Suatu ketika saya berdiskusi ringan dengan bapak di belakang rumah kami yang sederhana sembari memberi makan ikan-ikan peliharaan beliau. Kemudian saya bertanya, “Bapak dapat benih ikan-ikan ini dari mana?”, beliau menjawab, “Kebetulan teman satu kantor bapak memiliki kolam pemijahan dan pembesaran ikan, sebagian benih ini bapak dapatkan darinya, dan sisanya bapak beli dari pedagang keliling yang sering lewat di depan rumah”, saya hanya menimpali singkat ucapan bapak dengan mengatakan, “O begitu”. Beberapa hari kemudian, di saat kami sedang asyik berdiskusi di ruang tamu, melintas seorang lelaki tua persis di jalan depan rumah kami, mengayuh pelan sepeda onthelnya sambil meneriakan sesuatu (agak kurang jelas lafalnya, red). Di belakangnya terdapat dua buah keranjang (tepatnya drum plastik, red) yang menempel erat di bagian kanan dan kiri sepedanya. Spontan saya berbicara kepada bapak, “Masih ada penjual tahu keliling di tempat kita to Pak, lama sekali tak pernah terlihat”. Bapak kemudian menimpali (kurang lebih demikian), “Bukan le, dia bukan penjual tahu, dia itu orang yang pernah bapak singgung tempo hari (i.e penjual benih ikan keliling). Ia tinggal di Kecamatan sebelah, dan hampir tiap hari berjualan benih ikan di sekitar sini. Sudah puluhan tahun ia menggeluti pekerjaannya tersebut. Ia pun bercerita kepada bapak bahwa (dari keteguhan dan kesabarannya itu) ia berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang sarjana. Sebenarnya mereka (i.e anak-anaknya) sudah memintanya berhenti sejak lama, namun ia tetap berjualan sampai sekarang.” tutur bapak.
“Teguh dan sabar”, itulah kata-kata yang tercatat di momori saya hingga hari ini. Jika keteguhan dan kesabaran kita ejawentahkan dalam berbagai bentuk amal kebaikan, maka keberkahan akan datang mengiringinya, insyaAllah. Salah satu amalan yang kita dituntut untuk selalu teguh dan sabar dalam menjalaninya adalah ta’awun ‘alal birr wa taqwa, i.e tolong-menolong, nasihat-menasihati dalam kebajikan dan taqwa. Itulah tema yang hendak saya share hari ini, semoga berkenan dan bermanfaat khususnya untuk saya pribadi yang dhaif (lemah) dan faqir ini. Disebutkan dalam kitab Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hajjaj vol. 1 (buku terjemahannya berjudul; Syarah Shahih Muslim vol. 1, red), bab; “Agama adalah Nasihat” bahwa;
Muhammad bin ‘Abbad Al-Makki telah memberitahukan kepada kami, Sufyan telah memberitahukan kepada kami, ia berkata, “Saya berkata kepada Suhail, bahwasanya ‘Amr telah memberitahukan kepada kami dari Al-Qa’qa’, dari ayahmu. Ia mengatakan bahwa aku khawatir jika ia menggugurkan seorang rawi dariku. Ia berkata, “Saya telah mendengar hadits tersebut dari orang yang memberitahukan ayahku yaitu seorang temannya di Syam, kemudian Sufyan telah memberitahukan kepada kami dari Suhail, dari Atha’ bin Yazid, dari Tamim Ad-Daari radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Agama adalah nasihat”, Kami bertanya, “Untuk siapa?”, Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan umat Islam secara keseluruhan.” Hadits ini ditakhrij oleh Al-Imam Abu Dawud dalam kitab Al-Adab, bab; Fi An-Nashiihah No. 4944 dan Al-Imam An-Nasa’i dalam kitab Al-Bai’ah, bab; An-Nashihatu Lil Iman No. 4208 dan No. 4209, Tuhfah Al-Asyraf No. 2053.
Pensyarah (i.e Al-Imam Al-Hafidz Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husain bin Hizam bin Muhammad bin Jum’ah Al-Hizami Al-Haurani Asy-Syafi’i atau yang lebih kita kenal dengan panggilan Al-Imam An-Nawaawi rahimahullaahu, wafat; 20 Rajab 676 Hijriyah) berkata;
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Agama adalah nasihat”, Kami bertanya, “Untuk siapa?”, Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakatnya”. Hadits ini memiliki nilai yang sangat penting. Bahkan di dalamnya terdapat poros ajaran Islam sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam syarahnya. Meskipun ada yang mengatakan bahwa nasihat adalah salah satu dari empat bagian ajaran Islam, i.e salah satu empat hadits yang terkumpul padanya ajaran Islam, maka pendapat tersebut tidaklah benar. Sebab hadits ini merupakan satu-satunya inti ajaran Islam itu sendiri, yakni nasihat.
