Ringan Di Lisan Namun Berat Di Konsekuensi



Hari ini saya pulang lebih cepat, begitu juga dengan rekan-rekan yang lain. “Today is like Sunday”,.. ya, “Nothing to do since nobody’s working today. It’s truly like holiday..”. Suasana di kantor memang sedang kurang kondusif (mudah-mudahan segera kembali normal, red), orang-orang memilih untuk tidak beraktifitas seperti biasanya. Duduk-duduk di basement, makan kripik hasil sumbangan ibu-ibu dan berbincang-bincang ringan sambil menunggu waktu dzuhur tiba. Beberapa senior menuturkan, “Banyak orang yang tidak amanah di tempat kita. Mereka menjanjikan sesuatu, tetapi tidak ditepati. Mereka menyepakati sesuatu, namun (nyatanya hanya) untuk diingkari”.. wallaahu Ta’ala a’lamu. Sesampainya di rumah, saya coba membuka buku tafsir untuk mengisi waktu senggang menjelang ashr dan menemukan ayat berikut;

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karuniaNya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang shalih.’ Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi. Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib?” (QS. At-Taubah: 75-78)

Ayat diatas dikutip tidak untuk menyindir perilaku orang-orang yang dianggap “tidak amanah” tersebut. Kalaupun dikait-kaitkan (katakanlah begitu) kayaknya juga tidak terlalu relevan dengan kondisi yang terjadi di lingkungan kami. Ayat ini dikutip sebagai pengingat bagi kita agar berhati-hati dengan penyakit nifaq yang bisa menjangkiti siapa saja, dan kapan saja.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –semoga Allah Ta’ala merahmatinya- menerangkan azbaabun nuzul ayat diatas: “Ayat-ayat ini turun mengenai seorang munafik yang bernama Tsa’labah, dia datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama memohon kepadanya untuk berdoa kepada Allah agar memberinya karunia, dan bahwa jika Allah memberinya, maka dia akan bersedekah, bersilaturahim, dan menolong orang yang dalam musibah, maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama mendoakannya. Dia memiliki kambing, kambingnya itu terus berkembang biak sehingga dia menggembalakannya sampai keluar Madinah, akhirnya dia tidak menghadiri kecuali shalat Jum’at, kambingnya bertambah banyak maka ia semakin menjauh, akibatnya (adalah) dia tidak menghadiri (shalat) (ber)jama’ah dan Jum’at. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama merasa kehilangan dia, beliau diberitahu tentang keadaannya, maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama mengutus orang untuk mengambil zakat dari orang-orang yang wajib zakat. Ketika mereka mendatangi Tsa’labah, maka Tsa’labah berkata, “Ini tidak lain kecuali jizyah. Ini tidak lain kecuali saudaranya jizyah (note: Jizyah berasal dari kata “jazaa” yang berarti balasan dan secara istilah ia merupakan harta yang wajib dibayarkan oleh kalangan ahlu Dzimmi yang bertempat tinggal di sebuah Daulah Islam kepada pemerintah atau penguasa Daulah Islam tersebut).” Ketika Tsa’labah tidak mau membayar zakat, mereka datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dan menyampaikan hal itu. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;

“Celaka Tsa’labah. Celaka Tsa’labah. Celaka Tsa’labah.”

Ketika ayat ini turun kepadanya dan pada orang yang semisalnya, maka sebagian keluarganya menyampaikannya kepada Tsa’labah. Dia pun datang membawa zakatnya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, tetapi beliau tidak mau menerimanya. Setelah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama wafat, zakatnya dibawa kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu, dan beliau juga tidak mau menerimanya, lalu kepada Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu setelah Abu Bakar, dan beliau pun tidak mau menerimanya. Dikatakan bahwa Tsa’labah meninggal pada masa Utsman bin Affan radhiyallaahu ‘anhu”. [Taisir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 3 juz. 10]

Kurang lebih begitulah gambaran orang munafik. Ia khusyuk berdoa kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar memberinya karunia yang banyak dan berjanji (jika doanya terkabul) akan bersedekah, berzakat, membantu orang yang terkena musibah dan mengerjakan amal-amal yang baik lagi shalih. Namun tatkala doanya terkabul, ia kemudian terbuai oleh kemewahan dunia dan lupa akan janji-janji yang pernah diucapkannya. Kemewahan membuatnya kikir untuk bersedekah dan berzakat, kesibukan dunia membuatnya lupa dan malas untuk mengerjakan amal shalih. Ketika diingatkan, ia akan mengeluarkan berbagai macam alasan untuk menolaknya. Ia sendiri yang berjanji, ia sendiri pula yang mengingkari. Ini adalah sebuah warning bagi saya pribadi yang dhaif lagi jahil ini sekaligus nasihat agar saya selalu berinstrospeksi diri setiap saat.

Tafsir ayat

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –semoga Allah Ta’ala merahmatinya- menjelaskan ayat diatas:

<75> Yakni, diantara orang-orang munafik itu ada yang berjanji kepada Allah, Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karuniaNya kepada kami dari dunia, lalu Dia melapangkannya dan membentangkannya untuk kami, “pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang shalih”. Kami akan bersilaturahim, menjamu tamu, membantu orang yang mendapatkan musibah dan melakukan amalan-amalan yang baik lagi shalih.

<76>; Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karuniaNya, mereka ingkari ucapan mereka sendiri, bahkan mereka kikir dan berpaling dari ketaatan dan ketundukan (kepada Allah Ta’ala, red) dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi, yakni tidak melihat kebenaran.

<77>; Karena mereka tidak menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah Ta’ala, Dia menghukum mereka dan Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. Maka hendaknya seorang mikmin mewaspadai sifat buruk ini, yakni berjanji kepada Allah jika maksudnya yang begini dan begini tercapai, maka dia akan melakukan ini dan itu, kemudian dia tidak menepati, karena bisa jadi Allah menghukumnya dengan kemunafikan seperti mereka. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama telah bersabda dalam hadits yang tsabit dalam ash-Shahihain,

“Tanda orang munafik ada tiga; Jika berbicara berdusta, jika melakukan perjanjian ia berkhianat dan jika berjanji tidak menepati”

Munafik ini berjanji kepada Allah jika Dia memberikan karuniaNya kepadanya niscaya ia akan bersedekah dan menjadi orang yang shalih, dia berbicara lalu berdusta, dia melakukan suatu perjanjian lalu mengkhianati dan dia berjanji lalu tidak menepati.

<78>; Karena itu Allah mengancam orang yang melakukan hal itu dengan firmanNya, Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib?, Allah akan membalas mereka atas apa yang mereka kerjakan yang diketahui oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala. [Taisir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, vol. 3 juz. 10]

== Selesai kutipan ==

Mudah-mudahan kita dijauhkan dari sifat munafik beserta orang-orangnya i.e mereka yang gemar berdusta ketika berbicara, yang tak segan berkhianat ketika diberikan amanah, dan tak sungkan untuk berbuat ingkar ketika berjanji. Akhirnya saya berdoa, “Ya Allah, bersihkanlah hatiku dari nifaq, (bersihkanlah) amalku dari riya, (bersihkanlah) lisanku dari dusta, (bersihkanlah) mataku dari pengkhianatan. Sesungguhnya Engkau mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan didalam dada.” (HR. Hakim (2/227)



0 Respones to "Ringan Di Lisan Namun Berat Di Konsekuensi"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula