Belajar Dari Figur Ulama Rabbani



Beliau adalah Al-Mufaqqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin ‘Utsaimin al-Wahib At-Tamimi –semoga Allah Subhanaahu wa Ta’ala merahmatinya- (wafat: 15 Syawal 1421 H) dilahirkan di kota Unaizah, pada tanggal 27 Ramadhan 1347 H, dalam lingkungan keluarga yang dikenal akan ilmu dan ke-istiqamahannya. Kakek beliau dari pihak ibu bernama Asy-Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman al-Damigh. Kepadanyalah beliau belajar, menghafalkan al-Qur-an, dan sebelum menginjak usia 15 tahun beliau telah hafal kitab tentang ushul al-fiqh yaitu “Zaad al-Mustaqniq” dan kitab tentang ilmu nahwu/bahasa i.e “Alfiyah ibn Malik”.

Belajar Dari Kesederhanaan Dan Ketawadhu’an Beliau –Rahimahulaahu-

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin termasuk ulama yang bersikap zuhud di dunia, beliau habiskan sebagian besar kehidupannya dalam rumahnya yang terbuat dari tanah. Beliau diberi hadiah dua rumah, namun beliau lebih mengutamakan keduanya untuk asrama murid-muridnya. Beliau tidak pernah meminta upah dari hasil karya-karya beliau yang dicetak atau (dari) kaset rekaman ceramah (beliau), karena beliau berpandangan bahwa hal tersebut merupakan (salah satu) sebab yang (dapat) menghambat (penyebaran) ilmu.

Pernah suatu waktu, Samahatu Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullaahu- (mufti KSA dan Rektor Universitas Islam Madinah sebelum Samahatu Syaikh bin Bazz) menawarkan bahkan meminta berulang kali kepada Asy-Syaikh al-‘Utsaimin untuk menduduki jabatan Qadhi (hakim), bahkan telah mengeluarkan surat pengangkatan sebagai ketua pengadilan agama di Al Ihsa, namun beliau menolak secara halus. Setelah dilakukan pendekatan pribadi, Asy-Syaikh Muhammad Bin Ibrahim pun mengabulkan permintaan beliau agar menarik dirinya dari jabatan tersebut[1]. Beliau berpaling dari gemerlapnya dunia, dalam seminggu beliau mengenakan satu (jenis) pakaian. Beliau berjalan kaki jika pergi ke masjid dan menolak ajakan salah seorang muridnya untuk pergi ke masjid dengan mobil, dan sepanjang perjalanannya ke masjid tiada henti-hentinya masyarakat baik yang tua maupan yang muda bertanya untuk meminta fatwa tentang permasalahan agama, hingga murid-murid sekolah dasar yang terletak di jalan menuju masjid berkeliling di sekitar beliau mengucapkan salam, dan beliau tidak menolak jabat tangan mereka. Dan jika berkenalan, beliau menyebut namanya langsung tanpa menambahkan embel-embel gelar (dibelakang nama) beliau.

Suatu ketika, beliau shalat di Masjidil Haram, setelah itu beliau ingin pergi ke suatu tempat, lalu beliau menyetop mobil taxi. Di dalam mobil terjadilah dialog antara beliau dengan sopirnya, seorang Arab dalam masalah agama. Lalu bertanyalah sopir itu : “Siapa nama anda ya Syaikh?” beliau menjawab: “Muhammad bin ‘Utsaimin”. Mendengar hal ini, sopir itu terkejut tidak percaya dan memastikan lagi: “Anda Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin?” lalu beliau membalas : “Ya, Syaikh ‘Utsaimin”. Lalu sopir taxi itu menggelengkan kepalanya sambil meragukan ucapan beliau, dan menganggap ucapan beliau sebagai sikap terlalu berani mengaku sebagai Syaikh al-‘Utsaimin. Lalu Syaikh bertanya kepadanya: “Kalau anda, siapa nama anda?”, sopir itu menjawab: “Asy-Syaikh Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Bazz (i.e Mufti KSA dan Rektor Universitas Islam Madinah pada zamannya, red)”. (ia menjawab sekenanya, lantaran tidak percaya dengan jawaban Syaikh al-‘Utsaimin). Syaikh al-‘Utsaimin pun tertawa, lalu bertanya lagi : “Kamu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Bazz?” sopir itu membalas: “Ya, sebagaimana anda (mengaku sebagai) Syaikh al-‘Utsaimin”. Demikianlah keadaan Syaikh, jika beliau diantara para ulama, beliau adalah seorang ulama terkemuka yang tidak dapat diingkari (kefaqihannya) oleh seorangpun, dan jika (beliau) diantara masyarakat biasa beliau (hidup) seperti mereka.

Asy-Syaikh Khalid bin ‘Ali al-Mushlih hafidzahullaah pernah bertutur, “Diantara bukti yang menunjukkan kezuhudan Syaikh –rahimahullaahu- adalah beliau berkata kepada salah seorang yang datang berkunjung kepada beliau di Unaizah untuk yang terakhir kalinya. Dia berbincang-bincang dengan Syaikh berbagai hal –dia telah menceritakan ini pada saya dan dia tsiqah- kemudian dia bercerita, ‘Tatkala Syaikh Utsaimin sakit yang menyebabkan wafatnya, beliau berkata, “Demi Allah tidaklah dadaku terasa sempit atas hilangnya dunia- yaitu tidaklah aku merasa sedih apabila kehilangan sesuatu di dunia ini- akan tetapi yang aku khawatirkan adalah apabila aku bertemu dengan Allah ta’ala sedang aku tidak punya amalan kebaikan sama sekali.” Syaikh Khalid melanjutkan, “Syaikh –rahimahullaahu- telah menghabiskan umurnya, bekerja keras dengan jasmaninya dan mendermakan waktunya hanya untuk melayani umat. Sementara itu, beliau –rahimahullaahu- mengatakan, “Akan tetapi yang aku khawatirkan adalah apabila aku bertemu dengan Allah ta’ala sedang aku tidak punya amalan kebaikan sama sekali.” Lantas apa yang dapat kita katakan tentang diri kita? Kita berdoa kepada Allah semoga senantiasa memberi kita ampunanNya. Semoga Allah mengampuni dan merahmati Syaikh, menempatkan amalan beliau ditimbangan kebaikan, mengangkat derajat beliau keatas golongan orang-orang yang mendapat petunjuk dan orang-orang shalih, mempertemukan beliau dengan para Nabi, shiddiqin dan syuhada’ serta orang-orang shalih. Sesunggunya Allahlah penolong itu semua dan Dia Maha Kuasa untuk melakukannya.”

[1]. Itulah salah satu sikap wara’ dari Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullaahu. Padahal bukanlah aib bagi beliau seandainya saja (beliau) bersedia menerima tawaran tersebut (Coba bandingkan dengan orang-orang di zaman ini yang begitu semangat, bahkan rakus meminta jabatan dan meminta orang lain memilihnya demi kedudukan yang tinggi, red). Perhatikan ucapan beliau rahimahullaahu tatkala mensyarh hadits;

Abu Musa radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah. Maka salah seorang dari keduanya berkata: ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)

Syaikh berkata: “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut, dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” [Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470]

Sumber: (Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 27, hal. 45-50)

Artikel: www.majalahislami.com



0 Respones to "Belajar Dari Figur Ulama Rabbani"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula