itu (i.e yang sebagian besar dari mereka lebih suka
memanfaatkan waktu libur dan senggangnya untuk berkhalwat dengan pasangannya,
bersenang-senang dlsb, red) menjadikannya layak menyandang predikat ekstreemis?.
Padahal dia hanya ingin berittiba’ dengan hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama berikut; Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallama bahwasannya beliau berkata kepada seorang laki-laki untuk
menasihatinya :
إِغْتَنِمْ
خَمْساًَ قًبْلَ خَمْسٍِ : حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ
وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ
“Manfaatkanlah lima (perkara)
sebelum (datangnya) lima (perkara yang lain): Hidupmu sebelum matimu, sehatmu
sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa
tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dishahihkan
oleh al-‘Allamah al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no. 1077)
Dengan berbekal otak brilian
yang ia miliki sebenarnya ia sangat mampu menekuni bidang-bidang keilmuan favorit anak-anak
SMA waktu itu seperti ilmu teknik maupun ilmu kedokteran, namun entah mengapa ia
lebih tertarik mendalami sastra arab (dan memang qadarullah pada akhirnya ia diterima
dan belajar di jurusan sastra arab UGM setahun kemudian, red). Ketika saya
tanya mengapa ia lebih memilih jurusan tersebut, ia hanya menjawab, “InsyaAllah
ilmu ini akan lebih bermanfaat bagi agama dan dunia saya kelak.” Itulah sosok
si Fulan, anak yang selalu dicap “ekstrimis” dan dibenci oleh sebagian orang-orang
di sekelilingnya karena “keestrimannya” selama 3 tahun di sekolah.
Apa sih makna “ekstrim” sebenarnya?. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna ekstrem secara bahasa ada dua
yakni;
1). Paling ujung (paling
tinggi, paling keras, dsb); (adjektiva)
2). Sangat keras dan teguh;
fanatik; (adjektiva)
Contoh: Mereka
termasuk golongan ~ dl pendirian mereka.
Kata ekstreem ini sudah
terlanjur identik dengan perilaku buruk dan berlebihan dari seseorang, padahal secara
makna literal, kata ini sangat mungkin melekat pada perilaku yang baik. Misal;
si Fulan adalah orang yang paling ekstreem dalam berittiba’ kepada sunnah
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama di sekolahnya. Artinya si Fulan sangat
teguh dalam berpegang kepada ucapan dan perbuatan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama dalam aktivitas kesehariannya. Bukankah ini perkara yang baik?. Namun (hari
ini) ketika ada seseorang yang berkata, “Si Fulan orangnya ekstreem.”, biasanya
identik dengan konotasi buruk terhadap pribadi orang yang dibicarakannya. Disadari
maupun tidak, dunia ini memang sudah terbalik-balik, sesuatu yang bathil
dikatakan haq, yang syirik dikatakan tauhid, yang bid’ah dikatakan sunnah, yang
khurafat dan tahayul dikatakan karamah, yang dhaif dikatakan shahih, yang jahil
dikatakan pinter dlsb. Jadi jangan heran jika suatu saat ada wanita setengah
telanjang berjalan di muka bumi, akan dijumpai orang-orang di sekitarnya yang berkomentar “anggun,
berpakaian rapi, modern, stylish, beradab” dst adapun jika yang berjalan adalah
seorang wanita yang berpakaian tertutup, longgar, tidak mencolok, maka dikatakan
sebagai seorang wanita yang “ekstreem, tidak lazim, jumud, ekslusif, layak hidup di zaman batu” dst.
Memang kelak apa yang datang dari sisi Allah Ta’ala dan rasulNya akan dirasa
asing bagi manusia, dianggap aneh dan tidak lazim. Hal ini sebagaimana sabda
beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;
“Sesungguhnya Islam pertama
kali muncul dalam keadaaan asing dan kelak akan kembali asing sebagaimana (keadaan)
semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing itu (al-Ghuroba’).” (Shahih,
HR. Muslim)
“Berbahagialah orang-orang
yang asing (al-Ghuroba’). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di
tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih
banyak daripada yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad)
Jadi,..... seandainya hari ini ada orang-orang yang ingin berpegang kepada sunnah Nabinya Shallallaahu ‘alaihi wa
sallama dan mau mengamalkannya lantas orang-orang di sekitarnya mengatakan, “Anda seorang ekstreemis”,
maka jika demikian keadaannya, ketahuilah bahwa saya pun rela dicap sebagai ekstreemis... Wallaahu Ta’ala a’lamu,.....
Labels:
My Notes
0 Respones to "Ekstrimisme!"
Posting Komentar