Adapun syarah (penjelasan) hadits ini, maka Al-Imam Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullaahu berkata, “Nashiihah (nasihat) merupakan ungkapan yang singkat, tetapi sarat dengan makna, sebab akan memberikan keuntungan berupa kebahagiaan bagi orang yang dinasihatinya. Dikatakan sebagai kalimat singkat yang sarat dengan makna karena tidak ada kata dalam bahasa arab yang bentuknya tunggal, tetapi memiliki makna yang dalam selain ini. Sebagaimana halnya para ulama mengatakan tentang al-falaah (kebahagiaan, red), bahwa tidak ada di dalam perkataan bahasa arab, satu kalimat yang telah terkumpul padanya kebaikan dunia dan akhirat selain kata ini. Dikatakan bahwa an-nashiihah terambil dari sususan kalimat nashaha ar-rajuu tsaubahu (seorang menjahit bajunya). Mereka menyerupakan perbuatan orang yang memberikan nasihat demi kebaikan orang yang dinasihatinya dengan orang yang menambal dan menjahit pakaian atau bajunya yang berlubang.
Dikatakan pula bahwa an-nashiihah terambil dari kalimat nashahtu al-‘asala (saya memurnikan madu), yakni memisahkan madu dari lilinnya. Mereka menyerupakan nasihat yang berharga, yang tidak dicampuri oleh dusta dengan pemurnian atau pemisahan madu dari lilinnya.” Al-Imam (Al-Khaththabi) juga menambahkan bahwa makna hadits diatas adalah tonggak dan serta kokohnya agama adalah dengan nasihat, seperti sabdanya, “Al-hajju ‘arafah” artinya inti dari pelaksanaan haji itu adalah wukuf di Arafah.
Para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan tentang an-nashiihah (nasihat). Al-Khaththabi dan selainnya dari kalangan ulama menjelaskan tentang makna nasihat, yang penjelasan mereka itu saya gabungkan menjadi satu. Mereka berkata, “Makna nasihat untuk Allah adalah tidak beriman kepada selain Dia, tidak menyekutukan-Nya, meninggalkan segala bentuk penyimpangan yang berhubungan dengan sifat-sifat-Nya, menyifati-Nya berdasarkan kesempurnaan serta keagungan-Nya, tidak menyifati Allah dengan kekurangan walau sekecil apapun, selalu mentaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat kepada-Nya, mencintai dan membenci hanya karena Allah, menunjukkan sikap loyalitas (wala’) kepada orang yang mentaati Allah, mengingkari orang yang bermaksiat kepada-Nya, memerangi orang-orang kafir, mengakui dan mensyukuri segala nikmat-Nya, ikhlas dalam menjalankan perintah-Nya, menyeru orang lain kepada seluruh apa yang sudah disebutkan diatas dan memerintahkan untuk melakukannya, bersikap lemah lembut kepada seluruh manusia, atau kepada orang yang berhak untuk mendapatkan kelemahlembutan.”
Al-Khaththabi rahimahullaahu mengatakan bahwa hakikat dari penyandaran nasihat ini kepada Allah adalah kembali kepada hamba itu sendiri, karena Allah Ta’ala Mahakaya dan Dia tidak membutuhkan nasihat dari hamba-Nya.
Adapun makna nasihat untuk kitab-Nya adalah mengimani bahwasanya ia adalah kalam Allah Ta’ala serta (Dia lah) yang telah menurunkannya, ia tidak serupa sedikitpun dengan perkataan makhluk, sebab memang tidak ada seorang makhluk pun yang mampu untuk mendatangkan (perkataan) yang serupa dengan kalam-Nya itu, kemudian mengagungkannya, membacanya dengan sungguh-sungguh, membaguskan bacaan, serta merenungkan maknanya, menunaikan hak dari setiap huruf-hurufnya pada saat membaca, membelanya dari segala bentuk penafsiran yang menyimpang, melawan orang-orang yang mencelanya, mempercayai segala kandungannya, melaksanakan hukum-hukumnya, memahami segala bentuk informasi dan perumpamaan yang dikandungnya, mengambil pelajaran dan dan nasihatnya, bertafakkur dengan segala keajaibannya, mengamalkan ayat yang bersifat muhkam (jelas) dan menerima yang mutasyabih (samar-samar), membahas makna yang bersifat umum dan khususnya, mengkaji nasakh dan mansukhnya, menyebarkan ilmu Al-Qur’an dan menyeru kepadanya.
Adapun makna dari nasihat untuk Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama adalah dengan mengimani beliau sebagai utusan Allah, mengimani segala sesuatu yang beliau bawa, menaati perintah dan larangannya, menolongnya, baik saat masa hidupnya maupun sesudah wafatnya, memusuhi orang yang memusuhinya, loyal terhadap orang yang loyal kepadanya, menghormati haknya dan menempatkannya sesuai porsinya, mengamalkan sunnah-sunnahnya, menyebarkan dakwah dan syariatnya, tidak menuduhnya dengan tuduhan negatif, mengikuti syariat yang diperintahkannya, memahami apa yang disampaikannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkan sunnah-sunnahnya, tidak mengatakan sesuatu tentang beliau tanpa didasari ilmu, mengikuti akhlak beliau, beradab dengan adab-adabnya, mencintai anggota keluarga dan para shahabatnya, menghindarkan diri dari berbuat bid’ah terhadap sunnah-sunnahnya, mengikuti jejak para shahabatnya, dan sebagainya.
Selain itu, makna nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin adalah tolong-menolong dengan mereka dalam kebenaran, mentaati perintah mereka dalam kebenaran, mengkoreksi dan mengingatkan mereka dengan cara yang lembut, memberitahukan kepada mereka tentang sesuatu yang mereka lalaikan dan tidak melanggar hak-hak kaum muslimin, tidak membangkang terhadap mereka, menganjurkan orang lain untuk mentaati mereka. Al-Khaththabi rahimahullahu menambahkan, termasuk nasihat kepada mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka, tidak menipu mereka dengan pujian palsu, mendoakan kebaikan bagi mereka. Selain itu, yang dimaksud dengan pemimpin kaum muslimin adalah para khalifah dan para pemimpin yang mengurusi urusan-urusan kaum muslimin, inilah menurut pendapat yang masyhur. Al-Khaththabi menambahkan bahwa ada juga penafsiran (lain) tentang maksud dari pemimpin yakni para ulama, sedangkan nasihat bagi mereka adalah menerima apa yang mereka riwayatkan, mengikuti mereka dalam berhukum.
Sedangkan maksud dari nasihat untuk masyarakat muslim adalah selain dari para pemimpin, maka bentuk nasihatnya adalah dengan cara menunjuki mereka kepada jalan untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, menahan diri untuk tidak menyakiti, mengajarkan sesuatu yang tidak mereka ketahui tentang agama mereka, membantu dengan perkataan dan perbuatan, menutupi kekurangannya, mencegah keburukan darinya, memberikan manfaat kepada mereka, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan lemah lembut dan ikhlas, menyayangi mereka, menghormati orang tua dan menyayangi anak kecil, memberikan nasihat yang baik, tidak berbuat curang dan hasad, mencintai mereka seperti ia mencintai dirinya sendiri dan membela harta benda dan kehormatan mereka, menyarankan mereka berakhlak dengan apa yang telah kami sebutkan dari macam-macam bentuk nasihat terhadap mereka, memotivasi mereka untuk melakukan ketaatan. Inilah intisari tentang tafsir nasihat.
Ibnu Baththal rahimahullaahu berkata tentang hadits ini, “Nasihat dinamakan juga dengan agama dan Islam, karena agama harus dengan perbuatan dan perkataan sebagaimana halnya Islam. Ia menambahkan bahwa ‘nasihat’ hukumnya fardhu kifayah, orang yang melakukannya akan diberi balasan (pahala, red), sedangkan yang lain telah gugur kewajibannya. Nasihat harus dilakukan sesuai dengan kemampuan, jika orang yang memberikan nasihat mengetahui bahwa nasihatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti, serta tidak akan membahayakan, maka ia wajib melakukannya. Adapun jika ia khawatir akan semua itu, hendaklah dengan hatinya sebagaimana hadits terdahulu.”
Sekian kutipan saya dari Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hajjaj vol. 1, kitab Iman, hadits No. 194, karya Al-Imam An-Nawaawi rahimahullaahu.
Ditulis pada hari Selasa, 16 Februari 2011 ba’da ‘isya.
0 Respones to "Nasihat Adalah Bagian Dari Agama"
Posting Komentar