Tukang Sol Sepatu Itu....



Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Rabb pemilik arsy, Rabb semesta alam. Dia ciptakan segala sesuatunya secara sempurna. Tiada sekutu bagi-Nya baik dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya maupun asma wa sifat-Nya. Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.

Hari ini saya lebih banyak berdiam diri dan beraktifitas di rumah. Sebagian besar (waktu luang) saya gunakan untuk beristirahat, memulihkan kondisi fisik yang kurang fit pasca berkeliling Jabar beberapa hari belakangan. Baru ba’da dzuhur tadi saya keluar rumah membersihkan motor yang sudah mulai kotor dan berdebu karena dua minggu ini terkena hujan dan tidak dicuci. Setelah hajat terpenuhi, saya kembali ke rumah, memanaskan mesin, mengeringkan body motor dan melumasi rantai belakang motor agar tidak berbunyi saat dikendarai. Tak lama kemudian, melintaslah seorang lelaki tua memanggul dua buah kotak kecil di kanan kirinya. Lalu saya pun memanggilnya....

“Punten Pak, bapak tukang sol sepatu?”, tanyaku.

“Muhun cep”, jawabnya dengan sopan.

“Berapa ongkos sol-nya pak untuk satu pasang sepatu?”, tanyaku kembali.

“Tergantung cep, lihat dulu kondisinya”, sahutnya dengan lembut, ia pun tersenyum hingga garis-garis keriput di dahi dan pipinya terlihat.

Saya berkata, “Baik Pak, bapak tunggu disini dulu (di depan masjid, red), saya akan kembali dengan sepatu saya.”

“Mangga cep.”, katanya.

Saya pun naik ke atas, meletakkan jaket dan helm di dekat pintu dan mengambil sepasang sepatu futsal yang sudah jebol di bagian depannya di atas lemari baju. Kemudian saya kembali menemuinya di depan.

Saya bilang, “Ini Pak sepatunya, bagian depannya jebol. Mungkin sebaiknya di lem dulu sebelum di sol.”

Ia pun mengangguk tanda setuju. Ia mulai bekerja menggunakan perlengkapan jahit yang sederhana itu, yakni sebuah jarum yang sudah dimodifikasi (i.e dari jeruji sepeda yang dihaluskan dengan gerinda dan dibuatkan kait di ujungnya), satu kaleng lem kecil dan beberapa helai benang nilon hitam.

Ternyata bapak tersebut tidak begitu lancar berbahasa Indonesia, ia hanya fasih berbahasa sunda. Dari awal ia selalu membalas pertanyaan saya dengan bahasa ibunya (i.e bahasa daerah), namun ketika ia tahu kalau saya bukan orang sunda dan tidak bisa berbahasa sunda, ia pun mencoba menyelipkan beberapa kosakata berbahasa Indonesia semampunya, meskipun (tetap saja) banyak kalimat yang tidak saya mengerti.. J. I do appreciate for your effort Sir....

Usianya sekitar 60 tahun, kecil dan kurus tubuhnya. Teduh wajahnya dan sopan sekali tutur katanya, khas orang Garut. Ia selalu tersenyum setiap kali berbicara...ya, tersenyum seolah-olah ia tahu bahwa senyum itu adalah ibadah. Ia kenakan topi coklat yang sudah berlubang di bagian atas dan kirinya untuk melindungi kepalanya dari sengatan matahari. Baju dan celananya pun lusuh terkena debu jalanan yang tersibak angin di gang atau jalan yang ia lalui. Namanya Supari, dari Garut Selatan. Sudah 12 tahun lebih ia menjalani profesi sebagai tukang sol sepatu keliling di Bandung. Ia memiliki 1 orang putra dan 2 orang putri. Dua yang terbesar tidak ia sekolahkan dan berhenti sampai tingkat SD saja karena terbentur masalah biaya. Kebetulan mereka berdua adalah wanita. Pola pikir Pak Supari sederhana, mereka kelak akan menjadi ibu rumah tangga dan akan ada suami yang menanggung kebutuhan hidupnya sehingga tidak ada kekhawatiran kalaupun mereka tidak melanjutkan sekolah. Mereka berdua membantu ibunya bertani di ladang milik orang lain di kampungnya. Adapun yang bungsu adalah seorang anak laki-laki yang berkesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi (dari kedua saudaranya) di tingkat SMP hingga hari ini.

Pak Supari tinggal di sebuah kontrakan bersama 20 orang teman seperjuangannya sekaligus seprofesinya di wilayah Bandung Selatan. Ia keluarkan uang Rp. 3,000 per hari untuk menetap, tidur, dan mandi. Ia berjalan puluhan kilometer setiap hari. Bayangkan, 12 tahun ia menjalani profesi ini, berapa ratus kilometer jarak yang sudah ia tempuh, berjalan kaki mengelilingi Bandung dan sekitarnya. Berangkat jam 07.00 pagi, pulang jam 19.00 malam. Ketika saya tanya; “Punten pisan Pak, berapa penghasilan bapak per hari?”, Ia menjawab, “Ga tentu cep, kadang Rp. 15,000 kadang Rp. 25,000, dan paling banyak Rp. 50,000, alhamdulillah”. Ia pulang ke Garut 1 bulan sekali guna menjenguk dan menafkahi keluarganya, menetap di sana selama 2 minggu untuk membantu istrinya bertani kemudian kembali lagi ke Bandung dengan profesi pokoknya. Saya kembali bertanya, “Kenapa bapak tidak bertani saja di Garut, bukankan air di sana cukup banyak?”,..Ia menjawab, “Muhun cep, air disana cukup bagus, kendalanya di modal cep. Bapak tidak punya ladang, jadi harus menyewa ke tuan tanah. Setelah 3 bulan, hasil panennya harus dibagi dua. Dari 7 kwintal gabah, bapak mendapatkan 70 Kg, atau kira-kira setara dengan Rp. 400,000. Itu pun kalau hasilnya (maksudnya kualitas gabahnya, red) bagus.” Pak Supari mengatakan bahwa dengan uang sebesar itu sebenarnya sudah mencukupi keperluan keluarganya sehari-hari selama beberapa bulan i.e jika digunakan untuk makan sehari-hari karena beberapa bahan makanan seperti sayuran yang mereka konsumsi bisa mereka ambil dari pekarangannya sendiri. Namun ia butuh tambahan biaya untuk sekolah anak laki-lakinya yang kelak akan menjadi kepala rumah tangga dan andalan keluarganya.

Raut wajahnya ceria ketika bercerita, tak terlihat dan tidak pula (mencoba) menampakkan dirinya kalau ia seorang fakir. Pelajaran yang bisa saya ambil dari Pak Supari hari ini adalah;

1]. Apapun yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan, banyak atau sedikitnya, syukurilah. Rizki halal yang kita dapatkan dengan susah payah, melalui ribuan kalori energi yang harus dikeluarkan tiap hari untuk berjalan, berfikir dll akan menjadi berkah tatkala disyukuri. Hal ini bisa kita lihat dari kata-kata beliau, “.....dan paling banyak Rp. 50,000, alhamdulillah”.

2]. Janganlah malu apalagi gengsi terhadap ikhtiar yang kita lakukan selama hal itu benar secara syar’i dan halal. Jangan setengah-setengah. Pepatah mengatakan, “Satu ditambah satu sama dengan dua, setengah ditambah setengah sama dengan nol”, artinya; jika ikhtiar yang kita lakukan tidak total/sungguh-sungguh, maka hasilnya pun tidak maksimal, bahkan (terkesan) sia-sia belaka. Namun demikian ada saja yang berkata, “..lebih baik menjadi pengangguran seumur hidup daripada harus menjadi tukang ini dan itu. Harga diri dan status sosial saya akan hilang dan jatuh jika saya melakukan ini dan itu...dst”. Bagi saya, orang dengan karakter seperti ini tidak lebih mulia daripada pak Supari, si tukang sol sepatu keliling yang rendah hati (tawadhu’) itu..

3]. Kalaupun kita belum bisa mendapatkan pekerjaan yang “layak” sesuai background kita,..jagalah ‘iffah (kehormatan diri) dengan tidak menjadi peminta-minta, koruptor, penjilat atau pencuri. Satu sisi ada orang yang besar gengsinya (seperti poin no. 2) di sisi lain ada orang yang malas berusaha sehingga memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang. Lihatlah pak Supari,..ia rela berjalan berpuluh-puluh kilometer dengan beban di pundaknya sambil meneriakkan “Sol sepatu..sol sepatu...sol sepatu..”. Ia buang perasaan malunya demi mendapatkan rizki yang halal dan thayib serta menjaga ‘iffahnya..

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Apa yang ada padaku dari kebaikan (harta) tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta maka Allah akan memelihara dan menjaganya, dan siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta maka Allah akan menjadikannya sabar. Dan siapa yang merasa cukup dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya maka Allah akan memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 6470 dan Muslim no. 1053 )

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup) dan bersabar atas kesempitan hidup dan selainnya dari kesulitan (perkara yang tidak disukai) di dunia.” (Syarah Shahih Muslim, 7/145)

4]. Bersikap Qana’ah dalam hidup. Meskipun pendapatannya kecil, namun tak terlihat raut putus asa di wajahnya, tak terdengar kalimat-kalimat yang mengandung keluhan keluar dari lisannya. Dapat disimpulkan dari cara ia berbicara, dari cara ia berpakaian, dari gerak-gerik dan bahasa tubuhnya bahwa ia ikhlas dan ridha’ dengan apa yang ia dapatkan dan merasa cukup dengannya, wallaahu a’lam.

5]. Terakhir, lihatlah ke bawah (ke orang-orang seperti pak Supari ini) agar kita bisa lebih menghargai nikmat yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan. [Note: poin ini akan selalu saya ingat insyaAllaahu Ta’la]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat orang yang lebih di atas kalian. Yang demikian ini (melihat ke bawah) akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” (HR. Muslim)

Obrolan kami berakhir setelah sepasang sepatu futsal itu selesai disol. Saya tanya, “Berapa pak ongkos servicenya?”, Ia hanya tersenyum dan berkata, “Terserah asep (panggilan orang sunda ke anak muda, red) saja.”, kemudian kuberi beberapa lembar rupiah sebagai ucapan terima kasih. Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberkahi anda dan keluarga anda pak Supari, menjaga kesehatan dan melapangkan rizki anda dan keluarga, amieen....



0 Respones to "Tukang Sol Sepatu Itu...."

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula