Ada sebuah kisah inspiratif
yang datang dari seorang ayah bernama Dick Hoyt, pensiunan “The Air National
Guard” of USA dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel yang begitu gigih dan
sabar dalam mendidik dan membesarkan anak tertuanya, Rick Hoyt (lahir pada tahun
1962. Kurang lebih seumuran dengan Ibu saya, red) yang ditakdirkan cacat permanen
karena mengalami defisit Oxygen pada otaknya (Kelainan
ini dikenal dalam dunia kodekteran dengan istilah “Spastic Quadriplegic with
Cerebral Palsy” atau kelumpuhan otak –CMIIW-, red). Akibatnya Rick tidak bisa berjalan, dan karenanya pula ia tidak bisa berbicara. Dick Hoyt adalah seorang “family
man” sebagaimana penuturannya dalam buku “Devoted: The Story of a
Father’s Love for His Son – Dick Hoyt” pg. 2, Ia berkata, “I just worked for
the National Guard and tried to spend as much time with my family as possible”.
Artinya, tidak hanya sekedar “Quality time” saja yang diprioritaskan olehnya (sebagaimana
umumnya orang-orang “super sibuk” masa kini, red), tetapi juga “Quantity
time” sehingga ia bisa –sesering mungkin- berinteraksi, berdiskusi, mengawasi
dan mengedukasi putra tercintanya tersebut.
Apa
saja yang dilakukan Dick untuk putranya?
Sebagaimana orang tua pada
umumnya, Dick dan istrinya Juddy tidak pernah lupa memperhatikan hak putranya untuk
mendapatkan pendidikan yang baik dan layak. Mereka memperkenalkan beberapa
olahraga kebugaran kepada Rick seperti berenang dan beselancar, tak lupa pula mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka sebagaimana kebiasaan para orang tua pada umumnya. Hal ini dilakukan Dick dan Juddy untuk
menggali informasi lebih dalam mengenai bakat (kemampuan) dan tingkat intelegensia Rick yang bisa
dikembangkan di masa depan. Pada website www.teamhoyt.com
dijelaskan, “Dick and Judy would take Rick sledding and swimming, and even
taught him the alphabet and basic words, like any other child. After providing
concrete evidence of Rick's intellect and ability to learn like everyone else,
Dick and Judy needed to find a way to help Rick communicate for himself.”
Akhirnya pada tahun 1972, bermodalkan uang USD 5.000 dan kreasi para insinyur
(engineer) dari Tufts University, dibuatlah sebuah komputer interaktif khusus untuk
Rick sebagai alat bantu (penunjang) komunikasi Rick sehari-hari. Sungguh (alat) ini
merupakan wujud rasa cinta Dick dan Juddy terhadap putranya yang terlahir cacat
tersebut,… tak diragukan lagi.
Ada satu moment dimana Dick
dan Juddy pada akhirnya sadar/ mengetahui bahwa putranya Rick menyukai
olahraga. Melalui computer yang melekat pada anggota tubuhnya, Rick berkata, “Go
Bruins!”. Apa maksudnya? Sekedar info saja bahwa Boston Bruins adalah sebuah team “Ice Hockey” professional
yang berasal dari Boston, Massachusetts, USA dan Rick merupakan salah satu penggemarnya. Pada saat Rick mengucapkan
kalimat tersebut, ia sedang menonton pertandingan final “Ice Hockey” yang
melibatkan team kesayangannya itu. Hal ini diceritakan dalam www.teamhoyt.com, “….The Boston Bruins were
in the Stanley Cup finals that season.” Kemudian Dick berkata (terkait ucapan Rick tersebut, red), “It was clear
from that moment on, that Rick loved sports and followed the game just like
anyone else.”
Kehebatan seorang anak (memang)
tidak pernah lepas dari peran dan dukungan orang tuanya. It must be noted!.
Seorang Rick Hoyt yang menderita kelumpuhan otak permanen itu pada akhirnya mampu menyandang
gelar Sarjana Pendidikan Khusus pada tahun 1993 dari Boston University, salah
satu universitas ternama yang terletak di Boston, Massachusetts, USA. Alur
perjalanan intelektualnya diceritakan dalam www.teamhoyt.com
sebagai berikut, “In 1975, at the age of 13, Rick was finally admitted into
public school. After high school, Rick attended Boston University, and he
graduated with a degree in Special Education in 1993.”
Dick Hoyt begitu mencintai
putranya hingga ketika Rick muda mengungkapkan keinginannya untuk berpartisipasi dalam lomba lari “5-Mile Benefit Run” (tahun 1977) yang disiapkan
khusus bagi para penyandang cacat itu, ia pun mengiyakannya. Dick sepakat untuk
berlari, mendorong Rick melalui kursi rodanya hingga menyentuh garis finish.
Pada malam hari (setelah lomba berakhir), Rick berkata pada ayahnya, “Dad, when
I’m running, it feels like I’m not handicapped.” Luar biasa!, Rick sadar bahwa
ia tidak bisa berlari, tapi semangat dan optimismenya (pada akhirnya) mampu membuat dirinya “berlari”. Apa yang dilakukan Dick dan putranya (Rick) diatas hanyalah permulaan saja. Karena dalam www.teamhoyt.com
diceritakan, “This realization was just the beginning of what would become over
1,000 races completed, including marathons, duathlons and triathlons (6 of them
being Ironman competitions). Also adding to their list of achievements, Dick
and Rick biked and ran across the U.S. in 1992, completing a full 3,735 miles
in 45 days. In a triathlon, Dick will pull Rick in a boat with a bungee cord
attached to a vest around his waist and to the front of the boat for the
swimming stage. For the biking stage, Rick will ride a special two-seater bicycle,
and then Dick will push Rick in his custom made running chair (for the running
stage).”
Ketika seorang ayah/ ibu mencintai
anak-anaknya dengan tulus, mengajarkan kebaikan serta menanamkan optimisme kepada
anak-anaknya dengan cara yang baik/ benar, anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi
anak yang lurus (insyaAllah). Sang anak akan selalu mengingat kebaikan-kebaikan
kedua ibu bapaknya dan berbuat baik kepada keduanya. Dalam kisah Rick Hoyt ini,
ada satu hal yang menarik dan (sejujurnya) membuat saya terharu. Dalam literature
yang saya baca (www.teamhoyt.com) disebutkan,
“Rick was once asked, if he could give his father one thing, what would it be?
Rick responded, “The thing I’d most like is for my dad to sit in the chair and
I would push him for once.”” Sepertinya harapan Rick diatas sederhana, hanya sekedar
meminta ayahnya duduk di wheelchair kemudian ia akan berlari mendorongnya.
Namun ada makna tersirat yang bisa kita pahami dari ucapan Rick tersebut i.e Ia sangat ingin
membalas kebaikan ayahnya yang tidak pernah mengeluh merawatnya, yang rela mendorongnya bermil-mil hanya untuk mewujudkan impiannya. Jika ia mampu berlari, itulah yang pertama kali akan ia lakukan untuk ayahnya tercinta sebagai bentuk rasa baktinya. Amazing!.
Dick memang seorang ayah
yang baik. “Ketidakmampuan” anaknya dalam melakukan aktivitas normal (laiknya
orang dewasa pada umumnya) tidak lantas membuatnya bersikap diskriminatif. Bahkan
baginya, Rick adalah sumber inspirasi. Let’s check his statement out, Dick Hoyt
said as follows (dalam bukunya: “Devoted: The Story of a Father’s Love for His Son – Dick Hoyt” pg. 7);
Di sebuah video (Klik disini) terrecord perjalanan/ summary hidup mereka berdua sebagai berikut;
A
Father, A son
Dick
Hoyt, Rick Hoyt
Because
of tragedy at birth, Rick can’t walk or talk
Because
of tragedy at birth, Dick can’t play catch with his son
Because
of together, they’re an inspiration to people around the world
Dick
and his wife Judy wanted a normal life for their son
Together
they put Rick in public school
Rick
learned to write his thoughts using a special computer
When
Rick was 15, he communicated to his dad that he wanted to participate in a
five-mile benefit run
Dick
was not a runner, but agreed to push Rick in his wheelchair
For
the first time in his life, Rick didn’t feel handicapped
So
together they run
Together
they compete in marathons
Together
they compete in triathlons
Together
they trekked 3.770 miles across America
Rick
couldn’t compete without his dad
Dick
wouldn’t compete without his son
Dick
is body, Rick is the heart
Together
has power, don’t run alone
Sebagai penutup, saya akan mengutip
trademark moto yang dijadikan prinsip hidup oleh, Dick Hoyt yang kemudian ditularkan kepada putra tercintanya Rick Hoyt yang terlahir cacat itu; “YES YOU CAN!”. Jika seorang Rick yang terlahir lumpuh dan Allah
takdirkan tidak mampu berbicara secara verbal saja (terlepas dari dia adalah seorang non-muslim, red) mampu berbuat banyak dalam hidupnya, tidak
mau berdiam diri sekalipun kondisi fisiknya lemah dan (bahkan) mampu menjadi
sumber inspirasi banyak orang di dunia, lantas mengapa kita (sebagai seorang muslim) yang “sempurna” fisik dan
akalnya ini lebih banyak berkeluh kesah dengan segala kenikmatan yang sudah
Allah Ta’ala lebihkan dan tidak berusaha memaksimalkan kelebihan tersebut sebagaimana seorang Rick?. Hopefully, kita bisa mencontoh “semangat” seorang Rick
Hoyt dalam menjalani hidup di tengah-tengah keterbatasan fisik dan akal yang ada pada dirinya. Lihatlah kepada orang-orang seperti dirinya, niscaya kita akan menjadi pribadi yang banyak bersyukur. Wallaahu Ta’ala a’lamu,….
_________
Referensi
1). www.teamhoyt.com
2). Devoted: The Story of a Father’s Love for His Son – Dick Hoyt
Labels:
My Notes
0 Respones to "Team Hoyt, An Inspirational Story Of A Father"
Posting Komentar