Ekstrimisme!



Dari sejak zaman kuliah hingga hari ini, saya masih sering mendengar kata “ekstrim”, “ekstrimis” atau kata lain yang semisal (dengan kata itu) disematkan kepada orang-orang tertentu yang (bisa jadi) tidak layak menyandang predikat itu secara syar’i sebagai bahan olok-olokan atau cap/stempel buruk. Bahkan jauh-jauh hari ketika saya masih menimba ilmu di sekolah menengah dahulu (di Daerah Istimewa Yogyakarta), kata-kata itu pun sering terdengar berulang kali dari lisan seorang Ibu yang hendak memperingatkan saya dari bahayanya bergaul dengan salah seorang senior sekolah saya waktu itu. Beliau berkata, “Mas, hati-hati yo, jangan dekat-dekat apalagi bergaul dengan si Fulan, dia seorang ekstrimis!. Khawatirnya sampeyan nanti berubah.” Bahkan (konon) saking ekstrimnya si Fulan ini, ia pernah membuat marah beberapa aktivis Nashara (di sekolah kami) hingga harus dihadang oleh sejumlah aktivis dari kalangan mereka di jalan dekat sebuah Gereja yang tidak jauh dari sekolah kami, diancam oleh mereka agar tidak lagi berulah, bahkan sampai perlu dihadiahi bogem mentah di wajahnya sebagai pelajaran. Seberapa “ekstrim”-kah dia sampai harus menyandang label “ekstrimis”?. Yang jelas, dia adalah seorang aktivis sekolah laiknya siswa sekolah pada umumnya, anggota sekaligus wakil ketua organisasi keagamaan di sekolah kami. Namun tidak masuk akal rasanya jika karena (alasan) itu orang-orang (baik di lingkup sekolah maupun di luar sekolah) mencapnya sebagai seorang ekstrimis. Mengapa? Karena tidak ada seorang pun selain dirinya di dalam organisasi (sekolah) tersebut yang mendapatkan label yang sama (termasuk penulis yang waktu itu hanya duduk sebagai pelengkap di organisasi, red). Ia memang terkenal cukup vokal, berani menerapkan prinsip al-wala’ wa al-bara fil Islam di lingkungan sekolah dan bersungguh-sungguh dalam berittiba’ terhadap sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Ibu itu pernah mengatakan bahwa label ekstreem terhadap si Fulan muncul karena dia memiliki tabiat atau pemahaman yang berbeda dengan keumuman anak-anak di sekolah dalam berislam. Ketika anak-anak lainnya berisbal ria misalnya (memanjangkan pakaiannya di bawah mata kaki, red), dia justru berbuat sebaliknya, dan hal itu menurutnya merupakan perbuatan yang aneh, tidak lazim dan menyimpang. Ibu itu menjadikan “keumuman” amalan yang lestari dan berkembang di masyarakat sebagai tolok ukur kebenaran sehingga tatkala ia menemukan sesuatu yang berbeda (pada amalan seseorang yang tidak sejalan dengan perbuatan manusia pada umumnya), label “ekstreem” pun lantas disematkan padanya tanpa melihat sedikit pun hujjah yang dijadikan dasar amalan oleh orang tersebut. Padahal jika mau bersikap ilmiah, si Fulan sejatinya sedang mengamalkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berikut;

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ :" ثَلَاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلٍيْمٌ",قَالَ :فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ اللهِ ثَلاثَ مِرَارٍ .قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ :"خَابُوا وَ خَسِرُوْا. مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :"المُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ"

Dari Abu Dzar dari Nabi, beliau bersabda: “Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat dan tidak dilihat dan tidak (juga) disucikan dan bagi mereka adzab yang pedih.” Abu Dzar menceritakan, “Rasulullah mengulanginya sampai tiga kali.”, “Sungguh merugi mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah?”, tanya Abu Dzar. Nabi menjawab: “Orang yang isbal (menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki, red), orang yang mengungkit-ngungkit sedekahnya dan penjual yang bersumpah palsu.” (HR. Muslim No. 106)

Apakah layak si Fulan dicap sebagai ekstrimis lantaran kedalaman ilmunya (saat itu) (compared to teman-teman sebayanya) dalam memahami sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama?. Ia memandang bahwa meninggikan pakaian diatas mata kaki adalah sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama yang harus diamalkan karena ia khawatir dengan ancaman Allah Ta’ala atasnya.

Ada cerita lain terkait riwayat hidup si Fulan. Suatu ketika libur kenaikan kelas telah tiba. Di saat-saat seperti itu biasanya pihak sekolah mengadakan study tour ke Bali (i.e untuk anak kelas 2 yang naik ke kelas 3, red). Sebagai anak kelas 3 yang baru naik, si Fulan seharusnya ikut tour ke Bali sebagaimana teman-teman seangkatannya. Namun pada akhirnya ia lebih memilih menyalahi “jumhur” dan menerima ajakan saya (yang saat itu masuk ke tingkat 2, red) untuk ikut pulang kampung ke kota kelahiran saya di Cilacap. Ketika saya tanya, “Mengapa anda tidak ikut study tour ke Bali?.”, Ia justru bertanya balik, “Apa manfaat terbesar dari acara study tour tersebut?.” Saya menjawab sekenanya, “Refreshing. Konon pantai disana sangat indah i.e Kuta dan Sanur, tidakkah hal itu membuat anda tertarik?.” Ia menjawab, “Saya sering sekali berkunjung ke pantai Glagah (i.e pantai di sekitar tempat tinggalnya di Yogyakarta, red). Saya kira tidak ada bedanya antara pantai-pantai di Bali dengan pantai-pantai di Yogyakarta. Justru akan lebih bermanfaat jika saya pergi bersama anda karena saya bisa menyambung tali silaturahmi dengan anda dan keluarga anda. Bukankah demikian?.” Itulah jawaban anak kelas 2 yang baru naik ke kelas 3 itu. Apakah karena sikapnya yang berbeda dengan keumuman teman-temannya ini menjadikan dia layak menyandang label ekstrimis?, padahal dia ingin mengamalkan hadits berikut; Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama, beliau bersabda;

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. at-Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976. al-‘Allamah al-Albani mengatakan bahwa hadits ini; shahih)

Berkata al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali –raheemahullaahu-; “Hadits ini mengandung makna bahwa di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baik berupa perkataan atau perbuatan.” (Jaami’ul ‘Ulum wa al-Hikam, 1/ 288)

Dan si Fulan memandang bahwa liburan ke Bali tidak lebih bermanfaat baginya dibandingkan dengan menyambung tali silaturahmi dengan keluarga saya di kampung halaman. Selama liburan di rumah kami, setiap pagi sebelum adzan shubuh berkumandang, ia sudah terbangun dari tidurnya. Di pagi hari dia duduk santai di teras rumah kami, menyibukkan diri dengan aktivitas membaca. Ketika saya tanya, “Apa yang sedang anda baca?.”, Ia menjawab, “Sebuah buku.”, Saya mohon ijin meminjamnya kemudian saya buka halaman demi halamannya secara acak. Ternyata sebuah kitab kuning dengan rangkaian huruf arab gundulnya itu. Saya tanya ke dia, “Apakah anda bisa membacanya?.”, dia menjawab sembari tersenyum, “InsyaAllah bisa.” Subhanallah, itulah aktivitas yang biasa dia lakukan untuk mengisi waktu-waktu senggangnya, bercengkrama dengan buku, mengambil faidah ilmu dari kitab-kitab gundul para ulama. Aktivitas yang sangat tidak lazim bagi keumuman teman-teman sebayanya waktu itu. Kemampuan dan kefasihan anak kelas 2 yang baru saja naik ke kelas 3 dalam membaca kitab-kitab klasik “kelas berat” itu melebihi keumuman anak-anak sebayanya, padahal dia tidak pernah duduk, bertalaqqi secara khusus di pesantren!, bahkan saya yakin tidak ada satu pun anak sebayanya di sekolah kami yang mampu berbahasa arab secara fasih seperti dirinya waktu itu!. Apakah aktivitas kesehariannya yang “tidak umum” itu, yang tidak sejalan dengan kebiasaan teman-teman sebayanya waktu itu (i.e yang sebagian besar dari mereka lebih suka memanfaatkan waktu libur dan senggangnya untuk berkhalwat dengan pasangannya, bersenang-senang dlsb, red) menjadikannya layak menyandang predikat ekstreemis?. Padahal dia hanya ingin berittiba’ dengan hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama berikut; Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallama bahwasannya beliau berkata kepada seorang laki-laki untuk menasihatinya :

إِغْتَنِمْ خَمْساًَ قًبْلَ خَمْسٍِ : حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ

“Manfaatkanlah lima (perkara) sebelum (datangnya) lima (perkara yang lain): Hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dishahihkan oleh al-‘Allamah al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no. 1077)

Dengan berbekal otak brilian yang ia miliki sebenarnya ia sangat mampu menekuni bidang-bidang keilmuan favorit anak-anak SMA waktu itu seperti ilmu teknik maupun ilmu kedokteran, namun entah mengapa ia lebih tertarik mendalami sastra arab (dan memang qadarullah pada akhirnya ia diterima dan belajar di jurusan sastra arab UGM setahun kemudian, red). Ketika saya tanya mengapa ia lebih memilih jurusan tersebut, ia hanya menjawab, “InsyaAllah ilmu ini akan lebih bermanfaat bagi agama dan dunia saya kelak.” Itulah sosok si Fulan, anak yang selalu dicap “ekstrimis” dan dibenci oleh sebagian orang-orang di sekelilingnya karena “keestrimannya” selama 3 tahun di sekolah.


Apa sih makna “ekstrim” sebenarnya?. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna ekstrem secara bahasa ada dua yakni;

1). Paling ujung (paling tinggi, paling keras, dsb); (adjektiva)
2). Sangat keras dan teguh; fanatik; (adjektiva)
Contoh: Mereka termasuk golongan ~ dl pendirian mereka.

Kata ekstreem ini sudah terlanjur identik dengan perilaku buruk dan berlebihan dari seseorang, padahal secara makna literal, kata ini sangat mungkin melekat pada perilaku yang baik. Misal; si Fulan adalah orang yang paling ekstreem dalam berittiba’ kepada sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama di sekolahnya. Artinya si Fulan sangat teguh dalam berpegang kepada ucapan dan perbuatan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam aktivitas kesehariannya. Bukankah ini perkara yang baik?. Namun (hari ini) ketika ada seseorang yang berkata, “Si Fulan orangnya ekstreem.”, biasanya identik dengan konotasi buruk terhadap pribadi orang yang dibicarakannya. Disadari maupun tidak, dunia ini memang sudah terbalik-balik, sesuatu yang bathil dikatakan haq, yang syirik dikatakan tauhid, yang bid’ah dikatakan sunnah, yang khurafat dan tahayul dikatakan karamah, yang dhaif dikatakan shahih, yang jahil dikatakan pinter dlsb. Jadi jangan heran jika suatu saat ada wanita setengah telanjang berjalan di muka bumi, akan dijumpai orang-orang di sekitarnya yang berkomentar “anggun, berpakaian rapi, modern, stylish, beradab” dst adapun jika yang berjalan adalah seorang wanita yang berpakaian tertutup, longgar, tidak mencolok, maka dikatakan sebagai seorang wanita yang “ekstreem, tidak lazim, jumud, ekslusif, layak hidup di zaman batu” dst. Memang kelak apa yang datang dari sisi Allah Ta’ala dan rasulNya akan dirasa asing bagi manusia, dianggap aneh dan tidak lazim. Hal ini sebagaimana sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallama;

“Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan kelak akan kembali asing sebagaimana (keadaan) semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing itu (al-Ghuroba’).” (Shahih, HR. Muslim)

“Berbahagialah orang-orang yang asing (al-Ghuroba’). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad)

Jadi,..... seandainya hari ini ada orang-orang yang ingin berpegang kepada sunnah Nabinya Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan mau mengamalkannya lantas orang-orang di sekitarnya mengatakan, “Anda seorang ekstreemis”, maka jika demikian keadaannya, ketahuilah bahwa saya pun rela dicap sebagai ekstreemis... Wallaahu Ta’ala a’lamu,.....


0 Respones to "Ekstrimisme!"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula